Colors of Family
Naruto © Masashi Kisimoto
Rated : K-T
Genre: Family
Warning : Typo dan Miss-Typo
Hasil Belajar
Menghadiri rapat orang tua di sekolah, hal umum yang sering dilakukan untuk menjalin hubungan antara wali murid dan pihak sekolah. Rapat dengan wali murid biasa dilakukan setidaknya minimal setahun sekali, biasanya agenda utama adalah melaporkan seluruh kegiatan akademik pada para wali murid.
Tahun ajaran baru, Naruto sudah naik ke kelas tiga. Kata Kushina rapat tahunan ini sudah jadi agenda rutin untuk mengundang wali murid ke sekolah. Bukan semata-mata melaporkan kegiatan akademik yang telah terlaksana melainkan juga untuk memberi pengarahan pada orang tua agar secara intensif memperhatikan putra-putri mereka di rumah. Lebih-lebih lagi bagi kelas tiga yang sudah memasuki jenjang akhir, pihak sekolah pasti akan banyak memberi pengarahan lebih.
Sudah bukan rahasia umum Konoha Gakuen tempat Naruto belajar adalah dalam kategori bergengsi. Bukan karena siswa-siswinya kaya dan berasal dari kalangan mampu melainkan karena prestasi sekolah terutama prestasi belajar siswanya. Jika ditinjau dari makna sekolah sebagai suatu sistem, maka Konoha Gakuen memiliki semua komponen dengan baik. Input pendidikan yang bagus, proses pendidikan yang baik disertai output yang berkualitas. Selain itu stakeholder (orang yang berkepentingan dengan sekolah) di Konoha Gakuen memberikan dukungan yang penuh sehingga menciptakan sistem sekolah yang efektif.
Bergengsi tidak lantas memandang status. Tidak boleh ada kasta dalam sekolah apalagi sampai ada pemisahan status. Sekolah itu dinilai efektif bila mampu memaksimalkan semua masukan dan proses untuk mencapai output pendidikan yang diharapkan. Sekolah ini juga memberikan kesempatan bagi seluruh siswanya berkembang sesuai kemampuan mereka. Termasuk pada Naruto yang sering dipandang sebelah mata oleh orang lain.
Penilaian Sasuke terhadap Sekolah ini?
Sangat bagus, dia tidak pernah mendengar siswa sekolah ini sampai bermasalah dengan hukum. Kepala sekolah, guru dan staf sangat responsif dengan masyarakat dan orang tua. Hal itu dialami sendiri oleh Sasuke yang dengan mudah menghubungi Kepala Sekolah Konoha Gakuen untuk menanyakan kebenaran surat yang diterima dari Naruto.
Mengejutkan bagi Kushina dan Sasuke. Keduanya baru tahu jika Naruto bersama klub fotografi sekolah harus terbang ke Singapura menghadiri Festival Fotografi tingkat Asia Pasifik mewakili pelajar Jepang.
Bangga?
Tentu, tapi kenapa Naruto baru memberi tahu tiga hari menjelang keberangkatan? Naruto beralasan terlalu takut mengatakan pada Kushina gara-gara nilainya jelek kemarin. Hal itu terjadi seminggu sebelum masuk sekolah. Untung saja beberapa dokumen sudah lengkap, kalau tidak pasti mereka kerepotan.
Kejutan lainnya datang bagi Sasuke.
Hal itu seperti keajaiban karena untuk pertama kalinya Sasuke akan datang sebagai wali murid Naruto.
Entah apa yang terjadi dengan anak itu tapi yang jelas dia tidak melakukan penolakan saat Kushina meminta Sasuke yang hadir. Mungkin penerimaan sang putra tiri erat kaitannya dengan hubungan keduanya yang semakin membaik. Naruto sudah cukup sering memanggilnya dengan sebutan ayah meski panggilan Teme juga masih melekat jika tidak ada Kushina.
