"I NEVER WANT TO BE LIKE THIS"

~LAST CHAPTER~

© 2015 This story belong to me. The Cast belong to their agency. If there same place or anything else, its not on purposed. This story just fiction.

KAISOO FANFICTION

MATURE CONTENT

BY DON'TJUDGEMELIKEYOU'RERIGHT

Proudly Presents

Baekhyun hampir saja sampai dikedai untuk membeli ramen suruhan ibunya, tidak terlaksana karena seseorang menarik tangannya agar tersembunyi dibalik pohon. Pria itu tidak membekap mulutnya, tidak meringkus tubuhnya, atau apapun yang lazim dilakukan penculik. Kesimpulan Baekhyun, pria ini bukanlah penculik. Baekhyun meneliti sosok tinggi tegap didepannya, mengenakan kemeja lusuh dan jaket kulit yang hampir tak layak pakai. Menurut Baekhyun, penampilan amburadulnya mengingatkan ia tentang seseorang.

"Byun Baekhyun?" Bahkan suaranya terdengar serak, wajahnya memerah, mata sembab. Intinya, pria dewasa ini telah menghabiskan semalaman untuk menangis. Tunggu, bukankah- "Ya, aku ayah Kyungsoo. Do Hansoo." Tangan besar itu terulur, meminta jabat dari Baekhyun. Meski agak gamang, ia tetap membalas bersama keraguan. "Aku adalah ayah yang buruk, kukira kau sudah tahu. Apa Kyungsoo bercerita banyak?"

"O-oh, maafkan saya karena tidak menyadarinya." Baekhyun sedikit memaksakan senyumnya. Tapi ia tetap membungkukkan badan demi sopan-santun yang telah diajarkan kedua orangtuanya. "Ya, kurasa Kyungsoo termasuk tipe orang tertutup. Anda sebagai ayah pasti tahu. Dia tidak bercerita banyak, dia menyembunyikan semuanya." Baekhyun sengaja menyindir, telak, karena membuat Ayah Kyungsoo segera terhenyak.

Pria itu menunduk dalam-dalam, membiarkan Baekhyun merelakan semenit waktunya untuk menunggu sang lawan bicara. "Jadi, aku ingin memperbaiki hubunganku dengan Kyungsoo. Ayah yang buruk adakalanya bisa berubah menjadi Ayah yang baik, kan?" Baekhyun mengangguk kecil. "Nah, aku ingin kau membantuku, Baekhyun. Aku tidak ingin terlambat memohon maaf dan terlarut dalam rasa bersalah, aku harus segera bertemu dengannya."

"Apa dia tidak pulang ke rumah?" Baekhyun memancing, dapat dengan mudah melihat ekspresi pria itu mulai bermimik sedih.

"Sepertinya dia sudah tidak tahan lagi menghadapiku. Tapi aku ingin ia kembali. Aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa selamanya mulai sekarang, aku akan menjadi Ayah semestinya Ayah."

"Apa selama ini Kyungsoo selalu menyayangi anda?" Lagi-lagi Baekhyun memancing. Terlebih ingin meyakinkan diri bahwa lelaki ini tidak berpura-pura.

Ayah Kyungsoo tidak sedikitpun merasa jika Baekhyun sedang menginterogasinya. Ia tetap meladeni Baekhyun selaku pemilik koneksi terbaik dengan Kyungsoo. Jadi, tidak banyak elakan selain menjawab semua pertanyaan Baekhyun segamblang-gamblangnya.

"Tentu saja. Tololnya aku karena baru menyadari hal itu semalam." Baekhyun tidak salah dengar kalau pria itu memang menangis. Sebagai sesama manusia, Baekhyun berusaha memberi ketenangan dengan elusan pelan dibahu figur ayah itu. "Aku benar-benar menyesal, sangat. Semua penderitaan yang dia alami sejak berumur sepuluh tahun adalah karena aku. Sejak kepergian ibunya, keluarga Park yang menyiksanya dan kini aku yang seharusnya melindungi malah mentah-mentah membuangnya. Bukankah aku ayah yang bodoh?"

Baekhyun merasa prihatin, ia sadar keibaannya ini bermula sejak ayah Kyungsoo menitikkan airmata sambil merutuki diri sendiri. "Kyungsoo sudah menceritakan sebagian pengalaman hidupnya yang pahit itu." Pria itu mendongak, mempertegas tatapannya di iris Baekhyun. Ia mulai memusatkan perhatiannya kepada sosok mungil ini. "Yah, memang mengerikan jika kehidupan Kyungsoo terjadi kepada orang selain dirinya. Saya tidak bisa membayangkan sekuat apa dia waktu itu."

"Untuk itu, bisakah kau segera mempertemukanku dengannya? Kau tahu dia dimana, kan? Apa dia baik-baik saja?" Baekhyun memandangi dua mata itu, mencari kesungguhan disana. Terlebih saat tatapan memohon dan segala ucapan sesal yang semakin membuat Baekhyun terenyuh. Ia yakin sekarang, Ayah Kyungsoo tidak sedang main-main. "Kau mau menolong seorang Ayah untuk meminta maaf pada anaknya, setelah ayah tersebut menyakiti dia, kan?"

Baekhyun mengangguk mantap kali ini. Senyumannya tersambut senyum tak kalah lebar dari sosok dewasa itu. Tak diduga, ayah Kyungsoo itu malah tidak serantan memeluknya, mengucap berulang kata terima kasih. Beginikah rasanya membantu kehidupan seseorang agar membaik?

"Mari saya antar, Ahjussi."

-ooo-

Kai tidak menyerahkan seluruh atensinya dilayar televisi, sedikit-banyak ia mencuri-curi dengar percakapan neneknya dan Kyungsoo didapur. Sesekali ia memencet setiap tombol di remote, berkedok mencari chanel yang pas. Pada akhirnya, ia tidak tahan ditinggal sendiri diruang tengah, sementara dua orang yang mulai akrab itu terkikik heboh.

"Apa kalian sedang membicarakanku?" Kai sudah menyeruak diantara Kyungsoo dan Neneknya, mereka yang sedang memotong sayuran sontak terkejut dengan hadirnya Kai.

"Astaga, Jongin. Aku baru sadar kemarin ikut memanggilmu Kai. Aku bertanya pada Kyungsoo, apaarti nama itu, tapi dia juga tidak tahu." Lalu satu kecupan singkat mendarat dipipi wanita tua itu, dari cucunya, Kim Jongin.

"Halmeoni tidak perlu tahu. Yang terpenting, namaku disini tetap Jongin." Kai menajamkan indera penciumannya, matanya melekat pada apa yang dikerjakan Kyungsoo.

Ah, Kyungsoo sudah membaik. Kepalanya tak lagi berdenyut nyeri setiap ia memikirkan sesuatu, kecuali tentang ayahnya. Tidak sebelum lengan Kai tiba-tiba melingkar dipinggangnya, agak membuat Kyungsoo terlonjak dan mengundang perhatian.

"Ada apa Kyungsoo?" Nenek Kai melihat Kyungsoo yang kelabakan, sedangkan Kai menyalahkan diri karena melupakan trauma Kyungsoo masih bersarang. "Apa kepalamu sakit lagi?"

"Mm, kalian memasak apa untuk makan malam, hm?" Kai segera mengalihkan topik sebelum Kyungsoo sempat menjawab. Jangan sampai neneknya tahu jika Kyungsoo begitu karena perbuatan tanpa nalarnya. "Harum sekali. Apa Kyungsoo yang memasak?"

"Aaah, apa kau baru tahu jika ternyata Kyungsoo ini pintar memasak?"

Kai menelengkan kepalanya, bergantian memandang neneknya dan Kyungsoo. "Oh ya?"

"Nanti saja kau coba masakannya. Halmeoni jamin kau pasti menyukainya."

Lalu Kai hanya menganggukkan kepalanya, merasa setuju. "Baiklah, aku akan menunggu sampai matang, ya."

"Mm, Halmeoni, apa sup-nya terlalu kental?" Kyungsoo bertanya dengan tolehan kepala, menunjukkan adukannya pada wanita tigaperempat abad itu. "Atau malah seharusnya tidak sekental ini?"

Nenek Kai menengok hasil kerja Kyungsoo, lalu mencicipi setitik cairan yang ia letakkan ditelunjuk. "Hm, ini sempurna, Sayang. Coba kau tambahkan lada sedikit saja." Kyungsoo menurut, lalu mengocok botol kecil berisi lada baru kemudian menuangkannya kedalam panci.

Kai yang tidak mengerti sama sekali hal berbau masak-memasak, memilih untuk duduk dikursi tinggi. Namun, pandangannya tak henti mengamati gerak Kyungsoo, yang tak dipungkiri membuatnya bernafas lega. Setidaknya, sedikit senyum tampak sering Kyungsoo perlihatkan. Sayang saja, belum sepenuh waktu Kai bersama kegiatannya itu, ketukan dipintu jelas menginterupsi.

Maka, ia segera beranjak, menyuruh tungkai kakinya menopang tubuh tegapnya. "Biar aku saja yang membukakannya. Tsk, siapa bertamu sore-sore begini, sih?" sepeninggal Kai, wanita tua itu melempar tatapan pada Kyungsoo, lalu mereka menggeleng bersamaan.

Kai sudah memutar kenop, tanpa melihat siapa tamunya, ia sudah menyembur, "Ya! Siap-eh? Baek?"

"Hai, Kai." Baekhyun mengangkat satu tangannya, "Kenalkan dia ayah Kyungsoo."

Kai tentu memberi tatapan bertanya, sementara Baekhyun membiarkan pria dewasa itu menerobos Kai. "What the..?! Apa-apaan?"

"Kau lihat sendiri setelah ini, ayo masuk." Kai tidak mempermasalahkan sikap Baekhyun, seolah ia adalah tuan rumah dengan rangkulannya dibahu Kai. Tak lama mereka berdua sudah menyusul ayah Kyungsoo yang lebih dulu masuk tanpa permisi.

