Chapter 2 : Finally

Fandom : ROTG x FROZEN

Pairing : Jack Frost x Elsen Arendelle (Elsa's genderbent)

Disclaimer : ROTG (c) DreamWorks. FROZEN (c) Disney.

Warning : AU, BL, Genderbent!FROZEN Characters, CROSS-OVER. Don't like, don't read!

A/N : A FANFIC FOR GENDERBENT!ELSA CHALLENGE.

Enjoy!

.

.

.

Elsen suka sekali membaca—seperti dia bisa menikah dengan semua novel dan literatur koleksinya di kamar warna biru-putihnya.

Ia dulu ingin sekali bisa pergi ke manapun dengan membawa serta satu rak penuh novel dan cerita anak kala ia masih berumur tujuh tahun untuk pergi ke DisneyLand Paris dan kemudian menjadikan buku cerita anak favoritnya—Peter Pan—sebagai senjata melawan Kapten Hook. Hanya saja itu akan sangat merepotkan, jadi sang Ibu tidak membolehkannya, membuatnya sepanjang perjalanan dari Oslo sampai Paris menggunakan pesawat cemberut sampai-sampai Alan menyebutnya 'Tuan Cemberut'.

Elsen selalu mencintai membaca melebihi apapun.

Pemuda itupun mencintai musim dingin dan salju. Selalu ia berangan-angan ingin terus meliputi dunia dengan musim dingin. Salju-salju berguguran dalam berbagai bentuk yang indah. Angin dingin yang membuatmu ingin selalu berada dalam balutan jaket hangat dan terus bermain di luar. Salju menumpuk dibuat berbagai macam bentuk lucu. Selalu ada coklat hangat, susu putih hangat dan camilan kue kering yang selalu keluar dari oven.

Elsen mencintai salju dan musim dingin melebihi apapun.

Namun 'apapun' akan ia gantikan dengan 'segalanya' bila ia bisa mendapat satu hal yang menjadi impiannya sejak dulu; kebebasan.

Pemuda berusia duapuluh satu tahun itu suka bebas. Tidak terikat, tidak terkekang. Tidak terkurung.

Tak terikat oleh segala peraturan menyebalkan sebagai seorang penerus keluarga (tidak boleh bicara saat makan. Tidak boleh berisik saat makan. Tidak boleh menyela ketika orang dewasa berbicara. Tidak boleh mendapat nilai di bawah 100 dalam setiap mata pelajaran. Apa yang bisa kau harapkan dari keluarga Arendelle?).

Tak terkekang oleh orang-orang yang menghalangi impianmu—menghamburkan kerja kerasmu untuk mendapat apa yang mereka inginkan. Elsen selalu ingin jadi pemain ice-skating, Ayahnya ingin ia menjadi penerus perusahaan. Bisa apa Elsen? Menentang Sang Ayah dan Sang Ibu? Kau gila?

Tak terkurung dalam bangunan penjara berkedok rumah. Elsen dilarang keluar kemanapun sendirian kecuali amat sangat penting atau urusan sekolah (dan Ayahnya akan menelepon gurunya untuk tahu apa saja kegiatannya)—dan itu pun harus mengajak si Kepala Pelayan, Weselton kalau tidak amat sangat terpaksa—supaya, yah, kau tahu, lah. Ayah dan Ibunya benar-benar khawatir tentang kejadian sebelas tahun yang lalu. Apa boleh buat.

Elsen mencintai kebebasan, amat sangat cinta.

Dan pemandangan di depannya membuatnya bebas—sebebas terbang ke angkasa. Bedanya kalau kau terbang di angkasa, kau hanya bisa menemukan warna biru dan putih serta beberapa burung terbang dan pesawat—dan berdoa supaya kau tidak menabraknya. Kalau dari sini, di sebuah sudut bukit yang letaknya tepat menghadap ke sebuah panorama indah—Aker Brygge dan panorama kota Vika secara berdampingan; memperlihatkan langit didominasi warna hitam dan biru pekat, disertai bintik-bintik bercahaya membentuk berbagai macam rasi bintang, lampu warna-warni yang gemerlapan berasal dari bangunan-bangunan dan rumah-rumah penduduk memancar di permukaan air laut di pelabuhan, kapal kecil dan beberapa feri yang lalu lalang, dan Oslo City Hall yang berdiri kokoh dengan bata merah dan kedua menara kembarnya.

Sudah pukul delapan malam, dan Elsen masih berada di situ, di samping seorang Jack Frost yang juga memandangi pemandangan di depannya dengan senyum tenang di wajahnya yang tampan. Motor Ninja Jack diparkirkan tiga meter dari tempat mereka duduk. Mereka duduk berdampingan, dengan tangan yang saling menggenggam. Wajah Elsen selalu memerah bila ia melihat tangan mereka yang bertaut menjadi satu.

"Seperti dirimu," Jack membuka suara, memecah keheningan, "ini seperti dirimu."

"Apa maksudmu?"

"Tenang, dingin, gelap, namun indah." Jack menengok dan menatap Elsen yang kembali memerah dengan wajah kikuk.

"Dan kupikir kau tidak akan menggoda lelaki, huh? Are you gay?"

"Same question for you; are you gay?"

"Hm… maybe?" Elsen terlihat berpikir sejenak.

"The hell?" Jack terkekeh. "Wait, really?"

"Well, cinta pertamaku lelaki, dan aku agak takut dengan perempuan sejak dulu—dan aku lumayan suka melihat pria dengan kemeja berlengan panjang dan terkesan keren. Bagaimana pendapatmu?"

"So gay."

"Shut up. And you?"

"Aku suka bergaul dengan siapa saja dan di mana saja. Aku suka wanita—dan kau sukses menjadikanku gay. Bagaiamana menurutmu?"

