Disclaimer: Naruto is not mine. I do not take any profit from this.

Warning: in Alternate Universe – Supernatural World, A lil' bit of Out of Character, Probably Typo, and Ploty plot sneaking in. Complete, for now, with epilogue (prolog for sequel) down there.

Enjoy!


Naruto © Masashi Kishimoto

Serigala Mencari Cinta

4


Kabut.

Hutan ini dipenuhi dengan gas putih tersebut. Tidak ada yang bisa dilihat sejauh mata memandang. Dari mulut gua, Ino hanya bisa memandang tak percaya akan pemandangan di depannya. Sejauh pengalamannya berurusan dengan kabut, dia tidak pernah menghadapi yang seperti ini.P aling dekat jarak pandangnya mencapai sepuluh meter. Tapi ini, hanya semeter saja pemandangan yang bisa dilihat dengan warna selain putih.

Putih dan dingin.

Mengeratkan pelukan pada tubuhnya, Ino menghembuskan napas. Kabut putih keluar dari mulutnya dan bercampur dengan partikel-partikel di atmosfer. Gidikan demi gidikan menghantam tubuhnya, meninggalkan dirinya menjadi perempuan yang benar-benar kedinginan.

Di mana pria itu ketika Ino sedang membutuhkannya?

Gesekan kedua telapak tangan hanyalah sebuah tindakan kecil untuk menunda hipotermia yang datang. Hanya menunda, dan itu pun hampir tidak berguna.

Semenit kemudian, Gaara mendarat tepat di depannya. Tak pernah sekali pun sejak dia dilahirkan, Ino merasa sangat terkejut seperti ini. Bahkan kekagetan saat pertemuan pertamanya dengan Gaara jauh berada di bawah jika dibandingkan dengan yang sekarang.

Teriakannya bisa menakuti semua hewan liar dalam radius lima mil, dia sangat yakin dengan hal itu. Jantungnya mungkin melompat keluar dari dalam dada. Bahkan rasa dingin pun terlupakan. Satu tangan diletakkan di atas dada, dan yang satu lagi sibuk menunjuk lelaki brengsek di hadapannya.

Oh bagus, dia masih punya sedikit otak untuk memasang wajah bersalah.

"A―a―Apa kau sudah gila!? Kenapa kau mengagetkanku seperti itu!? Tidak bisakah kau menghampiriku seperti orang normal!? Jangan seperti―seperti..." dia menggunakan tangan kanannya untuk menyelesaikan kalimat itu.

"Detak jantungmu melambat..." Gaara menghindari tatapan Ino saat dia menjawabnya.

"Tentu saja melambat, aku kedinginan." Satu putaran bola mata mengikuti ucapan itu. "Kenapa sangat dingin sih? Kemarin-kemarin tidak seperti ini." Tanpa disadari Ino mengambil satu langkah mendekati Gaara. Sangat dekat, dan panasnya ibarat oasis di padang gurun.

Kepala Gaara menengadah, membuat satu pertanyaan timbul di dalam kepala pirang itu. Apa yang dia lihat? Dia ikut menengadahkan kepalanya, tapi yang tampak hanyalah kabut putih.

"Hujan... mungkin sebentar lagi akan turun. Kita harus cepat."

Kening Ino mengkerut. "Cepat? Memangnya kita mau ke mana?" hanya itu pertanyaan yang keluar dari bibirnya. Dia tak bertanya bagaimana Gaara tahu sebentar lagi akan hujan. Pria ini sudah tinggal bertahun-tahun di sini, mungkin dia sudah biasa menghadapi kabut tebal.

"Aku harus memastikan sesuatu. Dan aku tidak bisa meninggalkanmu di sini. Maka kau harus ikut denganku." Dia mengangkat pundaknya.

"Ke mana?"

"Nanti juga kau tahu."


XxX


Pertama kali Ino tersandung akar pohon, dia hanya terdiam, menggerutu dalam hati.

Untuk yang kedua, dia menendang batang kayu sialan itu.

Tapi begitu dia tersandung untuk kali ketiga, dia benar-benar tidak bisa mentolerirnya lagi. Dia mengepalkan tangannya sambil menggeram. Matanya memandang ke atas, mengutuk siapa pun yang menurunkan kabut di hutan ini. Untunglah dia tak melihat ekspresi Gaara, karena dia pasti akan melampiaskan kekesalannya pada kepala merah itu.

Tangannya menggenggam lengan atas Gaara. Satu sisi dalam dirinya cekikikan karena dia baru saja menggenggam bisep! Bisep yang jauh berbeda dengan milik Sai. Tapi sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk memikirkan hal ini. Dia berfokus pada rasa iritasinya. Tak terlalu berhasil tapi setidaknya itu sedikit membantu.

"Aku benci akar-akar bodoh ini! Jalan denganku karena sekalipun aku belum melihatmu tersandung! Dan jika sekali lagi aku tersandung akar terkutuk ini, aku akan menaikimu!"

Mata hijau pucat itu memandang lengan atas tubuhnya. Ino berpikir kalau dia akan menolaknya dan melepas genggaman tangan yang jauh lebih kecil dari miliknya itu. Tapi kemudian Gaara melakukan hal yang tak terduga. Tubuh Ino diangkatnya dari paha dan pundak.

