Chapter one : Mission
Salah satu Hall hotel bintang lima Tokyo nampak padat oleh para wanita bergaun renda serta sarung tangan dan pria yang berdiri gagah dengan balutan Jas dan tuxedo hitam mereka. Malam itu sungguh meriah, beralunan tepuk tangan dan musik instrumental yang lembut sebagai backsound.
Mereka para tamu tengah menghadiri acara pertunangan Yamanaka Ino yang berlangsung secara megah dan berkelas; hanya para terpandang dan keluarga dari petinggi politik-lah yang dapat hadir pada hari itu.
Saat ini, jadwal tengah menunjukan acara santai. Para tamu tengah menyantap hidangan pesanan dan mengobrol dengan tamu-tamu lainnya.
Mereka yang hadir di sana rata-rata adalah kumpulan gadis remaja—teman Ino atau pasangannya—dan orang tua yang sering muncul di media massa.
Begitupula untuk Hyuuga Hinata. Gadis dengan iris Pearl dan surai indigo halus yang di sanggul simpel yang sedang tren di kalangan remaja. Ia terlihat anggun dan mempesona dengan balutan dress selututnya.
Ia adalah gadis yang ramah dan putri sulung dari keluarga Hyuuga. Kehadirannya tentu saja untuk menyaksikan pertunangan sahabat kecilnya—niatnya sih begitu.
Namun, yang kini sedang terjadi sedikit berbeda. Ia bahkan kesulitan untuk fokus sejak baru sampai di hall karena matanya berhasil menangkap sosok pemuda kesukaannya.
Naruto, Uzumaki Naruto, pemuda dengan surai pirang cerah dan kulit tan yang menawan hati. Pemuda itu memiliki senyum yang cerah dan di mata Hinata, terlihat secerah mentari pagi di musim semi. Di sisi lain, status sosialnya memberi nilai plus untuk Naruto. Ayahnya adalah seorang walikota terpandang.
Kini, Hinata pun berusaha untuk menutupi rona merah di pipinya. Ia kemari bersama dengan sepupunya, Hyuuga Neji, namun mereka terpisah di tengah acara karena sepupunya sibuk menyapa kenalannya. 'Uh, apa yang orang lain pikirkan jika melihatku malu seperti ini? aku kan sedang sendirian.'
Matanya menatap jus jeruknya cemas.'H-haruskah aku menyapanya? Tapi nanti aku harus bilang apa pada Naruto-kun? At-atau menunggu saja?'
Puk…
Sebuah tepukan pada bahunya membuat gadis mungil itu berbalik, dan tersenyum hangat, "Otanjoubi ne, Ino-chan."
Gadis bertubuh bak model itu tersenyum gembira, "tentu. Kau harus menyusul ya, Nata-chan." diselipkannya kedipan jahil yang terbalaskan dengan pipi merah Hinata.
Yamanaka Ino, gadis pelajar yang merangkap sebagai model majalah Teen Vogue itu kini nampak benar-benar memikat. Rambut panjangnya di gerai hingga sepunggung dan di tata begitu teliti lalu di percantik dengan hiasan bunga—,
—Ia seperti malaikat yang baru saja turun dari langit.
Dari sudut pandang Hinata, Ino sudah sempurna—cantik dan di dukung oleh tubuhnya yang ideal juga baik hati.
Hinata tersenyum tipis menyadari bahwa ia sendiri iri pada sahabatnya satu itu. Ia memang terlahir menjadi gadis bertubuh pendek dan berisi di beberapa bagian—ia sedikit tak percaya diri.
Ino, bintang pada malam itu pun berlalu, menyisakan Hinata yang kembali melirik sosok pemuda itu dibalik poni ratanya. Jus jeruk ditangannya nyaris saja tumpah ketika tatapan diam-diamnya terbalas.
Pemuda berkulit tan itu tersenyum bersemangat, dan berjalan menghampirinya, "Hei Hinata-chan! Kau sendiri?"
Gadis itu mencoba meletakan gelasnya di salah satu meja bundar tanpa gemetar. Well, sayangnya gagal. "Na-N-Naruto-kun, ti-tidak. Ada N-neji-nii."
Inilah kebiasaan putri sulung Hyuuga Hiashi—Kebiasaan yang menurutnya memalukan ialah harus terbata-bata begitu merasakan gugup.
Sapaan canggung—yang sebenarnya hanya dirasakan oleh gadis itu—membuahkan obrolan-obrolan ringan. Pemuda yang ceria dengan gadis pemalu.
Tanpa mereka berdua sadari, tatapan intimidasi tengah dilemparkan oleh sesosok pemuda di sudut ruangan. Di bawah bayangan, pemuda itu meneguk minumannya tanpa berhenti menatap gadis berbalut gaun lembayung elegan yang memamerkan punggung mulus sang gadis.
"Mulailah tugasmu sekarang," Sosok pemuda bermata Pearl itu menepuk pundak pemuda itu seraya memandangi obyek yang sama.
"Hn."
Pemuda itu perlahan meninggalkan tempatnya, meletakan gelasnya di atas sebuah meja, dan memegangi benda kecil yang tertempel di telinga kirinya seraya berucap, "Now."
Klap...
Lampu ruangan itu serempak berhenti menyinari. Kegelapan itu disusul dengan teriakan-teriakan nyaring, dan protesan para tamu. Yang tanpa mereka sadari, sesosok gadis di antara mereka tengah menghilang.
Stacie Kaniko©
PROUD TO BE PRESENT
THE MISSION
Disclaimer : This Story is mine, all of casts just borrow from Masashi Kishimoto.
SasuHina, slight KakaSaku, SaiSaku
Look at the rating for the warn
No copycat and plagiarize, because its sinning!
P.s : first action-story. So, anata-tachi dapat menilai sendiri dan memberi masukan jika ada yang kurang sesuai
Kelopak mata gadis itu bergetar dan terbuka secara perlahan, menampakan sang iris Pearl yang sayu. Beberapa kali matanya mengerjap kala menyesuaikan cahaya remang ruangan itu. Perlahan ia mencoba untuk bangun dari posisi tidurnya menjadi terduduk. Ia tersadar tengah duduk disebuah ranjang queen size yang nyaman dengan selimut yang melindunginya.
Matanya menyapu seluruh penjuru ruangan yang dapat ia tangkap. Tak satu pun lampu yang menyala, cahaya yang masuk hanya berasal dari jendela besar yang terbuka tirainya, terletak di sebelah kanan ranjang yang ia duduki.
Gadis itu menoleh kala mendapati sosok pria dengan tubuh tegap tengah memunggunginya. Pria itu berdiri di depan jendela besar minimalis setinggi kepalanya, memandangi langit malam dan beberapa pencakar langit yang memancarkan cahaya samar.
Ia memakai kemeja putih yang bagian lengannya dilipat hingga siku serta celana hitam, beberapa rambutnya mencuat keatas dan kebelakang rapi. Hinata terdiam panik. 'Ada di mana aku?'
Pria itu bergerak—Hinata mengawasinya waswas. Ia menyesap minuman di gelasnya hingga tandas sebagain dan berujar pelan, "Istirahatlah."
Gadis itu, Hyuuga Hinata, sedikit terlonjak mendengar suara baritone yang asing. Ia terkejut mengingat dirinya tak banyak membuat suara cukup gaduh hingga di sadari oleh pria asing itu.
Pria itu perlahan berbalik, diletakan gelas kaca itu di sebuah meja kecil yang menampung sebuah botol Bourboun dan sebuah benda besi yang belum ia lihat sepenuhnya dan menatap Hinata. Posisinya membelakangi cahaya membuat wajahnya tertimpa bayangan.
"S-s-sia-pa?" Jari-jari mungil itu meremas selimut tebal itu perlahan. Lehernya mulai basah oleh keringat dingin, "E-eto.. i-ini di-dima-na, ya?"
"Haido hotel." Pria itu berjalan ke arah sofa panjang di dekat jendela dan membuka kotak hitam yang cukup panjang. Gadis itu sampai menutup mulutnya dengan kedua tangan begitu melihat isi kotak besar itu.
