Let It Go

Fandom : ROTG x FROZEN

Pairing : Jack Frost x Elsen Arendelle (Elsa's genderbent)

Disclaimer : ROTG (c) DreamWorks. FROZEN (c) Disney.

Warning : AU, BL, Genderbent!FROZEN Characters, CROSS-OVER. Don't like, don't read!

A/N : A FANFIC FOR GENDERBENT!ELSA CHALLENGE.

Enjoy!

.

.

.

"Hey, Alan!" suara anak itu begitu cetar membahana, sangat riang gembira bagai merayakan sebuah pesta. Surai platinumnya berkilau di bawah paparan matahari senja yang meringsek masuk ke peraduan. Ia berlari-lari kecil dengan senyum sumringah di wajahnya yang manis dan ceria. Bibirnya merah alami, pipinya yang gembil merona dengan sedikit bintik-bintik matahari yang terbentang di wajahnya, bola mata birunya berbinar kesenangan. Sungguh ia sedang dalam keadaan yang sangat bagus.

Alan—Alan Arendelle, adik laki-laki si pemanggil—menengok ke belakang, menengok ke arah suara Kakak laki-lakinya, "Kenapa, Elsen?" tanyanya singkat sambil memiringkan kepalanya. Tangannya yang kecil mungil masih memegangi sebuah robot-robotan berwarna kelabu gelap dan menggerak-gerakkannya seolah benda itu hidup.

Elsen, sang kakak dengan rambut pirang platinum, membalas dengan senyuman yang lebih lebar daripada sebelumnya, "Kalau semisal aku menikah dengan Eugene? Bagus tidak? Kau mau tidak dia jadi kakakmu juga?" ia bertanya pada sang adik yang berusia lebih muda tiga tahun darinya itu.

Alan terlihat berpikir sebentar. Rambut coklat strawberry-nya bergoyang ketika ia—sekali lagi—memiringkan kepalanya, tanda sedang berpikir. Jarinya ia ketuk-ketukkan di dagunya yang mungil. Ia terus mengetukkan jemarinya sampai binar matanya berkilat-kilat.

"Mau! Mau! Aku mau Eugene jadi kakakku juga! Nanti aku punya dua kakak super ganteng, deh!" Bocah berusia tujuh tahun itu setuju. Ia menganggukkan kepalanya dengan antusiasme tinggi.

Kakaknya menepuk-nepuk kepala adiknya senang, terlihat puas dengan jawaban adiknya, "Kalau begitu aku akan mengatakannya!"

.

.

.

"Aku suka Eugene! Ayo menikah!" suaranya sangat lantang. Ia duduk menindih di atas tubuh sang lawan bicara. Matanya menatap lurus pada kedua iris coklat muda yang berada di hadapannya.

Eugene membelalakkan matanya lebar, "Elsen? Kau baik-baik saja, Jagoan?" Pria berusia duapuluh enam tahun itu tercengang. Masalahnya keponakannya satu ini baru saja melamarnya, bukan?

"Ung! Ayo menikah! Kau akan jadi suamiku! Papa dan Mama juga pasti—"

"Woo-hoo, easy, Tiger. Aku ini laki-laki dan kau juga laki-laki sama sepertiku, lho. Kita tidak bisa menikah, Jagoan Cilik." Jelas Eugene. Ia mengacak-acak rambut lawan bicaranya. Bocah sepuluh tahun itu tak terlihat puas sama sekali, ia mulai menggembungkan pipinya dan mencubit pipi Eugene keras-keras dan sebelah tangannya menarik janggut pria itu, "Aw, aw, aaawww!" rintihnya kesakitan.

Iris biru es-nya sekali lagi menatap iris coklat muda Eugene garang, "Terus? Pokoknya aku maunya sama Eugene!" kerasnya. Kini ia menyilangkan kakinya sambil tetap berada di atas tubuh pria yang lebih tua enambelas tahun darinya itu.

Tubuh Elsen tiba-tiba limbung ke belakang. Eugene bangun dari posisi tidurnya di atas ranjangnya. Ia mendudukkan Elsen di atas pangkuannya dan mengacak rambutnya pelan sebelum menghela napas, "Laki-laki itu sama perempuan. Bukan sama laki-laki. Jadi kita tidak bisa menikah, Jagoan…"

"Kenapa?"

"Karena laki-laki dengan laki-laki… Itu menjijikkan."

.

.

.

Aku menjijikkan.

"Kata Eugene kau mengajaknya menikah, ya, Elsen?" Sang Ibu bertanya. Ia mengelap bibirnya yang dipoles dengan lipstik berwarna natural menggunakan serbet. Tangannya yang panjang dan lentik kemudian menaruh serbet tersebut ke atas meja bertaplak linen putih dengan vas bunga di tengah-tengahnya.

Putra pertamanya mengangguk, "Memang kenapa?" ia masih tidak puas.

Aku menjijikkan.

"Amat sangat tidak boleh, Nak. Laki-laki harus dengan perempuan." Ia duduk tegak. Rambutnya yang berwarna coklat gelap yang dikepang Perancis membuatnya semakin anggun—namun penuh keangkuhan layaknya sang ratu dalam dongeng lama.

Alasan itu aneh dan menyebalkan.

"Kenapa? Aku suka dengan Eugene. Aku juga ingin jadi 'papa dan mama' dengan Eugene—sama seperti Mama dan Papa! Eugene akan jadi 'papa' yang baik, kok! Aku yakin!" suara Elsen naik satu oktaf. Tangannya yang kecil menggebrak meja makan dan membuat Alan yang duduk di sampingnya tersedak salad kentang yang baru saja masuk ke dalam mulutnya. Bocah itu menepuk-nepuk dadanya dan segera meminum air mineral yang berada di samping piringnya.

Aku bersikeras.

Sang Ayah ikut angkat bicara. Pria paruh baya itu berdeham kencang sebelum dari bibirnya terucap , "Yakin apanya? Kamu baru sepuluh tahun dan tiba-tiba kamu sudah tahu apa arti menjadi 'papa dan mama'? Jangan meracau di tengah makan malam keluarga kita, Tuan! Pikirkan nasib kedua orangtuamu ini di kalangan yang lain kalau sampai Eugene tidak sengaja mengatakan hal ini pada kolega-kolega Papa bagaimana? Mereka akan mulai berpikir bahwa penerus Arendelle Corp. besok akan menjadi orang yang menyimpang!"

Mereka semakin murka.

