DISCLAIMER: GAKUEN ALICE by Higuchi Tachibana


Obsession

Written by Luna Margaretha


Chapter 10: Sorry…


Mikan menangis di tempat biasanya sering mengeluarkan isi hati. Taman cantik dengan banyaknya pepohonan rindang dan pohon Sakura terletak di sepanjang jalan taman tersebut. Di bangku taman melihat pohon berwarna merah jambu tersebut. Mikan duduk sambil menutup wajahnya penuh air mata.

Dirinya tak bisa membayangkan bahwa Natsume bakalan mengkhianatinya, padahal dirinya sungguh yakin di dalam hatinya, Natsume memang mencintainya walau di luar dia seenaknya mempermainkannya. Entah kenapa, Mikan belum mempercayai ada seorang wanita berciuman dengan pria dicintainya di depan matanya sendiri.

"Mikan…,"

Sahabat Mikan, Hotaru, berjalan menghampirinya. Dia duduk di sampingnya, mengusap pelan punggungnya agar berhenti menangis. Ingin sekali Mikan bersandar di bahu sahabatnya seperti dulu lagi, tapi dirinya tak bisa. Bukan karena perkataan sahabatnya tadi malam, tapi karena dirinya yang serba salah.

"Kau jangan menangisi laki-laki itu. Dia nggak pantas mendapatkan tangisanmu," ungkapnya marah saat mengingat kejadian tadi.

Mikan menggeleng. "Aku nggak menangisi dia, Hotaru," isaknya di dalam dekapan kedua tangannya. "Aku bersalah pada diriku sendiri karena nggak mendengar pembicaraan kita tadi malam. Aku menyesal. Seharusnya aku mendengarkanmu," isaknya lagi mengingat kalimat-kalimat Hotaru yang terlontar tadi malam.

"Jadi, kau mau mempercayai perkataanku tadi malam?" tanya Hotaru menatap Mikan masih menutup wajahnya. "Atau kau menyakini bahwa Hyuuga akan mencintaimu?"

Mikan mengangkat kepalanya. Matanya sembap. Jejak-jejak air mata terlintas di pipi manisnya. Rambutnya tergerai sangat indah di punggungnya, tak menghapus kecantikan alami di luarnya.

"Entahlah, Hotaru." Mikan mengusap air mata menggunakan lengannya. "Aku nggak tahu, apa harus yakin atau nggak. Aku merasa diriku ragu-ragu menghadapi kenyataan suatu saat nggak bakalan terjadi. Aku nggak sanggup apabila itu nggak terjadi, nantinya."

"Jadi, kau mengharapkannya?"

"Aku nggak tahu." Mikan menggeleng. Air mata muncul, lagi. "Aku merasa diriku mempercayai Natsume akan mencintaiku dan menyayangiku sebagaimana obsesinya itu. Begitulah denganku, merasa yakin pada apa yang terjadi."

"Mikan! Kau sungguh tolol!" Hotaru berdecak kesal, bangkit berdiri. "Kau sangat tolol dalam menghadapi ini semua. Kau sudah dikhianati, tapi masih sempat-sempatnya mempercayai keyakinan itu?"

Mikan tak menjawab.

"Imai-san! Sakura-san!" panggil seseorang di ujung jalan sana sambil berlari bersama pria berambut hijau.

Hotaru memalingkan wajahnya melihat siapa yang memanggilnya dan itu ternyata adalah Ruka Nogi.

"Nogi-san, ada apa?"

Ruka terengah-engah karena berlari. Belum menghapal jalanan di Kyoto. Untung dirinya telah dibantu oleh Yuu Tobita di sampingnya juga ikut-ikutan sesak napas akibat berlari.

Setelah dirinya bernapas normal, barulah dia menghadap pasangan kerjanya. "Aku mau bilang, kita telah ditunggu oleh Narumi-san, Jinno-san dan Misaki-san. Kuharap kita masih bisa bekerja sama di bidang ini. Aku benar-benar butuh bantuanmu," pinta Ruka memohon.

