Fic baru lagi dari sayah~ *jangan ingatkan soal fic-fic yang menunggu diselesaikan itu. Pokoknya jangan* Saya tulis dan publish ini dalam suasana hati butek, tumpang-tindih tumpakblungblerrr campur ngantuk, jadi mungkin agak kurang enak dibaca. Genre bisa berubah, mungkin.

Curhat dikit ah :3 Rumah saya kena abu Gunung Kelud. Dan rasanya itu bbleeeeeh! Ini mah lebih parah dibanding pas Merapi. Jalanan penuh kepulan debu beterbangan, pasir di mana-mana, saya sampe harus pakai sendal di dalem rumah sendiri! Sampe setres bersih-bersih rumah gada habisnya! Ke mana-mana kudu pake masker pula. Mana belum ujan deres lagi D'"X Yang bikin mood saya turun drastis adalah: sekarang, pas cerita ini dipublish, cuaca sedang panas banget nget ngettt. AAAGH (bisa bayangkan perpaduan debu beterbangan dan terik super matahari? Jadilah kepanggang dalem kamar). Butuh mood-booster!/hiks/ Berikan saya beng-b*ng!/lho/sensor merek/

Abaikan keluhan-keluhan minta ditempeleng di atas. Yok, kita sama-sama berdoa buat kawan-kawan kita yang sedang diberi cobaan di sana :) Sekalian doain ujan sangat deres supaya abu-abu ini cepat bersih! Udah ah saya mbacot terus lama-lama ngelanggar gaidlayn! (Tulisannya salah geblek)

Disclaimer: Vocaloid belongs to Yamaha and Crypton Future Media.


karena dia mengingat semuanya.

—ya, mestinya begitu.

...semestinya...

Fragmented

.

(A Vocaloid fanfic by nabmiles. I take no profit from this fanfic.)

.

Kagamine Len berjalan menyusuri trotoar sambil mendengarkan musik dari headset yang menyumpal telinganya. Sore menjelang senja yang teduh. Sinar matahari khas senja hari menyirami dinding-dinding bangunan di sekelilingnya, juga menyiram sisi kiri tubuhnya, membuat suasana berkesan hangat dan sore.

Ia baru pulang dari kerja kelompok di rumah Kaito. Saat ini yang sibuk berseliweran di otaknya adalah bagaimana dia bisa segera sampai di rumah dan merebahkan diri di kasur, atau sofa, pokoknya istirahat. Memikirkan tubuhnya bertabrakan dengan segelar busa itu sudah membuatnya damai—ya ampun, secapek apa, sih, dia? Sembari membetulkan letak beberapa buku yang ia tenteng di tangan kanan, iris azurenya bergerak sepintas mengamati sekeliling—dan membawa sebuah taman dalam jangkauan penglihatan. Taman yang teduh dengan tiga pohon besar menaungi, menyaring berkas-berkas sinar matahari senja mencapai tanah dengan terbatas, mengakibatkan hampir seluruh bagian taman itu tersaput dalam bayangan. Beberapa permainan masa kecil berdiri kesepian. Dia mengerling beberapa ayunan yang bergoyang amat pelan terguncang angin—langsung tergoda untuk mampir. Dia capek, rasanya bermain ayunan… cocok untuk istirahat. Yah, setidaknya begitu.

Taman itu berada tepat di kanan, berpagarkan rumput pagar rendah sebagai pembatas dengan trotoar tempatnya berada. Beberapa langkah di depan terdapat bukaan sebagai akses ke dalam. Kakinya melangkah masuk, langsung menghampiri ayunan-ayunan yang berjejer dalam satu naungan palang dan mengambil tempat di satu yang berwarna oranye. Buku ia letakkan di ayunan sebelah, menyandarkan kepala pada tiang ayunan itu dan mengayunkannya sangat pelan. Toh, tujuannya memang hanya beristirahat.

Duduk diam di sana, sepasang azurenya menangkap pemandangan yang bermunculan di sekitar. Dua anak berlari di trotoar sambil berteriak-teriak, beberapa orang berjalan menyusuri trotoar dalam diam maupun mengoceh bersama teman di sampingnya, helaian daun yang jatuh dari ranting, burung-burung gereja yang hinggap di ujung atap rumah… mendadak pemandangan simpel berhiaskan bias sinar senja itu membawa secuil senyuman pada raut si pemuda. Pemuda—yah, dia sudah menginjak fase remaja. Sedikit aneh jika menyebutnya 'anak'.