"Lagipula kamu ini aneh, Nak. Laki-laki kenapa harus suka dengan laki-laki? Laki-laki ya dengan perempuan, BUKAN dengan laki-laki. Mama akan memberikan beberapa tes untukmu soal ini besok. Hanya untuk jaga-jaga." Sang Ibu yang juga seorang psikiater merangkap sebagai seksolog ikut angkat bicara.

"Kalian bicara apa, sih?" Alan terlihat bingung. Ia tidak suka kalau orang tuanya sudah bicara tentang pekerjaan saat makan malam. Waktu untuknya akan makin sedikit dengan mereka. Lagipula pembicaraan ini terlalu absurd bagi Alan yang masih tujuh tahun.

Elsen merengut, "Tapi aku mau hanya dengan Eugene. Apa kalian tidak mengerti?"

"Yang tidak mengerti adalah kamu, Nak! Apa kau tahu seburuk apa penyimpangan yang kau lakukan ini untuk keluarga terpandang macam kita?" Sang Ayah menaikkan suaranya lagi. Rambutnya yang disisir klimis rapi mulai menjuntai turun. Kumisnya yang tipis terlihat sedikit bergetar karena deru napasnya yang kencang karena emosi.

Aku tak mengerti satu hal;

Apa aku salah?

"Sayang, dengarkan ucapan Papamu. Suamiku, aku benar-benar akan mengetes soal ini besok. Dan segera kuluruskan. Kau tenanglah."

"Bisakah kalian berhenti membicarakan pekerjaan dan ayo kita membicarakan ha-hal menyenangkan!" Alan mulai merengek—ia benar-benar sudah mulai merasa tidak nyaman. Kedua orang tuanya orang sukses. Sang Ayah adalah pendiri perusahaan terkemuka yang bergerak di bidang perhotelan. Ia mendirikan perusahaan utama dan kemudian membuat cabang-cabang hotel yang berdiri di naungan Arendelle Corporation. Sedangkan ibunya bergerak dalam bidang kedokteran, sebagai seorang seksolog dan psikiater yang sudah punya nama dan terkenal di antara kaum petinggi dan pebisnis. Dan mereka idak akan terlalu punya banyak waktu untuk anaknya dengan pekerjaan seperti itu bukan?

"Alan, diamlah," Ibunya memerintah, membuat sang bocah kecil bersedekap sebal sebelum membanting sendok dan garpunya ke atas piring berwarna biru dengan gambar rusa kutub. "Ini masalah penting menyangkut masa depan Kakakmu."

"Dan lagi-lagi semua soal Elsen. Ya, terima kasih." Balas bocah itu sarkas. Untuk anak umur tujuh tahun dengan perhatian kurang, dan Elsen selalu menjadi topik pembicaraan, cemburu itu menggerogotinya walau tak bisa ia pungkiri ia begitu menyayangi kakaknya yang satu ini.

Semua berantakan.

"Alan, demi Tuhan, diamlah," Ibunya memijit pelipisnya.

Sang Ayah berdeham, "Pokoknya masalah ini kita tutup. Mulai sekarang kau tidak boleh berhubungan dengan Eugene lagi. Tidak akan pernah. Ayah akan bicara hal ini dengan Eugene. Ini demi kebaikanmu sendiri," katanya.

Semua hening sampai Elsen—sekali lagi—menggebrak meja sampai gelas berisi susu UHT vanilla miliknya tumpah berceceran ke mana-mana. Tak pelak Alan langsung menutup telinga serta matanya rapat-rapat, "KENAPA KALIAN JAHAT? AKU SUKA EUGENE, ALAN SUKA EUGENE, EUGENE BAIK. AKU MAUNYA SAMA EUGENE!"

"KARENA ITULAH KAMU HARUS DIJAUHKAN DARINYA! LAKI-LAKI MENYUKAI LAKI-LAKI ITU MENJIJIKKAN! KAMU SEORANG PENERUS KELUARGA, DAN KALAU SAMPAI PERASAAN 'SUKA'MU PADA EUGENE BERTAMBAH KETIKA DEWASA, SAMPAI PADA SAAT KAMU DUDUK MENJADI PRESDIR, APA KAMU MAU MEMBUAT KELUARGA KITA DIPANDANG RENDAH? PAHAMILAH ITU BARU KAMU BOLEH MEMBALAS PERKATAAN PAPAMU! " sang Ayah ikut menggebrak meja tak kalah keras.

Dan hening. Meninggalkan Elsen yang tercenung dengan mata terbelalak lebar. Matanya mulai berair, begitu pula Alan yang mulai meneteskan bulir-bulir air mata.

Ia baru sepuluh tahun, namun ia menyukai Eugene. Sangat suka, dan sukanya ini ia ketahui berbeda dari 'suka' pada anggota keluarga lainnya. Rasa 'suka'nya tulus. Dan ia benar-benar ingin berdampingan dengan Eugene. Ia mungkin baru sepuluh tahun, umur saat kamu boleh memeluk siapapun dan mengatakan akan menikahi mereka kelak. Namun jika kamu ada di posisi anak pertama keluarga Arendelle yang tersohor, anak umur sepuluh tahun pun akan dididik sedemikian rupa sampai membuatmu lupa kalau kamu masih berusia sepuluh tahun. Kamu dididik layaknya sang penerus keluarga, bukan dididik layaknya anak-anak masa tumbuh kembang.

"Tutupi, jangan bicarakan ini, jangan rasakan perasaan ini, jangan biarkan terlihat oleh siapapun." Perintah mutlak.

Elsen menunduk. Matanya terlihat nanar. Semuanya remuk.

"Baik, Papa."

Mereka tak mau mendengar.

Hancur lebur menjadi satu kata 'musnah'.

.

.

.

Bagai es dalam badai

Tenang, diam, beku, tak berarti

Akulah es dalam badai

Yang tak berarti sama sekali

Menurut dipermainkan angin ini

Aku menutup diri

Dari dunia Bumi

Tutupi

Aku es dalam badai

Tak ada yang mengerti

Menunggu Sang Mentari

Membuat es mencair

Entah sampai mati

.

.

.

~Sebelas Tahun Kemudian~

"Lihat, lihat! Itu Elsen! Keren dan tampan! Kaya pula! Aku mau dia!" salah seorang perempuan berbisik—yang sayangnya amat sangat keras untuk ukuran 'berbisik'. Perempuan lain yang berada di sampingnya ikut mengangguk mantap dengan pipi merona.