"He―hei! Apa yang kau lakukan?" lengannya segera melingkarkan diri mereka di lehernya karena ketakutannya akan terjatuh.

"Ide yang lebih baik,"

Hm... ada benarnya juga. Jika dipikir-pikir ada terlalu banyak hal positif yang dia dapat dari sini.

Satu, salah satu mimpinya terwujud; digendong ala tuan putri dari dongeng sebelum tidur oleh pria tampan.

Dua, dia tak perlu lelah berjalan lagi.

Tiga, dia tidak harus tersandung lagi. Kecuali kalau Gaara tersandung dan menjatuhkan Ino. Tapi itu adalah salah satu sisi negatif yang bisa Ino hiraukan; melihat presentase tersandung Gaara selama berjalan yang tidak pernah mengalami peningkatan dari nol.

Empat, hangat. Seperti sweater ungu kesukaannya.

Dia baru menyadari kalau Gaara sudah mulai berjalan.

"Terserah kau saja."

Semakin jauh mereka berjalan ke dalam hutan, Ino menyadari kalau kabutnya semakin sedikit. Jarak pandangnya bertambah lebar. Di sekelilingnya pohon tumbuh jauh lebih besar dibandingkan dengan yang sudah dia temui beberapa hari terakhir ini. Di bagian atas, daun-daun dan ranting pohon bersatu menjadi atap tak tertembus.

Hijau dan gelap. Gelap tapi masih bisa melihat sekeliling... seperti ruangan temaram. Lalu satu kunang-kunang terbang melewati mereka. Oh, dari situ cahayanya berasal. Dan rupanya, ada puluhan kunang-kunang yang terbang di sekeliling mereka; menyebar di segala penjuru.

"Wow..."

Dia masih menikmati pemandangan sekitarnya saat sesuatu memasuki pandangannya. Dan dia harus menahan teriakannya.

Hantu.

Hanya itulah kata yang ada di kepala Ino untuk mendeskripsikan mahkluk ini saat dia melihatnya. Matanya emas terang; rambutnya panjang, dibiarkan terurai ke bawah; kulit putih pucat dan dia menggunakan terusan putih hingga menutupi mata kakinya. Dan saat dia berjalan... kakinya tak menyentuh tanah. Dia melayang. Yap, benar-benar hantu.

Genggaman Gaara pada tubuhnya mengerat seiring dengan posisinya disempurnakan.

"Hiraukan dia. Sorcerer, itu satu dari mereka. Kita akan bertemu dengan mereka. Jangan takut."

Setiap Sorcerer yang mereka lewati akan berhenti dan memandangi mereka. Setiap pandangan mata emas itu bertemu dengannya, tubuh Ino akan bergidik dengan sendiri. Setiap kali tubuhnya bergidik, Gaara akan mengeratkan Ino di genggamannya dan Ino juga akan mengeratkan kembali pelukannya pada leher Gaara.

Akhirnya, saat dia sudah tak tahan lagi, dia menutupi matanya dengan menempelkannya pada pundak pria itu.

Ketika Gaara berhenti, Ino mengangkat kepalanya. Satu-satunya kata yang dapat menjelaskan ekspresi Gaara adalah mematikan. Jika tatapan bisa membunuh maka Sorcerer yang berdiri di depannya pasti sudah mati.

Kau berubah, sebuah suara menyusup masuk ke telinga Ino. Dia mencoba menemukan siapa yang berbicara tetapi tidak ada yang membuka mulut. Aneh. Suara itu bukan seperti telepati, karena tak berbunyi di kepalanya. Suara itu seperti keluar entah dari mana, melayang lewat udara dan masuk di telinganya. Mengerikan.

Mata emas itu tiba-tiba memandangnya. Sinarnya bertambah terang. Sesuatu yang buruk akan terjadi, Ino yakin itu. Dia! Dia mengubahmu! Kali ini suaranya terdengar seperti lebih dari satu orang yang berbicara.

"Sentuh dia dan kau akan menyesal, Penyihir." Ternyata bukan hanya tatapannya, suaranya pun sudah berubah mematikan. Mendengarnya membuat Ino begitu ketakutan, tapi dia bersyukur suara itu tidak ditujukan padanya.

Suara itu... mendesis. Kau tidak bisa berada di sini, tempat sakral kami. Pergi!

"Kalau begitu angkat sihirmu."

Awalnya mereka terus bertatapan, lalu Sorcerer itu mengangkat kepala dan tangannya. Beberapa Sorcerer yang lain juga mengikuti gerakannya. Suara tadi mulai berbicara lagi, tapi kata-kata yang diucapkannya sangat aneh; seolah dia berbicara dalam bahasa lain. Lalu suara lain bercampur dengan suara itu, menyuarakan hal yang sama. Mata mereka bertambah emas, menyala terang. Di sekeliling mereka angin berhembus.

Setelah beberapa saat, anginnya berhenti.

Sekarang pergi! Cepat!

Tanpa sepatah kata, Gaara langsung berbalik. Dia berjalan perlahan, tak terburu-buru; mungkin ingin membuat para Sorcerer itu jengkel.