Angin sepoi berhembus melambaikan anak-anak rambut Len, membuat poni yang jatuh di atas matanya bergerak lembut mengelus dahi. Suasana sepi dengan hanya bunyi kepakan beberapa burung dan gemeresak daun mengisi kesunyian. Menenangkan sekali. Len memejamkan mata, menikmati hembusan itu sambil melemaskan tubuh. Ia hampir tertidur jika ponselnya tidak mendadak berbunyi.

Yayaya, waktunya pulang. Lagipula sebentar lagi matahari tenggelam.

Mengemasi buku dan berdiri, dia baru saja akan melangkah ketika azurenya menangkap suatu pemandangan di trotoar seberang yang… membuatnya terpaku dan berhenti bergerak.

Seseorang tengah berjalan di sana. Seorang gadis berambut sebahu berwarna pirang madu—sama sepertinya—yang dibandana pita putih. Ujung-ujung helai pirang madu itu bergoyang kecil perpaduan tertiup angin dan gerakan kaki yang terus melangkah. Sebuah sweater putih bercorak daun-daun oranye muda dan training putih bergaris oranye, serta sepatu kets putih-oranye membalut apik tubuh gadis itu.

Memeluk beberapa buku di dada, angin meniup poninya yang berhiaskan beberapa jepitan putih ke samping sehingga membuatnya tampak begitu manis. Gadis itu berjalan sambil menunduk memperhatikan jalan. Tas yang tergantung lurus di bahu kanannya bergerak seiring dengan langkahnya.

Penuh dengan nuansa oranye.

Manis. Menyenangkan.

Len mengeryit. Ada yang berbeda. Ada aura yang memancar dari gadis itu, aura keemasan, membuat Len merasa bahwa barusan ia terpesona. Atau terpukau? Entahlah, intinya sama.

Wah, siapa dia?

###

Len sampai di rumah saat waktu menunjukkan pukul setengah tujuh. Ia membuka pintu pagar sambil bersiul, mengulurkan tangan ketika seekor kucing kecil berbulu coklat-putih menghampirinya. Cacao, kucing peliharaan Lenka. Kucing itu melompat ke uluran tangan Len, bergelung dalam mencari kehangatan. Menggumamkan sebait lirik lagu sembari membelai kepala Cacao, melangkahkan kaki dan membuka pintu rumah. "Aku pulang."

Terdengar suara langkah santai berirama tidak teratur menghampirinya yang tengah melepas sepatu. Lenka, adik Len satu-satunya muncul dari balik gang menuju ruang tengah sembari mengucapkan sapaan selamat datang. Seulas senyum terukir menghiasi wajah ceria itu. "Okaeri, kak."

Anak manis dengan senyum menyenangkan. Helaian pirang yang berwarna sama dengan kakaknya terurai jatuh mencapai pinggul, mempunyai kesan ikal berantakan berkawan poni samping berjepit. Tingginya masih sedada Len, menandakan bahwa umur anak itu belum seberapa. Secara keseluruhan anak itu manis. Dan mirip Len. Lihat saja sepasang mata besar dengan kelereng azure di dalamnya, benar-benar mengidentifikasi sang kakak.

Lenka memakai piyama biru saat menyambut Len. Rambutnya bergoyang mengikuti gerak tubuhnya. Cacao melompat dari tangan Len dan beralih ke pelukan Lenka dalam satu lompatan yang agak mengejutkan Len. "Makan malam sudah siap."

"Oke," jawab Len pendek. Dia menyusuri lorong dan masuk kamar. Ia masih memikirkan si pirang madu tadi—bukan Lenka. Sewaktu ia keluar dari taman dan menengok ke arah gadis pirang itu berjalan dan hilang, gadis itu sudah tidak kelihatan lagi. Apa seseorang bisa hilang secepat itu?

###

Rin memandangi tempatnya berdiri sekarang. Trotoar beratap pergola di sisi jalan yang tidak cukup ramai. Dia menatap sekeliling dengan tatapan biasa, kemudian memfokuskan pandangan pada jalan di depan. Meneruskan langkah, melewati beberapa pejalan kaki lain yang sibuk dengan urusan masing-masing.

Menjalani rutinitasnya yang biasa; menyusuri trotoar di sisi jalan yang sudah sangat sering dilewatinya.

Setiap hari. Selalu seperti ini. Dan tiada yang berubah.

Tiada yang berubah.

Tap. Tap. Tap. Seiring langkah sepatu putihnya menjejak trotoar, sebentuk visi merasuki benaknya begitu saja. Memutar kembali suatu kejadian di masa lampau—

"Rin!"