"Elsen lewat! Ya, Tuhan, dia sangat tampan!"

"Aku harap Ayah punya hubungan yang baik dengan perusahaan milik keluarganya."

"Kenapa rambutnya terlihat begitu halus padahal dia laki-laki, sih?! Mana bibirnya merah begitu pula!"

"Aku akan minta Ayahku menunangkannya denganku!"

Dan segala celotehan lain yang keluar dari bibir-bibir manusia-manusia itu. Semuanya, murid-murid di Fakultas Ilmu Budaya, jurusan Sastra, Studi Wilayah dan Bahasa Eropa di Universitas Oslo selalu begitu tiap tahunnya, tiap semesternya, tiap minggunya, tiap harinya, tiap detiknya bila pemuda itu lewat di lorong kampus.

Semua mata terarah pada sesosok pemuda dengan tubuh tinggi ramping, beriris biru es terang, rambut pendek dengan poni panjang berwarna pirang platinum, mengenakan kacamata kotak ber-frame hitam tebal yang membingkai wajahnya yang agak tirus dengan bintik matahari samar di kedua pipinya, menggunakan sweater musim dingin dengan warna hitam bercorak wajik berwarna magenta dan hijau. Celananya jeans panjang berwarna hitam malam. Tangan kirinya mengapit dua-tiga buku yang masing-masing bertuliskan; Sastra dan Ilmu Sastra Tingkat II, Sejarah Bahasa I, dan sebuah binder dengan cover putih bersih berornamen kepingan salju biru.

"Oh, lihat. Tuan Muda lewat!" suara seorang laki-laki terdengar mengejek. Namun yang diejek hanya melenggang kangkung. Tak mendengar, tak peduli. Bahkan tak melirik. Membuat yang mengejek hanya melengos sebal dan kemudian berlari entah ke mana menyusul teman-temannya yang lain.

Itu Elsen Arendelle. Si mahasiswa 'sempurna'.

Ia berjalan dengan tenang namun sedikit menundukkan kepalanya—berjalan menuju lokernya yang tak pernah absen dari coret-coretan anak lain seperti; 'Anak Manja', 'Tuan Muda Brengsek' (Elsen cukup yakin bahwa yang menulis ini anak yang tempo hari memanggilnya 'Tuan Muda'), 'Orang Kaya Sialan', 'Mati kau!' bahkan kalau kau membuka lokernya, kau akan menemukan beberapa surat cinta di dalamnya. Isinya rata-rata hampir sama; mengajak pacaran. Atau malah ada yang lebih frontal dengan menulis ingin bersetubuh dengannya atau menikah dengannya atau menjajakan tubuhnya dengan harga yang cukup mudah dijangkau anak-anak kuliahan pada umumnya.

Elsen sudah biasa dengan hal itu. Jadi ia sudah tidak peduli lagi—walau raut sedih tak pelak menghilang dari paras tampannya. Toh setidaknya mereka tidak melakukan hal yang lebih buruk seperti menyeretnya ke gang tikus dan menghajarnya, 'kan? Ia menghembuskan napas panjang sembari meletakkan bukunya ke dalam dan mengambil buku lainnya. Ia menutup pintu lokernya dan kemudian menguncinya. Segera ia membalikkan badannya untuk mengikuti pelajaran selanjutnya; Ilmu Musik.

Baru beberapa langkah menjauhi lokernya, hampir saja ia menabrak seseorang, "Oh, maa—"

"Hey, apa kamu Elsen?" orang itu bertanya.

Elsen menaikkan satu alisnya, 'Bahasa Inggris… Orang Amerika?' dan kemudian ia membalas—menggunakan bahasa Inggris pula, "Ya, aku Elsen. Ada yang bisa kubantu?" pemuda berambut pirang platinum itu membenarkan letak kacamatanya yang melorot menggunakan telunjuknya, tak lupa sedikit mengambil langkah mundur untuk menjaga jarak.

Orang itu tersenyum lebar—atau nyengir lebar, Elsen sulit membedakan karena wajah orang ini begitu tengil dan usil namun, uh, tampan—dan tangannya yang putih pucat dan panjang terulur, "Yo, Bung! Sampai sebulan ke depan, mohon bantuannya, ya!"

Pemuda berusia duapuluh satu tahun itu melongo sebelum matanya terbelalak kebingungan, "Hah?"

.

.

.

"Dan maka dari itu kalian jadi partner!" suaranya sangat merdu dan menyenangkan untuk didengar, ditambah lagi dengan senyuman super manis dan wajah cantik khas milik Dosen pengampu mata kuliah pelajaran Budaya dan Bahasa Oriental. Kedua tangannya terkatub seperti sedang berdoa.

Alis Elsen berdenyut kesal, "Saya baru saja datang dan Ibu langsung bicara seperti itu. Saya benar-benar tidak mengerti, Bu! Maksud Ibu apa?"

"Lho? Memang Tuan Frost—"

"Please, just call me Jack, okay, Ma'am?" Jack—Jack Frost lengkapnya—memotong. Sang Dosen mengangguk.

"Oke, oke, Jack tidak bilang padamu?"

"Saya hanya mendengar soal 'sampai sebulan ke depan, mohon bantuannya, ya!' dan tidak ada penjelasan lebih lanjut. Jadi saya mohon penjelasan dari Anda sebagai orang yang—saya dengar dari orang ini—menyuruhnya mendatangi saya dan meminta saya untuk apalah tujuannya." Tuntut Elsen saat itu juga.

Sang Dosen, Ibu Toothiana—oh, betapa orang tua dosen satu ini menyukai Peri Gigi—hanya menggeleng pelan, "Kau seharusnya menjelaskan padanya, Jack. Oke, dengarkan saya baik-baik," Elsen mengangguk, "kau kenal anak yang berdiri di sampingmu?"

Elsen menggeleng.

"Dia adalah murid Universitas Oslo yang paling bandel, paling sering bolos kuliah dan paling sering membuat orang-orang jatuh cinta padanya, Jack Frost." Ibu Toothiana menunjuk Jack, Jack hanya tersenyum bangga dan melambai kecil saat Elsen memandangnya dengan sinis tentunya. Elsen mahasiswa sempurna yang sangat membenci orang-orang yang bertipe seperti si Jack ini. "Dan salah satu dari mahasiswa dengan nilai terendah tahun ini." Ia menghela napas panjang dan memijit keningnya pelan.

Oh.