Sasuke menghela nafas saat langkah kakinya berhenti di depan gerbang sekolah tempat Naruto belajar. Dia agak merutuki larangan Naruto datang mengendarai mobil sendiri dengan alasan terlalu mencolok. Letak sekolah Naruto rupanya harus ditempuh dengan berjalan kaki selama sepuluh menit dari pemberhentian bus. Bukan kebiasaan Uchiha menggunakan transportasi umum mengingat fasilitas melimpah yang diterima sejak lahir.
Untuk urusan datang ke pertemuan sekolah, Naruto juga benar-benar membuatnya kerepotan dengan segala macam larangan. Sudah dilarang membawa mobil untuk urusan pakaianpun Naruto sangat cerewet. Sang putra benar-benar memperingatkan dirinya untuk memilih pakaian yang membuatnya terlihat dewasa.
Kata Naruto dia tidak boleh terlihat seperti super model yang masuk lingkungan sekolah. Tapi sepertinya percuma, meski Sasuke sampai rela meminjam baju ayahnya yang seleranya sangat bapak-bapak ayah tiri Naruto masih bisa menarik perhatian. Terbukti pada saat dia memasuki kawasan sekolah beberapa orang memandanginya intens, terutama yang berjenis kelamin perempuan.
Dia sudah biasa dengan hal itu. Daripada memperhatikan hal tidak penting, Sasuke memilih mengamati suasana sekolah. Cukup asri dengan beberapa pohon besar di sisi kanan dan kiri.
Dari segi bangunan tempat Naruto bersekolah seperti halnya bangunan sekolah lain. Tidak ada kesan mewah seperti dalam dorama atau film yang menampilkan kemegahan bangunan dengan fasilitas lengkap. Bagian paling depan adalah lapangan, di sudut kiri ada tempat parkir sepeda dan di sisi kanan tempat parkir mobil atau sepeda motor yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Benar kata Naruto, akan terlalu mencolok. Dia bahkan hanya melihat tiga mobil saja di tempat parkir.
Meski tidak mengetahui dimana aula tempat pertemuan, Sasuke mengikuti saja kemana arah para orang tua berjalan. Dia kemudian bertanya pada salah satu wali murid yang berjalan paling belakang. Seorang pria paruh baya, dengan kumis tipis menggunakan stelan jas abu-abu. Orang itu pendek, memiliki wajah bulat dengan perut sedikit buncit.
Sasuke berpikir, apa dia akan jadi seperti itu bila tua nanti? Tidak! Tidak! Ayahnya saja tetap keren meski sudah tua.
"Maaf, apa anda akan menuju ke aula untuk rapat kelas 3?" Pria itu kemudian menoleh ketika seorang pemuda menghampirinya. Mata hitam orang tua itu memandangi penampilan Sasuke dari atas ke bawah. Seperti ada yang salah dari pemuda yang menggunakan stelan rompi coklat muda dengan hem putih di depannya. Tapi keheranan itu tertutupi dengan baik dengan senyum keterbukaan.
"Ya, saya akan ke aula. Ada apa anak muda?" Tanyanya ramah. Kumis tipisnya sedikit terangkat ketika bibirnya membentuk seutas senyum keramahan.
"Tidak, saya juga akan kesana. Saya baru pertama kesini, sedikit bingung." Ucap Sasuke secara jujur.
"Oh, oh baiklah. Kau bisa ikut aku." Jawaban itu membuat Sasuke lega.
"Terimakasih, oh maaf saya lupa memperkenalkan diri. Uchiha Sasuke, salam kenal."
"Salam kenal juga Uchiha-san. Nama saya Kentaro Higarashi." Pria itu membalas tanpa kecanggungan. Sasuke sangat lega ketika pria itu menanggapi biasa saja mendengar namanya. Biasanya orang akan langsung sungkan jika berinteraksi dengan keluarga Uchiha.
"Salam kenal juga Higarashi-san."
Akhirnya Sasuke dan pria bernama Higarashi berjalan bersama menuju aula. Dia pria ramah dan cukup menyenangkan untuk diajak mengobrol sampai rapat hampir dimulai. Sasuke cukup nyaman mengobrol dengan lelaki yang usianya dua kali lipat dengan dirinya. Mereka mengobrol tentang banyak hal mulai anak mereka masing-masing, profesi pekerjaan sampai tentang kebiasaan para anak mereka. Higarashi agaknya bukan tipe orang yang mempermasalahkan sesuatu yang bukan urusannya. Dia bahkan sempat menasehati Sasuke untuk lebih banyak menyiapkan kesabaran karena kehidupan berumah tangga tidak semudah yang dibayangkan.