"Kyungsoo! Kyungsoo!"

Teriakan itu memicu kekhawatiran Kai, ia hendak melepas rangkulan Baekhyun jika pemuda itu tidak mencekal lengannya. "Dia akan menambah trauma Kyungsoo lagi, Baek! Dia belum siap. Kau tahu s-" Bahkan laki-laki tak diundang itu sudah berlari-lari kepenjuru ruangan dirumah neneknya. Semua tempat sudah ia masuki sebelum neneknya datang tergopoh. Tanpa Kyungsoo.

"Ada apa, Jongin?"

"Lihat dulu saja, tenangkan dirimu, Kai." Baekhyun berangsur mengurut dada Kai, mengusahakan bait ketenangan untuk sobatnya itu. Meski ingin membantah lagi, Kai berasumsi menuruti Baekhyun, terlebih saat ada hal lain yang disembunyikan dari tatapan itu. "Hai, Halmeoni. Tolong lihat dulu tentang apa yang anda tanyakan."

Kyungsoo masih ada ditempatnya semula, memaku diri. Adukan sup di panci telah terhenti sejak teriakan familiar itu berdengung kencang. Apa ayahnya datang untuk menjemputnya pulang? Lalu memarahi aksi kaburnya dan kemudian menyuruhnya menjual diri lagi? Oh, Kyungsoo tak akan sanggup melakukan itu. Sebelum-

"Kyungsoo!"

Setelah pekikan itu, Kyungsoo tidak berani berbalik. Bagaimanapun, ayahnya sudah ada disini, menemukannya. Lalu beberapa langkah lain mulai berderap, mendatangi dapur bak pemburu pencuri. Tapi dia bukan pencuri, hanya ayahnya.

"Kyungsoo!"

Ulangan itu tetap membuat Kyungsoo berada ditempatnya. Ia sudah mematikan kompor dan ada sebersit rasa bersalah karena tak mampu menyelesaikan masakannya. Kenapa ayahnya selalu menggaggu kesenangan yang belum genap duapuluh empat jam ini?

"Hiks, Kyungsoo, hiks.." Kyungsoo tidak melafalkan doa untuk meminta ayahnya datang kesini. Tapi, yang dilakukannya kini benar-benar membuat Kyungsoo ingin melompat tinggi-tinggi. Ini mustahil, tetap saja ini juga kenyataan. Ayahnya berlutut, memluk kaki Kyungsoo yang bahkan belum membalik tubuhnya. Lalu menangis, ayahnya, Demi Tuhan dia menangis. Kyungsoo lebih tidak ingin mempercayai ini, jika ayahnya bergumam penuh sesal. "Maaf, maaf, maafkan ayahmu, Kyungsoo. Ayah terlalu buruk, panggil aku Ayah sekarang, Nak. Sungguh, ayah sangat menyesal."

Kyungsoo tertegun, matanya belum berkedip. Apalagi, tiga orang lainnya sedang serius menyaksikan adegan ini. Perlahan, ia melepas apronnya, lalu menggesek kedua telapak tangannya, baru setelah itu menghirup nafas. Ya, Kyungsoo sudah siap menghadapi ini.

Ia berbalik, membungkuk barang sebentar untuk membantu ayahnya berdiri. Benar kata Chanyeol, nyalimu akan ciut jika berhadapan dengan manusia semulia Kyungsoo. "Ayah. Aku memanggilmu Ayah, sudah boleh? Sekarang berdirilah, seorang anak tak pantas mendapat perlakuan seperti ini dari ayahnya."

Ayahnya terkesiap, kini telah berhadapan dengan Kyungsoo dan ia tak kuat lagi untuk tidak memeluk tubuh kurus anak sematawayangnya. "Hiks, ja-jadi, kau memaafkan Ayah?"

"Seperti yang sering kubilang, adakalanya orang berlaku khilaf. Aku tentu memaafkan ayahku sendiri." Kyungsoo membalas pelukan itu, tanpa pikir panjang. Ia ikut menangis, bersamaan dengan haru-biru yang juga tercipta diantara Baekhyun, Kai dan neneknya.

Ayah Kyungsoo mengeratkan pelukannya, berlangsung lama dengan kecupan-kecupan yang menjalari kepala Kyungsoo. "Apa semudah ini? Ayah terlalu banyak menyusahkanmu, hiks~"

"Semudah ini, tentu saja. Aku yakin selalu yakin jika saat seperti ini akan datang tak peduli kapan. Sekarang, semuanya sudah lengkap, terlalu sempurna untuk kutangisi." Mendengar ungkapan Kyungsoo, Kai dan Baekhyun bersamaan mendekat, memberi pelukan melingkar yang terasa abadi. "Aku senang, semuanya sudah tampak sempurna sekarang. Aku-aku, aku sudah bahagia. Sangat. Terima kasih."

-ooo-

One year later

"Oh, Kyungsoo-ya! Selamat atas kelulusanmu~"

"Baeeekhyun-iee! Astaga, nilaimu memuaskan sekali~"

Kemudian, mereka merentangkan kedua tangan, memberi leluasa untuk saling memeluk. Ini dihalaman belakang rumah Kyungsoo, suasana ramai tidak mengurangi kegirangan dua remaja yang baru saja menerima gelar tersebut. Sekalipun ayahnya hanya mengundang tetangga-tetangga terdekat, tapi pesta ini sudah sangat meriah. Ayahnya juga telah menyiapkan hiasan-hiasan berspanduk besar, meja dan bangku panjang, juga beragam peralatan Barbeque. Bukankah sempurna? Sesiangan ini akan dihabiskan bersama orang tersayang Kyungsoo, biarpun terik mentari ada sejengkal diatas kepala mereka.

"Jadi, kekasihku ini hanya mau memeluk sahabatnya?" Ada Kai disana, wajahnya memberengut. Kemudian, Kyungsoo dan Baekhyun reflek melepas pelukan mereka. "Ya! Byun Baekhyun!"

Kai memekik karena Baekhyun meninju lengannya, "Apa-apaan kau, cemburu dengan sahabat kekasihmu sendiri?"

"Setidaknya, ucapkan selamat untukku juga." Kyungsoo lalu memeluk Kai dari arah belakang, melingkarkan lengannya diperut si tan itu. "Mm, hanya dipeluk? Don't you wanna kiss me?"

"Ya! Siapa yang membolehkan Kyungsoo menciummu, Tuan Kim?" Ayah Kyungsoo tiba-tiba datang, ikut bergabung bersama penjepit daging dan sepikul arang. "Lebih baik kau bantu aku memanggang daging-daging gemuk ini." Kai mengerucutkan bibir, sementara Baekhyun dan Kyungsoo tergelak bebarengan.

"Uhm, Appa bisa memasaknya tanpa hangus?" Kyungsoo bertanya, masih bergelayut manja pada Kai. "Baekhyun pintar meracik bumbunya." Ia melirik si eyeliner yang bersemangat menganggukkan kepala.

"Benar, Ahjussi. Saya akan membantu anda." Baekhyun mengambil alih barang bawaan ayah Kyungsoo. "Tapi kita tetap memerlukan sang Koki untuk membolak-balik dagingnya."

"Mm-hm, tamu-tamu sudah menunggu dan jangan biarkan mereka kelaparan." Kai ikut menyerobot. Perlahan ia merenggangkan pelukan Kyungsoo ditubuhnya, lalu membawa pemuda itu sampai kehadapan matanya. "Selamat memasak, Sayang. Panggil aku kalau sudah siap."

Lalu Kai melenggang pergi, bertegur sapa dan menerima ucapan selamat dari orang-orang yang ada disana. Sedangkan ayah Kyungsoo menggeleng berulang kali, "Astaga, bagaimana anakku bisa mencintai berandal sepertinya?"

"Appa." Kyungsoo bermaksud menegur, lalu ia sendiri sudah ada dipelukan ayahnya. Membuat Baekhyun perlahan menyingkir, agar keduanya bisa menikmati momen langka ini. "Tenanglah, aku juga mencintaimu. Oh ya, aku merindukan ibu. Apa kita tidak bisa ke makamnya?"

"Ah, anakku sudah dewasa, anak kita sudah dewasa, Kyunghee. Lihat, dia sepertimu. Benar-benar sepertimu." Setitik airmata ayahnya jatuh, membasahi pipi Kyungsoo juga. "Makam ibumu di Seoul, Sayang. Suatu hari nanti kita kesana. Oke?"

Kyungsoo mengangguk kecil, "Appa, jangan menangis. Ada Kyungsoo disini." Lalu lelaki dewasa itu membawa anaknya duduk ditepian bangku. Rambut keduanya sama-sama tertiup angin, tapi tangan besar seorang ayah itu selalu membenahi kerusakan yang membuat rambut anaknya berantakan. "Sudah satu tahun, Appa. Mm, rasanya aku benar-benar bahagia sekarang."

Ya, sudah satu tahun berlalu. Sudah belasan tahun siksa batin dan fisik Kyungsoo terlupakan masa. Baginya, kebahagiaan ini telah lengkap. Ayah, Kai, dan Baekhyun. Alasannya bertahan hidup semakin bertambah dengan kasih saying dan cinta yang tersebar. Senyumnya tak pernah lekang sekarang. Meski sosok wanita pendamping ayahnya itu tak pernah ia temui, tapi Kyungsoo tahu bahwa ibunya selalu ada dihati.

Kehidupannya membaik. Sekolahnya selesai. Pekerjaan hampir datang. Tuhan masih memberinya kesempatan, segalanya berlangsung lancar. Menilik jalanan setapak, yang pernah Kyungsoo lalui bersama pahit dan pesakitan. Orang-orang pendosa yang kini ia cintai setengah mati. Sebaliknya, mereka pun tak ingin mengulang hal yang sama, janji mutlak bahwa Kyungsoo akan selalu terlindungi. Hal apa lagi yang mampu menghancurkan kebahagiaannya? Tak ada.