Elsen mengerti sekarang. Ia bisa membaca akhir dari pembicaraan ini. Sekali lagi Elsen memandang Jack dengan sinis. Yang dipandangi hanya nyengir.

"Maka dari itu, anda, Tuan Arendelle, yang bertugas untuk membawanya ke jalan yang benar dengan mengajarinya selama sebulan penuh dan supaya ia bisa mendapat nilai sempurna di ujian susulannya besok." Lanjut Dosen manis itu sambil tersenyum tak kalah manisnya. Saking manisnya, Elsen bisa merasakan gigi-giginya ngilu.

"Tapi saya paling tidak bisa bekerja sama dengan orang lain. Saya ini tidak pernah bersosialisasi deng—"

"Karena itulah anda saya partner-kan bersama Jack, Tuan. Anak ini hanya bisa bersosialisasi dengan orang dan jenius dalam bidang olahraga. Jadi kalian bisa saling tukar kemampuan, begitu bukan?" jawab Toothiana, "Masih butuh penjelasan atau komentar lain? Saya menampung masukan kecuali kata 'tidak bisa' terlontar dari bibir merah menggodamu, Tuan Arendelle." Elsen hanya bisa bergidik ngeri. Toothiana dikenal sebagai dosen yang baik dan ramah namun tak bisa diubah pendiriannya kalau sudah menentukan sesuatu.

Pemuda dengan kacamata ber-frame kotak hitam tebal itu hanya mendesah napas panjang dan mencoba untuk menahan emosinya, "…Haah… Baiklah. Tapi hanya untuk satu bulan. Tidak lebih, dan semoga bisa kurang, dan untukmu, Tuan Fro—"

"Jack."

"Tuan Jack—"

"Jack. No 'Sir', okay?"

"Okay, fine. So please stop cutting my line before I finish them." Elsen mulai sebal.

"Okey dokey~"

"Dan untukmu, Jack," ia menunjuk Jack (membuat Jack bingung kenapa ia ditunjuk-tunjuk melulu sedari tadi), "Tidak akan ada kata 'santai' untukmu. Satu bulan, dan kubuat kau mendapat nilai sempurna dan segeralah menjauh dariku. Deal?"

"Tidak bisa santai?" Jack merengut, Elsen mengangguk, "Tapi dapat nilai sempurna?" Elsen mengangguk lagi. Jack termenung sebentar sebelum akhirnya dari bibirnya terucap dua kata persetujuan, "Okay, deal!"

Dan mereka berjabat tangan. Sang dosen hanya tersenyum samar.

.

.

.

Jack Frost.

Itu namanya.

Nama orang yang akan menjadi partner Elsen selama sebulan penuh.

Pemuda dengan paras tampan, alis mata tebal, rambut putih-kelabu bak salju pegunungan yang acak-acakkan, bola mata sebiru lautan, senyum usil namun memesona, dan dengan badan super tinggi—membuat Elsen yang mempunyai tinggi 178 sentimeter sangat iri dengan perbedaan tinggi sepuluh sentimeter dengan pemuda itu—serta style berpakaian yang super keren; piercing berbentuk kepingan salju di kuncup telinga kanan atasnya ('Seperti perempuan saja!' pikir Elsen), jaket tebal berwarna biru tua dengan zipper zi-up silver dan beberapa zipper mini lainnya yang tersebar di sekitar jaket itu yang menutupi T-shirt berwarna baby blue dengan gambar naga hitam, earphone besar yang menggantung di lehernya serta kalung berbentuk tongkat mini berujung aneh membentuk huruf 'G' terkalung manis di lehernya yang jenjang. Celana jeans panjang hitam yang kemudian ditekuk ujung bawahnya sampai sebatas lutut—membuat celana itu tampak seperti jeans ¾, kemudian kaus kaki putih yang juga ditekuk ujung atasnya dan menutupi bibir sepatu kets biru sedangnya.

Dia lebih terlihat seperti mahkluk Smurf dengan rambut putih-kelabu.

Tunggu sampai dia menyelipkan kata 'smurf' di tiap kalimat yang ia ucapkan.

Kemudian menghancurkan hidup Elsen dengan cara menarik perhatian semua mahasiswa di Fakultas Ilmu Budaya dengan melambai dan memberi salam dan ber-high five dan ber- ber- ber- lainnya.

Sungguh, demi apapun, Elsen benci–serta takut—menjadi pusat perhatian. Statusnya dengan menyandang nama keluarga tersohor saja sudah menarik perhatian, sekarang penarik perhatian pada dirinya dikali dua karena kedatangan seorang Jack Frost dalam hidupnya, dan memikirkan hal itu akan berlanjut sampai sebulan ke depan? Ia ingin segera melompat ke jurang kesendirian di mana ia tidak harus berinteraksi dengan orang banyak dan bersosialisasi dengan mereka. Ia trauma dengan 'berhubungan dengan orang lain'. Sudahlah.

"Bisakah kau hentikan itu?" Elsen memulai pembicaraan. Nadanya sedikit bergetar. Ia menutupi wajahnya dengan menggunakan lengannya. Ia kelelahan—lelah dengan segala perhatian tidak penting yang terarah padanya tadi ketika masih berada di dalam gedung. Dan untuk itulah ia segera menarik keluar Jack Frost menuju bangku yang berada agak jauh dari keramaian di bawah pohon ek besar di samping Gedung P.A Munch.

"Hentikan apa?" Jack—yang duduk ujung-ke-ujung dari tempat Elsen duduk bertanya. Ia mendekatkan diri sebelum Elsen berteriak 'berhenti' dan membuatnya tetap di tempatnya semula.

"Menarik perhatian. Aku benci itu. Berhenti melakukan itu dan ayo kita fokus ada cara agar bisa membuatmu lulus dengan nilai sempurna di ujianmu besok!"

"Gampang, kok." Pemuda berambut putih itu menjawab enteng—jangan lupakan cengiran khas-nya itu.

"Bagaimana caranya?" Elsen melirik sebentar, dengan antusiasme tinggi sebetulnya. Bayangkan kalau anak ini tahu bagaimana cara agar ia bisa lulus ujian tanpa Elsen perlu mengeluarkan tenaga yang lebih banyak dari seharusnya. Bukankah itu artinya ia bisa lebih cepat berpisah dengan anak ini?

"Ajari saja aku! Kau, 'kan, pintar!" ia terkekeh senang.

Elsen ingin bunuh diri.

"Oh, God, help me..."

.

.