"Mahkluk bodoh!" katanya begitu mereka sudah cukup jauh dari tempat itu.

"Bisa kau jelaskan lebih terperinci tentang mereka?"

"Sorcerer: penyihir yang lupa cara menjadi manusia. Mereka meninggalkan sifat manusia karena manusia suka merusak alam. Pindah kemari agar mereka tidak perlu berurusan dengan manusia dan berada lebih dekat dengan alam. Dan jika ada manusia yang mencoba untuk masuk ke mari, mereka akan membunuhnya."

Oke, benar-benar mengerikan. Tapi beribu pertanyaan muncul di kepala Ino sekaligus. Yeah, ciri-ciri seorang reporter.

"Kau bilang mereka benci perusak. Tapi, kemarin kau bilang Shukaku itu mahkluk perusak. Jadi bagaimana kau bisa―" dia melepas satu tangannya dari leher Gaara dan menunjuk sekelilingnya untuk menyelesaikan kalimatnya.

Gaara mendengus. "Mereka sudah sangat tua. Ketua mereka; yang berbicara denganku tadi, sudah berusia ribuan tahun. Para Dewa menciptakan mereka dekat dengan awal penciptaan dunia. Jadi mereka mengenal Shukaku. Dan mereka menghormatinya sebagai seorang dewa. Lagipula Shukaku hanya menjadi perusak jika dilihat dari pandangan manusia. Dia adalah peliharan Dewa, terhormat dan segalanya... tapi masih tetap serigala pemarah." Lalu dia tertawa kecil seperti ada yang lucu... aneh. Kelakuannya yang ini seperti Naruto.

"Um... kenapa kau tertawa seperti itu? Dan bagaimana kau bisa tahu baik soal Shukaku?"

Senyap menyapa mereka untuk beberapa saat ketika Ino selesai berbicara. Tatapan Gaara hanya tertuju ke depan.

"Kau banyak bertanya."

Salahkah? "Aku reporter. Keingintahuan alami itu sifatku."

Wajah Gaara tiba-tiba berubah masam. "Lalu setelah kau tahu, kau akan memberitakannya pada orang lain," katanya dengan nada datar.

Itu adalah pernyataan menipu. Entah bagaimana Ino mengetahui hal ini. Sepertinya Gaara tidak begitu suka dengan reporter. Seperti trauma masa lalu, mungkin.

"Kau pikir aku ingin menjual kisah pribadiku! Kehidupanku! Aku memang menggilai popularitas, tapi aku tidak akan sampai seperti itu." Lalu dia menyadari apa yang dia katakan, dan membuat gambaran dirinya memukul kening dalam pikirannya. Kenapa dia bilang menjual kisah pribadinya!? Sekarang kan mereka sedang membicarakan kisah pribadi Gaara. Atau mungkin otaknya sudah melakukan konspirasi terhadap dirinya dengan mengambil keputusan bahwa Gaara akan menjadi kehidupannya juga. Cukup masuk akal.

Rupanya Gaara tidak menyadari ucapannya.

"Dia berbicara di kepalaku... Shukaku. Dia memberitahuku soal masa lalunya. Dia adalah mahkluk bebas. Yang dia inginkan hanyalah kebebasan tapi hal itu tidak mungkin terjadi. Jadi dia membenci keluarga Sabaku. Saat aku datang kemari, aku memberinya kebebasan, melupakan sifat manusia dan menjadi liar. Dan kita, uh... menoleransi keberadaan sesama setelah beberapa tahun."

Ino memikirkan lagi pertanyaan yang ingin ditanyakannya. Karena sepertinya, Gaara sedang dalam mood untuk menjawab semuanya.

Para Sorcerer itu membenci manusia. Jika manusia masuk ke mari mereka akan membunuhnya. Ino ini manusia. "Mereka tidak membunuhku. Para Sorcerer itu. Kenapa?"

"Karena mereka tahu aku dan Shukaku akan mengamuk dan menghancurkan hutan ini jika mereka menyentuhmu."

Di masa depan, jika Ino mengingat kembali ucapan Gaara yang ini, dia akan melompat kegirangan sambil tersipu atau berguling di tempat tidur sambil terkekeh ke bantalnya. Sekarang, ada keingintahuan yang harus dipuaskan.

"Bagaimana bisa aku berada di sini? Maksudku, kemarin kau bilang hutan ini ditutupi sihir. Lalu bagaimana bisa aku masuk ke mari?"

"Karena kau masuk wilayahku. Biasanya tidak ditutupi oleh sihir. Dan mahkluk-mahkluk menyedihkan itu percaya aku akan mengusir setiap manusia yang mencoba untuk menghancurkan hutan ini atau sekedar meng...―menjelajahinya."

Saat Gaara berhenti berbicara, Ino baru menyadari kalau dia juga sudah berhenti berjalan. Ketika pandangannya diedarkan, dia sadar bahwa mereka sudah sampai di mobilnya. Dan dia baru sadar kalau kabutnya sudah menipis.

Kaki jenjang menyentuh tanah, mencoba menemukan kesimbangan.

"Satu pertanyaan lagi." Ino mengangkat jari telunjuknya. "Kenapa mereka mengusirmu?"