Sebuah suara—bukan, seruan seseorang mendadak terdengar. Gadis pirang madu itu menoleh ke sekeliling cepat, berusaha keras menemukan cara untuk berpikir jernih dalam situasi yang mencekik erat fokusnya ini. Seluruh otaknya serasa diselubungi kabut—menutupi, menyeret, membuyarkan.

Mengacaukan.

Panik. Dia benar-benar panik. Tadi ada sebuah suara menyerukan namanya. Di mana itu? Di mana?

Dia tidak bisa melihat apapun. Kosong. Buram. Terserak. Fokusnya tercerai-berai.

Panik. Takut. Ganjil. Dia—dia melihatnya. Dia sudah melihatnya. Kenapa? Semua hitam. Serba hitam. Tapi ada sekilas kejadian yang berkelebat.

Bunyi. Keras sekali. Dentuman. Kegelapan.

Apa? Apa? Eksistensinya seakan mengabur.

"Hei, Rin! Kau dengar aku? Bocah!"

Ada suara…

"Aku! Di sini! Di depan!"

Di depan…

"RINTO! KAKAKMU!"

Sesuatu ditarik keluar dalam satu sentakan—kesadaran gadis itu kembali tiba-tiba. Mendengar satu nama familiar, fokusnya kembali menyatu. Mengembalikan Rin dari alam imajinya barusan. "Ah—"—benturan keras—"kakak!"

"Menghindar! Keluarlah!"

"Tapi—"

Rinto sekuat tenaga memutar kemudi ke kiri dengan satu tangan, berusaha tidak melukai sesosok di sampingnya. Tanpa menoleh ke belakang dia kembali berseru pada sang adik yang masih dalam kondisi panik dan—apa? Ada sesuatu yang terjadi dalam pikiran anak itu—Rin—barusan. Sesuatu yang membuat adiknya seakan berada di alam lain untuk beberapa saat. "Keluar! Sekarang!"

Rin memegangi kepalanya yang membentur badan mobil di sampingnya. Sekilas matanya bergerak ke arah samping—mendapati sesosok di kirinya menggenggam erat tangannya. Menatapnya tepat di mata, menyuruhnya mengikuti kata-kata sang kakak yang berjuang keras mengambil alih kemudi dari kursi samping—sebuah manuver yang sangat berbahaya.

"Tidak," sentak Rin. Sepenuhnya mengabaikan apa yang mengaduk fokusnya selama beberapa saat tadi, terseret ketegangan yang terjadi tepat di depan mata. "Aku di sini saja!"

Rinto menggertakkan gigi emosi. Dihujamnya sepasang azure yang mengimitasi miliknya. "Aku bilang keluar!"

"Tidak!" Rin terus memegangi sebuah luka yang terus mengucurkan cairan kental beraroma anyir di atas matanya—hasil dari benturan yang ia alami beberapa saat lalu. Menekan rasa nyeri yang menyayat-nyayat kala cairan merah itu terus mengalir menuruni lekuk wajahnya. "Aku—"

"AKU BILANG KELUAR!"

Ultimatum bernada bentakan itu berhasil membungkam Rin. Ada gertakan yang sangat nyata dari ucapan Rinto. Ia baru akan buka suara mencoba menentang, tapi terlambat.

Di depan sana—

Ngiiiiiiiiiiiiiiiiinggg—

Suara dengingan tajam di telinganya membuat Rin refleks menutup sebelah telinganya dengan tangan. Dengingan itu berlangsung selama beberapa saat, seakan memberi Rin peringatan.

Peringatan untuk tidak mengingat-ingat itu lagi.

Rin terhuyung, meraih satu tiang pergola sebagai tumpuan dan menarik napas dalam. Mencoba mengembalikan ketenangan yang tersisa, dia mencengkeram tiang putih tersebut kuat-kuat. Mengusir sebentuk ingatan itu menjauh. Ada hal lain yang ia pikirkan.

Tidak. Bukan. Ada yang salah, batinnya. Berbeda.

Belum selesai. Ada yang salah. Ada yang terlupakan.

tapi, apa?

TBC


Ngek. Apa ini. Nggak jelas. Well then, ternyata mood itu sangat mempengaruhi tulisan seseorang= ="a Chapter berikutnya nggak janji kapan apdet, saya apdeter chapter lamaer/plak.

Yak, cerita ini memang belum keliatan jelas kan ya, baru chapter 1, cenderung ke prolog nih kayaknya. Jadi, semua emang belum jelas. Seiring chapter bakal keliatan kok, kenapa ada adegan begini-w-

Jadi, gimana pemirsah? Satu review bisa membantu perbaikan mood saya hari ini~/ngek/ So, mind to review? X3