.

Elsen lelah. Ya, ia amat lelah sekarang. Ia hanya ingin melepas sepatunya, dan segera menjatuhkan diri di ranjang ukuran king size dengan ornamen salju—betapa ia sangat dan amat sangat mencintai salju—kemudian tidur selama empatbelas jam dalam sehari.

Ya, ia akan sangat bersyukur bila dapat kesempatan tidur selama itu.

Tapi apa boleh buat, kuliah dengan jadwal padat (ia menyesali diri sendiri ketika ia sadar ia nyaris mengambil semua mata kuliah di Fakultas Ilmu Budaya) serta tes-tes aneh yang nyaris keluar tiap hari oleh para dosennya tercinta. Tidur dua jam sehari saja sudah syukur puji Tuhan.

Belum lagi masalah tambahan dengan harus menjadi partner seorang Jack Frost yang aneh dan, ehem, tampan, dengan cengiran menyebalkannya. Sudahlah, Elsen malas mengingat orang yang akan menjadi tanggung jawabnya selama sebulan itu. Hari ini saja—walau tidak mengajar apapun padanya—ia sudah sangat, sangat, sangat lelah. Bayangkan saja, dia mengajaknya keliling kota. Sekali lagi, keliling kota Oslo menggunakan motor Ninja yang juga berwarna biru-putih, dan mengenalkannya pada teman-temannya (Elsen hanya ingat beberapa nama dan wajah samar-samar seperti; Bunny, Sandy, Jammie, Sophie, pamannya yang dipanggil Uncle North—ia suka dipanggil begitu, nama aslinya Nicholas, Hiccup, Merida dan ketiga adik kembarnya, Rapunzel—rambutnya benar-benar panjang!, dan bermacam-macam orang lainnya). Bersosialisasi bukan bidangnya, dan bertemu dengan orang sebanyak itu dan berkenalan dengan mereka juga bukan areanya. Dia lelah. Dan dia benar-benar heran pada Jack yang bisa bersosialisasi dengan orang sebanyak itu.

Pemuda dengan bola mata sebiru es itu menghembuskan napas panjang sebelum ia membuka pintu rumahnya yang bercat putih tulang dengan gagang berlapis kuningan.

"Aku pulang," sapanya. Sapaan yang biasa ia keluarkan bila ia sudah sampai di rumah dengan muka lusuh serta lelah—di rumah orang tuanya yang besar dan luas dan hanya dengan berisikan empat anggota keluarga; Ayah, Ibu, Elsen dan adik lelakinya, Alan, serta kepala pelayan, Weselton.

"Selamat datang, Nak." Balasan sapaan terlontar dari sebuah suara bass yang pemiliknya sedang duduk di atas sofa beludru sambil membaca koran dan sesekali menyesap teh sorenya. Ya, itu Ayahnya.

"Aku pulang, Papa."

"Hm, ya. Bagaimana kuliahmu?

Pertanyaan klise.

"Biasa. Bagus—tapi melelahkan. Mengerjakan tugas, menghadiri kelas, tidak bersosialisasi dengan banyak orang. Oh, serta berita mengejutkan bahwa dosenku memberiku tugas untuk mengajari seorang lelaki aneh yang bahkan nyaris tidak pernah masuk kuliah."

"Lelaki?" sang Ayah menaikkan satu alisnya.

"Iya," jawab Elsen singkat. Hey, dia lelah, ingat?

Sang Ayah menyesap lagi tehnya, "Jangan terlalu dekat bergaul dengan lelaki itu. Ingat kata-kataku—"

Elsen turut membuka mulutnya, bersamaan dengan Ayahnya, "Tutupi, jangan rasakan. Jangan biarkan mereka mendekat dan jangan biarkan mereka tahu. Ya, aku ingat."

"Bagus. Camkan kata-kata Papa."

Dan kemudian pembicaraan terhenti. Elsen berjalan menuju lantai dua, tempat kamarnya berada. Meninggalkan sang Ayah yang masih menyibukkan diri dengan membaca koran yang diyakini Elsen hanya berisi soal saham-saham. Ibunya? Tidak ada di rumah karena ada konferensi para dokter yang Elsen sendiri tidak ingat apa namanya.

.

.

.

"Kudengar dari pembicaraanmu di bawah dengan Papa, kau dapat teman, ya, Kak?" suaranya yang tenor sangat familier di telinga Elsen. Itu suara Alan, adiknya. Kini ia sedang berbaring dengan malas sambil membaca sebuah buku novel—InkHeart judulnya, novel fantasi milik Cornelia Funk, Elsen menyukai karya-karyanya—serta sesekali mengubah posisinya.

Elsen mengernyit, "Apa yang kau lakukan di kamarku, Alan?" suaranya terdengar sebal. Siapapun yang masuk ke kamarmu tanpa ijin itu menyebalkan, bukan? Apalagi mengacak-acak novel-novel kesukaanmu. Lihat saja beberapa buku dan novel yang terlantar di atas lantai. "Pergi! Keluar sekarang juga!"

Alan beranjak dari tidurnya dan segera menggembungkan kedua pipinya yang juga mempunya bintik matahari samar seperti Elsen, "Kau selalu menutup diri dariku! Menutup diri dari dunia! Aku hanya ingin punya pembicaraan yang menarik dengan Kakakku, apa itu sulit? Jadi cepat ceritakan tentang 'temanmu' itu dan aku akan segera keluar!"

"Lelaki aneh yang dijadikan partner-ku karena dia jarang masuk sekolah hingga nilainya jeblok. Sudah kujelaskan—sekarang pergi! Serius, kau harus pergi sekarang, Alan."

"Bisakah kau berhenti menutup diri dariku?! Aku hanya—aku hanya ingin kita kembali seperti dulu, Elsen, seperti dulu! Di saat di mana kita bermain berdua, tidur berdua, seperti kakak-adik lainnya!" ia membanting novel tebal bersampul warna kuning itu ke atas ranjang dengan sebal. Matanya berair. Sungguh, ia sangat rindu bisa berdua dengan kakaknya tercinta—namun apa daya Elsen sudah berubah drastis dari ia yang dulu.

Yang ceria hilang—diganti yang sedih.

Yang ramai hilang—diganti ketenangan seribu tahun.

Yang peduli hilang—diganti dengan dingin.

Yang tersenyum—diganti dengan yang sendu.

Alan benci itu. Ia ingin semua kembali seperti dulu.