"Bi."

"C'mon, Dude~ Ah, tapi bisa juga, sih." Jack menggaruk dagunya, "Orangtuamu tahu kalau kau gay?"

Elsen mengangguk, "Pertama—setelah adikku dan cinta pertamaku, mungkin? Mereka marah habis-habisan dan menyuruhku untuk tidak pernah mengungkit hal ini dan tidak terlalu bersosialisasi dan melarangku bertemu dengan cinta pertamaku." Jelasnya dengan menatap nanar pada langit malam. Walau nanar, sudut bibirnya terangkat—menunjukkan senyum sedih.

"Pantas kau jadi seperti ini." Tangan Jack menyentuh pipi Else pelan.

Elsen ingin menangis jadinya. Ia tak pernah mendapat sentuhan selembut ini—dari Ibunya sendiripun jarang, dan pemuda yang baru ia kenal ini, Jack Frost, memberinya sentuhan hangat. Amat sangat hangat, yang mampu membuat semua es dalam dirinya mencair dan mengalir ke laut. Ia menutup matanya.

"Ayo pulang. Akan kuantar ke rumahmu."

Dan Elsen mengangguk. Mereka beranjak dari posisi duduk mereka dan kemudian segera naik ke atas sepeda motor Jack. Pemuda berambut putih salju itu kemudian menyalakan dan melajukan motornya—secara perlahan.

Elsen yang berada di belakang memeluk pinggang Jack. Merasakan hangat punggung anak itu. Ia kembali menutup matanya.

Rasanya nyaman.

"Terima kasih, Jack."

.

.

.

Elsen tersenyum. Kepalanya dielus dan diberi sebuah kecupan singkat di dahinya oleh Jack. Ia merasa seperti perempuan—tapi peduli setan. Ia senang mendapat perlakuan seperti itu dari Jack, kok.

Langkahnya ia bawa menuju pintu rumahnya yang besar dan putih, membukanya dan suara yang tak asing terdengar, "Tumben pulang malam?"

Itu Sang Ayah.

Senyuman sang Pria Tampan hilang, digantikan ekspresi datar bagai triplek.

"Aku pulang, dan maaf. Banyak yang terjadi. Dan aku sudah meminta maaf pada Pak Weselton kalau Papa mau tahu."

"Hm…" jawaban singkat—seperti biasa. Ia kembali membaca laporan sahamnya di ruang tengah sambil menyesap teh malam buatan Weselton.

Elsen beranjak, "Kalau begitu aku permisi. Selamat malam, Papa."

Tak ada jawaban. Ia melangkah lebar-lebar menaiki anak tangga yang kemudian menuju kamarnya.

.

.

.

"Jadi, dia pacarmu?" suara lain yang sangat familier—milik Alan, adiknya yang tampan dan manis dengan rambut coklat strawberry-nya yang berantakan karena terlalu lama berguling di kasur empuk dan besar milik Elsen. Elsen tersenyum.

"Mungkin? Ah, tapi—mungkin iya." Jawabnya santai sambil menutup pintu kamarnya. Alan kembali bergelung dalam selimut biru Elsen, membuatnya seperti seekor kucing yang mencari kehangatan di kamar majikannya.

Alan nyengir, "Long last, deh~ Kutunggu makan-makannya, Kak~ Dan, oh, aku belum kau kenalkan dengannya, 'kan? Dia ganteng juga," komentarnya usil.

Elsen hanya biss balas nyengir, "Ganteng, playboy, usilnya setengah mati. Tapi setidaknya ia menerimaku, sih."

"Orientasi seksualnya?"

"Straight ke Bi."

"Wow, kau merubah anak orang menjadi homo dalam waktu sebulan. Apa kau Dewa Gay?" canda Alan.

"Well, dia bilang dia menyukaiku dari dulu, sih—jadi kemungkinan—ah, ini namanya merubahnya menjadi gay dari awal, dong? Oh, aku benar-benar Dewa Gay, ahahaha!" Elsen tertawa lebar. Ia membanting tubuhnya di kasur, berdampingan dengan sang Adik.

Alan berguling dan sekarang menindih Elsen, "Berat, woi!"

"Biarin! Ahahaha!"

Dan Alan menggelitiki Kakaknya sampai ia menangis meminta ampun. Elsen paling lemah kalau digelitiki!

"Kalau kau senang, aku pun senang. Selamat datang, Kak!" kata Alan setelah ia menghentikan serangannya pada Elsen. Elsen terdiam sebentar dan kemudian tersenyum.

"Aku pulang, Dik," dan ia mengacak rambut adiknya.

Alan berbisik pelan, "Tuhan menjawab doaku, 'kan? Aku akan berterima kasih pada pacarmu karena sudah membawamu kembali."

.

.

.

Walau sudah berkenalan dengan beberapa orang, tetap saja Elsen paling benci dan takut dengan tatapan orang. Kalau biasanya tatapan cinta para gadis menyertainya, kini tatapan benci padanya semakin intens.

"Hey, lihat. Itu Elsen." Suara seorang gadis.

Gadis lain ikut menimpali, "Ganteng-ganteng tapi homo. Ternyata survey itu benar; pria ganteng lebih tertarik pada pria ganteng lainnya daripada wanita cantik."

"Hih, jadi karena itu dia mendekati Jack kita."

"Dasar homo menjijikkan."

"Semoga Ayah tidak menjalankan bisnis dengan keluarganya. Kalau sampai iya, aku khawatir adik laki-lakiku akan tertular jadi homo! Hiiy!"

"Ahaha! Ujung-ujungnya homo! Jangan-jangan di antara kalian para lelaki pernah diincar oleh si Tuan Muda itu lagi!" ucapan anak itu sangat kencang sampai-sampai satu koridor bisa mendengar dan memberi respon berupa suara orang yang jijik akan sesuatu.