"Karena aku tidak lagi liar."

Di samping Ford Focus ungu, iris hijau pucat bertatapan dengan biru. Satu langkah maju dari hijau, satu langkah mundur dari biru. Menempel dengan dinding mobil. Satu langkah lagi dari hijau, memerangkap. Sangat dekat.

Gaara menciumnya lagi.

Bibir pertama, lalu lidahnya menyapa bibir dan gigi Ino. Begitu terbuka, lidah itu langsung merayapi langit-langit. Terus bertukar liur dan meninggalkan jejak.

Begitu perlahan dan tidak canggung. Hingga berpisah pun masih perlahan.

Ino mencoba mengakses otaknya ketika Gaara mengambil selangkah mundur. Bagaimana dia melakukannya? Pertama dan kedua sangat berbeda seperti langit dan bumi. Masih kurang sempurna tapi mengalami perkembangan pesat dari kemarin. Bagaimana?

"Sekarang pergi."

Tunggu―apa!

"Pergi sendirian!?" Gaara mengangguk. "Ta―tapi kau―!?" sewaktu para Sorcerer itu menyuruh mereka pergi, Ino tahu bahwa ini akan jadi hari terakhirnya di sini. Itulah mengapa dia tidak terkejut saat Gaara membawanya ke mobil ini. Tapi dia pikir Gaara juga akan pergi dengannya karena dia diusir dari sini. Apa yang terjadi!?

"Aku akan pergi dari sini, tapi aku tak bisa pergi denganmu." Dia tak ingin bersama dengan Ino!? "Aku harus mengurus sesuatu dan mempersiapkan diri." Ino tak akan berbohong bahwa matanya mulai berair. "Lalu aku akan menemukanmu. Aku akan selalu menemukanmu. Jangan menangis." Ino menyeka air matanya yang memenuhi pelupuk.

Dia mencoba berpikir logis di antara hantaman emosinya. Sulit memang, seperti mencari sesuatu dalam kegelapan tapi bukan tidak mungkin.

Tidak mungkin dia membawa Gaara pulang ke rumahnya. Dia masih tinggal dengan orang tuanya. Apa yang akan Ayahnya bilang nanti.

Dia juga tak mungkin meninggalkan Gaara di sebuah kamar hotel atau yang lainnya. Itu sangat tidak etis.

Dan dia harus percaya dengan Gaara. Pria ini akan mencarinya, datang padanya.

Ino bisa melakukannya walaupun dengan berat hati.

Dipeluknya Gaara sekali lagi, kemudian dia membuka pintu (kemarin Gaara memberikan kunci mobilnya yang dia ambil. Katanya jatuh saat Gaara mengejarnya―bersama dengan kameranya, dan pria itu mengambilnya dan menyimpannya.)

Butuh beberapa kali percobaan hingga mesinnya benar-benar menyala. Dengan kedua tangan memegang kemudi, Ino hanya perlu memasukan gigi dan menancap gas. Tapi kepalanya menoleh ke arah Gaara dan matanya menatap tubuhnya.

Aneh, baru tadi dihantam emosi, dan sekarang dia malah ingin mengapresiasi tubuh Gaara. Mungkin hormonnya sedang tinggi atau mungkin dia hanya ingin melakukannya.

Sekali saja, sebelum mereka berpisah sementara.

Dia harus melakukannya.

Mesin mobil dibiarkan hidup, rem tangan tak dilepas, transmisi masih netral. Pintu dibuka, dan dari wajah Gaara, dia sedikit terkejut. Kakinya melangkah hingga berada di depan pria itu. "Biarkan aku melakukan ini. Dan jangan menginterupsi." Kening Gaara mengkerut; mungkin dia bingung dengan kata itu. Persetan lah.

Telapak tangannya di letakkan di atas dada Gaara, menikmati sentuhan yang didapatkan. Menjalar ke bawah mengikuti setiap lekukkan ototnya. Salah satu jarinya menyentuh puting, merasakan bagaimana bagian tubuh itu mengeras. Turun lagi ke bawah, menikmati bentuk sempurna otot perut itu.

Begitu dia selesai, dia menyadari kalau dia tersenyum lebar. Ada kepuasan tersendiri yang dirasakannya, membuatnya ingin melompat-lompat kecil.

"Aku selalu ingin melakukan itu," katanya. Rupanya, nada bicaranya ikut mencerminkan perasaan puasnya.

Dia selalu ingin melakukan hal itu sejak pertama kali dia bisa berpikir jernih dalam empat hari ini. Walau keinginan itu disimpan dalam-dalam sih.

Mata Gaara sudah menggelap sedikit.

Ino dengan tenang memasuki mobilnya kembali. Satu lagi tatapan ke arah Gaara, lalu memasukkan gigi. Melepaskan rem tangannya dan melaju menjauh.

Dan sepanjang perjalanan, hanyalah keinginannya untuk bertemu dengan Ayahnya lagi yang membuatnya tak kembali ke hutan itu.


XxX


Rumahnya begitu ramai. Saat dia memarkir mobilnya, setiap orang yang ada di sana melihat ke arahnya. Setiap temannya menatap mobilnya dengan rasa terkejut.