"Wooo! Kekasihku belum memasak ternyata~" Kai lagi-lagi menjadi pengganggu. Dia datang dan ikut memeluk Kyungsoo disisi lainnya. "Ahjussi, bolehkan aku memeluk anakmu yang tampan ini? Mm?"

Ayah Kyungsoo malah tertawa renyah, ia akhirnya melepas pelukan semula untuk anak tunggalnya itu. "Tsk. Asal kau bisa menjamin kehidupan anakku kelak. Aku mengijinkannya. Hah, baiklah, sana, bermesraan. Dasar pengganggu! Kyungsoo, setelah bedebah ini pulang, kau harus terus menempel pada Ayah, ya?" Kyungsoo menggangguk, lalu terkekeh saat Kai memasang wajah serius dan gelagat hormat.

"Siap, Komandan! Saya berjanji membuat anak anda bahagia." Kyungsoo segera menurunkan tangan Kai dari kepalanya, sikap yang barusan itu memalukan. Ayah Kyungsoo menepuk-nepuk bahu Kai, terbahak keras baru setelahnya pergi darisana.

Kai merengkuh Kyungsoo dalam dekap hangatnya. Mereka memandangi beberapa pasang yang datang ke pesta kelulusan ini. Juga makanan dan minuman yang tersaji dimeja utama. Beberapa menit tanpa obrolan, hanya kehangatan yang mereka bagi. Sekalipun ditengah cuaca sepanas ini. Tidak ada hal lain yang membuat Kyungsoo merasakan pupusnya telah melambung. Kai jawabannya. Laki-laki itu memperlakukannya sesuai janji. Tidak ada kata kasar, tidak ada perlakuan keras. Sebalik itu, hanya ada kelembutan dan kehalusan.

"Kau tidak melupakan Chanyeol, kan?" Kyungsoo menegak, Kai merasakan perubahan tiba-tiba itu dan segera menyadari dirinya barusan salah bicara. Apa setelah satu tahun, kekasihnya ini masih trauma? "Aku tahu kau belum bisa memaafkannya. Tidak masalah, Kyungsoo. Lagipula, tidak kau laporkan ke pihak berwajib pun mereka sudah sangat bersyukur. Oh ya, mereka bilang terimakasih untuk kebesaran hatimu yang satu itu, Sayang."

Karena Kyungsoo terdiam, Kai tidak berani menambah kerunyaman dengan suaranya. Salah-salah, jika nanti Kyungsoo mengamuk dan teringat akan masa lalunya, semua akan musnah. Tidak, ini hari bahagia mereka berdua, tidak seharusnya Kyungsoo mengingat kesedihan yang telah lama. Mungkin memaafkan keluarga Park memang sesulit itu. Tidak mudah membuka hati dan diri disaat yang bersamaan. Terlebih jika perlakuan keterlaluan mereka dimasa lalu selalu membayang dan menghantui. Kyungsoo jelas menampik kebesaran perasaan sekarang.

"Apa kau masih berhubungan baik dengannya?" Lirihan Kyungsoo itu disambut anggukan kepala oleh Kai. "Baguslah, setidaknya kalau aku belum siap, masih ada dirimu yang menjadi tamengku." Meski Kai tidak tahu apa maknanya, ia tetap mengecupi puncak kepala Kyungsoo.

Kyungsoo hanya berani memandang masa depannya, bukan berbalik demi masa lalu. Walaupun ia tahu semua itu memberinya pelajaran berharga. Tapi satu tahun bukan waktu singkat untuk trauma mendalamnya. Ia hanya bisa memberi maaf pada orang-orang tertentu, orang yang dinilainya memang ikut andil. Meski Chanyeol dan keluarganya juga memerlukan hal itu, Kyungsoo rasa ini belum saatnya. Hanya..belum.

"Kyungsoo-ya! Ayo, bantu aku membalik daging-dagingnya, dan Kai, jangan diam saja, ayo bantu kami! Kami kekurangan pasukan, uuh~" Itu teriakan Baekhyun, dan ayah Kyungsoo ada disebelahnya. "Ya! Jangan malah tersenyum-senyum, kami tidak butuh senyum itu!"

Pada akhirnya, Kai membawa Kyungsoo menghampiri keduanya. Yang sibuk bersama hiruk-pikuk kepulan asap, dan barang-barang acak dibawah tungku pembakaran. Saat sampai disana, Kyungsoo segera mengambil penjepit dari tangan Baekhyun, lalu sigap menambah arang dibawah daging-dagingnya.

"Cih, dasar Baek tidak becus." Ini ulah Kai, yang seenaknya mencibir.

Baekhyun pun mulai naik pitam atas dasar gurauan. "Apa katamu? Memangnya kau bisa?"

Giliran ayah Kyungsoo yang melerai dua anak manusia itu bertengkar, bukan lagi Kyungsoo karena ia sibuk mengoleskan bumbu hasil Baekhyun ked aging panggangnya. "Ya, ya, kalian berdua siapkan saja piring-piringnya." Itu perintah ayah Kyungsoo, dan disetujui oleh keduanya. Mereka berhamburan mengambil piring dan meletakkannya disemua meja. Lalu kembali kesana dengan peluh menetes-netes.

"Aigoo~ Apa Halmeoni tidak datang, Kai?"

"Hah? O-oh, mungkin sebentar lagi." Guna menanggapi pertanyaan Kyungsoo, Kai celingukan memilah orang-orang yang hadir disini. "Nah! Itu dia, tunggu aku akan menjemputnya." Karena Kai melihat wanita renta dengan tongkat yang mulai memasuki pelataran rumah Kyungsoo.

Kai menyambutnya dengan pelukan sayang, "Ah, Kim Jongin-ku. Selamat atas kelulusan dan nilaimu yang baik, Sayang." Selanjutnya, Kai membiarkan wanita tua yang lebih pendek itu mengelus punggung datarnya.

"Uhh, terima kasih, Halmeoni. Ayo, masuk. Kyungsoo sudah menunggumu." Kai menuntun neneknya, melewati beberapa keramaian dan akhirnya sampai digerumbulan Kyungsoo cs. Kyungsoo yang matanya membulat saat mendapati nenek Kai, segera menghambur kepelukan wanita itu. Baekhyun kedapatan penjepit daging lagi dan kini harus menggantikan tugas si Koki itu. "Hah, Baekhyun jangan hangus, ya." Ejek Kai yang mendapat tatap tajam dari Baekhyun.

"Halmeoniii~" Kyungsoo setengah berseru, memeluk erat-erat tubuh ringkih wanita itu. Ia terlalu bahagia, pasalnya berminggu-minggu ini ia tak sempat mengunjungi rumah Kai. Salahkan kesibukannya menghadapi Ujian, penyitaan waktu. "Aku senang kau mau datang kemari."

"Oh, Kyungsoo, Sayang. Selamat atas kelulusan dan nilaimu, mm? Halmeoni ikut bangga. Sangat." Kyungsoo tersenyum, lalu memberikan tempat untuk nenek Kai agar duduk. "Ya, terima kasih, Kyungsoo."

Kai memperhatikan interaksi itu, Kyungsoo banyak menceritakan tentang ujiannya. Tapi satu fokus Kai, bibir ranum Kyungsoo amat menggodanya. Oh ayolah, sudah setahun ini ia tak menyentuh pria mungil itu. Apa traumanya sudah menghilang? Tidak ada salahnya mencoba nanti.

"A-ha, Halmeoni pasti haus. Ayahku pembuat limun terbaik. Sebentar akan aku ambilkan."

Kyungsoo sudah melesat entah kemana, tetapi ayah Kyungsoo datang dan megucap salam pada nenek Kai tersebut. "Terima kasih anda mau menyempatkan waktu kemari."

"Oh, bukan masalah, Tuan Hansoo. Aku turut senang atas keberhasilan Kyungsoo dan cucuku."

Sekembalinya Kyungsoo dengan segelas limun, Baekhyun sudah ikut bergabung pula. Nenek Kai pun menerima sodoran Kyungsoo, ia lalu menyeruput sedikit dan memuji hasil karya Hansoo.

"Ya, Baek, apa tugasmu sudah selesai?" Kai merangkul bahu Baekhyun, ia memicingkan mata kearah tumpukan daging disatu piring besar. Menurutnya tampak baik. "Kelihatan menarik. Kau tidak kalah dengan Kyungsoo Chagi, uh?"

"Kau meremehkanku?" Baekhyun menyikut rusuk Kai, tidak keras tapi cukup membuat si tan itu agak meringis.

"Baek, carilah pasangan. Biar kau tidak sendirian dengan hobimu menjahili orang." Itu adalah saran Kyungsoo. Ia memagari Kai agar tidak menerima pukulan maut dari sahabatnya lagi. Kemudian bersamaan tertawa dengan mereka yang ada disana.

"Ya! Nanti dia yang akan mendatangiku." Baekhyun melipat tangan didepan dada, lalu menerawang jauh kelangit biru cerah. "Mm, Pangeranku pasti lebih tampan dari milikmu, Kyungsoo."

"Apa maksudmu mengataiku jelek?" Kai menghentak kakinya dipijakan tanah, berpura-pura berang.

Tidak ada yang lebih indah daripada hari ini. Bagi Kyungsoo, berkumpul bersama keluarga dan sahabat, juga kekasih adalah hal terbaik yang terjadi sepanjang hidupnya. Mungkin bukan keluarga yang lengkap dengan adanya ayah dan ibu, mungkin juga bukan sahabat yang banyak dan mungkin juga bukan kekasih yang serba sempurna. Tapi ini semua terlalu memikat, mantra sihir yang Kyungsoo harapkan abadi.