Elsen merasa amat sangat tidak nyaman. Ia percepat langkahnya sampai-sampai ia menabrak Ibu Toothiana, "Ah, maaf, saya—"

"Tuan Arendelle, anda dipanggil ke ruang Rektor. Jack juga sudah ada di sana—dengan Pamannya dan… orangtuamu."

Dan Elsen hanya bisa merasa tubuhnya lebih dingin dari segala es yang pernah ada di Bumi. Pandangannya lebih kosong daripada langit malam. Pikirannya disedot oleh Lubang Hitam.

Hancur sudah…

.

.

.

"Permisi, P—"

'PLAK!'

Sebuah tamparan dihadiahi persis di pipi putihnya. Itu Ibunya.

"ANAK TAK TAHU DIRI! TAK TAHU DIUNTUNG!" teriaknya histeris. Matanya dipenuhi keberangan luar biasa.

Sang Ayah ikut campur tangan. Ia menarik tangan anaknya dan menghadiahkan sebuah pukulan keras bagai dihajar oleh preman-preman dari gang-gang tikus.

'DUAGH!'

Elsen pun kembali tersungkur di lantai, "SUDAH KUBILANG JANGAN DEKAT-DEKAT DENGAN ANAK ITU! LELAKI PULA! ANAK MENJIJIKKAN TAK TAHU DIUNTUNG!"

"ELSEN!" Jack segera menghampiri tubuh Elsen dan bibir Elsen berdarah dan pipinya merah. Wajahnya pucat pasi. Keringat dingin bercucuran, "Kau tidak apa-apa?"

"U-uh," jawabnya singkat sambil menghapus darah itu menggunakan ibu jarinya. Paman Jack—Uncle North juga ikut membantunya menyokong tubuh Elsen agar ia bisa berdiri. Elsen tersenyum sedikit padanya.

Sudah bisa kulihat

Kehancuran disebabkan terlalu dekat dengan Mentari

Badai mengamuk

Melebihi apapun

Si Rektor tua berjanggut panjang dengan potongan rambut cepak beruban itu tidak bisa berbuat banyak, "Uhm, maafkan saya, tapi bisakah kita mulai diskusi ini?" katanya takut-takut. Masalahnya Keluarga Arendelle adalah donator nomor satu bagi Universitas Oslo, ia tidak bisa bersikap layaknya Rektor kalau berhadapan dengannya. Biasanya Rektor ini diketahui sangat bengis pada mahasiswa-nya.

Kedua orangtua Elsen masih memburu napas mereka, menatap garang pada Jack dan Uncle North yang membantu Elsen untuk berdiri. Mereka menarik napas dalam-dalam dan merapikan baju mereka yang sebenarnya masih rapi-rapi saja. Kemudian mereka duduk.

Ibu Toothiana mengajukan selembar foto, foto Jack dan Elsen sedang berciuman di taman kemarin. Elsen shock melihatnya. "Seorang mahasiswa kami—Hans Southern Island—yang mengambil foto ini. Dan ini foto kalian, 'kan?"

Jack membuka suaranya, "Kalau iya, memang kenapa?"

"Hubungan sesama jenis itu dosa, kalian tahu?"

"Dan?"

"Masuk neraka."

"Yang masuk neraka kami, kok, yang repot kalian?" Jack menjawab dengan nada menantang. Ayah Elsen nyaris melempar patung kepala Negara ke wajah anak itu kalau saja tangan istrinya tidak memeganginya—walau kuku sang Istri pun menancap dalam setelan jasnya dengan sebal. Kilat matanya benar-benar menunjukkan kebencian pada Jack.

"Masalahnya, kampus pun menetang hal ini, Jack."

"Tapi mereka saling mencintai, apa salahnya?" Uncle North ikut buka suara.

"Kepalamu mereka saling mencintai! Pria berpasangan dengan wanita itu sudah kodrat!" Sang Ayah buka suara.

"Tapi saya benar-benar mencintai anak anda." Jack berujar dengan nada mantap. Tak ada keraguan dalam iris biru langitnya.

Ayah Elsen naik darah. Segera ia bangkit dari kursinya dan mencekal kerah jaket Jack.

"JACK!" teriak Elsen dan Uncle North bersamaan.

'BUGH!'

Yah, Ayah Elsen memang suka main tangan. Jack pun menjadi sasarannya. Bisa kalian lihat senyum senang mengembang di wajah Ibu Elsen, senyum menyeramkan yang dibalut dengan lipstik merah darah. "Bocah Brengsek. Apa kau tahu bagaimana nasib kami kalau rekan-rekan kerja kami mendapati penerus perusahaan menjadi seorang yang menyimpang dan menjijikkan?"

"Saya tidak peduli. Elsen memang anak anda, tapi dia bukan pion untuk menumpuk kekayaan keluarga anda." Jack menatapnya dengan tatapan tak kalah emosi. Pria yang ia cintai adalah pria yang amat lembut dan membutuhkan kasih sayangnya, bukan sebuah robot untuk mengumpulkan kekayaan.

'DUAK!'

Dan satu tendangan mendarat di perut Jack. "Ahag!"

Pukulan lain siap menghajarnya bisa Uncle North tidak mencengkeram lengan Ayah Elsen dengan amat sangat keras dan menghasilkan bekas merah. Matanya menjadi setajam silet, Ayah Elen mundur.

Sang Rektor kembali berbicara—sungguh, ia tidak bisa melakukan apa-apa walau ingin, "Dan dengan perintah dari Tuan Arendelle, kalian kami DO dan dilarang untuk bertemu."

.

.