Sasuke memandangi jam tangan warna hitam milik Naruto. Waktu hampir menunjukkan pukul 10.00, tapi bangku-bangku di sekelilingnya belum terlalu penuh. Bahkan, bangku disampingnya juga masih kosong. Iris onixnya mulai dia edarkan untuk melihat para wali murid yang masih berdiri di pintu.
Setelah melihat-lihat, bungsu Uchiha itu mulai menemukan hal-hal yang mampu membuatnya berkenyit keheranan terutama dari para ibu-ibu.
Kenapa para ibu-ibu?
Karena mereka heboh sendiri saat bertemu satu sama lain. Banyak hal tidak biasa yang dia temukan dari mereka. Salah satunya adalah ibu-ibu yang datang ke sekolah memakai perhiasan berlebihan. Gelang emas melingkar indah di tangan kanan-kiri, beberapa cincin emas melingkar juga di jari-jarinya yang tampak selalu terawat, kalung mutiara tidak lepas menjadi penghias leher, anting-anting besarnya juga tidak tertinggal jadi pelengkap. Kalau Sasuke lihat usianya mungkin tidak jauh dari Kushina. Di tangannya tampak kunci mobil yang belum dimasukkan.
Astaga!
Dia terlalu heboh dengan penampilannya. Sangat mencolok diantara yang lain. Untuk ukuran usia tidak muda dia termasuk cantik tapi sayang, dia lebai terutama pada riasan wajah yang terlalu tebal.
Ada lagi yang mampu mengusik rasa geli Sasuke. Ibu-ibu yang penampilannya tidak wajar di matanya. Ada yang terlalu cetar dan seksi, terlalu modis, berlebihan dalam berias, terlalu banyak perhiasan, tatanan rambut yang aneh dan bermacam-macam lagi yang tidak pernah dibayangkan Sasuke. Bukan menunjukkan kecantikan di usia tua tapi justru terlihat aneh. Menggelikan lagi ada ibu-ibu yang memakai celana jeans loreng-loreng. Itu maksudnya apa coba?
Tapi tidak semua begitu, karena dia tetap melihat sosok-sosok anggun dari para wanita meski berbalut pakaian sederhana. Beda lagi dengan para bapak-bapak. Meski kebanyakan sudah bisa menyesuaikan busana tapi tetap saja ada saja yang nyentrik. Misalnya memakai kacamata hitam besar yang diletakkan di atas kepala.
Apa manfaatnya kaca mata hitam dalam rapat?
Aneh? Tapi lebih aneh lagi ada pula orang yang memakainya di dalam ruangan ini. Ayolah! Mereka sudah berumur, seharusnya bisa menyesuaikan diri dengan usia dan suasana. Mereka bukan anak muda lagi yang harus menjadi pusat perhatian.
Pantas Naruto memberi peringatan keras pada Sasuke untuk berbusana yang sesuai.
Jika Sasuke melihat dari sudut pandang Naruto, pemuda itu tahu apa maksud sebenarnya dari sang anak. Agar dirinya tidak dijadikan bahan pembicaraan teman-temannya. Dia pernah menjadi murid dan sangat tahu apa pembicaraan mereka saat melihat para orang tua datang.
Komentar A sampai Z tentang apa saja yang melekat pada para orang tua serta tindak tanduknya.
Kebetulan dia tidak pernah dapat komentar aneh-aneh tentang orang tuanya jika datang ke sekolah. Sangat beruntung karena baik Mikoto maupun Fugaku selalu bisa menyesuaikan diri. Pasti tidak mengenakan jika orang tuanya dikomentari di depan anaknya langsung meskipun itu tujuannya bercanda. Sepertinya setelah pulang dia harus meminta maaf pada ke beberapa temannya perihal ejekan yang dulu sering keluar.