Ia ingin berteriak, berterima kasih pada Tuhan atas segala keindahan ini. Senyum-senyum orang tersayangnya adalah satu dari sekian kebahagiaannya. Kehidupan membaik. Proses terselesaikan dan inilah hasil tamatnya. Tamat? Mm.

-ooo-

"Kau siap? Apa tidak apa-apa? Maksudku, tra-"

"Kita coba dulu, Kai. Kalau aku berteriak, hentikan."

Mereka ada diranjang sekarang. Menyempatkan disela kesempitan. Ayah Kyungsoo sedang ada pekerjaan diluar rumah. Jadi, sejauh ini kondisinya aman. Kyungsoo menuruti keinginan Kai, sekaligus ingin tahu apa traumanya benar-benar sudah menghilang. Hingga mereka berakhir telanjang sekarang.

Kyungsoo menutupi tubuhnya agak canggung, sedangkan Kai membuka lengan-lengan itu agar tidak menghalanginya. "Kyungsoo, aku tidak akan melakukannya sekasar dulu. Mari, kita lakukan dengan penuh sayang dan cinta. Aku janji akan memperlakukanmu dengan lembut, kan?" Kai mengecup kening Kyungsoo, baru setelah itu turun dan sampai dibibir. Mereka berciuman, saling memiringkan kepala, dan bertukar saliva disana.

"Aku tidak takut tentang masalah itu, Kai." Ciumannya terlepas, dan Kyungsoo mengambil udara sebanyak-banyaknya sementara Kai mengelus surai dikepala si mata bulat itu. "Aku hanya..ah, malu?"

Kai tersenyum, ia menjilati ceruk leher dan cuping telinga kekasihnya itu. Sesekali Kyungsoo melenguh kegelian, dia mulai terangsang. Setitik kenikmatan mulai merambah, terus menjelajah bersama sentuhan impulsive dan bisikan seduktif Kai. Sungguh, Kyungsoo rasa ini adalah persetubuhan terlembut dari sekian hidupnya. Dan Kai, adalah seseorang yang memberikan kebahagiaan pamungkas ini.

"Ngh, aku mencintaimu, Kyungsoo." Nafas panas Kai menggelitik diri Kyungsoo, tangan-tangan itu bergerak lincah di kedua nipplenya, sontak membuat keliaran mulai ikut andil. Kyungsoo menggeliat, menekuk dan melengkungkan badan tatkala lidah Kai mulai beraksi diarea pusarnya. Kai bermain dengan tubuh Kyungsoo, terus turun hingga kini sudah mencapai batang teranggur itu. Kai menggenggamnya, "Tunggu, Sayang. Nikmati yang ini, hm."

Lalu mulut Kai sudah mengulum milik Kyungsoo, memberi sensasi yang sulit digambarkan Kyungsoo. "Aaaaah~ Kaaai-hh, mm," Kai tetap membiarkan kejantanan Kyungsoo menetap disana, bersama balutan salivanya dan putaran giginya. "Uuuh~ ngh~" Karena Kai suka mendengar desahan tertahan itu. Terlalu indah untuk dilewatkan.

Mahakarya pesona Kyungsoo, memang telah membuatnya mati sejak lama. Kai beruntung sekarang masih diijinkan untuk menciptakan berbagai tanda kemerahan disana. Tidak bisa ia bayangkan bagaimana jika waktu itu Kyungsoo menolak permintaan maafnya, mungkin Kai telah mati bersama rasa bersalah.

Beberapa menit sudah berlalu, rasa mendesak itu mulai tiba. Kyungsoo meremas rambut Kai, tak sadar jika sudah mengendalikan alur maju-mundurnya. "Kaii-hh~ Ahh~ Ak-aku, ma-mauu, ssh~"

"Mau apa, Sayang?" Kai melepas kegiatannya, kini ia menunggu lahar putih itu tersembur dan sampai dimulutnya yang sudah terbuka, siap menerima. Crap~ Karena sedetik itu, mulut Kai sudah terpenuhi, berikut cairan yang telah meleleh sampai ke perut dan paha Kyungsoo. Hingga sebabkan lengket dan kilat yang bercampur keringat. "Mm, kau suka, hm?"

Kyungsoo mengangguk, "See, aku sudah melupakan traumanya, Kai."

"Karena aku melakukannya penuh kelembutan, Sayang." Kai memeluk tubuh lemas itu.

Selang beberapa lama, mereka sudah bangkit kembali. Kai terutama karena ia yang paling bersemangat. Kedua kaki Kyungsoo sudah tersampir dibahunya, sementara tangannya lihai melebarkan lubang surgawi itu. Kyungsoo tidak memprotes, matanya setengah mengatup dan nafasnya berderu keras. Ia biarkan saja Kai memberikan kenikmatan untuk mereka berdua. Biar kali ini ia merasakan persetubuhan yang sesungguhnya. Bukan dasar nafsu tetapi cinta.

"Bagaimana dengan tahap ini? Apa kau keberatan, Kyungsoo?" Kai memastikan.

Kyungsoo menggeleng, "Lakukan saja, Kai. Kau bilang ini akan baik-baik saja."

Lampu hijau sudah terang menyala. Kai mulai mengarahkan batang miliknya kelubang Kyungsoo, perlahan mendorong hingga sedikit mulai masuk. Terbenam separuh dan tigaperempat. Kini sudah seluruhnya, dan Kyungsoo mulai mengerang. Kai menenangkan dengan ciuman-ciuman lembut dibibir, hidung dan mata Kyungsoo.

"AH! Kai!" Ia mulai berteriak karena Kai semakin menekan. Sekarang sudah saatnya menghentak dan tersentak. Lubang Kyungsoo menjepit miliknya tanpa ampun, kontras dengan hujaman yang Kai berikan. Terus berlanjut hingga Kyungsoo mulai mencakari punggung Kai, sebabkan baret merah disana. "Ngh! Kai, ouuh~!"

"Sssh, tahan sebentar, Sayang. Mmh~" Karena pijatan lubang Kyungsoo tak terhindarkan bagi Kai. Kai tetap menggenjot, memberikan beragam dunia laying yang siap menerbangkan Kyungsoo. Bersama dengan lenguh dan desah itu, melodi Kyungsoo memberi semangat untuk Kai agar siap memompa. "Akan selesai sebent-aaah~ lagii-hh, Sayang.."

Kyungsoo menggelinjang tepat saat Kai mulai berteriak, disusul dengan cengkeraman kuat tangannya dibahu si mata bulat itu. Tempo dan ritmenya semakin cepat, membuat Kyungsoo agak kelimpungan melayani. Kini, ia merasakan milik Kai yang mulai menggembung, siap muntahkan sesuatu yang sama seperti tadi. Kyungsoo semakin memeluk Kai, menghindari rasa sakit dan rasa nikmat yang menderanya bersamaan.

"Aaaaah~ Kaaaai-hh, ngh! Mmh~ ssh.."

"Kyungsooo~ That I Love You..mmh, aaah~"

Ya, dan semuanya sudah meluber keluar. Melewati beberapa sisi lubang Kyungsoo dan kini mulai merambat mengenao perut Kai. Kilat keringat dan lengket sperma benar-benar erotis saat ini. Penyatuan dua tubuh yang tak lagi peduli kiasan dunia. Kai beralih mencium Kyungsoo, memagut dan melumat belahan bibir itu. Kyungsoo membuka aksesnya, biarkan Kai menginvasi lidah disana.

"Kau selalu nikmat, Kyungsoo-ie, mm?"

"Terima Kasih, untuk telah menepati janjimu, Kai."

Terlarut dalam jam berubah menit, mereka terus bercinta dengan kesaksian abadi. Kai merengkuh Kyungsoo, kini mereka terbaring berjajar. Kyungsoo menyandari di dada Kai, memainkan nipple gelap kekasihnya itu. Sementara Kai sibuk memelintir anak rambut Kyungsoo yang berantakan, akibat ulah dan kegiatan panas barusan. Lelah memang mendominasi, membuat Kyungsoo melemas dan Kai melemah. Namun tak masalah, asal masih ada senyum puas yang tersemat disana.

"Aku mencintaimu, Kyungsoo." Kai sudah berulang kali mengucap hal itu, membuat Kyungsoo agak merinding. Tetapi mata bulat itu bersembunyi, terpejam lama. Takada sahutan hingga Kai mengucapkannya kembali, "Aku berjanji mencintaimu sekarang dan selamanya."

"Aku tahu, Kai." Sahutan itu melegakan bagi Kai. Setidaknya, cintanya berbalas. Kyungsoo adalah malaikatnya, tak ada hal lain yang bisa melarangnya. "Aku lebih-lebih dan lebih mencintaimu."

Kecupan terakhirpun terjadi lagi. Ciuman lembut nan halus. Pelan tetapi pasti. Mencecap rasa bibir masing-masing, Kyungsoo dan Kai sama-sama menikmatinya. Selanjutnya, Kai beranjak dari rebahan, memberikan kenyamanan bagi Kyungsoo.

"Aku akan mandi, lalu siapkan makan siang. Tidurlah." Kai sudah mengambil handuk, dan hendak turun ke lantai satu jika cekalan tangan Kyungsoo tidak menahannya. Mata itu terpejam, tapi bibirnya bergetar. Kai tidak tahu, mengapa- "Ada apa, Kyungsoo?"

"Aku akan tidur, hanya jangan bangunkan aku, Kai. Aku mencintaimu, sangat."

Kai mengangguk patuh, tanpa dilihat Kyungsoo. Setelah itu, tangan Kyungsoo dilengan Kai terlepas, jatuh ke ranjang dengan gerakan pelan. Kai sempat memandangi nafas Kyungsoo yang teratur, selimut sudah ia benahi hingga menghangatkan tubuhnya. Wajah damai itu, benar-benar membuat Kai lekat disana.

Tapi, tidak. Ia harus mandi, dan Kyungsoo telah tertidur.