.

Badai yang mengamuk

Topan yang menemani

Sang bunga retak

Sang Mentari tercinta

Rusak

Semuanya hancur

Menjadi debu

Sang bunga menangis pilu

Sang Mentari berteriak pedih

Mereka tak bisa bersama.

.

.

.

"Apa kamu Jack Frost?"

Jack sedang sibuk mengatur mainan-mainan agar tertata rapi di rak toko Pamannya, Christmas Gift Shop. Toko milik Uncle North. Ia menengok dan mendapati seorang pemuda berparas rupawan dengan iris biru, bercak matahari samar dan rambut coklat-strawberry pendek yang menggoda dengan sedikit cat putih di sebelah kanannya. Itu Alan Arendelle.

"Ya? Ada yang bisa kubantu?"

"Aku ingin mengucapkan terima kasih." Kata Alan. Ia mengulurkan tangannya.

Jack ikut mengulurkan tangannya—walau tidak mengerti, "Kau siapa?" mereka berjabat tangan.

"Adik Elsen. Namaku Alan dan aku ingin berterima kasih."

Jack mengambil lollipop yang dari tadi diemutnya, "Untuk?"

"Membuat Elsen kembali seperti dulu." Ia tersenyum. "Kakakku dulu priibadi yang ceria, partner in crime nomor satuku dalam menjahili anak-anak lain, dan karena orangtua kami, mereka membuat Elsen jadi seperti robot. Melarangnya bergaul dengan orang lain, membuatnya belajar dan belajar hal-hal tak bermutu seperti saham dan bursa dan apalah namanya. Ia menjadi robot—menjadi pribadi lain dan bukan Kakakku. Namun kau datang, membuatnya kembali seperti semula. Aku senang."

Jack tersenyum, "Ia hanya butuh cinta."

"Dan kau memberinya cinta. Ah, rasanya aneh cowok bicara soal cinta seperti ini, ya?" Alan tergelak, "Ya, sudahlah. Ini titipan dari Elsen. Ia tidak bisa keluar rumah. Semuanya diawasi oleh Papa. Jadi aku bebas dan hanya aku yang bisa menyampaikan ini padamu." Ia menyerahkan selembar surat.

"Thanks."

"You are very welcome. Aku pegi dulu." Dan Alan pergi meningalkan toko itu, meninggalkan Jack sendirian di toko Pamannya yang belum buka itu. Well, setelah DO, dia hanya bisa membantu Uncle North di tokonya, 'kan? Ia memandangi kertas itu—kertas binder dengan ornamen salju, khas Elsen. Baru dua hari dan ia sudah merasa rindu sekali padanya. Dan selama sebulan ini, Jack yang jenius juga bisa bertransformasi menjadi orang tolol dengan cara lupa menanyakan e-mail maupun nomor ponselnya.

Ia membuka kertas itu.

+ 4723 39 66 555

Itu nomorku. Kau bodoh lupa menanyakannya.

Oh, kau adalah Jack, mendakilah di pohon kacang dan temukanlah telur angsa emas dalam kastil raksasa.

Jendela kedua dengan warna biru.

Telur angsa emas menunggu Jack mengambilnya malam ini.

Aku mencintaimu.

Dan Jack terbahak-bahak karenanya, "Aku mencintaimu juga, Elsen Bodoh!"

.

.

.

"Miss me?" sebuah kepala bersurai putih salju berantakan menyembul dari jendela kamar Elsen. Elsen tersenyum senang.

"Fuck yeah, I miss you so badly, Frost." Dan ia pun menarik kerah Jack dan menempelkan bibir mereka.

"Pesanmu tolol! Ahahaha! Aku lebih tampan dari Jack dan kacang polongnya!"

"Yang tolol itu kau! Sudah tahu aku jarang bersosialisasi, mana aku sadar kalau aku belum pernah memberimu nomor ponselku, Idiot. Dan lagi jangan mengejek Jack dan Kacang Polong. Itu cerita kesukaan Alan waktu kecil." Elsen bersedekap.

"Wow, Alan punya selera yang unik. Dan dia tampan. Kalian terlalu mewarisi DNA yang bagus."

"Akhirnya kau menyadari bahwa kami lebih tampan darimu."

"Oh, maaf," Jack nyengir, "Ketampananku hanya bisa dikalahkan oleh Cupid dan Apollo, Tuan~"

Terserah, lah. Yang penting mereka bisa berpelukan, berciuman dan kembali bersama, dengan senyum merekah di wajah mereka.

.

.

.

Percayalah ini bukan kali pertama Jack babak belur sewaktu menyembulkan kepalanya ke jendela Elsen. Ia harus menghajar bodyguard di bawah tanpa suara dan dengan bantuan Alan dan beberapa temannya (terima kasih pada Bunny yang jago berantem!) supaya ia bisa bertemu dengan Elsen.

Elsen pun hanya bisa menatapnya sedih dan mengompres dan mengobati luka Jack. Jack pun mengompres pipi Elsen yang selalu biru-merah.

Mereka harus saling menguatkan.

Karena kalau tidak, mereka akan lemah. Cinta mereka akan ikut melemah. Dan mereka akan berpisah selamanya. Mereka mencintai satu sama lain melebihi apapun di dunia ini. Dan mereka ingin cinta mereka abadi, tidak akan terhalangi oleh rintangan apapun—termasuk orangtua Elsen.

Dan emosi orangtua Elsen memuncak ketika mereka menghancurkan toko Uncle North dan membuat Jack terbaring di rumah sakit dan dirawat selama dua bulan penuh.

Elsen hanya bisa menangis seperti perempuan yang tidak bisa melakukan apapun.

.

.

.