"Tidak bisa! Semua ini—kita hanya tidak bisa kembali seperti dulu lagi, Adikku! Semua sudah tidak sama!" Elsen membanting tas selempangnya ke lantai parquette yang dilapisi karpet biru gelap.

"Maka dari itulah kita harus bisa seperti dulu! Kumohon, Kak... Aku benar-benar rindu masa-masa itu, masa-masa sebagai saudara dekat." Wajah Alan memerah. Rambut coklat-strawberry miliknya turun ketika ia menundukkan kepalanya—mencoba menguatkan dirinya dari penolakan kakaknya sendiri yang entah sudah keberapa kalinya dalam sebelas tahun ini dilakukannya.

"Kumohon... Pergilah... Menjauhlah dariku..." pinta sang Kakak sambil menundukkan kepalanya. Alan terlihat amat sangat terpukul—entah untuk yang keberapa kalinya dalam hidupnya semenjak sang Kakak sudah berubah—segera ia beranjak dari ranjang dan segera berjalan menuju pintu kamar Elsen.

"Kau harus tahu," katanya, saat melewati Elsen, "aku selalu berdoa pada Tuhan; kita akan seperti dulu. Aku tidak peduli apa kata Papa tentangmu dan perasaanmu—sama seperti yang pernah ia katakan dulu—aku hanya ingin kita bersama lagi, Kak. Dan itu pasti akan terkabul. Dan akupun akan berusaha mewujudkannya."

Dan pintu ditutup, meninggalkan Elsen termenung sendiri.

Ia menutup pintu kamar berwarna baby blue itu pelan. Ia dapat mendengar langkah kaki Alan yang menjauh dari kamarnya dan masuk ke kamarnya yang berada di ujung lorong lantai dua. Pemuda berkacamata itu menyandarkan punggungnya yang tegap ke pintu.

"Aku pun—" dan iapun menitikkan air mata.

.

.

.

Elsen merasa tidak nyaman.

Hal lain—selain bersama dengan orang lain—yang ia benci adalah ketika orang melihatnya, seakan melihat suatu barang yang dipajang di museum, "Apa?" akhirnya ia berkata. Tak lupa sedikit menjauhkan tubuhnya dari sang Penatap.

Sang Penatap—Jack Frost, siapa lagi?—masih menatap Elsen dengan sepasang iris birunya yang menawan semua orang, "Matamu merah. Kau menangis?" tanyanya. Ia menundukkan sedikit tubuhnya untuk melihat mata Elsen yang merah di balik kacamatanya. Biru dan merah bagus—tapi tidak untuk mata Elsen. "Wajahmu pun kuyu. Kenapa?"

Elsen merasa terpojok, ia sampai menabrak lokernya dengan punggungnya dan memallingkan mukanya, "Bukan urusanmu, sekarang bisakah kita mulai sesi belajar kita?"

"Tentu saja urusanku. Tutorku sedang dalam kondisi tidak sehat dan akan mengajariku. Kalau kau pingsan bagaimana?"

"Just let me be, then."

Ia menghalau pergerakan Elsen dengan memagari pemuda itu menggunakan tangannya yang panjang, "The hell—c'mon, just tell me." Jack memaksa. Ia masih memojokkan Elsen.

Elsen mulai tidak nyaman, benar-benar tidak nyaman. Ia segera menampik tangan Jack yang menghalanginya dan segera pergi, "Not your bussiness. We have to go."

"Where?"

"Ke tempat di mana kau bisa belajar; Vigeland Park atau Taman di depan Royal Palace. Pilih salah satu." Elsen berjalan mendahului Jack.

Jack mengikutinya, "Royal Palace! Wow! Kupikir kita bakal belajar di tempat membosankan seperti Perpustakaan Kampus! Kau malah memilih taman! Ini diluar dugaanku!"

Elsen menghela napas, "Melihat dari kelakuanmu yang suka bikin onar dan berisik, perpustakaan bukanlah tempatmu."

Pemuda dengan hoodey biru itu tersenyum, "Kau mengenalku dengan baik."

Mereka melenggang di koridor, sekali lagi menarik perhatian orang-orang. Dua orang ini adalah diva wajah tampan di Universitas Oslo, apa boleh buat, 'kan?

"Dengan motormu—dan jangan ngebut atau aku akan lompat." Ancam Elsen. Jack hanya terkekeh ringan. Namun apa kau tahu bahwa dibalik kejenakaannya, mata Jack masih terpaku pada mata merah Elsen?

.

.

.

Dua minggu berlalu bagai badai.

Cepat sekali.

Dan kadar kelelahan Elsen juga meningkat.

Pasalnya, orang bernama Jack Frost ini... nyaris mengenal semua orang yang mereka temui di tempat mereka belajar.

Yah, bukannya tidak terpikirkan. Hanya saja, Elsen benar-benar tidak menyangka bahwa orang sebanyak ini mengenal Jack Frost. Ini seperti kali pertama mereka berdua keliling Oslo dan Jack dengan seenaknya mengenalkannya pada semua temannya.

Serta merta Elsen makin mengenali sosok seorang Jack Frost—begitu pula sebaliknya, Jack Frost mengenal Elsen Arendelle.

Mereka bagai es.

Dua es yang berbeda.

Jack pribadi yang berisik namun supel dan dicintai. Seakan tak ada cela dalam bongkahan es kuat sempurna luar dalam yang akan dipahat menjadi patung es terindah.

Elsen pribadi yang tenang namun tenggelam dalam ketakutan dan kesendirian, menolak semua tangan yang ingin menariknya, es yang dingin, beku, kaku di luar, hancur dan lemah di dalam.

Jack selalu melihatnya—melihat Elsen yang tak pernah tersenyum. Selalu bersedih. Selalu sendiri. Selalu hancur—entah karena apa. Jack ingin menolong, pemuda itu menolak. Ia menutup diri dengan segala es tajam terbuat dari kata 'biarkan aku sendiri' dan tembok es kokoh terbuat dari rapalan, 'ini masalahku dan bukan masalahmu' serta sekawanan tentara es berbisikkan 'aku tidak butuh bantuan orang lain'.

Tak apa.

Tak akan ia menyerah begitu saja.

Elsen Arendelle menarik perhatiannya dari dulu.

Dan ia akan terus menarik perhatian Elsen Arendelle dengan berbagai cara; agar ia mau berpaling padanya—meminta bantuannya, karena ia akan menolongnya saat itu juga.