-ooo-

Baekhyun memandangi beberapa amplop ditangannya, ada dilaci nakas sebelum ini. Ia tidak mengerti apa makna yang terkandung didalamnya, seseorang memberi amanat janggal selayaknya ia akan pergi nun jauh. Baekhyun menggeleng, terpekur beberapa saat. Ia harus membereskan maksud ini semua, tak pantas baginya memegang ini tanpa tahu tujuan si pemberi. Hingga tanpa persiapan apapun ia sudah melenggang keluar rumah. Menuju rumah Kyungsoo.

-ooo-

Kai selesai dari rutinitasnya membersihkan diri. Makan siang, ia bahkan sudah lupa untuk hendak menyiapkannya. Pertama kali yang terbersit dikepala adalah Kyungsoo. Entah mengapa, ia harus segera sampai dikamar. Tapi, begitu sampai, tidak terjadi apa-apa. Kyungsoo masih disana, tertidur. Matanya terpejam, tangannya tersatu diatas perut. Tenang. Ia terlalu tenang. Hingga Kai menyadari satu hal paling penting, Kyungsoo tidak bernafas. Ke-kemana nafasnya?

Kai cepat berjingat, mengejar secuil nyawa yang mungkin masih tertinggal. Ia berlutut disamping Kyungsoo, menggenggam kedua tangan itu dan menciumi kening Kyungsoo. Bahkan mengguncang-guncang tubuhnya. Nihil, tak ada perubahan apapun. Kai menangis, meraung histeris. Tidak menyangka sama sekali jika kejadiannya begitu..begitu..ah.

"Kyungsoooo! Bangun, hei~ kau bilang kau akan tidur, kau bilang kau mencintaiku. Hiks, kenapa, hiks, tiba-tiba? Hiks, Kyungsoooooo!"

Kai tentu tak mampu menerima ini. Hati kekasih mana, yang setelah bercinta mendapati kekasihnya pergi begitu saja? Bersama pamit samar? Kai mengerti sekarang, apa arti ungkapan Kyungsoo untuk tidak membangunkannya. Seharusnya Kai bersikukuh, seharusnya Kai peka. Namun, perlukah ia menyalahkan takdir Tuhan?

Karena ia telah pergi selamanya. Menyusul ibunya, dijemput ibunya. Memandang orang tersayangnya diatas sana. Tapi Kai tidak mau, ia benar tidak mau Kyungsoo meninggalkannya sebegini cepat. Mereka belum puas dengan kebahagiaan singkat ini, belum sama sekali. Kai berteriak, tetap berkonsekuensi jika Kyungsoo hanya tertidur. Meski mata itu memejam, meski tubuh itu mendingin, dan meski detak jantung tak terdeteksi.

Tapi bagi Kyungsoo, kebahagiaannya sudah cukup. Ia perlu menemui ibunya. Tanpa bekas apapun, dan tanpa salam apapun. Ia telah berlalu darisana. Bersama cahaya putih yang transparan dan memudar. Kyungsoo benar-benar pergi. Tinggalkan Kai, tinggalkan Baekhyun dan tinggalkan Ayahnya.

"Kyungsoooo! Hiks, hiks, ja-jangaaan tinggalkan aku, hiks, hiks. Kau bilang kau mencintaiku, kau bohong, bohong~!"

Baekhyun ada disana, sudah sampai sejak lima menit lalu. Hanya bisa mematung dan membeku diambang pintu, tak kuasa sama seperti Kai. Apa benar sahabatnya telah tiada? Atau Kai hanya salah mengira jika April Mop datang lebih cepat? Tapi tidak, Baekhyun sadar itu benar, karena airmatanya ikut luruh sama seperti Kai. Tangis tak henti, duka menyelimuti. Terlalu cepat, ini..ini..ah.

Hingga amplop-amplop itu terjatuh dari tangan Baekhyun. Tanpa sempat ia tanyakan apa maksudnya. Ini titipan Kyungsoo.

-ooo-

Chanyeol mengulang kalimat dilayar ponselnya, melafalkannya baik-baik didalam hati. Beberapa bulir airmata menyususl setelah ia menyelesaikan pengulangan itu, disusul remasan kuat dikepala. Rasa bersalahnya berkali lipat sekarang. Kyungsoo meninggal? Apa? Tapi, kenapa? Dia sudah bahagia, dia pasti bahagia. Apa Tuhan selalu merenggut orang terbaik yang sudah berbahagia? Chanyeol mengangguk, seingatnya, Kyungsoo tidak memiliki riwayat penyakit apapun kecuali trauma. Sekarang, saksikan sendiri, ia tak mampu menopang tubuh. Kakinya lemas seketika dan paru-parunya kehilangan fungsi untuk bernafas.

"Umma, Appa, kita harus terbang ke Busan sekarang juga." Terakhir, ia ingin melihat peristirahatan adiknya.

-ooo-

Tuan Hansoo terus menangis tanpa jeda, mengelus nisan berukir nama anaknya. Ia memukul-mukul diri, memukul-mukul gundukan tanah itu, dan sesekali menjerit kencang. Kai mencoba menahan, bersama Baekhyun disisi lainnya. Sebelum teriakan itu menggema ke seluruh pelayat.

"Kenapa?! Kenapa aku tidak disampingmu setiap waktu? Kenapa?! Kenapa kau pergi secepat ini? Sebelum merasakan apa itu kebahagiaan? Jangan, jangan, hiks, Appa menyayangimu, Kyungsoo. Kembalilah, hiks, jangan biarkan Appa menjadi gila, hiks.."

Nenek Kai ikut menenangkan. Mendengar ungkapan itu ia ikut terenyuh, bersamaan dengan aliran airmata yang tak henti disekanya. Dalam hati, wanita tua itu akan menjamin kehidupan ayah Kyungsoo, supaya tak berakhir seperti katanya. Dia tidak boleh gila.

"Bahkan baru sedikit sekali kau merasakan senyum ketulusanku, aku bodoh, aku bodoh, hiks, Kyungsoooooo~" Ia mendongak, laki-laki dewasa itu berjongkok dengan kedua tangan terentang. Nyalang menatapa langit biru, seolah menantang. Ingatannya terputar, bagaimana Kyungsoo begitu ceria, bagaimana Kyungsoo begitu sabar, dan betapa sempurnanya anak itu. Tidak ada hal lain, ia benar-benar tak habis pikir. Mengapa Tuhan mengambil dua nyawa orang tercintanya sekaligus? "Aaaaaah! Kyungsooo! Kembalilah, Appa merindukanmu, hikss~"

Tapi keadaan itu berbeda jauh dengan Kai, ia mencoba merelakan. Maka senyum sumringah lah yang terpatri disana, mungkin Kyungsoo lebih bahagia dengan cara ini. Baekhyun pun sama, ia tidak mennagis setelah kemarin Kyungsoo menghampiri mimpinya. Memberi pesan sarkastis yang malah membuatnya tertawa.

Kemudian, Nenek Kai sudah terduduk didekat Hansoo. Mengelus punggung pria itu bersama bisikan tenang. "Dia aman disana, dia lebih bahagia disana. Dia merindukan ibunya, dia tentu menyayangimu pula, Tuan HanSoo." Wanita berambut putih itu ikut membayang, bagaimana teman cucunya begitu sopan, begitu santun, murah senyum, dan terlebih wajahnya yang tanpa dosa. Ia bahkan sudah menganggap Kyungsoo sebagai cucunya sendiri.

Tidak, ini terlalu menyedihkan untuk sekedar dikenang.

Kai memandang sejauh matanya masih normal. Rombongan Chanyeol, telah datang. Mengenakan pakaian serba putih tanda kesucian, membawa sekeranjang bunga yang harumnya semerbak. Pemuda tinggi itu segera memeluk Kai, menangis tersedu. Sementara Ayah dan Ibunya mendatangi Tuan Hansoo, mengucap maaf dan turut bela sungkawa. Entah, apa pria itu mau memaafkannya atau tidak, sementara yang menderita waktu itu adalah Kyungsoo. Kai tetap menyuarakan ketegarannya untuk Chanyeol, memeluk berbalas bersama detikan yang lama.

"Kenapa dia pergi setiba-tiba ini, Kai? Aku belum mendapat maaf darinya, hiks, betapa bejatnya aku, hiks~"

Kai tidak menjawab. Sejujurnya, ia sendiri juga tidak tahu, apa Kyungsoo sudah memaafkannya atau belum. Tidak ada bukti nyata maupun tertulis. Hingga Chanyeol melonggarkan pelukannya pada Kai, ia berjalan lunglai bergabung bersama orangtuanya. Yang menyesal, amat menyesal saking terlambatnya. Waktu telah membumi-hanguskan semuanya. Chanyeol menunduk, berada disamping pembaringan terakhir Kyungsoo sambil menaburkan bunga-bunga.

"Hiks, aku, aku, termasuk salah satu yang menyakitimu, membuatmu menderita, hiks, kita belum sempat membicarakan ini, kita, oh, aku belum sempat mendapat maaf darimu, Kyungsoo-ya. Hiks, ingatkah kau dengan Park Chanyeol? Kakakmu, bolehkah? Hiks,"

Kai miris, begitu pula Baekhyun yang tak habis pikir, mengapa ketragisan selalu hadir bersama ironis. Hansoo menerima pelukan dari mantan bebuyutannya, Yeonji atas nama keluarga Park, sebagai mereka yang merasa sangat berdosa. Tidak dipungkiri lagi, suasana ini terlingkup kesedihan.