Case of gun.
Pearl gadis itu membelalak, dan terkesiap ketika melihat sebuah AW.50 AI—salah satu sniperrifle kelas atas—di tangan pria itu. Jantungnya berdetak tak biasa, sepupunya Neji memiliki beberapa senapan sebagai hadiah dari rekannya yang tinggal di negara timur tengah. Neji memang suka berburu, tapi ia hanya menggunakan senapan angin. Meski begitu rekannya tetap memberi benda berbahaya seperti itu. Namun, model yang pria itu punya berbeda dan ia tak tahu apakah benda itu kuat atau tidak.
Pria itu kembali berbisik, "Tarik selimutmu dan berbaringlah, ini sudah malam." Tak lama, ia terlihat memutar sesuatu. Gadis itu cepat-cepat menuruti perintah sang pria. Tangannya mencengkram erat selimut itu, walau matanya tengah mengamati apa yang pria itu lakukan.
Ia kembali berjalan kearah jendela, tangan kanannya memegang scope gun-nya. Sepertinya ia tengah melepaskan scope-nya tadi sedangkan sang rifle masih tertidur nyaman di case-nya.
Pria itu mendekatkan mata kanannya dengan bibir scope. Seringaian senangnya muncul kala mendapati sesosok pria berbalutkan jubah hitam tengah mengeker senapan kearahnya.
Tangan kirinya bergerak, mengambil benda besi yang ternyata pistol. Browning, produk Belgia itu tengah terpasang peredam. Tak lama ia mengarahkan Browning kearah sniper pirang itu.
Seringaian itu makin lebar ketika ia mundur 3 langkah, dan menghempaskan 3 tembakan cepat. Kaca jendela itu retak, dengan 3 lingkaran kecil yang berderet dengan rapi.
Seringaiannya berubah menjadi kekehan kecil ketika mendapati pria yang jaraknya kurang lebih 50 meter itu mendecih, mendapati kaca-kaca jendela dilantai tertinggi itu pecah. Cepat-cepat ia membereskan gun-nya, dan turun dari atap gedung itu.
Bagaimana bisa timah panas yang bukan berasal dari rifle itu melesat mulus dan sampai pada titik yang pasti?
Tanpa pemuda itu sadari, gadis dibelakangnya tengah nyaris memekik histeris seraya membulatkan mata melihat adegan cepat tadi.
*** Stacie_The Mission ***
Pearl-nya mengerjap perlahan, cahaya mentari telah menyinari sebagian ruangan itu. Perlahan ia terduduk, dan menggaruk tenggkuknya. Seulas senyuman tersungging dibibirnya ketika mengendus aroma pancake.
Cepat-cepat ia turun dari ranjang dan berjalan kearah sumber aroma berasal dari ruang makan. Matanya berbinar melihat tumpukan kue berbentuk bundar itu, mengingat bahwa kemarin ia hanya mengisi perutnya pada siang hari.
"Makan."
Gadis itu terlonjak saking kagetnya, padahal ia sama sekali tidak mendengar suara derap langkah atau sebangsanya. Cepat-cepat ia berbalik, dan mendongak, menatap pria tinggi—yang ternyata terlihat muda—dihadapannya tengah menatap datar. "N-ne?"
Pemuda itu duduk di salah satu kursi dan menyantap waffle-nya perlahan, ekspresinya sama sekali tidak terdeteksi ingin mengulang ucapannya.
Melihat tak ada perubahan pergerakan, pemuda itu mendongak, "Apa yang kau tunggu?"
"E-eh.. P-pancake itu bu-buatku?"
"Hn." Tanpa ingin melanjutkan lagi, pemuda itu meneguk secangkir kopi dihadapannya.
Tak mau berperang terlalu lama dengan asam lambung, gadis itu perlahan duduk.
Suasana hanya diisi oleh bunyi dentingan alat makan, dan kunyahan waffle yang samar. Gadis itu berusaha makan dengan tenang, mengingat bahwa ia tengah sarapan dengan pemuda asing berbahaya.
Hinata hampir tak bisa menelan makanan yang di sajikan jika memikirkan orang yang membuatnya. Namun, ia merasa tatapan pemuda itu terus mengarah padanya tanpa jeda sedikit pun. Itu membuatnya secara paksa makan. 'Siapa yang kira jika pemuda itu jago masak?'
Setelah selesai sarapan, Hinata mengintip pemuda di hadapannya dari balik bulu matanya dan berdehem sesaat. Ia kepalkan kedua tangan dan mengumpulkan segala keberaniannya. "A-ano, ka-mu siapa... ya?"
"…"
"N-namamu?"
"…"
"… K-kenapa aku b-bisa berad-da disini?"
"…"
Hinata menggigit bibirnya cemas. Sepertinya pemuda itu sulit untuk di ajak bicara. Tapi ayolah, masa iya dirinya terima di culik seperti ini?
Gadis itu menunduk makin dalam. Rasanya, tekadnya terlalu ciut untuk merasa marah atau kesal. Kedua jari telunjuknya saling ditautkan, lalu dilepas, lalu diputar-putar, dan kembali disentuh-sentuhkan sesama ujungnya, tanda ia tengah merasa canggung—dan terintimidasi.
"Aku Uchiha Sasuke. Anggap saja penculikan biasa." setelah menjawab, pemuda itu berdiri dan menatap Hinata untuk waktu yang lama—membuat gadis itu meneguk ludah—dan pergi meninggalkan ruang makan.
Tapi kembali ia merasakan ketakutan. 'O-ooh... Kami-sama, benar diculik? Dengan pemuda bersenjata? I-ini nyata? bahkan bagaimana bisa ia menggunakan pistol dan scope untuk menembak dengan tepat?! Pahadal kata Neji-nii peluru pistol tak sebagus rifle untuk menembak dari jarak jauh.'
Otaknya bekerja dengan cepat, ia memikirkan situasi serta tanggapan para keluarganya begitu mengetahui ia menghilang. Apa orang yang nyaris ditembak pemuda asing ini suruhan ayahnya untuk menyelamatkannya? Apa suruhan itu tertembak?
Berbicara tentang keluarga, rasanya nama belakang pemuda asing itu pernah ia dengar. Tapi siapa? Entah mengapa sekeras ia mencoba mengingatnya, hanya ada kebuntuan yang menghadang. Ia mendesah lelah.
Diputuskannya untuk kembali ke kamar. Sesaat ia melirik kearah tas jinjing sedang pemuda itu, diam-diam ia menoleh sekeliling. Dengan was-was dibukanya perlahan tas misterius pemuda itu. Ia tahu ini lancang dan nekat, sayang sekali jari-jarinya telah bekerja lebih dulu—ia terlalu penasaran.
Gadis itu tersentak dan menjerit tertahan. Iris pearl-nya terbelalak melihat benda besi yang dilapisi oleh kain, dilihatnya terdapat Berreta dan Tokalev lengkap dengan isinya. Pedagang senjata?
Tentu saja horror melihat benda berbahaya—sangat berbahaya dari jarak yang sangat dekat. Bahkan, jika ia mau ia dapat meraihnya, ah tidak… mungkin ia akan pingsan setelah menyentuh benda besi itu.
"Sedang apa kau?"
Lagi-lagi gadis itu terlonjak. Cepat-cepat ia berlari ke sudut kamar, dan berjongkok seraya memeluk tubunya erat, "K-kam-mu, apa kau m-mau me-memb-bunuhku—? A-atau k-ke-keluar-rga k-ku?" Dengan lirih pernyataan lolos dari bibir ranum yang bergetar.
Pearl-nya terpejam takut, ia berusaha merapatkan diri pada dinding—hanya semata-mata mencari perlindungan, rasanya dia terhantam rasa shock. Takut, takut, dan takut.
'Kowai.'
Matanya mencoba mengintip dengan penuh rasa antisipasi kala mendengar suara langkah samar sosok pemuda itu, cahaya mentari yang cukup terang membuat gadis itu dapat melihat jelas wajah sang pemuda yang...