Tidak lama setelahnya datang seorang laki-laki menempati bangku kosong di sampingnya. Lelaki itu sudah beruban namun masih tetap gagah dengan stelan pakaian yang elegan untuk pria seusia sekitar awal lima puluhan. Jadilah Sasuke duduk diantara para orang tua.
"Datang mewakili adikmu, nak?" Tanya orang itu setelah duduk dan menyadari bahwa sosok disampingnya masih terlalu muda untuk datang.
Berpikir sejenak lalu Sasuke menggeleng pelan. "Tidak, saya juga wali murid sama seperti anda."
Jujur adalah pilihan terbaik dan dia sudah biasa melihat reaksi terkejut macam itu.
"Ah, saya tahu. Rupanya anda pasti baru menikah. Perkenalkan, saya Watanabe Homura." Ajak pria itu berkenalan.
"Uchiha Sasuke, salam kenal." Jawab Sasuke sopan.
"Uchiha Sasuke? Anda direktur utama di salah satu perusahaan Uchiha, bukan? Wah kebetulan, saya direktur utama di Perusahaan Konoha Group." Dia tampak begitu sumpringah mengetahui ada orang sekelas Uciha disampingnya.
"Tidak ada yang tanya." Jawabnya dalam hati. Sasuke menanggapi secara dingin reaksi antusias orang disampingnya. Sudah bisa ditebak arah pembicaraan dia ujung-ujungnya seputar bisnis. Sasuke tidak terlalu menanggapi orang baru itu karena tahu di sisi lain sampingnya ada Tuan Higarashi. Tidak etis jika berbicara bisnis di ruang publik karena akan terlihat ada kesenjangan pembicaraan antar orang.
"Oh ya, Tuan-tuan. Kemarin anak-anak anda dapat peringkat berapa?" Akhirnya pria beruban itu memilih ganti topik setelah arah pembicaraannya tidak terlalu direspon oleh Sasuke dan orang disebelahnya.
Ayah tiri Naruto itu mengernyitkan dahi. "Orang ini?"
Higarashi yang disebelah Sasuke tersenyum simpul. "Lumayan, masih bisa disyukuri bisa tuntas semua walau tidak berperingkat. Putraku sudah berusaha."
"Wah, turut bersyukur. Beruntung putra saya masih bisa peringkat satu di kelas dan masuk lima besar paralel sekolah. Kalau putra tiri anda bagaimana Uchih-san? Pasti bagus juga." Ujarnya sumpringah.
"Tidak, putra tiriku juga tidak dapat peringkat." Jawabnya setenang mungkin walaupun hatinya sebenarnya jengkel. Sepertinya kalau masalah prestasi sekolah anak jadi topik sensitive bagi orang tua manapun. Termasuk Sasuke yang merasa tiba-tiba jengkel tanpa sebab.
"Tidak apa-apa! Masih bisa diperbaiki, bagaimana lagi setiap anak itu beda-beda. Saya punya anak dua, antara adik dan kakak beda 180 derajad. Anak saya yang bungsu kalau belajar harus pakai disuruh, bagaimana mau pintar. Hasilnya begini peringkat pararelnya turun ke peringkat lima. Beda sekali dengan sang kakak, dia kini lanjut ke luar negeri. Semoga saja dia bisa diterima di perusahaan elit." Watanabe bercerita dengan semangat menggebu-gebu, Sasuke serta Higarashi cuma bisa saling lirik dan tampak enggan menanggapi.
Sasuke akhirnya sekarang tahu bagaimana perasaan Kushina jika berhadapan dengan orang-orang macam ini. Menjengkelkan? Tentu saja. Meski kelihatannya sepele tapi sedikit menyinggung perasaannya, kalimat tadi sungguh tidak enak di dengar. Terkesan sekali ada kesombongan di dalamnya.