Baru saja dia meletakkan kaki di trotoar jalan, Ayahnya langsung memeluknya. Pelukan yang meremukkan.

"Anakku. Jangan lakukan ini lagi. Jangan pernah."

Ino tak bisa menahan tangisannya. Dia memeluk Ayahnya lebih erat, dan mengangguk di pundaknya. Dugaannya tidak salah, Ayahnya tidak mungkin bisa melanjutkan hidup jika dia kehilangan Ino lagi. "Maaf, Yah."

"Jangan lakukan lagi."

Anggukkannya tidak dihentikan.

Setelah beberapa menit berlalu, Ayahnya melonggarkan pelukan. Hanya melonggarkan tidak melepasnya. "Kau kemana saja? Kami sudah mencarimu kemana-mana tapi tetap tidak menemukanmu. Sakura bilang kau pergi ke hutan terlarang, tapi kami tak menemukan apa-apa di sana. Hanya pepohonan saja."

"Er... aku tersesat di hutan?" jawabnya ragu-ragu.

"Kau bohong," kata Ayahnya singkat, "Tapi tak masalah, karena kau sudah berada di sini sekarang. Yang penting jangan lakukan itu lagi, aku hampir jantungan karena dirimu."

"Oke. Um, Ayah, sepertinya teman-temanku bosan menunggu giliran mereka," kata Ino dengan nada bercanda. Air matanya sudah berhenti keluar dan Ino bersyukur untuk itu.

"Biarkan aku menikmati momen ini sebentar lagi. Sudah lama aku merindukan yang seperti ini."

Ino mengangguk lagi. Memang itu benar, semenjak Ino dewasa sedikit sekali momen ayah-anak terjadi di antara mereka berdua. Bukannya dia tidak ingin melakukannya, hanya saja yang seperti itu benar-benar sulit dilakukan.

Saat Ayahnya melepas pelukan, Sakura adalah orang kedua yang memeluknya. Ya, si Jidat. Tapi Ino tidak memarahinya. Serius, seorang sahabat selalu memaafkan kesalahan sahabatnya. Lagipula karena si jidat lebar ini, Ino bisa bertemu dengan Gaara. Ya, bisa dimaafkan.

"Aku tak percaya kau benar-benar melakukan ini," kata Sakura pelan.

"Kau pikir aku penakut sepertimu?" balasnya enteng.

"Maaf aku menyuruhmu melakukannya. Aku benar-benar tidak mengerti mengapa aku melakukannya."

"Tak masalah," Ino berhenti sebentar untuk menambah efek dramatis. "Tapi kau harus menjadi pembantuku selama seminggu Jidat karena aku berhasil menemukan tempatnya."

Sakura melepas pelukannya tiba-tiba. "Benarkah, Pig?" tanyanya tak percaya.

"Tentu saja, Jidat."

"Kalian sudah selesai?" tanya Shikamaru dengan nada bosan. Pemuda itu menatap mereka lalu menguap lebar. Tipikal keluarga Nara, pemalas semua. Entah bagaimana dia bisa bersahabat dengan pria ini. Ah, benar, Ayah mereka juga bersahabat. Nasib.

"Ya kita harus menjenguk Hinata lagi 'kan?" sambung Naruto. Pria yang warna rambutnya pirang terang itu, alih-alih menatap mereka malah menatap taman bunganya.

Ino menegang seketika. Dia ingat pernah bermimpi tentang ruangan rumah sakit, tapi ingatannya tak terlalu jelas. "Maksud kalian?"

"Hinata jatuh sakit. Kira-kira dimulainya bersamaan dengan kau menghilang." Kali ini yang berbicara adalah Chouji. Dia berbicara di sela memakan makanan ringan yang entah bagaimana tak pernah habis persediaannya.

"Oh..."


XxX


Dua hari kemudian, Ino kedatangan tamu; orang yang paling tidak ingin dia temui.

Di sela pikirannya akan Hinata yang koma, (ya, koma. Hari dimana dia pulang, dia tidak bisa menjenguk temannya itu karena Ayahnya melarangnya. Alasannya simpel; dia harus istirahat. Jadi dia baru menengoknya besok dan mengetahui kalau Hinata koma dengan penyebab yang tak jelas. Dia masih bingung dengan mimpinya soal Hinata yang terbaring di tempat tidur, karena benar-benar terjadi.) dan kabar Gaara, dia benar-benar tidak menyangkanya.

"Kenapa kau kemari?" tanyanya ketus pada pria yang berdiri di depan konter. Pria pucat yang menyandang nama Sai. Pria yang awalnya Ino sukai karena menganggapnya mirip dengan Sasuke. Yang selalu memasang senyum palsu di wajahnya. Yang menjadi satu-satunya pacar Ino selama satu setengah tahun. Dan yang memutuskannya begitu saja tanpa alasan yang jelas.

"Aku hanya ingin melihat keadaanmu. Kudengar kau sempat menghilang selama empat hari," jawabnya santai... ah tidak, dia selalu berbicara seperti itu.