Tampan?!
What the... —.
—ia cepat-cepat menggeleng dari fantasi gila yang sempat-sempatnya muncul disaat seperti ini. Hinata menggigit bibir bawahnya kala menatap mata hitam pekat milik sang pemuda, terlihat berbahaya dan melelehkan. 'Mungkin aku gila jika terpikat pada sosok gila ini.'
Dengan irama tak teratur ia meremas ujung gaun selututnya yang menghasilkan kerutan-kerutan, terlalu kalut untuk menyadari dirinya yang gemetaran hebat. 'Dia akan membungkamku? Ya tuhan, aku hanya mengintip sedikit! Selamatkan aku ya tuhan'. Hanya sebuah ilusi sebenarnya, mengingat pemuda itu mendatanginya dengan tangan kosong.
Namun, sang Hyuuga muda ini tetap memiliki 101 dugaan mengancam dari sosok dihadapannya satu ini.
Terutama dari wajahnya yang tampan, itu sangat membahayakan mentalnya; bagaimana bisa orang berwajah malaikat sepertinya malah melakukan tindak kriminal. Ia bahkan bisa saja mencuri hati Hinata bila mereka bertemu di tempat dan situasi berbeda.
'Mungkin aku akan jatuh cinta pandangan pertama—Hyuuga Hinata kendalikan dirimu!' Hinata bahkan sampai membenturkan kepalanya ke dinding agar fantasi gilanya hilang.
Sosok yang mengaku bernama Sasuke itu mengerutkan dahi melihat gadis itu terduduk di lantai dan membenturkan kepalanya terus menerus ke dinding. Ia berjongkok untuk mengimbangi tingginya dan mencoba balas menatap pearl cantik itu.
Untuk sesaat, Onyx-nya berjelajah memandangi wajah yang tengah merengut takut dihadapannya, "baka." Telapak tangannya menahan kepala Hinata yang terus menerus membentur dinding. "Kau ingin ada benjolan di kepalamu?"
Setelah itu Hinata kehilangan kesadarannya karena syok.
*** Stacie_The Mission ***
"Kapan kau bergerak?"
"Santai saja."
"Aku tak perduli, lakukan sekarang."
"Yah, terserah kau saja." Sosok berambut putih itu merenggangkan tubuhnya dan berdiri meninggalkan pria paruh baya itu.
*** Stacie_The Mission ***
Hyuuga Hinata tersadar dari pingsannya dan duduk tegap diranjang, menatap horror punggung kokoh pemuda yang tengah membelakanginya memandangi jendela.
'Apa ini deja vu?'
Kaca jendela itu telah diganti, karena tadi siang pemuda bernama Sasuke itu telah menghancurkannya dengan tendangan super keras miliknya.
Well, hotel berbintang selalu memberikan pelayanan ekstra.
"Tidurlah."
"T-tidak mau!"
Pemuda itu berbalik, dan menatap datar gadis itu.
"W-What's your g-goal?" gadis itu berusaha menunjukan tatapan garangnya, meskipun hal yang ditangkap oleh lawan bicaranya sungguh berbeda.
Kucing yang mengamuk?Pemikiran yang memicu tmbulnya seringai kecil dibibir pemuda itu, "Its a secrets."Tidak, mungkin... kucing yang merajuk?
"H-how dare you! Tell me, n-now," ucapan lirih keluar dari bibir mungilnya.
"I won't."
"You!"
"..."
"Sasuke!" Entah setan apa yang membisikan sampai ia menjerit. Tubuh Hinata gemetar hebat, ia kalut dan takut. Pemuda itu mendesah, dan berjalan mendekat, dan detik itu nyalinya ciut. "W-what'll y-you do?" Gadis itu semakin mundur kala pemuda itu mulai menaiki ranjang.
"Sshh," pemuda itu berbisik pelan dan menatap dalam-dalam pearl yang tengah dilanda kemarahan itu, dahinya sedikit mengernyit begitu mendapati setetes air mata jatuh di pipi chubby sang gadis. Tangannya tergerak untuk menyentuh air mata itu, namun terhenti dan mengalihkan pandangannya.
"Jika k-kau pelahap maut, bunuh a-a-aku saja, jangan keluargak-ku, onegai." Kelopak matanya sengaja ia turunkan, menutupi bola matanya yang terasa panas. Perlahan, ia mencoba untuk menarik nafas dalam-dalam, "ayo bunuh s-saja. Jangan s-sulitkan o-orang tuaku."
"...?"
"K-ka-kalau mau memeras kelua-rga-k-ku, le-l-lebih baik hen-tikan. Ak-aku p-punya ta-tabung-an di bank."
"Baka," Pemuda itu bergeser dan bersandar pada kepala ranjang, menatap sekilas jam yang menampilkan angka 23:01. "tidurlah."
Hinata berjengit dan menjauhi pemuda itu sebisanya. Detak jantungnya berantakan sekarang. Ia sedang berduaan di kamar hotel dengan pemuda asing—yang sialnya tampan—yang mencoba menculiknya, bukankah itu sudah kelewatan?
Gadis itu menoleh sebentar, "K-ka-mu, se-selama ini tidur d-dimana?" Diteguk saliva-nya ketika sekelebat pemikiran negatif muncul dikepalanya. Mengapa setiap detik prasangka buruk terhadap sosoknya selalu bertambah?
"Sofa."
"K-kalau begitu c-cepatlah pindah—t-tapi ber-beritahu dulu rah-hasiamu," sesaat ia bersyukur karena pencahayaan ruangan yang minim itu membuat pipinya yang memerah jadi tersamarkan.
Pemuda itu menoleh, reaksi yang diterimanya ialah sang gadis berwajah merah—yang jelas dapat ia lihat dengan penglihatannya yang tajam—tengah duduk tegak dengan kikuk walau tak lama gadis itu juga menoleh padanya.
Pemuda Uchiha itu terus memperhatikan iris Pearl Hyuuga yang sembab yang juga tengah menatap iris Onyx kebanggaannya. Ia makin mempertajam mata elangnya ketika melihat sebesit rona pada pipi gadis itu, juga bibirnya yang semerah cherry tak tertutup sepenuhnya.
Hinata sendiri terpaku tak bergerak ketika mereka saling bertukar pandang. Keinginan dalam diri memaksanya untuk tak beralih menatap hal lain selain mata hitam yang begitu intens dan dalam yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Ritme jantungnya yang berantakan tak terelakan.
Tentu saja iris Pearl itu takjub menatap wajah rupawan pemuda berbahaya itu, tak lama ia teringat sebuah novel luar berjenis fiksi yang telah meraih bestseller, "apa kau sejenis vampire?"
Suasana baru, dan rasanya terkesan bodoh—menghancurkan suasana?
Meski aneh, tapi ia sering sekali membaca cerita fiksi online ataupun novel yang beredar di pasaran. Ia sulit membayangkan ada manusia yang begitu memikat selain Uzumaki Naruto. Terlebih, pemuda di hadapannya berkulit putih dan tampan. Jadi, pemikiran alam bawah sadarnya tak sengaja terucap.
Oh yeah, pertanyaan bodoh itu menginterupsi pemuda yang tengah menjelajahi wajahnya. Hinata cepat-cepat ia menggigit bibirnya ketika melihat kerutan didahi sang Uchiha dan pipinya merona. 'itu... kenapa keceplosan?'.
"Baka. Itu irasional."
"E-eh, tapi mungkin saja kan? Seperti Cullen'sfamily, mereka para vampire menggunakan pesoleknya untuk memikat korban. Kau juga begitu, kan?" Gadis itu mencoba mengingat-ingat novel karangan Meyer itu.
Sasuke menatapnya heran.
"M-maksudku lu-lupakan vampir! H-hanya, um... mungkin—ya mungkin—kamu, menarik korban... lewat wajahmu itu, kan?!" hinata mengerang lemah dan wajahnya benar-benar merah sekarang.