Hotaru mendesah. Dirinya tak mau bekerja sama dengan sahabat orang itu. Ini menyangkut masalah harga diri. Tapi dirinya diminta bantuan oleh orang disebut sebagai pasangan kerjanya jika berada di Kyoto. Hotaru sempat ragu-ragu, tapi ucapan Mikan membuatnya terdiam.

"Pergilah, Hotaru. Aku nggak mau kau hancur karena masalah ini. Ini masalahku dan Natsume. Kau, masalahmu adalah pekerjaanmu. Kau nggak mau Jinno-san marah padamu hanya karena ini, 'kan?"

Sedetik kemudian, Hotaru mengangguk. Ruka senang.

Hotaru menatap Mikan. "Aku harus pergi meninggalkanmu karena masalah pekerjaan, Mikan. Kalau sudah selesai, aku pasti menghubungimu."

Mikan tersenyum manis. "Aku nggak apa-apa, Hotaru. Dan terima kasih sudah menasihatiku."

"Sama-sama, Mikan."

Mereka bertiga pergi meninggalkan Mikan. Gadis itu kesepian di kala dirinya seorang diri. Ingin sekali dia berlari memeluk Natsume, menumpahkan isi hatinya dan memohon agar lelaki itu menciumnya dalam-dalam. Penuh cinta. Tapi karena pemandangan tadi, dia tak bisa melakukannya.

Beberapa jam, Mikan masih berada di sini. Dia belum beranjak dari sana padahal matahari sudah berada di atas kepala. Membuatnya jadi sakit kepala. Napasnya jadi sesak dan perutnya berbunyi karena lapar. Mulutnya juga haus. Dia butuh minuman. Tidak disadarinya, tubuhnya jatuh ke samping, menutup mata karena kelelahan.

.


.

"Mikan! Mikan, bangun!"

Suara bariton yang khas dan serak terdengar di telinganya membuatnya membuka mata walau dirinya masih sangat lelah, lemas, dan lapar. Tubuhnya tak bisa digerakkan, tapi entah kenapa, kepala berada di pangkuan lelaki dicintainya. Natsume!

"Akhirnya kau bangun juga!" sahutnya gembira. "Aku yakin, kau belum makan sejak pagi tadi karena ada kejadian tadi. Aku membawakanmu makanan. Kau bisa memakannya sampai kita kembali bekerja sebentar sore."

Entah dapat tenaga dari mana, Mikan mengangkat kepalanya dan menjauh dari Natsume. Lelaki itu kaget dan kecewa karena melihat perlakukan gadis itu kepadanya.

"Kenapa kau ada di sini?"

"Aku ingin kau memaafkanku."

"Sudah cukupkah kau melakukan semua ini padaku?"

"Aku minta maaf makanya aku datang ke sini setelah diberitahu Tobita-san untuk membawakanmu makanan. Aku tahu kau belum makan," sahut Natsume tak mau kalah.

"Aku nggak mau makan." Mikan memalingkan muka, menahan isak tangis bakalan terjadi.

Tak mau Mikan meninggalkan dirinya untuk kedua kali. Natsume meraih pinggang Mikan dan membawanya ke pangkuannya. Mikan sempat berontak, tapi mulutnya jadi terkunci karena bibirnya mendapati bibir Natsume menciumnya.

Ciuman itu terlepas. Jari Natsume menyentuh bibir Mikan, mengusapnya lembut. "Aku tahu kau menyakini aku bahwa aku mencintaimu."

"Sejak kapan kau…,"

Natsume mengecup bibir Mikan agar tak terlontar perkataan itu. "Aku bisa merasakannya lewat dirimu sangat yakin sekali. Aku menerima pernyataan cintamu kepadaku. Aku betul-betul memahaminya dan memintamu, apa kau memaafkan diriku ini yang khilaf?"

Mikan membuang muka, tak mau menatap Natsume.

"Aku tahu aku salah. Tapi, apa kau nggak merasakan kalau aku juga mencintaimu pada pandangan pertama?" Mikan menatap Natsume. Lelaki itu tersenyum. "Aku tahu, kau bakalan kaget. Ya! Aku mencintaimu, Mikan. Mungkin aku belum merasakannya waktu itu. Sejak kau menyatakan cintamu, aku sudah mengerti. Aku nggak mau kehilangan dirimu. Kaulah obsesiku."