Jack Frost selalu sadar bahwa hatinya meleleh bila berada di dekat seorang Elsen Arendelle.

.

.

.

Tiga minggu berlalu terlalu cepat dan melelahkan bagi seorang Elsen.

Ya, pemuda berkacamata dan berambut pirang platinum itu kelelahan setengah mati.

Jack Frost benar-benar... merusak kedamaiannya.

Dan karena itulah ia jadi mengetahui bagaimana seorang Jack Frost.

Ia tampan—sudah jelas. Dia mudah bergaul. Semua orang mencintainya. Supel, gaul, up to date, cukup berada—walau ia kadang suka berlagak seperti anak biasa, Elsen sebal karena itu. Omongannya tidak pernah menyakiti, namun membuat semua orang merapat padanya. Hatinya luas bak langit biru (Elsen selalu merasa ia melebih-lebihkan soal yang satu ini; maksudnya Elsen terlalu sering melihat Jack dalam balutan baju biru dan mungkin itu mempengaruhi pengelihatannya soal langit dan—sudahlah!). ia pintar—walau Elsen mati-matian tidak mau mengakui ini. Pasalnya dia bukan seorang jenius, dia hanya belajar dan menjadikannya pintar—tidak seperti Jack yang, uh, memang jenius dari sananya.

Dia bagai Sang Matahari yang selalu dibutuhkan tiap umat manusia. Ia sempurna layaknya Apollo.

Dan ia selalu menyempatkan diri memperhatikan Elsen.

'Sudah makan? Sudah mandi? Sudah bersosialisasi dengan manusia? Kau terlalu sering bercinta dengan buku! Apakah aku lebih tampan darimu—tentu saja, 'kan? Matamu merah lagi, kenapa? Kau selalu sepucat ini atau apa, sih? Ayolah, kalau punya masalah, ceritakan padaku! Aku akan membantumu! Aku ini jago membuat orang tertawa, lho!'

Dan sebagainya.

Perhatian kecil yang tak pernah ia dapat di rumah. Alan perhatian, namun Elsen takut.

Elsen tidak takut pada Jack. Anak berambut putih salju itu memberinya rasa nyaman. Hatinya selalu berdesir tiap kali pemuda itu menanyakan hal-hal itu. Sebentuk perhatian kecil yang amat sangat berarti bagi Elsen—dan ia senang.

Ia benar-benar bagai Sang Matahari. Elsen membutuhkannya. Dan es dalam dirinya mulai perlahan mencair.

.

.

.

Aku bagai es dalam badai

Menunggu sang Mentari

Tuhan menjawab

Sang Mentari datang

Es dalam badai itu aku

Tapi benih di dalam es adalah hatiku

Es mulai mencair

Tergeraklah sang benih

Ia mulai tumbuh

Menunggu

Untuk mekar

Dan untuk bahagia dengan Sang Mentari

.

.

.

Jack itu ternyata...

"CERDAS!"

Jack nyengir, "Baru tahu?"

Alis Elsen berkedut, "Tentu saja tidak! Aku mengecek semua nilaimu—kudapat dari Bu Toothiana by the way—dan nilaimu bahkan tidak pernah lebih dari C-! Dan ini—Aarrgghh! Bahkan selama tiga setengah minggu ini, kuajari kau, dan kuberi pertanyaan, serta mengerjakan tugas-tugas dari buku, kau menjawabnya dengan cepat dan tepat! Kalau kau secerdas ini, belajarlah sendiri, Jack." Ia membelakakkan matanya dengan melihat hasil tulisan tangan Jack; hipotesis awal terbentuknya bahasa di suatu negara. Mereka sedang berada di taman depan Royal Palace sambil meminum coklat panas dan teh beraroma mint di sebuah bangku dan kursi batu di dekat sana.

"Hm... no way." Jack merentangkan kedua tangannya ke udara, ngulet dan kemudian menguap lebar, "Aku benci belajar. Lagipula aku ingin diajari olehmu." Ia nyengir lagi, tak lupa melirik ke arah Elsen yang memasang muka 'what the fuck' stadium empat.

Elsen memandang Jack sebentar dengan tatapan was-was, tangannya mengetuk-etukkan pulpen yang ia gunakan untuk mengajarkan pelajaran Sejarah Bahasa dan tangan satunya membetulkan letak kacamata ber-frame kotak tebal yang melorot itu, "Kenapa pula harus denganku? Bukannya kau punya banyak teman yang bisa kau mintai tolong untuk mengajarimu?" tanyanya.

"Well, I just wanna be with you. Is that weird?"

"Definitely. I mean, you're a proper genius, you don't need me to teach you anything."

Pemuda berambut seputih salju pegunungan itu tersenyum, membuatnya tambah terlihat tampan di mata Elsen, "Sebenarnya memang tidak perlu. Aku memang, hanya ingin berada di dekatmu karena kupikir kau orang yang sangat menarik."

"Apa maksudmu? Memang aku ini bahan lelucon? Aku tidak bisa mendefinisikan kata 'menarik' kalau aku bersama denganmu." Elsen melengos. Tapi entah mengapa pipinya sedikit memerah.

Sekali lagi, Jack nyengir, memperlihatkan gigi-giginya yang putih bersih tanpa noda dan cela (Elsen selalu ingin bertanya pasta gigi apa yang ia pakai dan makanan apa saja yang ia lahap karena giginya benar-benar putih bersih seakan tak pernah ada satupun makanan yang berhasil mengotorinya), "Dari pertama aku melihatmu di kampus, aku selalu mengawasimu. Kau tak pernah tersenyum. Tak pernah dekat dengan orang lain. Tak pernah bersosialisasi dan bicara seperlunya. Kau bagai es—yang kuat namun rapuh. Aku jadi... tidak bisa membiarkanmu sendirian."

Elsen mengerutkan alisnya, "Dan karena itu kau dengan sengaja menjatuhkan nilaimu demi bisa menjadi partner-ku? Apa kau mempermainkanku?"

"Tidak." Jawabnya singkat, "Seperti kataku; aku hanya ingin bersamamu. Tidak lebih, tidak kurang. Hanya itu. Lagipula aku tidak dengan sengaja menjatuhkan nilaku seperti katamu, aku hanya benar-benar malas kuliah."

"Oke, ini tidak lucu lagi, Jack Frost."

"Dan aku pun tidak tertawa kalau ini lelucon, bukan?" Jack mengulurkan tangannya, menyentuh jemari Elsen, "Aku tertarik padamu dan ingin berada bersaamu. Apa itu lucu untukmu?"