"Tidurlah." Pemuda itu bangkit, dan berjalan keluar kamar, sedangkan sang Hyuuga yang tengah asik dalam dunia fantasi tak menyadari sosoknya telah menjauhinya.
*** Stacie_The Mission ***
Sosok dengan rambut panjang merah muda sepinggang itu tengah duduk di balkon kamarnya. Disebelahnya tergeletak sebuah shotgun kesayangannya.
Iris Emerald-nya yang terkesan hampa itu tengah memandangi sang satelit bumi yang terlihat kecil itu. Tubuh mungil yang berisi itu hanya berbalutkan jubah tidur, tidak mengacuhkan angin malam yang bersimilir menusuk tulang.
Tanpa pergerakan sedikitpun, wanita itu dapat menyadari hawa orang lain didekatnya. Namun, ia tetap pada posisinya, sama sekali tak perduli dengan pengganggu barunya. "Apa yang kau lakukan?"
Dibelakangnya, sesosok lelaki tinggi bersandar pada kusen pintu, "kau sendiri?"
"Menyendiri. Pergilah."
Lelaki itu mendesah dan berjongkok. Ditatapnya dalam diam punggung wanita itu sebelum melingkarkan kedua tangan kekarnya mengelilingi bahu kecil itu. "Sudah tengah malam, istirahatlah."
Gadis—wanita itu tetap bertahan dengan ekspresi hampanya itu, "Jangan ganggu aku."
"Biar aku yang berjaga, tidurlah." Entah sadar atau tidak, lelaki itu menempelkan batang hidungnya pada leher jenjang wanita itu.
Wanita itu mendesah lelah, "Kau mengganggu, Kakashi. Ambil maskermu dan menjauhlah."
Lawan bicaraya hanya bergumam. Yang jelas, ia tetap bertahan, bahkan mempertemukan batang hidungnya dengan kulit wanita itu—tepat dileher.
"Err… Stay away from me, you're so disgusted." tapi itu hanya sebuah kalimat hampa, dalam dirinya, ia tengah menahan rasa yang baginya sangatlah menjijikan yang bergejolak, menohoknya agar mendesah.
"Hum? I bet you'll like it." lelaki berambut perak itu mulai mengangkat rambut wanita itu yang menghalangi pemandangannya.
"What the heck!" Dengan sigap wanita itu menempelkan sikunya pada perut sang lelaki, bersiap menohoknya, "I give up. Feeling not good, I'm sleepy."
Yup, lelaki itu mendesah berat, dan mengalah. Cepat-cepat ia lepaskan wanita itu dan mundur, membiarkannya menenteng benda besi kesayangannya dan melewati dirinya tanpa acuh.
*** Stacie_The Mission ***
Lagi-lagi Hinata tertidur seperti kerbau, ia mendesah sebal begitu melihat jam digital di nakas samping tempat tidurnya menunjukan pukul 09:28.
Cepat-cepat ia bangkit, dan berjalan perlahan menuju toilet. Langkahnya terhenti begitu melihat sesosok pemuda berambut basah tengah keluar dari pintu yang ia tuju.
Dengan setelan kesukaan pemuda itu—kemeja putih lengan panjang yang bagian lengannya terlipat, dan celana jeans hitam—dan rambutnya yang basah saja membuat Hinata harus sungguh-sungguh menahan pipinya yang merona.
Mungkin berfantasi semalam memberi sedikit perubahan bagi mental gadis itu.
Tanpa basa-basi, pemuda itu melewati gadis yang tengah tersipu itu tak acuh layaknya hanya melihat halusinasi, membuat gadis itu berdecak kesal dan mengembungkan pipi chubby-nya—Kebiasaan kecilnya. Tak lama, gadis itu memasuki toilet.
Seperkian menit, akhirnya gadis itu keluar dengan baju handuknya, helaian rambut Indigo-nya, serta beberapa bagian tubuhnya yang masih basah.
Gadis itu menghampiri pemuda yang tengah menggerak-gerakan pan yang didalamnya terdapat beribu-ribu butir nasi yang tengah bergulat. Sasuke terdiam sesaat ketika mencium aroma shampoo yang menguar.
"E-eto, a-aku tak punya baju," Sejujurnya, sangat memalukan berkata seperti itu, terlebih pada seorang pria. Namun, apa yang bisa ia lakukan? Memakai pakaian yang sama selama 3 hari berturut-turut?
"Pakai kaosku saja."
Dan tanpa memenunggu, gadis itu langsung berjalan cepat kearah kamar. Tak lama, terdengar "a-aku izin m-membu-buka tasmu!"
Sasuke menatap barang sesaat punggung kecil itu dan menghela nafas. Pandangannya risi sekarang.
*** Stacie_The Mission ***
"Shimura Sai desu, yoroshiku ne, senpai." Pemuda itu tersenyum dengan kedua mata yang tertutupi kelopaknya, sedangkan pemuda berambut raven itu tetap menatap datar layar kecil pada interkom kamarnya.
"Divisi?"
"Awalnya pencari informasi, divisi III, namun karena bakatku bisa dibilang excellent aku dipindahkan langsung ke divisi I,"
Pemuda itu terdiam sesaat, diliriknya sekilas pintu kamar sebelum pada akhirnya membukakan pintu, dan memberikan sambutan pasifnya, "Make sure, I can't trust you."
Pemuda albino itu kembali tersenyum, tak lama ia memberikan sebuah file yang diambilnya dari tas dipunggungnya, "Apa aku boleh masuk, senpai?"
Setelah selesai menelisir file dengan seksama, Uchiha itu kembali sosok di hadapannya.
Uchiha itu akhirnya melepas rantai pintu dan mundur untuk memberikan jalan agar pemuda bernama Sai itu dapat masuk, mengingat ia bahkan belum melepas rantai pintu saat berkomunikasi—menginterogasi singkat sosok yang mengklaim sebagai juniornya itu.
"Uchiha senpai, kau sudah dengar rencana akan pindah kemana?" Si albino itu kembali tersenyum seraya menyembunyikan kedua iris onyx miliknya dengan kelopak mata.
Kaki kanan Uchiha itu mendorong pintu agar tertutup, tangan kirinya dengan cepat terangkat, menempelkan bibir Berreta kesayangannya pada pelipis pemuda albino itu, "fake smile is prohibited to me."
Sai melirik benda besi cantik itu yang menempel dipelipisnya, "Wakatta—."
"A-apa yang kau lakukan?!"
Dua pasang onyx itu menatap obyek baru yang menginterupsi cengkrama singkatnya, gadis beriris Pearl yang tengah terbelalak.
"K-kau Sasuke, j-jangan macam-m-macam."
Pemuda itu menurunkan benda kesayangannya, dan menatap gadis itu datar. "Dari mana celana itu?" Dipandanginya Hinata dari atas sampai bawah dengan pergerakan hemat onyx-nya. Rambut kusut yang lembab, dengan kaos putih kebesaran, dan celana pendek yang nyaris tertutup oleh kaos.
'Sialan kau Shimura... bonus, ya.'
Gadis itu terdiam sesaat, diliriknya celana pendek ketat setengah pahanya yang ia kenakan, rona merah menjuluri pipinya, "i-ini aku pakai k-kemarin," ia memberi jeda dengan menarik nafas panjang, " yang lebih penting, apa yang kau lakukan?!"
"Ohayou, pretty girl. Kau terlihat manis—," baru saja pemuda itu ingin mengeluarkan fake smilen-ya lagi, tapi tertahan begitu mendapati tinjuan kencang pada belakang kepalanya.
"BAKA!" Suara kasar pemuda dan lengkingan gadis itu menyatu begitu mengatakan hal yang sama, menghasilkan keduanya saling menatap awkward.
Sempat terpikirkan, mengapa Uchiha Sasuke bersifat kikuk?
*** Stacie_The Mission ***
Sarapan itu berlangsung tak begitu lama, hanya Hinata-lah yang terlihat tegang disana. Sosok yang mengaku sebagai Shimura Sai hanya meneguk secangkir kopinya dengan tenang, sama halnya dengan Sasuke.