Badai datang

Menerjang

Menghempaskan segala

Tak kenal ampun

Datang pulalah salju

Serta embun beku

Sang benih menggigil

Tumbuh bunganya tercuil

Matahari pergi

Badai menghalangi

Ia kedinginan

Ia membeku tegap

Ia menangis nestapa

Es retak

Daun gugur

Mahkota mati

Semua hancur

Menunggu semi

Menunggu Matahari

.

.

.

'Tok!'

Suara aneh terdengar di cuping telinga Elsen. Ia sedang sibuk membaca Percy Jackson The Series di kasurnya dengan wajah kuyu dan pipi merah. Sekali lagi dalam lima bulan ini, Ayahnya menamparnya dan memakinya habis-habisan.

Elsen sudah tak peduli. Ia sudah kebal. Pendirian Ayahnya tak bisa diganggu gugat—begitu pula dengan pendiriannya yang masih terus mengharapkan restu orangtuanya bahwa ia berbeda. Bahwa ia mencintai seorang lelaki. Bahwa ia amat sangat mencintai Jack Frost.

Ibunya hanya menatap dingin—tak akan pernah menatapnya sama seperti ia kanak-kanak dulu. Mata dingin, nanar, emosi tertahan yang berbahaya, mulut berbisa—jijik padanya, sang Anak yang tak dianggap lagi. Kontras dengan Sang Suami yang terus menerus memaksanya berubah, agar kembali menjadi Elsen yang patuh, robot kesayangannya yang bisa ia program seenaknya—menjadi sosok sempurna. Memakinya, menamparnya, menceramahinya—membuatnya mengerti bahwa ia adaalah sampah keluarga apabila ia tidak berubah.

Hanya Alan.

Hanya Alan yang berbeda—ia menerimanya. Ia selalu menepuk punggung Kakak laki-laki semata wayangnya ini, dan membelanya, membuat pipi bersemunya merah karena tamparan juga diarahkan pada pipi sang Adik. Wajah Alan juga memerah—namun tak pernah semerah milik Elsen. Tapi Elsen tak mau melihat adiknya tersakiti, jadilah ia bersusah payah menjadi kuat dan tahan dengan segala perbuatan Ayahnya.

'Tok!'

Suara itu kembali terdengar.

Itu suara dari jendela kamarnya. Ia meletakkan novel tersebut dan segera melihat ke arah jendela dan terbelalak gembiralah matanya, "Jack!" ia melompat dari kasur dan menuju ke jendela, membukanya dan menatap Jack lekat-lekat dengan binar cemerlang di iris birunya.

"Halo, Pangeran Tampan. Belum tidur?" Jack Frost sedang bertengger di sebuah dahan pohon maple berselimut salju pada rantingnya yang letaknya paling dekat dengan jendela kamar Elsen. Wajahnya masih biru-biru dan kepalanya diperban.

Elsen menggeleng, "Aku ingin menyelesaikan membaca. Kau sendiri?"

"Aku tak bisa berhenti memikirkanmu."

"Oh, ayolah, kita hanya tidak bertemu selama dua-tiga bulan." Elsen terkekeh.

Jack memandangnya sambil tersenyum hampa. Tangannya yang putih pucat terjulur dan mengelus surai perak platinum pemuda berkacamata itu lembut. Elsen suka saat Jack mengelus kepalanya—entah kenapa. Itu membuatnya terasa nyaman.

Pandangannya kemudian terpaku pada warna merah di pipi putih Elsen, "Lagi?" ia menyentuh pipi itu. Sang Pemilik Pipi hanya mengernyit kesakitan.

Elsen mengangguk, "Well, apa yang kau harapkan? Pelukan dan kasih sayang serta restu?" ia tergelak.

"Ya." Jack menjawab singkat dengan raut serius. Ia terlalu mencintai Elsen. Pemuda itu terlalu berharga baginya. Melihatnya kesakitan seperti ini membuatnya kesal. Kenapa ia tak berada di sisinya saat ia membutuhkan pertolongannya? Ia membutuhkannya—Jack tak bisa ada di sana.

Pemuda dengan bercak matahari itu menghentikan tawanya. Ia menatap sedih Jack, "Aku ingin bersamamu… Aku tak ingin ada di sini." Ia memegang tangan Jack yang berada di pipinya.

"Aku juga. Sehingga aku bisa melindungimu—pasang badan untukmu kelihatannya keren. Kau tidak bisa memukul orang, sih." Jack mencoba bercanda—dan berhasil. Elsen menghilangkan ekspresi sedihnya dan tertawa kecil.

"Maaf saja, calon penerus keluarga tidak pernah diajarkan untuk berkelahi, Tuan. Oh, bagaimana Uncle North? Dan tokonya?"

Jack nyengir. Cengiran yang sangat dirindukan Elsen. Pasalnya wajah mereka pasca lima bulan ini selalu serius, tertawa dan tersenyum seperlunya, itupun supaya satu sama lain tidak khawatir berlebihan. Melihat Jack nyengir seperti kala pertama ia bersama benar-benar melegakan hati. Pemuda berambut putih salju itu melompat dari dahan pohon maple tersebut dan masuk ke dalam kamar Elsen, "Kau meremehkan pria tua itu. Ayahmu hanya menghancurkan satu tokonya di Oslo, ia tidak tahu kalau kami juga punya cabang di berbagai kota dan negara. Hahahah! Bahkan kolega-koleganya semakin banyak. Kau tidak usah khawatir, Elsen~" hiburnya.

Elsen tersenyum.

"Hm… Ah, hey, Elsen."

"Ya?"

Jack mencium bibirnya lembut, "Kau—dan aku, suatu saat nanti, pasti, akan bebas. Percayalah. Kita akan bersama seterusnya."

Pemuda itu tersenyum, "Ya, aku tahu."