"Kau sudah lihat kan aku baik-baik saja. Mau apa lagi kau? Cepat pergi dari sini!" katanya dengan nada ketus yang tak berkurang. Di sudut mata dia melihat Sakura berdiri menjaga jarak; siap menjadi bala bantuan jika Ino membutuhkan. Ya, hanya jika Ino membutuhkannya karena dia bisa menangani pertarungannya sendiri.

Sai tertawa kecil. "Kau itu belum berubah ya. Ah, aku harusnya menjelaskan semuanya dari awal." Dia tersenyum lagi, bukan senyuman palsu yang sering ditampilkan di muka umum, tapi senyuman yang mencapai matanya.

"Apa maksudmu?" tanya Ino bingung dengan kening mengkerut.

"Ino... kau itu cantik." Dan Ino akan tersenyum lebar kalau saja dia tidak heran dengan perkataan Sai. "Kau pemberani, percaya diri, teman yang baik, pintar. Kau itu luar biasa. Walau kau punya kebiasaan buruk tapi itu tidak masalah."

Jeda sebentar sebelum Sai melanjutkan kembali. "Awal kita pacaran―sejujurnya aku tidak mengerti apa yang aku lakukan waktu itu―aku hanya bermain-main. Tapi semakin lama kau semakin membuatku terkejut. Kau dan sifatmu yang aneh. Dan itu membuatku senang. Membuatku semakin mengenalmu."

Dan dia tersenyum lagi. "Kemudian aku menyadari sesuatu. Setelah setahun lebih berlalu, aku sadar bahwa aku tidak bisa mencintaimu. Aku belum bisa membuka hatiku untuk sesuatu yang seperti itu. Aku sadar bahwa aku menyayangimu sebatas sebagai teman saja, tak lebih dari itu. Dan aku bingung, tidak tahu bagaimana aku bisa memberi tahu dirimu tentang hal ini. Jadi aku memutuskanmu begitu saja."

Ino tak percaya akan hal ini. Sangat sulit untuk dipercayai. Bahkan Sakura pun memikirkan hal yang sama, karena dia menatap dengan terkejut ke arah Sai. "Saat kau marah padaku, aku tak tahu bagaimana cara untuk memperbaiki keadaan. Aku memang bodoh waktu itu, aku ingin hanya menjadi temanmu tapi aku tak tahu bagaimana cara menyampaikannya. Aku harusnya mengatakan sesuatu."

Dua bola mata hitam menatapnya. "Jadi Ino, aku ingin meminta maaf untuk semua yang sudah kulakukan padamu."

Ino hanya bisa memanggut kaku mendengar penuturan panjang Sai. Jadi dia tidak ingin memberikan sesuatu yang palsu pada Ino.

"Kita bisa berteman," kata Ino pada sosok Sai yang sudah berbalik dan berada di depan pintu. Sosok itu berhenti dan Sai membalikkan wajahnya sambil tersenyum, lagi.

"Tentu."


XxX


Hampir seminggu setelah kepulangan Ino, dan tidak ada kabar dari Gaara. Siang itu Ino yang menjaga konter, tengah melamun dengan satu tangan menahan dagu. Kejutan didapatinya saat Sakura tiba-tiba duduk di kursi depan konter dan menatapnya dengan serius.

"Oke, Ino-pig, cepat beri tahu."

Dalam hati Ino menggeleng kepalanya menanggapi sahabatnya yang ternyata butuh waktu lama menyadari sesuatu terjadi pada dirinya.

"Beri tahu apa?" elak Ino.

"Jangan pura-pura tidak tahu, Pig. Setelah kau pulang dari 'petualanganmu', kau sama sekali tidak bersemangat. Dan kau membawa mataku―maksudku, tatapan matamu sama seperti yang kulihat hampir setiap hari di cermin. Jadi itu artinya kau bertemu seseorang. Cepat beri tahu."

Oke, dia seharusnya memberi sedikit pujian untuk temannya. Tentu saja Sakura tahu hal ini dari awal karena dia juga merasakannya. Walau beda kasus.

"Serius Pig, aku sudah bosan melihat wajahmu yang seperti itu. Kau benar-benar terlihat jelek. Dan aku tidak punya saingan untuk menjadi yang tercantik. Itu membosankan."

Ino memutar bola matanya. Sakura juga mendapatkan sifat membualnya yang seperti ini saat dia tumbuh dewasa.

"Baik-baik Jidat, kalau kau memaksa. Aku memang bertemu seseorang. Laki-laki tampan," dia tersenyum lebar saat mengatakan ini. "Dan oh, dia luar biasa. Bukan tampan, hitam, menawan dan mengancam seperti Sasuke, tapi tampan lewat caranya sendiri. Pokoknya dia luar biasa deh. Ah, kalau kau bertemu dengannya mungkin kau akan berpikir hal yang sama―atau tidak." Dia baru ingat bahwa satu-satunya pria yang disukai Sakura hanyalah Sasuke. Selamanya, kasihan temannya ini.

"Jadi dia di mana sekarang?" tanya Sakura.

"Entahlah," jawab Ino jujur. "Aku benar-benar tidak tahu dia berada di mana. Tapi dia janji akan menemuiku nanti, dan aku harus percaya akan hal itu."

"Dan kau bertemu dengannya di..."