"30 menit lagi pesawat berangkat, senpai."
"Sudah diurus?"
"Excellent, sampai barang bawaan tak perlu dicemaskan."
"Tunggu! M-maksud kalian… A-apa?"
Pemuda berambut raven itu berdiri, "siap-siap. 10 menit lagi kita berangkat." Dengan langkah lebarnya ia meninggalkan ruang makan.
"Haa?" Dengan gaya dramatisnya, gadis itu menjatuhkan sendok dari tangannya, cepat-cepat ia bangkit dan mengikuti pemuda itu dengan lontaran protes.
Well, sayang sekali, gadis itu tetap harus mengikuti perintah. Sedangkan Sai menatap punggung Hinata sesaat sebelum mengalihkannya.
*** Stacie_The Mission ***
Duduk manis dikursi belakang Aston Martin one-77, bukankah seharusnya sangat menyenangkan? Namun, perasaan berbeda terus saja menguar dari gadis itu.
Kejadian malang ini berawal dari hadirnya ia di acara pertunangan sahabatnya, lalu ia dibius dan diculik saat listrik padam. Mengetahui bahwa penculik ini ternyata gila dan punya tiga senjata sekaligus. Tujuannya masih rahasia. Ia diawasi 24 jam oleh pemuda gila itu dan yang terakhir,
Membawanya ke Kanazawa.
Tidak ada ekspresi kegembiraan kala melintasi jalanan Kanzawa itu. Well, perjalanannya sekarang sepi karena kini mereka tengah melintasi desa kecil. Ia hanya melipat kedua tangannya, dan menatap tajam bergantian dua orang pemuda dikursi depan secara bergantian.
Pemuda albino itu mengambil geretan, dan cigarette case, lalu membukanya, "a smoke, senpai?" Diambilnya sebatang, menyalakan geretan, dan membakarnya.
"I don't smoke."
Pemuda itu mengangkat bahunya, "I only smoke rarely myself." menghisap rokoknya sesaat sebelum meniupkan asap dalam mulutnya.
"Kau terlihat stress" Uchiha itu melirik singkat junior disebelahnya, jarinya menekan tombol pembuka kaca jendela itu.
"Karena kau malah bawa mobil ini,"
Sai tersenyum bersalah.
Onyx datarnya tak pernah berpaling dari spion mobil itu. Dalam diam, ia memandangi Porsche 918 Spyder silver sejauh 10 meter dibelakang itu. Dihisapnya dalam-dalam lagi rokoknya, seraya mencoba melihat pengemudi mobil itu.
'Terlalu mencolok untuk kendaraan pengint—ah, begitu, ya?'
*** Stacie_The Mission ***
"Uh, penginapan mungil?" Gadis itu bergumam remeh seraya memandang sekelilingnya, sebuah kamar penginapan. Sejujurnya, lega juga memikirkan bahwa ia tak harus terkurung dalam hotel kelas atas. Pergantian suasana dan Hinata butuh itu.
"Masuk dan jangan keluar." Onyx pemuda itu menatap punggung gadis dihadapannya, tentu dengan bisikan intimidasinya.
Gadis itu melihat sebuah ranjang, dan tersenyum. 'Mungkin istirahat sebentar'. Tak lama ia berbalik menatap pemuda tinggi itu, "kalau aku keluar… b-bagaimana?"
Uchiha itu terdengar tak terlalu menanggapi, "sebuah peluru akan tembus kepahamu." Tanpa babibu, ia keluar, dan menutup pintu kamar itu, mengabaikan protesan kesal sang gadis.
Sasuke menghampiri ruang tamu dan langsung duduk dihadapan juniornya, "kenapa harus di sini?"
"Ia bilang lebih baik membawanya ke daerah yang terisolisir."
"Kanazawa bukanlah tempat terisolisir. Kenapa dia mengirimmu?"
"setidaknya ini pedesaan—," ia mengangkat bahu. "—ia terlalu cemas, bukankah dua lebih baik dari satu?"
Onyx dan onyx saling beradu pandang.
"Divisi lain?"
"Beberapa akan datang esok hari bersama beberapa orang dari divisi I."
"Situasi?"
"Baik. Ia bilang lebih baik membawanya menjauh dulu," Pemuda itu terdiam sesaat, "kenapa? Bukankah seharusnya kau terus berkoordinasi langsung dengannya, senpai?"
"Aku menemukan alat penyadap biologis. Alat itu akan lenyap sendirinya setelah 24 jam."
"… Hmp," pemuda dengan rambut klimiks itu menunduk, "khukhukhu…"
"Apa yang kau kekehkan, Shimura?"
Mendengar nada mengancam seniornya, mau tak mau pemuda itu menahannya, "Well, kau tidaklah seperti yang lain, senpai. Tak kusangka, kau lengah." Seringaian bermain dibibir Sai.
Uchiha itu menyeringai, "jangan banyak bicara, bocah."
"Baik, baik. Lagipula, kita harus menyusun rencana. Aku sudah merasakan mereka sejak kita keluar hotel."
"Porsche silver dan chevrolet hitam—mereka melempar kail. Tempat inap mereka berjarak 350 m di Timur hotel." Matanya menyipit, terlihat fokus. Dihampirinya sebotol Bourbon dan menyajikannya.
"Ya, Aku telah lama memfokuskan diri, kelompok itu dipimpin oleh Hatake Kakashi, buronan kelahiran Hokkaido, juga bandar senjata. HK tak pernah membiarkan hidup rekan kerjanya setelah bekerja dalam satu misi."
"Aku tahu,—sumber informan rahasia."
"Kau terlalu introvert, senpai." Pemuda itu menatap bosan lawan bicaranya.
Pemuda itu hanya mengangkat bahu, "Aku masih meragukanmu." Uchiha itu berdiri dan berjalan kearah jendela, diintipnya sedikit keadaan diluar sana.
"Aku tidak akan berkhianat, sumpahku. Apa yang kau takutkan, Uchiha senpai?"
Pemuda berambut biru gelap itu berbalik, dan bersandar pada dinding di sebelah jendela, "Hn, Haruno Sakura, perhaps." Onyx-nya menatap dingin pemuda yang tengah terdiam kaku.
Rahangnya mengeras, tapi cepat-cepat ia mendesah dan menatap onyx milik seniornya serius, "aku melaksanakan misi karenanya. Kau boleh membidik kalau kulanggar sumpahku."
Uchiha itu menyeringai, "dengan senang hati."
*** Stacie_The Mission ***
"Tenten yang memulai—."
"Kau meremehkanku?" Wanita itu tengah mengikat rambut merah mudanya menjadi ponytail, dan merapikan blazer-nya.
Lelaki itu terdiam sesaat, "Tidak, tapi—."
"Berhenti beromong-kosong, Kakashi. Aku bergabung sebagai anggota, bukan peliharaanmu!"
"Pet?"
"Ya! Kau selalu banyak mengatur hidupku! Aku bukan hewan peliharaanmu." Wanita itu mendesis seraya menatap tajam lelaki bermasker itu.
Lelaki itu membalas tatapan tajam itu dengan sesuatu… Yang sulit dijelaskan. Perlahan ia melangkah mendekati wanita dihadapannya, "kau tidak ikut misi ini. Tugasmu hanya mengurusnya setelah ia sampai di markas sementara."
"Sudah kubilang—."
"Ini perintah."
Wanita itu menggertakkan giginya kesal, dengan cepat ia memutar tubuhnya dan berjalan meninggalkan lelaki itu. Sesaat ia berhenti begitu ingin membuka pintu. "Terserah kau lah!"
Brak!
Sebuah bantingan kasar terdengar memekakan telinga. Lelaki itu mendesah, sedangkan seorang lagi diruangan itu tersentak, "kenapa dengan Saku-chan, chief?"
"Tenten, lakukan sesuai strategi tadi."
Gadis itu mengangguk, toh karena gadis itu tak begitu peduli dengan gadis berambut merah muda, ia meninggalkan ruangan itu dan bergegas menjalankan tugasnya.