Mendung adalah payung beberapa kepala yang masih tertinggal dipemakaman. Kai menjernihkan matanya, "Mereka datang, Kyungsoo. Mereka semua, mereka yang kau sayangi. Kau suka? Aku kekasihmu, kau pasti merindukan Kim Jongin, kan? Aku pasti menyusulmu, pasti." Bisikan itu melirih, karena disana, Kai melihat sejeli itu. Kyungsoo tampak nyata, tersenyum. Ia menggandeng seorang wanita berparas ayu, itu pasti ibunya. Kai sempat melambai, tapi Kyungsoo mengisyaratkan dengan anggukan kepala. Setelah itu, mereka hilang. Kai tak mampu melihatnya lagi.

Baekhyun menghampiri Kai, meminta pelukan. "Ini amplop yang ditipkan Kyungsoo dua hari sebelum kematiannya. Aku yakin isinya surat untuk kita semua." Kai mengangguk, membalas pelukan Baekhyun.

Kekasihnya, pria idamannya telah memiliki kehidupan baru yang lebih membahagiakan.

-ooo-

Baekhyun termenung dijendela kamarnya, amplop itu telah basah dengan airmatanya, tanpa ia buka sama sekali. "Kyungsoo-ya, apa kau suka melihatku begini sedih? Ini karenamu, bodoh. Kenapa, hm?" Dia menggumam pada udara, tak ada jawaban tentu saja.

Tapi amanat itu tentu harus disampaikan, ia memberanikan diri membuka lipatan kertasnya, hampir menguning sejak dua minggu lalu Kyungsoo benar-benar tiada. Matanya bergerak mengikuti tulisan tangan Kyungsoo, tercetak titik air disana. Apa saat menulis ini Kyungsoo juga menangis?

~Ini untuk sahabat pertamaku, Byun Baekhyun, dari sahabat termanismu, Do Kyungsoo~

Hei, Baek. Jangan menangis terus, nanti eyelinermu luntur. Oh ya, terima kasih untuk menyampaikan pesan-pesan yang kutitipkan padamu. Nah, ini punyamu.

Aku mau mengucap terimakasih. Karena denganmu aku merasa apa artinya bersahabat. Kau orang pertama yang membuatku beralasan untuk hidup. Ya, dirimu, Byun Baekhyun. Aku tahu yang selama ini terlalui adalah waktu singkat kita, disela keterpurukanku kau masih mau menyemangatiku. Betapa beruntungnya aku memiliki mu, hm?

Sudah kubilang pula, kalau kau membaca ini jangan menangis, kau tampak jelek. Aku ingin, kau tidak mengurung diri, kejar cita-citamu. Jangan lupakan aku sebagai seseorang yang pernah mengisi kehidupanmu, Baekkie-ah. Ah, aku mengataimu untuk tidak mennagis tapi aku sendiri mennagis. Bodoh, ya? Kau penasaran mengapa aku membuat ini? Aku tidak punya firasat apa-apa, sih. Kupikir aku akan mati saat sudah menikah dengan Jongin, hehe. Semoga saja, ya. Tapi, kalau aku mati sebelum itu, aku titip Jongin. Rawat dia, ya. Oh, namanya Kai, tsk. Aku lupa hingga memanggil nama kecilnya.

Aku juga mengucap maaf, Baek. Maafkan aku yang selalu tertutup, menyembunyikan semuanya darimu. Tapi itu semua, demi kebaikanmu. Aku tidak ingin kau khawatir berlebihan, tidak, jangan. Demi Tuhan, aku baik-baik saja asal kau tetap tersenyum. Kekanakan, ya? Ah, klise sekali aku memberikan surat semacam ini.

Mm, Baek, permintaanku untukmu. Ayo, segera cari pasangan. Agar hidupmu tidak kesepian, agar kau tidak melulu memikirkanku. Hei, aku punya rekomendasi. Itupun kalau kau mau. Tapi aku ingin promosi. Dia tampan, dia pasti sekarang sudah sangat baik, pengertian dan sabar. Dia pasti menyukaimu, Baek. Namanya, Park Chanyeol kau ingat, kan? Dia hyungku, yang kuceritakan padamu. Aku menunggu kabar jadianmu dengannya, ya.

p.s : Tolong ingatkan Kai selalu, jika ia tidak makan maka aku marah padanya. Suruh dia makan, biar tubuhnya tidak kering seperti itu. Okay?

Terima kasih, Baek. Untuk waktu yang berharga selama ini. Kenang aku sebagai sahabat terbaikmu, Do Kyungsoo.

Baekhyun meremat kertas itu, seketika meninju dinding didekat kepalanya. Ia berteriak tidak serantan. Tapi kemudian memandang langit. Ia berharap Kyungsoo sedang menertawainya darisana. Sayang, hanya ada awan yang menggulung bersimbah langit cerah.

"Park Chanyeol? Kau kira kau biro jodoh, Kyungsoo?"

Baekhyun masih bisa tersenyum disela tangisnya.

-ooo-

Chanyeol berkumpul diruang tengah, bersama ayah dan ibunya. Dia sudah di Seoul sekarang, berbekal surat terakhir yang diserahkan Baekhyun, si eyeliner yang dulu ia bilang menggemaskan. Sekarang pun sama, pemuda itu masih membuatnya kagum.

"Bukalah, Chanyeol." Itu suara ayahnya, tangan besar itu menyatu saat memeluk Chanyeol dan istrinya—ibu Chanyeol—ada disisi lainnya, ikut memeluk anak lelakinya itu. "Kami sudah siap."

Maka, Chanyeol membukanya. Perlahan, merobek amplop dan mendapati kertas using itu. Ia membacakan keras-keras agar kedua orangtuanya dapat mendengar.

~Ini surat yang kuharap sampai ditangan keluarga Park, yang selalu menyayangiku. Dari anakmu, adik Chanyeol Hyung, Do Kyungsoo~

Halo, mm, Hyung? Bolehkah aku memanggilmu Hyung? Aku masih adikmu, kan? Kita tetap bersaudara setelah apa yang terjadi. Sungguh aku merindukanmu. Maaf, sewaktu itu aku masih sangat ketakutan menemuimu, aku tidak tahu kenapa traumaku sulit dihilangkan. Ah, maaf aku jadi bercerita sendiri.

Oh ya, kurasa hidup yang kalian buat untukku adalah scenario yang menakjubkan. Secara tidak langsung, kalian mendidikku untuk menjadi Kyungsoo yang kuat, bukan Kyungsoo yang lemah dan serba mengemis. Jangan salah, aku berterima kasih kalian menempaku dengan hal-hal keras seperti ini. Yah, meski batin dan fisikku sempat protes, tapi terima kasih.

Umma, Appa, dan Chanyeol Hyung. Tenang saja, jangan berlarut dalam rasa bersalah. Sekarang aku telah siap memaafkan kalian. Benar-benar memaafkan. Jadi, jangan menangis lagi, ya. Aku tidak akan tenang disini. Oh ya, tolong kunjungi ayahku. Aku takut dia akan kembali seperti dulu jika sendirian di rumah. Sering-seringlah mampir ke Busan. Okay? Yang terpenting, aku telah memaafkan kalian, permohonan maaf kalian telah kuterima. Hehe, jangan menangis, ya. Chanyeol Hyung jelek sekali kalau menangis.

Chanyeol Hyung, kalau kau belum punya pacar, ayo pindah ke Busan. Kuliah saja disana, dan kau akan bertemu dengan sosok menakjubkan. Namanya Byun Baekhyun, sahabatku. Dia yang sewaktu itu memapahku berjalan, yang matanya dilingkari eyeliner. Manis, kan? Aku yakin kalian akan menjadi pasangan yang serasi.

p.s : Baekhyun suka makan ddokboki, traktir ini kalau ingin lebih mudah mendekatinya.

Ah, ya selain itu, Kai. Jangan lupakan hubungan baik kalian, ya. Sewaktu Kai bercerita kalian telah berbaikan, aku ikut senang, Hyung. Rasanya membuatku tenang, karena tidak akan ada lagi rasa saling membenci diantara kalian. Mm, jangan lupa ingatkan Kai untuk terus makan sayuran dan buah. Dia selalu tampak seperti zombie yang hanya doyan otak manusia. Hehe.

Baiklah, Hyung, terlalu panjang sepertinya. Aku mencintai kalian, umma dan appa juga Chanyeol Hyung. Tetap berbahagia, rasa bersalah kalian sudah seharusnya menguap, terima kasih untuk enam tahun kehidupanku yang berharga. Aku menyayangi kalian semua.

Chanyeol menyelesaikan bacaannya, menangis lagi untuk kesekian kalinya. Ia menerima pelukan hangat dari kedua orang tua disampingnya, yang juga ikut menangis tanpa henti. Bukankah pergi ke Busan adalah amanat Kyungsoo?

"Umma, Appa, mulai besok aku akan pindah ke Busan."

Deklarasi Chanyeol tidak mendapat bantahan. Ayah dan ibunya sama-sama menyetujui. Ah, Chanyeol mungkin hanya penasaran dengan sosok ber-eyeliner itu. Byun Baekhyun, eh?

-ooo-

Hansoo terduduk diselasar rumahnya. Tidak ada lagi suara berisik di dapur, tidak ada lagi teriakan-teriakan kencang yang menyuruhnya mematikan rokok dan menghentikan acara minum kerasnya. Hanya tidak ada lagi. Tidak ada sosok mungilnya yang keras kepala, Kyungsoo anak sematawayangnya. Dia telah pergi sangat jauh, menyusul istrinya.

Surat itu masih utuh, belum tersentuh sama sekali. Ada didekatnya, teronggok diam hampir tertiup angin sore. Namun, bagaimanapun ini riwayat anaknya, sesuatu yang sengaja dititipkan untuk dilihat bukan diabaikan. Maka, ia memungut amplop itu, bersama lelehan airmata, kertanya mulai terbuka.