"Natsume…,"

"Apa kau mau memaafkanku, Sayang?" pinta Natsume memohon.

Mikan mengangguk dan berurai air mata. Dia memeluk leher Natsume, membenamkanya semuanya di bahu kekar itu.

Natsume lega. Dia betul-betul mencintai Mikan. Beda sekali waktu bersama Luna yang dulu polos—sama seperti Mikan—entah kenapa berubah. Apa karena seks?

Dia belum mampu melakukan itu pada Mikan, tapi dirinya ingin melakukannya sekarang juga sebelum sahabatnya bakalan mengutilnya dan membuangnya jauh-jauh dari kehidupan Mikan.

Natsume mendorong tubuh Mikan, menatapnya intens. "Apa kau mau bersamaku, Mikan? Merasakan apa yang dibutuhkan setiap manusia?"

Mikan belum menjawab karena dipotong oleh lelaki dicintainya.

"Mungkin kau bakalan menyesalinya setelah melakukannya. Tapi, aku mau melakukannya bersamamu. Aku ingin merasakan dirimu di dalam diriku. Apakah kau mau melakukannya bersama diriku?"

Mikan mengangguk, tersenyum. Memeluk tubuh Natsume lagi. "Tentu saja aku mau, Natsume! Sejak kita melakukannya di bawah tangga darurat, aku terus memimpikan itu. Aku merasa aku berada di atas langit ketujuh. Baru pertama kali aku merasakan ini. Mungkin karena kaulah cinta pertamaku."

Lelaki bermata merah menyala tersebut tersenyum. Dirinya lega. Semoga saja dirinya tak membuang gadis dipeluknya ini karena pekerjaan. Dirinya mau berada bersama Mikan. Selamanya. Tidak ada satu pun yang menghalanginya. Itu saja.

"Kalau begitu, mari kita pulang ke hotel," ajak Natsume. Mikan pun mengangguk.

Mereka bersama-sama pulang meninggalkan taman terindah di pusat kota Kyoto. Mereka bergandengan tangan sambil tersenyum.

.


.

Sementara Luna, berada di suatu tempat tak dikenalnya. Terhempas jauh di sana dan akhirnya bertemu serigala berhidung belang. Gadis itu terdesak akibat kurungan dari pria di depannya, pria bermata ungu dan perawakannya yang tua—tapi, masih terlihat tampan.

"Kau sendirian, Nona?"

"Mi-minggir kau! Aku mau lewat!" teriak Luna, gagap.

"Ya ampun, kau terlalu cerewet. Aku nggak bakalan membiarkanmu lewat karena aku mau menikmati tubuhmu." Tangan lelaki tersebut terjulur dan menyentuh setiap pakaian Luna yang ketat dan menampilkan dada besar. "Kau benar-benar seksi."

"Ti-tidaaakk!" Luna menangis.

Dia tak menyadari bahwa dirinya berada dalam bahaya. Tangan lelaki itu telah merobek pakaian Luna hingga berserakan di tanah basah. Mencium dadanya. Mengisap puting payudaranya. Menjilat leher dan perutnya. Menggerayangi bagian bawahnya dan mempermainkan pusat sensitifnya.

Luna mengerang luar biasa. Belum pernah dirasakannya berada di ambang batas. Tanpa dicium oleh lelaki di bawahnya—tengah mengisap pusatnya—Luna meminta lebih.

Tak bisa dibayangkan, lelaki itu pun bercinta dengannya—atau disebut perkosaan. Tapi bagi Luna, itu sebuah anugerah. Tidak dimiliki oleh pria mana pun. Luna keluar penuh basah. Lelaki itu juga sama. Dia berikan benihnya ke dalam rahim Luna, tanpa disadari gadis itu.

Pemandangan itu tidak membuat Luna gentar. Dia masih membutuhkan milik lelaki itu untuk masuk ke dalam tubuhnya, menghujaninya banyaknya cairan. Lelaki itu membawanya ke sebuah apartemen kecil, terus bercinta di sana. Luna, akhirnya terlena pada apa yang dilakukannya.

TBC