Poni Elsen turun saat ia menundukkan kepalanya, membuat wajahnya tertutupi dengan sempurna. "Aku pergi." Ia menarik tangannya menjauh, berdiri dan mengepak semua buku-buku dan alat tulisnya dari atas meja, memasukkannya secara asal-asalan ke dalam tas hitam kecilnya, dan kemudian beranjak pergi.

Jack ikut berdiri, "Aku akan mengantarmu." Katanya sambil mengambil kunci motor dengan gantungan kunci berbentuk kepingan salju pentagon dan memasukkan buku-bukunya ke dalam tasnya.

"Tidak perlu repot-repot. Aku akan meminta supirku untuk menjemputku di sini. Kau pulang saja." dan ia pun berjalan dengan cepat, melangkahkan kaki jenjangnya dengan terburu-buru seperti sedang dikejar setan.

Jack masih mengekori dirinya, "Hey, wait up!" tapi Elsen tak menggubris. Ia malah semakin mempercepat langkahnya—dan kemudian bertambah cepat, dan semakin cepat dan—, "KENAPA LARI WOI?!" dan aksi kejar-kejaran ala Bollywood terjadi.

"JANGAN MENGEJARKU!"

"KALAU BEGITU JANGAN LARI!"

Elsen melirik, melihat Jack berlari dengan kecepatan bak seekor singa, ia ketakukan setengah mati, "AAAARGH! MENJAUH DARIKU! BERHENTILAH MENGEJARKU!"

"AKU AKAN BERHENTI MENGEJAR BILA KAU BERHENTI BERLARI, ELSEN BODOH!"

"SIAPA PULA YANG KAU BILANG 'BODOH', TUAN NILAI C-?!"

"AKU INI JENIUS, TUAN PENYENDIRI!"

Serius, saat itu juga bila ada tentara dari Royal Palace melihat mereka, mereka akan langsung diseret ke ruang sidang di dalam bangunan istana megah dengan empat pilar utama di depannya itu. Untung tidak ada, yang ada hanya beberapa pasangan yang sedang bermesraan dan menikmati harinya sambil berbaring di rumput dan makan siang—yang aneh sekali padahal ini sudah hampir gelap, kaki matahari baru saja memasuki horison, membuat warna jingga menghiasi langit.

Butuh waktu sekitar limabelas menit bagi Jack untuk bisa menggaet tas hitam Elsen—dan demi apapun ia bisa dengan mudah melarikan diri—jadilah Jack mengejarnya lagi dan benar-benar bisa menggaet tangannya, "Ter—hah, hah—tang—uhuk—kap! Hah!"

Elsen juga ngos-ngosan. Seumur-umur dia tidak pernah mendapat nilai bagus dalam pelajaran olahraga. Lari estafet saja dia jatuh pingsan karena tidak kuat. Namun ini urusan hidup-matinya, jadi ia tidak peduli kalau ia ngos-ngosan dan berkeringat hebat seperti sekarang.

"Kau itu—apa-apaan, sih?! Kenapa lari begitu?!" Jack sebal bukan kepalang, "Hey, look at me!"

Sekali lagi, pemuda berusia duapuluh satu tahun itu tidak menggubris. Ia membelakangi Jack sambil terus ngos-ngosan. Jack benar-benar sebal, dengan segera ia memutar badan Elsen dan berniat memarahinya, "I said, look at ME—Ah..."

Wajah Elsen.

Memerah.

Bukan.

Itu benar-benar merah. Semerah kulit apel.

"...Don't look at me." Ia menunduk.

Jack terdiam sebentar—menatap Elsen yang masih sibuk menundukkan kepalanya dan meronta melepaskan tangannya—dalam wajahnya yang semerah cangkang kepiting, "Hey, do you like me?" kini Jack yang berbicara.

Elsen tersentak dan mengangkat wajah merahnya. Matanya terbelalak, begitu juga bibirnya yang bergetar seperti halnya tubuhnya. Ia panik.

Jack melongo, "Hey, Elsen… Answer me; do you like me?" ia mengulangi pertanyaannya.

Semakin merahlah wajah Elsen. Bulir keringat makin tampak di pelipisnya, "A-Ak-Aku… Aku—"

"You do like me."

Elsen tercengang, sebelum ia menggelengkan kepalanya dengan takut-takut dan berakhir matanya menatap iris Jack—iris yang menatap lurus pada matanya. Poninya sekarang basah kuyup. Ia menunduk lagi sebelum mengangguk lemah.

"Can I kiss you, then?"

Dan tanpa persetujuan, Jack menaruh tangannya di dagu Elsen, mengangkatnya—membuat wajahnya bertemu dengan wajah Elsen yang merah padam, mata mereka bertemu, sampai Jack perlahan menurup matanya.

Kedua bibir itu mendekat.

Kini menempel.

Mereka berciuman.

Dan...

'KLIK!'

Suara aneh dari jauh yang tidak mereka dengar.

~To Be Continued~

.

.

.

A/N : So, this is chapter 1. Mohon maaf bila plotnya kecepeten. Iya, gue sadar diri kok. LOL abis kalo kaga gue ubah macem", ini satu chapter bisa lebih dari 6K words dan asdgjkl sapa juga yang mau baca sebanyak itu? Ada yang baca oneshoot gue aja yang 1K lebih dikit gue udah puji syukur. #ngesot

btw itu gue pake Eugene dari Rapunzel wal walo kaga gue sebutin marganya yang susah itu. :v #dor berhubung cuma muncul satu scene dan dia juga dari Disney, jadi ya... gitu deh. :V dan bahasa inggris plz. kenapa gue masukin? soalnya ceritanya si Jack itu bule dari amrik sekolah di Universitas Oslo, dan mereka punya sesi pelajaran bahasa inggris dengan mahasiswa luar negeri laen. .w.

TAPI! Gue seneng banget ngetik ini. I mean, tantangan baru gitu... gue doyan straight! Jack x Elsa soalnya... LOL tetiba bikin Jack x Male!Elsa pertamanya juga kagok. ROFL Makasih banget buat Silan Haye yang udah ngadain ini challenge~ XD dan makasih banget buat orang" yang udah mau menyempatkan diri buat baca fanfic gue yang naujub gile panjang amit" padahal gue doyan nulis FF di bawah 3k words doang. LOL #heh

Mind to review my 1st chapter for this 2shoot fanfic, guys? :) :D