Dan sekali lagi mereka berciuman.

"Aku pulang dulu. Kompres pipimu dengan es. Aku sebal melihatnya."

"Iya. Hati-hati di jalan."

"Hm. Kau juga, tidur yang nyenyak. Jangan bercinta dengan buku terlalu banyak."

"Hah, you bet."

Dan Jack keluar dari kamar Elsen. Kembali ke dahan pohon dan kemudian menuruninya.

.

.

.

Elsen tidak bisa tidur malam itu—pun melanjutkan membaca novelnya. Kali ini Rick Riordan tidak bisa membuat seorang Elsen yang gemar dengan fantasi dan petualangan tergerak. Ia kepikiran oleh sesuatu.

Sesuatu.

Sesuatu yang menggerogoti otaknya.

Ia ingin bebas.

Bersama Jack.

Ia bangun dari tempat tidurnya. Berjalan menuju lemarinya yang berkaca besar. Ia menatap pantulannya di sana; rambut dengan poni panjang berwarna platinum, mata lelah berwarna biru es, bibir pucat tak lagi merah, tubuhnya yang ramping namun semakin kurus.

Ia terlihat menyedihkan. Ditambah dengan cap tangan yang masih merah di pipinya.

Elsen menyalakan lampunya, seraya melihat kamarnya yang luas dan biru-putih dan berornamen salju-salju putih. Rapi, besar, wangi, tertata dengan baik. Pemuda itu kemudian menarik sesuatu dari kolong ranjangnya, menarik sebuah tas punggung besar dan membukanya. Ia mengambil semua novel dan literatur favoritnya dan memasukkannya ke dalam tas punggung itu dan beberapa potong pakaian.

Kemudian berlanjut dengan mengambil gel rambut, ia memintanya dari Alan yang style-nya lebih baik dari Elsen tentu saja, menata rambutnya sedemikian rupa hingga tertata seadanya namun terlihat cukup bagus. Elsen mengambil selembar kertas kosong dan duduk di atas kursinya dan mulai menulis—tidak, ia berhenti sesaat, beberapa jam, tepatnya—sampai ia benar-benar menulis sesuatu di kertas itu di meja belajarnya.

.

.

.

Aku adalah bunga ini

Nyaris hancur

Dan kalian badai

Menghancurkanku

Aku ingin bersama Sang Mentari

Kalian menghalangi

Aku pergi

Tak kembali

Untuk bersama Mentari

Tak akan mengemis kasihan

Dari seorang badai dan seorang topan

Aku bunga kuat

Akan kubuktikan

Bunga kuat ini akan terbang

Menuju kesempurnaan

Bersama Mentari di angkasa

.

.

.

Puisi dalam kedok surat. Semoga mereka semua mengerti. Elsen sudah muak. Ia ingin bebas. Dilipatnya kertas itu menjadi sebuah pesawat terbang kertas.

Sekali lagi ia mematut diri di depan kaca. Berjam-jam ia berusaha mengungkapkan isi hatinya dalam balutan bait-bait puisi—membuatnya mudah dimengerti, agar semudah mengerjakan soal anak TK oleh kedua orangtua Elsen.

Rambutnya kini ditarik ke belakang, rapi di bagian atas, berantakan pada sisanya. Lumayan cocok—tidak, ini sangat cocok. Bahkan Elsen nyaris jatuh cinta pada dirinya sendiri. Mata birunya sudah kembali mendapat binar senang. Bibirnya tak lagi pucat. Rautnya nampak yakin. Kukunya bahkan ia beri nail-sticker bergambar tengkorak berwarna kelabu.

Ia menggaet tas punggungnya yang besar, menyampirkannya ke bahunya yang bidang.

Elsen mengambil ponsel dari saku celananya, seraya menekan tombol-tombol, menempelkannya di telinga dan mendengar nada tunggu.

/"Elsen?"/ terdengar suara Jack dari seberang telepon.

Elsen tersenyum, "Bisakah kau menjemputku? Aku akan melompat dari jendela, nih!" suaranya terdengar riang.

/"Ap—Oke, jangan bertindak gegabah, oke?! Aku akan ada di sana dalam—"/

"Limabelas menit. Oke, bye!"

/"Elsen, tung—"/

Dan sambungan terputus.

Elsen berjalan mendekat ke arah jendela. Dibukanya jendela kamarnya; memandang pemandangan di depannya. Langit masih berwarna biru-ungu, subuh. Sebnetar lagi fajar menyingsing.

Ia berpaling, sekali lagi menghadap kamarnya, "Selamat tinggal." Katanya. Pemuda itu menghirup udara dalam-dalam, seakan itu akan menjadi hirupan napas terakhirnya, "Aku akan bebas."

Jam dinding berdetik, menunjukkan pukul 05.45. Ia mengambil lampu tidur yang berada di sampingnya, menimangnya sebentar dan kemudian—

'PRANG!'

Suara kaca dipecah.

Dan keluarga Arendelle adalah orang-orang dengan pendengaran sensitif. Tidak butuh waktu lama untuk membuat mereka semua berkumpul di kamar Elsen.

'BRAK!'

Suara pintu didobrak—menampakkan Sang Ayah dan Ibu serta Alan dan Weselton dalam balutan baju tidur mereka.

Sang Ayah menatapnya berang, "Apa-apaan ini?!"

"Papa, Mama, Alan, Pak Weselton, aku... pergi dulu, ya?"

"Kamu ini bicara apa, Nak?" sang Ibu panik.

"Aku ingin pergi, aku ingin bebas, bersama Matahariku."

"Jangan ngawur! Alan, bicaralah sesuatu pada Kakakmu! Ia sudah mulai tidak waras!"