Lelaki berambut perak itu menatap serat-serat kayu pada pintu itu seksama, walau sebenarnya otaknya tengah mengolah hal lain.
Tak lama ia putuskan untuk pergi menghampiri sosok wanita cantik dikamarnya. Sepertinya Haruno Sakura harus memikirkan cara lain selain mengunci kamarnya secara manual, karena lelaki itu memiliki seluruh kunci kamar penginapan itu.
Lelaki itu melepas maskernya dan menghampiri gadis yang tengah bersandar dikepala ranjang itu.
"Mau apa kau?!"
Lelaki itu terus berjalan dan menaiki ranjang tanpa peduli dengan protesan dan makian yang keluar dari bibir wanita itu.
Dengan sekali tarikan para kedua pergelangan kaki, wanita itu langsung berada pada posisi terbaring, sedangkan lelaki itu tengah mengambil posisi baru.
Kedua lengan kekarnya bagai jerat di sisi kanan, dan kiri tubuh mungil namun berlekuk indah wanita itu.
Wanita itu menggeram, dan menatap langsung mata lelaki diatasnya tajam, "menjauh, Kakashi!"
Tanpa babibu, dalam hitungan detik tipis mungil wanita itu telah bersentuhan dengan bibir lelaki bernama Kakashi itu. Tanpa mengindahkan rontaan wanita dibawahnya, ia terus menekan dan menekan bibirnya.
Beberapa kali ia melumat bibir manis itu dan menggigitnya. Wanita itu sendiri paham niat awal Kakashi hanya untuk berdamai dan menenangkan wanita itu. Tapi inilah keburukan Kakashi.
Lelaki itu bahkan menjadi bersemangat menyerang dirinya, bukan menenangkan, bahkan setelah wanita itu berhenti meronta agar pemuda itu berhenti, hasilnya nihil.
Ia berusaha agar tidak kalah, mencoba menahan erangan dan desah yang meluncur dari bibirnya itu, juga menahan gerak tubuhnya agar pemuda diatasnya tidak melakukan lebih.
Sayang sekali, wanita itu tak bisa memungkiri bahwa tangan-tangan kekar lelaki itu lebih berkuasa sekarang, dan mulai menjelajahinya. Sepertinya, ia harus mengalah, dan pasrah.
Kakashi sudah diluar kendalinya. Kala laki-laki itu melepaskan pangutan bibirnya, dan melakukan hal lebih. Wanita itu hanya bisa pasrah, dan mengeluarkan suara nafas tak beraturan, serta desah kala mendapati perlakuan pemimpinnya itu.
*** Stacie_The Mission ***
"Sa..suke, apa aku sudah boleh keluar?" Gadis itu berjongkok lemas disebelah pintu itu seraya lemas. Jam telah menunjukan 02.58 sedangkan perutnya telah berbunyi.
Pemuda itu berhenti mengelap senapannya dan menjawab santai, "Terserah."
"Tidak ditembak, kan?"
Pemuda albino yang mendengarnya pun tergelak dan berbisik, "bukankah kemarin ia minta eksekusi mati? Mengapa takut ditembak?"
Sedangkan Sasuke hanya mengangkat bahu seraya membalas pertanyaan gadis itu dengan kosakata kesukaannya, "Hn."
*** Stacie_The Mission ***
Kakashi tersenyum puas melihat wanita yang kini tengah berjelajah ke dunia mimpi disampingnya. Dengan kepala yang bersandar dilengannya, sedangkan diatas perutnya terulur lengan mungil yang tengah memeluknya.
Mungkin ia terlalu kejam, membiarkan wanita itu kalah telak—bahkan menyiksanya sampai tak bertenaga dan terlelap begitu cepat—, namun hal inilah yang ia dapatkan setelah melakukan ritualnya.
Perlahan, ia meletakan kepala wanita itu pada lengan kiri atasnya dan melingkarkan lengan panjangnya itu pada bahu wanita cantik itu dan mengecup dahinya.
Tak lama, ia mencoba menutup kedua matanya, dan menyusul wanita itu dalam dunia mimpi.
*** Stacie_The Mission ***
Pemuda bernama Sai itu menyesap filter rokoknya sekali dan menghembuskan asapnya lewat mulut. Tak lama ia menekan rokok yang sudah memendek itu pada asbak diatas meja.
Onyx-nya berkelana memandangi ruang depan itu. Didalam pikirannya tengah membuat strategi excellent yang akan ia sampaikan pada seniornya.
Ting tong…
Ting tong…
Pemuda itu terdiam sesaat sebelum akhirnya membukakan pintu. Tak ada siapapun disana, hanya ada seberkas amplop coklat besar yang entah isinya apa tergeletak tepat didepan pintu.
Otak dengan cepat bekerja. Ini hanya sebuah rumah sewaan, dan pasti yang menginap orang yang berbeda-beda. Thereby, pasti amplop besar itu diperuntukan untuk mereka.
Sebelum ia memungut, dipastikan sekelilingnya dengan pergerakan onyx yang tak mencolok. Mata elangnya menyapu jalanan dihadapannya, dan beberapa rumah penginapan lain.
Cepat-cepat ia memungut dan kembali memasuki penginapan.
Tak ada cap pos. Surat yang dikirimkan langsung. Sesaat ia membeku kala melihat isinya, secarik kertas penuh degan tulisan tangan yang belum ia baca dan sebuah foto cetakan lama dengan ukuran besar seseorang.
Haruno Sakura. Begitu yang tertulis disudut kiri bawah foto.
Sosok wanita yang terpotret dengan senyuman ceria yang terpatri dibibirnya. Kembali ia merasakan dadanya sesak yang aneh.
Cepat-cepat ia membaca surat itu.
The P, near yours
The guns will answer all
Let accomplish our emotion
XXX
Bloody satan
Pemuda itu menunjukan kerutan setelah membaca surat yang ditulis dengan pena merah itu.
Satu hal yang terus terlintas dikepalanya, ini adalah tulisan tangan Sakura. Ya, ia sangatlah hapal.
Tanpa menunggu waktu lama, ia cepat-cepat menyimpan amplop itu dalam saku mantelnya, dan menyiapkan pistol beserta pelurunya.
Sesaat ia menyeringai. Strategy, ya. Dengan cepat ia mengambil ponselnya dalam saku dan melarikan jari-jarinya dengan cepat pada LCD touch screen itu. Tak sampai 30 detik ia kembalikan benda tipis itu kedalam mantelnya.
Ia perlu memastikan, sesuatu yang mengganjal pikiran, dan perhitungannya sejak tadi. Gegabah? Egois? Tidak professional?
Taruhan.
*** Stacie_The Mission ***
Lelaki berambut keperakan itu terbangun begitu merasakan pergerakan pada lengan kirinya. Matanya memandangi sosok yang baru saja merenggangkan tubuhnya.
Wanita itu tetap terdiam, tidak menghempaskan tangan kekar yang memeluknya atau memprotes lelaki yang masih ia peluk dengan lemah itu.
Yang jelas, tak ada cahaya pada matanya. Hanya tatapan hampa sang Emerald yang tengah memadangi langit-langit kamar. Kakashi mendesah, mengapa selalu tatapan itu yang ia tunjukan padanya?
Mengapa pandangan tak berdaya itu yang selalu ia berikan setelah penyatuan tubuh dua insan itu. Mengapa tak sepercik pun ada ekspresi senang atau bahkan senyuman tipis. Mengapa?
Bahkan, lelaki itu lebih memilih wanita itu berteriak marah padanya, setidaknya percikan emosi mengisi kekosongan Emerald-nya. Namun sekarang, ia hanya terdiam tanpa adanya gerangan ingin bergerak ataupun berbicara.
"Maaf menyakitimu lagi," sesaat, ia merasa aneh. Hingga sekarang ucapaan 'maaf' masih belum bisa bersahabat dengannya, "bagaimana perasaanmu?"
"Aku… Tidak tahu." Lagi, hanya gumaman tanpa penekanan dimana-mana.
"Kupikir, kau mau mendengarkanku bicara."