"Yah, meskipun sibuk saya tetap berusaha memberi perhatian pada anak-anak. Kalau tidak diawasi sedikit, nilai mereka bisa turun. Setiap ada ulangan pasti hasilnya selalu saya minta. Kalau tidak dikerasi anak-anak itu tidak serius. Mereka tidak akan sukses bila tidak kerja keras, perusahaan bagus tidak akan ada yang mau menerima mereka nantinya." Dia mulai lagi dengan celotehannya. Sasuke mulai jengah dengan perkataanya. Sang raven baru tahu ada juga orang macam ini di dunia.
"Ah, namanya juga anak-anak. Kalau anak saya tidak akan jalan memakai cara seperti itu." Akhirnya Higarashi angkat bicara juga.
"Apalagi anak saya." Sasuke ikut menjawab namun dengan nada lirih.
"Maka dari itu saya tekankan pada anak saya untuk selalu mendapat nilai terbaik dalam setiap ujian." Ditinjau dari gaya bicaranya sepertinya Watanabe termasuk orang tua yang ambisius agar anaknya selalu jadi yang terbaik.
Higarashi tertawa pelan. "Kalau anak saya cukup tahu tipe ayahnya, nilai berapapun akan dia sodorkan sendiri. Dia akan berkata itu hasil murni dan saya sudah belajar. Kalau tidak terima, ayahnya disuruh cari anak lain saja."
"Beda sekali dengan Naruto, kalau tidak ditanya tidak akan diberi tahu." Batin Sasuke untuk membandingkan dengan sikap para anak orang tua disampingya.
Apa ini yang jadi obrolan para orang tua jika mereka bertemu? Pantas Kushina menyuruh dirinya yang datang, terlalu lama membahas topik tentang anak bisa membuat naik pitam.
"Lagipula, menurut saya nilai itu bukan segala-segalanya. Kalau menurut salah satu teori, hasil belajar yang berupa ingatan, pemahaman dan aplikasi, ketiganya masih dalam kategori level rendah. Pada level tertinggi justru berupa kreasi. Kalau tidak salah." Kata Sasuke menambahkan dengan nada agak kesal. Suasana hatinya mendadak buruk dan tertangkap jelas oleh Higarashi.
Pria itu tersenyum simpul, dia akan coba membenahi suasana.
"Tidak dipungkiri, esensi makna dari hasil belajar dipersempit oleh nilai dalam bentuk angka. Terlalu egois jika memberi label orang yang mendapat nilai bagus maka dia diartikan pintar atau pandai dan berhak menyandang kategori sukses. Ha ha ha aku jadi teringat salah satu pengusaha luar negeri yang pernah kubaca di koran. Beliau mempunyai kata-kata mutiara unik, kalau tidak salah, kurang lebih salah satunya bunyinya seperti ini "Orang pintar kebanyakan ide dan akhirnnya tidak ada satu pun yang jadi kenyataan. Orang bodoh cuma punya satu ide dan itu jadi kenyataan." Cara menyemangati diri yang bagus, semua orang masih punya kesempatan yang sama."
Watanabe langsung diam dengan ucapan Higarashi. Walaupun Higarashi hanya pengrajin keramik tapi tampaknya dia punya sudut pandang yang luas juga terhadap suatu hal. Sasuke harus belajar banyak pada pria disampingnya itu.
Setelah hal itu Watanabe tidak banyak bicara lagi kecuali hal-hal penting. Sasuke cukup merasa senang orang itu berhenti membandingkan anaknya dengan anak-anak lain. Dia jadi ingat pesan Kushina tentang banyaknya tipe orang tua yang akan dia temui. Salah satunya yang suka melebih-lebihkan cerita atau bahkan suka menyindir kalau prestasi belajar sang anak lebih tinggi dari anak orang lain.
Ada-ada saja. Tapi, dia tetap akan kesal jika bertemu dengan orang macam itu.
Pengalaman baru yang menyebalkan.
.
.
.
Kantin sekolah.
Salah satu tempat yang dapat dikatakan sebagai surga bagi para siswa yang kelaparan dan butuh suasana lain saat istirahat. Di sekolah manapun kantin menjadi tempat yang selalu ramai di kunjungi siswa saat jam istirahat. Beruntungnya kantin sekolah ini memiliki tempat yang luas sehingga para siswa tidak perlu berdesakan satu sama lain. Deretan kursi alumunium berjejer rapi dari ujung selatan sampai utara dan seluruhnya hampir terisi penuh oleh para siswa.