Elsen menatap adik laki-laki semata wayangnya, Alan tersenyum padanya saat itu, "Pergilah." Katanya singkat.

Sang Kakak membalas senyuman Adiknya, "Terima kasih."

"Alan, apa-apaan kau ini?!"

"Elsen ingin bebas, apa itu salah? Lagian kalian bilang, bicaralah padanya, itu jawabanku." Alan menjawab Ayahnya dengan santai. Ia nyengir jahil, membuat kedua orangtuanya makin berang.

Tangan Elsen menimang pesawat kertas itu sebelum menerbangkannya. Pesawat itu ditangkap oleh sang Ibu. "Bacalah. Alan, semuanya, aku pergi dulu, ya?"

"Jangan lupakan aku, lho, Kak!"

"Tak akan!" Elsen tersenyum lebar.

Matahari mulai terbit, membuat sosok Elsen yang berdiri membelakangi matahari menjadi gelap, namun kedua orangtuanya masih bisa melihat binar senang di kedua iris biru Elsen yang berkilat-kilat.

"Selamat tinggal."

"APA KAU GILA? AKU—KELUARGA ARENDELLE, TIDAK AKAN PERNAH MENERIMAMU! KUBUANG KAU! DASAR ANAK TIDAK TAHU DIRI."

"Terima kasih sekali. Aku tidak perlu repot-repot kalau begitu. Terima kasih sudah merawatku selama ini, Tuan dan Nyonya Arendelle."

"KAU SERIUS, NAK? ANAKKU—KAU!"

"Kau tak pernah menganggapku anak, kan, Nyonya? Kalian—hanya menjadikanku pion kalian. Aku muak. Aku ingin lepas dari kalian. Aku ingin bebas." Elsen menjawab, "Dan Jack adalah Matahariku yang akan membebaskanku."

"BOCAH BERANDAL ITU—AKU TIDAK AKAN PERNAH—"

"Memaafkan kami? Kami tidak peduli. Asalkan kami bisa bersama, semua tidak penting."

Dan kemudian Elsen melompat keluar dari jendela.

"ELSEN!"

Hanya itu hal terakhir yang bisa didengar oleh Elsen sebelum menghilang, dijemput sang Mentari.

.

.

.

"Tidak apa-apa begini?" Jack Frost sudah menunggu di bawah dengan helm biru dan Ninja biru-putihnya. Jaket tebal dan syalnya tertutupi salju tipis.

Elsen tersenyum, "Tidak apa. Ini pilihanku. Jadi, kau jadi melamarku tidak? Ah, berhubung restu dari mereka tidak penting, sudahlah."

"Kau... berubah. Kau sudah bebas." Jack berkomentar sambil melayangkan senyum. Ia menyodorkan helm berwarna putih ke hadapan Elsen.

"Semua berkatmu, Jack Frost. Jadi sekarang? Kita mau ke mana? Ke tempat Uncle North?" Elsen mengambil helm itu, memasangnya dan segera naik ke boncengan Jack.

"Yup! And by the way, I love your style!"

"Ahahaha, thanks! I also love this! I'm just—feeling I'm free." Ia memeluk pinggang Jack.

Jack mulai menyalakan motornya, "Pegangan erat-erat—aku akan membuatmu merasa lebih bebas setelah ini!"

"Oke, sekarang aku suka kebut-kebutan! Biarkan aku merasakan angin kebebasan, Jack Frost!"

"Dengan senang hati, Pangeranku!" dan Jack tancap gas. Mereka tertawa senang bersama. "Dan untuk masalah lamaran, anggap saja kita sudah melaluinya. Sekarang kita hanya perlu memikirkan soal pernikahan. Di Norwegia, pernikahan sesama jenis belum diterima, jadi kau mau pilih mana? Spanyol? Belanda? Belgia? Personally, I wanna do our wedding in Spain."

"Spain sounds good~"

"Dan aku akan resmi menikahimu saat aku berusia duapuluh tahun dan menjadikanmu Elsen Frost. Tunggu saja." Jack tersenyum usil.

Elsen melongo, "Wait, bukannya kita seumuran?"

"Huh? Whattaya mean?" Jack keheranan.

"Umur kita sama, 'kan? Duapuluh satu?"

"Aku delapanbelas tahun ini."

"WHAT? Aku akan menikahi seorang bocah?! Bahkan umurnya sama dengan Alan! Jadi kau benar-benar jenius? Murid akselerasi?" Elsen terkejut bukan main.

"Iya, aku lulus SMA saat berusia enambelas. Ini tahun terakhir untuk dapat gelar Ph.D di universitas. Kau tidak tahu? Walau kita sudah lama bersama?"

"MANA KUTAHU! AAAARRGGHH! Padahal aku tidak suka yang di bawah umur!"

"Sayangnya penolakan sudah terlambat, Tuan. Lagipula kua tidak akan bisa kabur dariku; hatimu sudah terambil olehku, 'kan?" Jack tersenyum lebar, membuat Elsen senewen.

"Well, memang iya aku sudah terlanjur cinta terlalu dalam denganmu! Makanya cepat berumur duapuluh dan ayo menikah! Aku ingin segera mendapat anak!" Elsen berang. Ia meninju pundak Jack pelan.

Jack tertawa keras, "Wow, simmer down! Kita tidak bisa punya anak semudah itu karena sama-sama lelaki, ingat?"

"Apa gunanya ada adopsi, Tuan? Ahaha!"

"Kau benar! Kita akan memilih seorang anak dan kita akan menamainya Snow karena kita sama-sama suka salju dan musim dingin, bagaimana?"

Elsen tersenyum. Ia benar-benar suka ketika Jack mengatakan kata 'kita', "Atau Winter! Tapi Snow juga bagus!"