~Ayahku yang kucintai sepanjang masa, dari anak sematawayangmu yang selalu menyusahkan, Do Kyungsoo~

Ayah, kumohon jangan menangis. Aku sudah bersama ibu, saat surat ini sampai ditanganmu. Ah, aku tidak tahu kapan akan mati, tapi tidak ada salahnya mempersiapkan peninggalan. Ya, kan? Ibu pasti sangat cantik, pribadi lemah lembut yang kau cintai, aku lahir dari rahimnya, dan kurasa ia mencintai kita berdua. Jangan menangis, Ayah. Kami tidak akan senang, dan tidak mau menunggumu disini jika airmatamu masih menderas. Oh, aku baik-baik saja.

Seharusnya, yang ku khawatirkan adalah dirimu. Makanlah dengan baik, beristirahat yang cukup. Aku sudah berpesan pada Kai untuk selalu mengunjungimu, dan neneknya yang baik itu bersedia membuatkanmu makanan. Oh, betapa. Ayah, kalau kau bosan berada disepi, jangan menyendiri. Carilah teman. Kalau kau merindukanku atau ibu, tengoklah langit malam yang berpendar bintang. Mungkin salah satu kerlipnya yang paling terang adalah diriku.

Jangan menangis, Ayah. Jangan, menangis. Kau selalu bilang padaku, jadilah anak yang kuat. Laki-laki tidak boleh cengeng, Do Kyungsoo membuktikannya, Ayah. Bahkan ketika ayah memukuliku, aku hanya menahan tangisanku. Karena aku ingat, ayah pernah mengatakan itu saat ulangtahunku yang kesepuluh, malam dimana ibu meninggal. Oh, mengingat itu, aku bodoh juga ternyata, Ayah.

Maafkan aku, terlalu banyak hal yang membuatmu kerepotan saat aku disini. Terima kasih telah mencurahkan kasih sayang yang kubutuhkan. Kau sudah menyekolahkanku hingga lulus, semoga kau juga merestui hubunganku dengan Kai. Hehe. Ayah, jangan permasalahkan kami. Jangan mempuruk diri. Kau berhak bahagia. Keluarlah, hirup udara baru lupakan kesedihanmu. Mungkin perjalanan Ayah masih panjang.

Nah, aku dan ibu mungkin memiliki persepsi yang sama. Kami tak ingin kau kesepian. Jadi, carilah istri baru. Dengan begitu dia akan memberimu anak, penggantiku. Lalu kau bisa hidup bahagia selamanya, Ayah.

Sudah, jangan menangis. Wajah keriputmu tidak enak dilihat kalau sedang menangis.

p.s : Aku sangat mencintai Ayah. Sangat mencintai dan tak lekang oleh waktu. Ayah juga, kan?

"Apanya yang bahagia? Tidak ada yang bisa menggantikan kalian, bodoh!"

Hansoo tak kuasa lagi. Surat itu sepenuhnya basah oleh airmata. Ia tak akan bisa berhenti menangis jika setiap langkah yang terambil selalu wajah Kyungsoo dan istrinya yang tampak. Tidak ada sesal lagi, tidak berhak ia menyalahkan takdir. Karena Tuhan sudah mengaturnya. Ia berjanji akan selalu mengunjungi makam anak dan istrinya. Sesering mungkin.

"Aku juga mencintaimu, anakku. Do Kyungsoo. Aku juga mencintaimu, istriku. Do Kyunghee."

-ooo-

Kai terduduk disofa tunggal, ada neneknya yang duduk di lengan sofa itu. Berbeda dari semua orang yang diberi surat, kekasihnya itu malah memberinya kaset putar. Rekaman yang sepatutnya dilihat Kai.

"Nyalakan, Sayang. Kita harus melihatnya." Kai mengangguk, ia maju menuju player dan memasukkan kaset itu. "Nah, ayo duduk disini." Wanita tua itu telah memeluknya, atensi penuh ke layar televisi.

Hal pertama yang tampak adalah wajah Kyungsoo. Mata bulat yang ia rindukan. Belum-belum, Kai sudah menangis lagi. Tubuhnya masih berbalut seragam, dan toga dikepalanya. Ah, ia ingat, ini tepat hari kelulusan mereka.

"Halo, kekasihku yang manja. Jadilah mandiri setelah ini. Aku Do Kyungsoo, yang selalu mencintaimu. Kau pasti menyaksikan ini bersama nenekmu. Jadi, aku mau bilang, halo, Halmeoni. Tolong jaga Kai, titip Jongin agar tidak nakal."

Kai menyekat nafasnya, sementara elusan tangan keriput terus hadir dan malah menambah duka mendalam.

"Kubilang, jangan menangis, Kai. Laki-laki tidak boleh menangis. Oh ya, jangan lupa menjaga kesehatanmu, jangan lupa makan sayur dan buah. Aku tidak mau kau sakit. Kalau kau sakit, aku tidak mau hadir di mimpimu lagi."

Kai melihat wajah itu memerah. Matanya sembab, sebentar lagi Kyungsoo pasti menangis. Dia merekam diri sendiri saat semua orang sudah pulang. Kai mengenali latar belakang itu adalah dinding kamar Kyungsoo bersama ayahnya.

"Cari pekerjaan. Jadi pemuda yang mapan dan disegani. Aku merindukanmu selalu, Kai. Jaga nenekmu dan orangtuamu. Sampaikan salamku untuk mereka. Oh, Kai, aku juga ingin meminta maaf. Jika selama kita berkenalan, selama kita menjadi sepasang kekasih, aku tidak pernah menjadi sempurna. Aku terlalu banyak kekurangan, kan? Jadi, maafkan aku."

Kai menggeleng-geleng, menepis anggapan fatal itu. Neneknya berusaha menghapuskan airmata yang membanjir diwajah cucunya. Tidak pernah habis, Kai akan terus menangis.

"Nah, terimakasih untuk selalu berada bersamaku. Terimakasih untuk hadir dengan cintamu. Terimakasih atas semua kebahagiaan yang kau berikan. Aku tahu, kita berdua sama-sama mengalami waktu tersulit, tapi kita berhasil, Kai. Kau dan aku bahagia. Kita berdua bahagia. Sekali lagi, terima kasih. Oh, aku sudah akan mati saja. Hehe, aku tidak tahu kapan mati, sih. Semoga kita bisa menikah sebelum kita menikah, ya."

"Tidak, Kyungsoo. Kau bohong!" Kai mulai hilang kendali, ia hendak melempar vas ke layar jika tak ditahan neneknya. Wanita tua it uterus mengusap puncak kepala cucunya, bagaimanapun kehilangan orang yang disayangi setengah mati pasti sangat berat. "A-aku yang seharusnya meminta maaf. Hiks~"

"Lalu, aku punya pesan penting untukmu. Ayo kita rencanakan Chanyeol hyung dan Baekhyun agar menjadi sepasang kekasih. Omong-omong, aku sudah memaafkan keluarga Park." Mata bulat itu berbinar, indah sekali. Kyungsoo menangkup kedua tangan, lalu terkikik. "Kau awasi mereka, Kai. Pokoknya, mereka harus menjadi sepasang kekasih. Sungguh, keduanya terlihat sangat serasi."

Bahkan dengan itu ia masih sempat memikirkan oranglain. Kai tergugu lagi, menunduk lemas. Ia jelas tidak mampu merelakan, meski pada kenyataannya ia harus. Saat dipemakaman, ia rasa bayang Kyungsoo sudah tak akan muncul lagi. Tapi, sekarang? Lihat, layar itu dipenuhi wajahnya.

"Oh ya, Kai. Jangan terpuruk dengan kesedihan dan kesendirianmu. Ayo bangkit, aku baik-baik saja. Mm, bagaimana kalau kau mencari penggantiku? Sungguh, aku tidak tega melihatmu menghabiskan hari dengan tangisan. Kau masih muda, Kai. Carilah seseorang yang jauh lebih baik dari Do Kyungsoo. Oh, aku kenal Luhan, dia yang menjabat ketua OSIS di sekolah dulu, atau Xiumin Hyung, kakak kelas kita yang juga teman dekat Baekhyun. Kau mau pilih yang mana?"

"Bodoh! Aku memilih dirimu, Do Kyungsoo!" Kai berteriak, mulai histeris. Bahkan neneknya agak kepayahan menahan amukan cucunya. "Untuk apa kau mencarikanku penggantimu? Tidak perlu! Hanya dirimu, hanya dirimu, Kyungsoo! Kembalilah, hiks, kumohon~" Meski Kai tahu tak ada gunanya meneriaki orang yang sudah mati.

"Mm, satu lagi. Kalau kau merindukanku. Lihat saja wajah jelekku disini. Kujamin kau akan melihat Do Kyungsoo yang kau cintai ini sekarang sedang menangis. Ah, aku menyuruhmu tidak menangis, tapi aku? Oh, astaga. Kai, kau berulang tahun setiap tanggal empatbelas Januari, kan? Aku akan mengucapkannya. Suapaya kau bisa mendapat ucapan selamat dariku setiap kau berulang tahun. Kumohon, kalau kau sudah memiliki penggantiku, jangan lupakan aku. Oke?"

"Tidak ada yang bisa menggantikanmu, bodoh! Do Kyungsoo bodoh!" Kai memaki, membanting-banting barang apapun saking frustasinya. Neneknya mulai ikut menangis, merasa kasihan dengan hasil akhir yang Kai dapatkan.

"Ssst. Jangan menangis, Kai-ya. Kasihan nenekmu. Ayo sesuai janjimu, kau mau menjaga dan melindungiku. Maka jaga nenekmu juga."

Bahkan seakan ia tahu apa kondisinya saat ini. Kai berangsur memeluk wanita tua itu. Menangis lagi dalam dekapannya. "Aku mengingkari janjiku, Kyungsoo. Aku tak mampu menjaga dan melindungimu, hiks~"

"Ini dia, Kai. Saengil chukka hamnida, Saengil chukkae hamnida, Saengil Chukkae hamnida. Untuk Kai kekasihku, yang kucintai sepenuh hati. Sekarang dan selamanya." Kyungsoo masih bertepuk-tepuk lewat dua tangannya, senyum terselip diraut sendunya. Mata bulat itu mulai sayu, mengalirkan airmata."Kuharap kau bahagia dengan hidupmu yang selanjutnya, Kai. Disini, aku Do Kyungsoo selalu mencintaimu. Tolong jaga ayahku, kunjungi ia sesering mungkin. Aku tidak ingin dia melakukan hal-hal aneh."