"…"
"Sakit?"
"…"
"Kau marah?"
"…"
Lelaki itu membuang muka pada akhirnya, kesal, dan bingung, serta kecewa dan geram melanda begitu perkataannya tak pernah dibalas dengan baik, dan ini selalu terjadi.
Take it on the dog. Andai yang dihadapi bukanlah Haruno Sakura, ia pasti akan memutilasinya hingga tak terdevinisi bentuknya. Harga dirinya dipermainkan.
"Katakan padaku apa yang kau inginkan?" Dengan cepat ia menarik dagu wanita itu dan memandang lurus Emerald-nya.
"Eto, mungkin…" ia memiringkan sedikit kepalanya tanpa minat, "Kedamaian."
"Kau ingin aku melakukan apa?" Dengan cepat lelaki itu membalas.
"…" Tak lama, setetes air mata menuruni pipinya. Membuat kerutan didahi lelaki itu makin dalam.
"Katakan sesuatu."
"…" Wanita itu hanya menatap hampa bola mata lawannnya.
"Apapun, kau cukup katakan."
"…"
"Aku menunggu,"
"Kakashi,"
"Ya?"
"Bunuh aku dengan shotgun milikku." Tanpa perubahan mimik wajah, ataupun penekanan nada ia berujar.
"Menyedihkan."
Gadis itu tertawa miris, "Begitulah."
"Kau gila—." Ia bahkan harus memijat pelipisnya, "—itu yang kau sebut damai?" Matanya berkilat marah menatap Emerald kosong itu.
Wanita itu mendesah perlahan dan mencoba untuk terduduk. Lelaki itu melepaskan lilitan tangannya dan membiarkan kemauan wanita itu.
Ditatapnya punggung polos wanita yang tengah memeluk erat selimut, menutupi tubuhnya yang terbuka seluruhnya. Beberapa bekas seperti goretan dan cengkraman menghiasi beberapa bagian pada punggung mungilnya yang tak terlindungi rambut panjang acak-acakannya.
Warna merah, dan bagian lengan atasnya yang nyaris biru membentuk cengkraman terlihat jelas. Lagi-lagi ia harus menyalahkan diri begitu mengetahui ia menyiksa wanita itu lagi—meski banyak orang berujar bahwa bekas seperti itu wajar.
Ia bukanlah pria awam yang baru saja merasakan bagaimana rasanya bersetubuh. Istilah one night stand selalu menyertainya—meski telah berubah semenjak kehadiran gadis merah muda itu—, rasa bercinta yang tak memuaskan, masih ada sisi yang tak tersampaikan.
Namun jika bersama gadis ini, segalanya berbeda.
Terkadang sulit dibayangkan, orang yang bersifat keras bahkan nyaris seperti psyco layaknya Kakashi dapat bersifat posesif yang begitu menyeramkan. Bukankah manusia berdarah dingin layaknya dia seharusnya tak mempermasalahkan luka kecil ataupun kata hati?
Ya, hanya Tuhan yang mengetahui.
Kakashi bingung—terlalu bingung, rasanya ia membenci dirinya sendiri, tapi ia juga kesal pada wanita itu. Bahkan, sifat menggelikan itu muncul hanya untuk wanita itu. Entah, ia sendiri tak tahu mengapa itu terjadi. Ia begitu membenci sifat anehnya satu itu.
Dan detik itu ia sadari bahwa itulah kelemahannya, dan suatu saat akan menjadi boomerang, ia harus hati-hati akan yang satu itu.
Suara isak samar mulai terdengar dikamar itu. Lagi, isakan yang membuat dirinya semakin depresi. Cepat-cepat ia duduk, dan memeluknya.
Oh, apa yang akan kalian lakukan jika menjadi Sakura? Apa yang kalian lakukan jika terjangkit virus aneh layaknya Kakashi?
Yang jelas kebisuan wanita itu membuat sosok laki-laki itu frustasi. Ia mencoba menangkupkan kedua tangannya pada pipi wanita itu lalu menatap lurus kearah Emerald itu.
"Sorry, I'm so sorry," suara beratnya mengalun begitu saja, "Tunggu, aku ambilkan pakaianmu."
Tanpa mengacuhkan dirinya yang benar-benar polos, lelaki itu memunguti pakaian wanita itu dan meletakannya pada keranjang pakaian kotor.
Segera ia mengenakan baju handuk, mengambil sebuah gaun tidur, dan pakaian lainnya. Diletakkannya pakaian itu dihadapan sang wanita.
"Pakailah."
"…"
Dengan desahan berat, ia mulai bergerak, dan mengenakan pakaiannya. Wanita itu hanya membisu. Layaknya seorang pemilik dengan bonekanya—mungkin ini mirip dengan kisah cinta sang pengrajin boneka Sasori dengan karya bonekanya.
Lelaki itu mengelus pucuk kepala Sakura. "Kau lapar? Kupesankan makanan, ya?"
Sesaat ekspresi wanita itu berubah, seperti memikirkan sesuatu yang tiba-tiba melintas dipikirannya. Semakin lama, matanya makin tidak fokus, dan berusaha mengingat lebih dalam.
Lelaki dihadapannya mengernyit cemas melihat tatapan tak fokus yang jarang ia lihat, jangan bilang wanita ini jadi depresi karena ulahnya. "Saku—?!"
Ia terdiam kala Emerald wanita itu menatap wajahnya seksama, terus, dan semakin intens. Nyaris ia tersentak begitu dengan perlahan wanita itu mengangkat dan menempelkan telapak tangan hangat pada pipinya.
Ia sedikit memiringkan kepala dan membuka mulutnya, "Kakashi?"
Kakashi menatap iris Emerald itu lurus, "ya?"
"Kenapa… Kau berbuat baik padaku?"
*** Stacie_The Mission ***
"Ano, a-apa kau punya… uang?"
"Hn?"
"Um, t-tiba-tiba... aku h-hanya ingin makan diluar," gumaman pelan meluncur dibibirnya, pipi kirinya yang chubby sampai sekarang masih mencium meja makan kayu itu. "Tak bisakah?"
Pemuda itu mematikan kompor, "Mau makan apa?"
"Pasta." Yah, dalam pikirannya sekarang, hanya sepiring pasta yang terlihat menggiurkan.
"Sai saja yang pesan." Pemuda itu berjalan keruang depan, tapi tak nampak batang hidung pemuda albino itu. Ia terdiam mendapati ruang kosong itu dan cepat kembali ke dapur.
"Uh, ada apa?" Gadis itu memiringkan kepalanya bingung.
"Makan di rumah saja."
"Aku sedang ingin pasta, Sasuke, onegai."
"Kubuatkan saja."
"T-Tapi aku ingin m-makan diluar," Mungkin gadis itu sedikit gila, mengeluarkan puppy eyes andalannya pada seorang pemuda bengis. Bahkan sampai matanya berkaca-kaca pun pemuda cruel tidak akan peduli. "Ayolaaaah,"
Yang jelas sekarang pemuda itu terdiam dengan ekspresi aneh melihat tatapan gadis itu.
*** Stacie_The Mission ***
"Yup, nice shot, Tenten." Gadis beriris coklat susu itu tersenyum manis begitu melihat jarum bius itu menembus tengkuk pemuda bersurai hitam, ia tersenyum cerah dan melanjutkan, "biasakan minum alkohol, ya?"
Gadis itu menjentikan jarinya, tak lama 2 pemuda datang.
"Ikat dan tutup mulutnya. Letakan saja dipekarangan penginapan mereka."
*** Stacie_The Mission ***
Dengan senyuman puas gadis itu meletakan sumpitnya, "benar-benar enak!"
Pemuda itu hanya menatap datar, "sudah selesai?"
"Tunggu, k-kenapa kau tidak makan? Uangnya kurang?" Gadis itu berbisik seraya menatap serius.
"Pesan kalau masih lapar."
"Aku sudah kenyang!" Bibir penuhnya menggerutu, terlihat sedikit berminyak.