Dan mereka berakhir berargumen tentang siapa yang dipanggil 'Papa' dan 'Daddy', namun tetap saja berakhir dengan tawa bahagia dan ciuman menghangatkan ketika mereka sampai di rumah Uncle North dengan teman-teman karib Jack yang menyambut mereka.

.

.

.

~Enam Tahun Kemudian~

"Haahh… Aku deg-degan." Ujar seorang pria dengan raut cemas. Ia memeluk dirinya sendiri sambil menggosok-gosokkan telapak tangannya ke lengannya.

Pria di sampingnya tersenyum, "Oh, ayolah. Kau duapuluh empat tahun dan masih deg-degan untuk seperti ini? Ini lebih mudah daripada ski extreme yang kau lakukan tiap tahun di Trysil~"

"Mudah bagimu ntuk bicara! Kau, 'kan, expert untuk ice-skating. Aku expert dalam ski, menggaet wanita serta lelaki, dan mencuri hatimu," balasnya sambil melirik pedas pada sang lawan bicara.

"Okay, okay, fine. And thanks for stealing my love until now, My Beloved One~ Ayolah, ini hanya meluncur di atas es. Beda sedikit dengan ski, 'kan?"

"Banyak! Lagipula apa-apaan pasangan ice-skatingmu harus cedera dan membuatku menggantikannya?"

"Kau takut? Kau? Jack Frost? Takut? You're not my hubby, aren't you?"

"I am not afraid, Mister Frost, my Beloved One, my True Love, my All in All. It's just—this is not my area, like, seriously?! Me with ice-skating? Big NO for you." Ia mengibaskan tangannya, ke kiri dan ke kanan.

"We've been practicing for a whole month, so no need to worry. Follow my instruction." Pria itu menggenggam tangan belahan jiwanya, Jack Frost. Itulah Elsen Frost—ya, Frost. Mereka sudah menikah, dengan cincin platinum dengan ukiran salju di bagian dalam cincin itu. Sebentar lagi ulangtahun pernikahan mereka yang keempat akan berlangsung, jadi sekalian saja Elsen mengganti marganya menjadi Frost, 'kan?

Jack menatap tangannya yang digenggam erat oleh Elsen. Ia tersenyum, "Aaah, iya, iya... Pokoknya setelah perlombaan ini selesai, aku akan segera memeluk Alan, Kristenn dan Snow~ Aku kangen anak kita~"

Elsen terkekeh geli, "Ayolah, kau baru berpisah dengannya selama tiga jam!"

"Terserah! Pokoknya aku mau gendong dan cium anak kita!"

"Iya, iya~ Nanti setelah keluar, jangan lupa tersenyum dan memberi hormat dan melambai, oke?"

"Aye, aye, Captain~" Jack memberi hormat layaknya tentara. Elsen tersenyum dan segera menggaet tangannya.

"Ayo!"

Dan mereka keluar dari ruang ganti. Disambut oleh hiruk pikuk dan tepuk tangan serta sorakan luar biasa dari para penonton. Di bangku tengah, kau bisa melihat Alan dan tunangannya, Kristenn sedang memangku anak adopsi mereka—yang diberi nama Snow Frost. Anak itu laki-laki dengan bola mata biru langit, sama seperti Jack dan berumur dua tahun. Mereka mengadopsinya dari sebuah panti asuhan di Perancis dua tahun yang lalu. Pemilik panti asuhan tersebut mengatakan menemukannya di depan pintu; tidak ada nama, tidak ada makanan, kondisi tidak terurus, menangis meraung-raung. Kemungkinan dibuang oleh keluarganya entah karena alasan apa. Itu cukup untuk membuat Jack dan Elsen yang waktu itu berada di Perancis untuk liburan mengadopsinya, 'kan? Toh mereka memang ingin mempunyai anak sedari dulu.

Kini mereka hidup bahagia. Tidak terkekang apapun.

Elsen menjadi seorang figure skating yang memenangkan banyak lomba di berbagai kompetisi dan Jack menjadi Dokter Anak yang sukses di Amerika.

Hidup damai dan tenang di Amerika, bersama keluarga kecil bahagianya, Alan dan Kristenn mendukungnya, anak mereka ada di sana untuk mereka. Keluarga Jack yang terbuka pada mereka. Kedua orang itu bahagia.

Mereka tersenyum.

Kemudian melambai dan memberi hormat.

Dan kemudian mereka meluncur di atas es bersama dengan gerakan indah, cepat dan gemulai.

.

.

.

~FIN~

FINALLY DONE WITH THIS SHIT OMG. Gileeee, wordsnya... gue terlalu berlebihan #dor #gitunyadardirikek Semoga para reader puas dengan ini #amin soalnya saya sendiri puas. Beneran. Saya merasa 'Wah, keren banget gue ngetik beginian! Challenge buat diri sendiri berhasil... Gue cinta banget sama fanfic gue yang ini...' Walo pertamanya sempat tidak sreg dengan kurangnya konflik di sini walau ini chapter puncak, soalnya ntar deskirpnya makin bejibun. Kasian yang baca... :'( Dan maaf kalo banyak poem kampret bikinan saya di sini. ROFL saya doyan bikin poem soalnya~ XD Aaah, pokoknya makasih banget buat Haye udah bikin ini~ #peyok DAN LO HARUS REVIEW HEBOH BUAT INI! AHAHAHA! #dikeplak

Mohon maaf bila kalian menemukan typo aduhay, Elsen yang ga cowok" banget (tapi menurut gue pribadi udah. Soalnya karakter dia mirip temen cowok gue #ngek), Jack yang kurang tengil, plothole asolole, cerita abal dan lain". #bow

Akhir kata, mind to review my fanfic, Guys? :D