"Aku tidak bisa memberitahumu, Sakura," kata Ino dengan nada menyesal. "Maaf itu bukan rahasiaku," dan aku tidak bisa membawamu ke dalam dunia yang seperti ini.

Sakura tampak kecewa. Tapi hanya untuk beberapa saat, lalu dia mengangguk. Seolah dia mengerti dengan perasaan Ino. "Baiklah, terserah kamu saja lah, Pig."

"Bagus Jidat. Sekarang bisa kau bawakan aku jus jeruk dari dalam kulkas. Cepat."

Sakura memutar matanya, "Baik Tuan Putri."


XxX


Satu bulan berlalu dan Ino benar-benar panik.

Untung saja Hinata sudah siuman. Gadis mata lavender itu mengaku tidak tahu apa yang membuatnya sampai kehilangan kesadaran seperti itu. Dia bahkan tidak ingat apa-apa. Jadi hal itu sedikit membuat pikiran Ino tak terbebani.

Tapi tetap saja, Gaara yang masih tak ada kabarnya membuat panik, takut dan sedikit kecewa bersarang di hatinya. Di mana pria itu?

Ino mencoba melakukan yang terbaik untuk mengalihkan perhatiannya. Melakukan pekerjaannya sebagai reporter; menjaga toko bunga miliknya; merawat tanaman dan berbagai hal lain. Tapi tetap saja pada akhirnya, dia tidak bisa terus mengalihkan pikirannya dari lelaki itu.

Mungkin ini yang Sakura rasakan. Sangat hebat dia bisa bertahan untuk waktu yang lama.

Pagi itu dia tengah serius memainkan laptop di meja konter. Tidak ada panggilan untuk melaporkan berita, jadi dia menjaga toko bunganya untuk mengisi waktu luang. Ada orang masuk ke tokonya, tapi Ino menghiraukannya. Biarlah mereka datang dan memesan, baru dia akan melayani. Dia benar-benar suntuk.

"Permisi," suara itu membuat jantungnya berpacu dua kali lebih cepat. Dengan kecepatan yang luar biasa, dia menutup laptopnya; meringis kecil saat dia memberi terlalu banyak kekuatan untuk melakukannya. "Bisa beri tahu aku bunga mana yang harus kuberi pada seorang gadis untuk meminta maaf dan berterima kasih?"

Senyum tipis itu mengalihkannya. Itu dan bagaimana pria ini terlihat sangat tampan dengan kaos merah maroon dan jeans hitam. Dan wow, dia sudah pandai berbahasa... oke ini omong kosong. Ino hanya terlalu bahagia melihatnya.

"Kau bisa memberinya tulip putih dan merah. Kau juga bisa memberinya anyelir putih... anggrek putih. Chrysanthemum merah, daisy putih. Mungkin juga mawar merah, klasik."

"Tentu, aku beli semuanya," kata pria itu.

Ino tak bergerak untuk melayani pelanggannya. Melainkan dia bergerak untuk berdiri berhadapan dengannya. "Kau di sini."

Pria itu mengangguk. "Maaf membuatmu menunggu lama."

"Sangat lama. Dari mana saja dirimu?" tanya Ino. Dia menatap wajah orang yang disayanginya lebih dekat. Rambutnya masih saja tetap berantakan. Tato 'Ai' di kening dan lingkar hitam di mata.

"Mengurus sesuatu."

"Mengurus apa?"

Gaara menggeleng kepalanya sambil tersenyum. "Aku harus menyesuaikan diriku dengan waktu sekarang, belajar banyak hal. Dan butuh waktu yang cukup lama untuk melakukannya. Bahkan sampai sekarang aku masih sedikit canggung."

"Oke, yang penting sekarang kau di sini. Kau tidak akan meninggalkanku lagi seperti itu kan?" kata Ino sambil maju selangkah.

"Tidak akan pernah."

Gaara menangkup wajah Ino, dan menciumnya. Itu sempurna. Lebih baik dari ciuman kedua mereka, sempurna. Sepertinya dia sudah latihan melakukan ini sebelumnya―dan sebaiknya Ino berhenti memikirkannya dan menikmati saja.

Sempurna. Setidaknya sampai Ayahnya membersihkan tenggorokan dengan terbatuk.

Oppss. Dia melepas Gaara dan mundur selangkah.

"Sebahagianya aku melihat anakku gembira lagi, aku tak yakin akan senang melihatnya mencium orang asing."

Dua kali oppss.


END

Epilogue (Prologue for Sequel)


Gaara memandang mansion di depannya dengan tatapan datar. Dia berlari cukup jauh hanya untuk mencapai mansion ini. Bukan berarti itu kesulitan baginya. Tidak sama sekali. Hanya saja, sewaktu dia melarikan diri dari rumah raksasa ini, semuanya terasa mudah untuk mencapai hutan; rasanya seperti dia hanya cukup mengerjap sekali, lalu dia sudah berada di hutan itu.

Mungkin karena pikirannya terhadap Ino. Ya, wanita aneh yang menjadi pasangannya. Salahkan Shukaku untuk hal itu.

Diamlah bocah, kata Shukaku dalam kepalanya.

Terserah kau saja, balasnya.