Pemuda itu menatap wajah manis itu selama tiga detik sebelum akhirnya ia bangkit, "lap bibirmu." Dan berjalan kearah kasir.
Hinata cepat-cepat mengelapnya dengan tisu dan berusaha menahan agar pipinya bisa berhenti memerah. Bagaimana bisa ia lupa dengan etika ketika menyantap makanan?
Gadis itu memandang sekeliling restoran kecil itu, sesaat Pearl-nya berhenti begitu mendapati sesosok gadis cantik dengan iris coklat dan rambut di cepol dua tengah tersenyum bersemangat padanya.
Otaknya tak cukup cepat bekerja, yang jelas pemuda Uchiha telah menggenggam pergelangan tangannya dan menariknya meninggalkan tempat itu.
*** Stacie_The Mission ***
"Sasuke, ke-kenapa sampai sekarang kau b-belum—," ia menarik nafas, "—membunuhku?" Gadis itu memelintiri ujung kaosnya gugup.
"…"
"K-kenapa? Bahkan kau malah terus menerus membuatkanku makanan. Kenapa berbuat baik seperti itu? Padahal, penculik-penculik di tv tidak seperti itu." Gadis itu mencoba mengingat-ingat serial anime yang ia tonton bulan lalu.
Ia bahkan sempat mengernyit, mengapa bisa-bisanya ia yang notabenenya pemalu dapat dengan mudah merasa dekat dengan lelaki asing itu.
"Keluargamu baru bayar setengah." Nada suaranya benar-benar datar.
"Eh? Mereka sudah… I-itu tidak boleh!"
"Berisik—."
Blar!
Cepat-cepat pemuda itu menginjak rem begitu mobil itu melaju berputar mengerikan. Gadis disampingnya kuat-kuat memegangi safety belt yang melingkari tubuhnya.
'Ban pecah? Strange'. "Tunggu disin—."
DOR DOR
Prang!
"Kyaaa~"
Kaca belakang itu pecah begitu mendapati tembakan shotgun.
'Tadi itu berbahaya sekali', "Shit!" Pemuda itu cepat mengeluarkan Berreta-nya. Namun, sepertinya terlambat.
Sesosok gadis tengah berdiri didepan mobilnya seraya menodong shotgun ke arah wajahnya, dan menyeringai. Ia berteriak lantang, "berikan dia padaku, atau kupecahkan kepalamu."
Situasi menyusahkan, jika ia tembak langsung dada kiri wanita itu, kaca depan akan pecah, kemungkinan terluka gadis disampingnya cukup besar. Lalu bagaimana bisa ia meninggalkan seonggok mayat atau bagaimana cara ia pergi dari tempat itu dengan santai kalau ban depan mobilnya pecah.
Dalam waktu seperkian detik pemuda itu melepaskan lock pintu mobil, "Kau, ikuti dia."
"E-eh… Ti-tidak mau." Air mata gadis itu meleleh. Masa iya dia di culik dari seorang penculik? Drama macam apa ini?
"Kubilang cepat."
"A-a-aaah. T-tapi.. Hiks." tangan gadis itu bergetar memegangi pintu.
"Keluar, kujemput nanti." Bisikan tenang itu mengalun sedikit menenangkan perasaan kacau yang gadis itu rasakan, entah kenapa pemuda itu bisa berbisik dengan tenang sedari tadi.
"K-kau h-harus—hiks, janji." Tangannya yang gemetar hebat itu bergerak, membuka pintu.
"Hn."
"Come on lady, time is money." Wajah cantiknya tersenyum senang dan melirik sedikit pada sosok yang tengah bergetar hebat itu.
"T-t-tunggu—hiks. J-jangan temb-bak. K-kalau kau t-tembak, a-aku—aku, a-akan bunuh diri!" Kalimat sesegukannya diakhiri dengan teriakan histeris.
Gadis itu terdiam dan kembali tersenyum, "Baik, aku tak akan tembak."
Gadis berambut coklat itu menarik pergelangan tangan Hinata dan membawanya pergi dengan jaguar yang berada disamping kiri mobil pemuda itu. Sedangkan sang pemuda tengah mengamati tiap pergerakan mereka berdua hingga mobil itu menjauh.
Sudah, berarti tinggal…
Dzing! Dzing!
Clak! Clak!
Benar, tinggal sniper yang tengah menembaki sebuah titik berbahaya; tangki bensin. Dalam seperkian detik mobil idaman para manusia itu telah diselimuti kobaran oranye terang diiringi bunyi ledakan keras sebagai pembuka.
*** Stacie_The Mission ***
Lelaki berusia 30 tahun itu masih terdiam diruangannya seraya memejamkan mata. Benar, mengapa aku berbuat semua itu padanya?
"Kenapa… Kau berbuat baik padaku?"
"Aku…tidak tahu."
Wanita itu terdiam dan menurunkan tangannya.
"T-tunggu, beri aku waktu untuk berpikir."
"Tapi, aku tidak ingin mendengarnya."
"Kau bertanya kau juga yang harus dengarkan jawabannya."
Sesaat iris wanita itu bertemu dengan milik Kakashi, walau selanjutnya wanita itu memutuskan kontaknya.
Ia menghela nafasnya, "menggelikan."
Tok tok.
"Masuk."
Lelaki itu tersenyum tipis dibalik maskernya begitu melihat sosok wanita cantik dengan iris coklat dihadapannya tengah tersenyum senang, "mission complete."
"Doko?"
"Kuberikan pada Saku-chan, chief."
"Well done, Tenten." Pemuda itu berdiri, dan membuka laci mejanya. Dikeluarkan tas tenteng kecil dan memberikannya pada wanita itu. "Itu fee-mu. Kau boleh berbagi dengan Lee."
Gadis itu terseyum cerah begitu melihat tumpukan uang didalamnya, "Arigatou, chief. Anyway, Lee belum kembali, mungkin sebentar lagi."
*** Stacie_The Mission ***
"Tidak ada kabar dari dua orang itu?" Pemuda itu berkerut stress.
"Ya, tapi bersabarlah. Sasuke memang sedikit sulit dihubungi karena penyadapan kemarin, tapi Sai baru-baru ini saja." Pemuda dengan rambut hitam yang diikat keatas.
"Cepat cari kabar! Ini tak bisa dibiarkan."
"Tenang sedikit, Neji. Malam ini beberapa rekan dari divisi I, dan II akan dikirim."
"Kau ikut?"
"Masih ada yang perlu kuurus."
"Kalau kau tak ikut biar aku saja!"
"Mendokusai. Baik, biar aku yang pergi."
*** TSUZUKU ***
Next Part :
"Berhenti atau kutembak."
"L-lalu?"
"Kau belum pernah menceritakan sejarahmu padaku."
"Berhenti menatapku dengan tatapan menggelikan."
"Kau juga membunuh orang yang ia sayang. Kau jahat, Kakashi."
"Itu tidak adil!"
Vocabulary :
Doko : Dimana
Dare : Siapa
Emerald : Zamrud
Mendokusai : Merepotkan (phrase khas Shikamaru)
A/N :
Chapter ini sudah saya edit karena kekurangan yang ada sebelumnya.
Yosh, saya muncul dengan fanfic actiondan ratem perdana.
Awalnya, saya mau buat fanfic ini bertema hard action, tapi semakin saya baca ulang malah mengarah kemasalah percintaan—lagipula saya masih sulit membuat hard-action
Ah, juga untuk adegan KakaSaku disini, kalau agakk lebay mohon maaf *ojigi* +_+ saya berusaha memasukan sifat Thinking beserta kaku dalam Chara Kakashi
Read and Review : Support yang dibutuhkan untuk proses penulisan sebuah cerita, terlebih untuk saya ^^
Mohon tulis kesan dan pesan anata-tachi setelah membaca chapter ini.
DAN, Saya sedang menunggu hasil tes ujian masuk Universitas. Minta doanya ya agar di beri kelancaran dan kemudahan. Terima kasih
June, 29th 2016
Regard,
Xia Stacie Kaniko
REVIEW? THANK YOU