Kai tidak bisa tidak tersenyum sekarang. Wajah itu memang dirindukannya. Tapi, tak ada hal lain yang mampu mengembalikan malaikat itu ke bumi, kesisinya. Kai melapangkan dada, mengurut sebentar pelipisnya. "Aku beruntung masih sempat mencintaimu, Do Kyungsoo."

"Selamat tinggal, Kim Jongin. Terima kasih untuk segalanya. Maafkan aku karena banyak kesalahan yang kuperbuat. Aku tak pernah menyesal pernah mencintaimu dan dicintai olehmu. Aku selalu bahagia jika bersamamu. Kau, tata suryaku, Kai. Aku mecintaimu, sangat-sangat mencintaimu. Kenanglah aku sebaik kau mengenal Do Kyungsoo. Daaaah~"

Setelah lambaian tangan Kyungsoo, layar itu mati sepenuhnya. Keceriaan yang tinggal ambisi, kebersamaan yang tinggal angan. Semuanya sudah berubah. Kai menyadari itu, amat-sangat. Kyungsoo-nya telah pergi. Menyisakan luka bersama duka, kaitan yang dieratkan dengan cinta. Kyungsoo mengatasnamakan dirinya perlambang cinta. Kelembutan hati, ketulusan jiwa, Kyungsoo adalah magnet Kai. Pemuda itu merenggut apapun milik Kai.

"Halmeoni, aku akan membutuhkan waktu untuk menyendiri."

"Ya, tentu saja, Sayang. Hanya, jangan biarkan pikiranmu kosong. Seperti kata Kyungsoo, bangkitlah, jangan terus terpuruk. Masih ada masa depan, Jongin."

Benar. Kai mengangguk. Memeluk neneknya lagi, tentu wanita itu tak ingin cucunya gila karena ditinggal sang kekasih. Dalam pikiran Kai, hanya Kyungsoo-lah yang memenuhi benaknya, memporak-porandakan dan mengobrak-abrik isinya.

Selamanya, Kai akan tetap mencintai Kyungsoo. Karena mereka tercipta untuk satu sama lain.

-ooo-

One Month Later

Kai membantu Chanyeol mengangkut kardus-kardus berat. Itu adalah barang bawaannya sejak pindah ke Busan. Chanyeol tinggal di rumah kecil yang ia sewa. Ia akan kuliah disini bersama Kai. Mungkin juga bersama Baekhyun. Ah, Kai ingat pesan Kyungsoo untuk menyatukan keduanya.

"Yeol, kau sudah mengurus administrasinya, kan?" Kai bertanya sambil membanting tubuh disofa. Chanyeol datang dari arah dapur sambil menggumam, ditangannya ada dua kaleng Cola yang salah satunya ia berikan pada Kai. "Uh, melelahkan sekali, dan bayaranku hanya minuman dingin?"

"Cerewet. Sudah minum saja." Chanyeol meneguk isi kalengnya, tandas sesegera itu. "Kemarin aku sudah memberi semua persyaratannya."

Setelah itu, tidak ada dari mereka yang bersuara lagi. Masih sibuk dengan aluran pikir masing-masing. Chanyeol menata ulang lemari pakaiannya, sementara Kai memperhatikan dalam tatap kosong.

"Aku jadi merindukan Kyungsoo."

Lirihan Kai membuat Chanyeol menghentikan aktivitasnya, lalu berbalik dan menemukan Kai sedang menghela nafas. "Mau sampai kapan, Kai? Oh, ayolah, cari penggantinya. Dia tidak akan senang melihat kekasihnya begini kurus." Kai hanya melengos, memejamkan mata guna perileksan diri.

"Tidak ada yang bisa menggantikannya, Yeol."

Chanyeol mengesah, "Kau harus mencoba membuka diri, Kai. Sudah terlalu lama, hei. Tidak selamanya kau bisa mencintai orang mati. Kyungsoo toh sudah memberimu ijin untuk memacari oranglain. Lagipula, kau cukup tampan, meski masih tampan aku. Jadi, tidak sulit mencari kekas-"

"Apanya, Yeol?"

"Hah?"

"Siapa yang lebih tampan, katamu? Kau? Hah! Yang benar saja?"

Chanyeol kira, Kai akan marah-marah akan singgungannya barusan. Nyatanya? Dasar. Chanyeol hanya memutar bola matanya, malas. "Aku lebih tampan, Kai. Lebih berisi. Tidak sepertimu, kurus kering, hitam, dan..ehm, hidup lagi."

"Ya! Jadi kau ingin aku mati?" Kai mengapit leher Chanyeol diketiaknya, sebagai gertak canda. Sementara Chanyeol berpura-pura memohon agar dilepaskan. Ah tingkah kekanakan. "Sudah sana bereskan barang-barangmu. Kurirmu ini butuh istirahat."

Chanyeol mengangguk, ia menuju keluar rumah. Bagasi mobilnya masih menampilkan berkardus-kardus untuk ia angkut lagi. Tapi, saat ia sibuk mengutak-atik sesuatu disana, satu tangan telah mengagetkannya.

"E-eh, ma-maaf." Chanyeol terkesiap dan tersipu bersamaan. Begitu pula lawan bicaranya, taka sing tak juga familiar. "Mm, apa Kai ada didalam?" Dia Byun Baekhyun.

Chanyeol menjatuhkan kardusnya, agak tidak elit karena mulutnya setengah menganga. "Kau mau kutraktir ddokbokki?"

Astaga. Entahlah. Chanyeol sedang hilang arah. Tidak seharusnya kata itu yang terlontar. Tapi mengingat perkataan Kyungsoo disuratnya, cara jitu mendekati Baekhyun adalah dengan mentraktirnya ddokbokki. Sialan, Chanyeol harus mengutuk Kyungsoo saat mereka bertemu di akhirat nanti.

Hebatnya, Baekhyun mengangguk. Demi Tuhan, Chanyeol tidak sedang sakit mata. Baekhyun menyetujui ajakannya. Apakah ini kencan pertama? "Kau mau, kau benar-benar mau?"

"Kau pasti Park Chanyeol." Baekhyun berucap, ia memelintir jemarinya sambil bergerak-gerak menghalau malu. "Aku, benar-benar mau. Namaku, Byun Baekhyun."

Benih cinta tumbuh seketika itu. Lewat jabat tangan pertama mereka. Kai menjadi saksi pertautan itu. Meski belum saling mengenal, Kai yakin mereka akan mengobrol banyak di kedai ddokbokki nanti. Sial, dan kini Kai lah yang menunggui rumah Chanyeol sementara pemiliknya pergi berkencan.

Kai memandangi dua sejoli lewat kaca besar, Chanyeol tidak berpamitan dan Baekhyun tidak jadi mencarinya. Cinta memang telah merenggut segalanya. Termasuk, cinta Kyungsoo.

"Kyungsoo, kau lihat, kan? Aku sudah melakukan pesanmu yang satu itu. Aku berani jamin, sebentar lagi mereka akan berpacaran. Ah, aku jadi sangat merindukanmu."

Ungkapan itu bukannya diserap dinding dan udara dingin. Kyungsoo ada disana, karena objek pembicaraannya ada disamping Kai. Tanpa bisa pemuda itu lihat. Betapa pula bisik lirih yang magis, Kai tak mendengarnya.

"Aku selalu mencintaimu, Kai."

-ooo-

END!

Yak! Bagaimana? Apa tamatnya cerita ini membuat kesal? Huee~ Jangan rajam Author, karena yang terpikir adalah ide seperti ini u,u ~So sorry~Mana lagi si Kyungsoo mati tiba-tiba -_- ending macam apaa? Huaaa~ Karena author ngga pandai bikin ending yang epic, nih hehe

Pada akhirnya, kita telah sampai dipenghujung cerita. Terima kasih untuk kalian yang selalu mendukung, memberi kesempatan, memuji dan rela menunggu. Terima kasih untuk waktu kalian yang terbagi untuk fanfic ini. Terima kasih untuk semua pihak yang menyatakan ketidaksukaannya dengan cerita ini. Saya tetap berterima kasih~ Ah akhirnya ini ff selesai juga. Terima kasih telah menemani saya mengisi waktu luang dengan hadirnya reviewer, terima kasih untuk masukan dan request. Terima kasih juga untuk kalian yang masih mengharapkan saya menyelesaikan fic ini. Bukan berarti dengan berakhirnya cerita ini, kita tidak bisa terhubung. Kita tetap memiliki koneksi, kita tetap berteman meski bukan didunia nyata. Lewat EXO, lewat KAISOO, kita memiliki mula yang baik.

I Never Want To Be Like This.

Kontorversial dengan adegan kekerasannya.

Jalan cerita tidak jelas

Berbelit dan membingungkan

From : Don'tJudgeMeLikeYou'reRight

Berhak mengucap maaf yang sebesar-besarnya karena hal-hal diatas.

Untuk Kim Jongin, Do Kyungsoo, Byun Baekhyun dan Park Chanyeol :

Yang telah mau merealisasikan dirinya demi fic ini. Maaf jika author menistakan Kyungsoo dan membuat lainnya tampak jahat. Terima kasih karena sudah bersedia menjadi starring di fic ini.

Sungguh, ini semua, penyelesaian dan perjalanan panjang fic ini ada karena kalian~ readersku yang baik hati, sekali lagi aku berterima kasiih. Semoga kalian masih setia mereview fanfic-ku yang lain, yaa