"Kau tidak pesan apapun Naruto?"
Pemuda yang ditanya mengalihkan perhatiannya dari smartphone kemudian memandang sosok penanya. Dari tadi dia masih dalam posisi yang sama, tidak pesan apapun, irit bicara tapi senyam-senyum sendiri. Bukan senyum kasmaran tapi senyum jahil.
"Kau lupa? Naik bus saja aku pinjam uangmu." Ujarnya sedikit ketus. Dia lalu memandang layar smartphone miliknya kembali. Senyum mengejek itu kembali terpampang dan makin membuat bingung beberapa teman yang duduk di meja kantin bersama Namikaze Naruto.
"Payah! Baru hari pertama masuk kau sudah lupa bawa dompet. Apa yang kau pikirkan? Kisruh negara?" Sindir seorang gadis bersurai merah jambu pada dirinya. Dia lalu menyesap lemon tea dihadapannya.
Sejenak iris safire itu memandang wajah cantik sang gadis. Iris emerald sang gadis balas memandang Naruto. Ada kilatan permusuhan yang dibalut dengan canda. Naruto sedikit berdiri dari posisi duduknya, tanpa di duga tangan kekar itu menarik kepala Sakura untuk mendekat ke wajahnya. Beruntung meja itu cukup lebar sehingga keduanya masih punya pemisah.
Tangan kekar Naruto merangkul pundak Sakura. Keduanya, saling menatap tajam tanpa ada yang mau mengalah.
"Bukan! Aku memikirkan dirimu yang tidak laku-laku Sakura-chan. Payah!" Balasnya dengan ejekan disertai tangan kanan yang makin merangkul erat.
Wow! Adegan panas!
"Terimakasih, ternyata seorang Naruto bisa berpikir? Aku terkejut! Sebaiknya kau cepat-cepat mengeluarkan diriku dari pikiranmu sebelum otakmu konslet karena kecantikan seorang Haruno Sakura." Balas Sakura tidak mau kalah.
Jika dua sejoli itu sibuk perang lidah maka teman-teman mereka sibuk membuat taruhan berapa ronde mereka akan bertahan.
"Kau tahu dimana pintu keluarnya Sakura-chan, sana keluar sendiri!" Jawab Naruto sambil melepas rangkulannya. Paras tampan sang Namikaze menampakkan wajah puas.
Dia lalu kembali duduk dengan tenang, seolah tidak terjadi apapun. Pemuda pirang itu kembali memandangi smartphone miliknya yang kini muncul pesan baru. Dari Sasuke, ayah tirinya yang payah di mata Naruto. Sang anak kemudian membaca lagi pesan yang muncul. Sejak bel istirahat berbunyi dia terus berbalas pesan pada Sasuke.
"Sial, gara-gara kau aku benar-benar merasa tua!"
Kalimat itu membuat Naruto tertawa. Dia lalu membalas. "Hmmm, baru sadar Pak Tua, anakmu sudah tujuh belas tahun. Ingat! Kau sudah punya anak, sebentar lagi penyakit tua menghampiri. Sebaiknya cepat bertaubat sebelum asam urat dan kawan-kawannya datang."
Tidak butuh waktu lama pesan dari Naruto kemudian dibalas.
"Aku belum setua itu."
Sejenak tangan sang Namikaze berhenti ketika dia menyadari ada tatapan curiga dari teman-temannya. "Apa?"
"Kau aneh!" Tutur Shikamaru pada sahabatnya.
Hasil Belajar: Complete
Thank to
syidik NH, Guest, GazzelE VR, lutfisyahrizal, ariyanata, Guest, Elis kuchiki, Maya Lavender, Syalala Lala, Xiaooo,
Tsumehaza-Arief, mudiantoro, nurul52190. Terimakasih
Kurang lebihnya mohon maaf untuk chapter ini. Bila ada kritik dan saran sangat dipersilakan. Saya hanya bisa minta maaf bila ada yang tidak suka.
Terimakasih
Review?