Dia mundur beberapa langkah untuk mengambil ancang-ancang. Setelah itu dia berlari dan melompat dengan ketinggian yang luar biasa jika mengikuti ukuran manusia biasa. Melewati pagar dan mendarat dengan sempurna di sisi sebelah.

Telinganya selalu siaga untuk mendengar bunyi detak jantung setiap orang yang berada di mansion itu.

Kalau ada yang bertanya kenapa dia kembali ke kediaman Sabaku, jawabannya simpel: karena dia masih seorang Sabaku. Sabaku tidak pernah membuang saudara sedarahnya, tidak pernah. Dalam kasus Gaara, dia melarikan diri dan itu adalah hal yang berbeda.

Dia berjalan menuju salah satu jendela di lantai dua yang masih terbuka, dan sinar menerangi hingga keluar. Sekali lagi mengambil ancang-ancang dan melompat hingga masuk dengan sempurna ke dalam ruangan itu―ruangan santai, dia ingat.

Seorang wanita memekik terkejut; Gaara menghiraukannya. Dari awal pun dia tahu ada seseorang di sini. Saat mata hijaunya memperhatikan wajah perempuan itu (mata hijau bagai itik, rambut pirang diikat dua dan ponis menutupi kening kanan) dan hidungnya menganalisa aroma tubuh―dia mengenalinya. Kakak perempuannya, Temari.

"Si―siapa ka―" kakaknya berhenti sebentar... matanya menyipit memperhatikan Gaara―dan menarik napas terkejut. "GAARA!"

Dan dia maju tanpa rasa takut. Gaara tak menolak saat kakaknya menangkup kedua wajahnya seolah memperhatikan lebih detil wajahnya, lalu memeluknya saat dia sudah yakin dengan dugaannya. "Dari mana saja kau? Kami mencarimu tapi tak menemukanmu di mana-mana."

Gaara meragukan bagian mencarinya. Tapi jika dipikir-pikir mereka mungkin mencarinya, ingat Sabaku tidak pernah membuang Sabaku. Dan kakaknya ini tidak memberikan tanda-tanda takut akan dirinya... tidak seperti dulu.

Mungkin dia menyayangi Gaara. Mungkin.

"Kau berbeda. Apa yang terjadi. Mengapa kau lari waktu itu―" dia menggeleng kepalanya seolah salah memberi pertanyaan. "Ayah sudah meninggal, kau bisa tinggal sekarang. Jangan pergi lagi. Kita bertiga, dan harus tetap bertiga, tidak peduli dengan monster itu." Bayangan Shukaku memutar bola matanya muncul di kepala.

Memang dia tidak akan pergi lagi. Tidak mungkin dia menemui Ino dengan keadaan seperti Ino. Dan dia tidak akan bergantung pada pasangannya itu. Alasannya kembali karena dia ingin menyesuaikan diri dan belajar banyak hal. Jangan terlalu bergantung pada guru jadi-jadian berwujud serigala dalam kepalanya ini, yang menggila saat mencium aroma tubuh Ino. Jangan terlalu bergantung.

Aku dengar itu bocah. Ingat aku membantumu memberi instruksi saat menciumnya. Kalau tidak kau akan memalukan dirimu lagi seperti yang pertama.

Diamlah.


END


Ang ing ang... MC pertama yang komplete. (kerasa rush gimana ya?) Ini kalau istilah baratnya fast build, atau plot cepat, perasaan mereka cepat berkembang karena mereka itu pasangan (Mate). Pergi baca A/B/O untuk bahasa inggris jika ingin mengerti apa maksudku, XD.

Ide sorcerer itu nggak ingat lagi aku dari mana. Awalnya bikin mata hijau terang, truss ganti emas terang karena Merlin, XD.

Jadi si Gaara yang pintar ciuman itu karena waktu ciuman yang kedua, si shukaku bicara di kepalanya. Kasih instruksi macam ini, ya, begitu bocah, sekarang tempel lidah ke blablabla blablabla. Jangan tanya kenapa di yang pertama dia nggak lakuin itu. XD.

Aku tidak bisa terlalu menghina Sai. Maklumilah pair mereka canon atuh, nggak enak dibikin gituan. So, aku mikirnya jadi ke diatas deh, XD. such a gentleman at least. XD.

Yang aku ingat, Temari itu penyayang banget ama sodaranya semua. Walau dia takut ama Gaara pas kecil, tapi akhirnya dia malah sayang ama dia. So mending aku bikin gitu aja di sini, (btw dia msih belum mutusin kerjaan ortu Gaara sebelumnya).

Sekuelnya bakal lama keluar (dan bukan soal GaaIno aja). Masih mau nulis satu MC soal threesome, CX dan itu pair BL tersayang, XD. sorry banget waktu itu ternyata aku sadar chapter 2 salah alamat dengan chapter 3 so aku mutusin untuk nulis ulang aja. Jadi kalau kalian melanggarnya, silahkan baca ulang dari chapter satu. Atau kalian akan menyesal sendiri.

Review yah. Pelis, XD XD. aku nggak tahu mau ngomong apa lagi, so, thank you.

Aku belum bisa memasukan tokoh utama seangkatan yang lain, #sorry, mungkin di sequelnya.

BYEEE! #jangantagihduluyaa.