"…dan aku masih ingin merawatmu—padahal kau sudah menyakitiku berkali-kali"
a SasuSaku fanfiction
.
.
PATH2PSYCHO
part 3 : our final paths
by deahikari
.
.
Disclaimer: Naruto always belongs to Masashi Kishimoto-sensei
"Kau beruntung ia masih bernafas," kata Bapak berkumis tebal yang tengah duduk di hadapanku. Emblem polisi yang melekat di lengannya sangat cocok dengan nama dan gelar yang terpampang di papan nama jabatannya. Ya… aku sedang diintrogasi oleh polisi dan beberapa pihak mengenai kecelakaan yang menimpa Sasuke dini hari tadi.
"Sebenarnya apa yang terjadi kala itu, Pak?" tanya si pak polisi kepada si supir pengantar susu pagi. Orang yang ditanya hanya diam saja sambil menengok pelan ke arahku—wajahnya menyiratkan kebingungan.
"Aku tidak tahu pasti, Pak. Tapi seingat saya, sepertinya korban sengaja mendorong nona ini karena—ya—jujur saja, saya melaju cukup kencang dan tidak memperhatikan jalan. Ya maklum, karena biasanya pagi-pagi jam 4 seperti itu, jarang sekali ada orang yang melintas di jalan tersebut."
Terlihat bapak berkumis mengangguk-angguk pelan—mencerna kata demi kata dari si pak supir. Tak lama, ia mengalihkan pandangannya ke arahku, "Lalu, bagaimana denganmu, nona… Haruno? Bagaimana kesaksianmu pada kejadian ini?"
Deg. Jantungku berdegup sangat kencang—mengingat rentetan peristiwa mengerikanku dengan Sasuke. Mengingat bagaimana teriakan kesakitan Naruto menggema di seluruh bagian indera pendengaranku. Mengingat bagaimana cutter orange-nya menari-nari diatas kulitnya yang putih. Mengingat bagaimana ia mengintimidasiku di dalam rumahnya… Jujur saja, hal itu membuatku bergidik ngeri.
"Nona Haruno?"
"Ah, i-iya. M-maaf, Pak." Bisa kulihat kedua orang ini sedang menatapku nanar. Ya, bagaimana tidak? Bagian bawah mataku terlihat hitam dan mengerikan. Selain itu, keringat tak henti-hentinya membasahi dahiku. Sempat aku berpikir, apakah aku akan menyerahkan masalahku—yang hampir terbunuh oleh seorang psikopat, atau aku saja yang membereskan masalahku sendiri.
Jujur saja, aku bingung.
Dan coba tebak, aku memilih untuk menutupi seluruh kejadian ini.
.
.
.
"Ah, sepertinya ini hanya kecelakaan biasa. Selain itu, mengingat satu-satunya kerabat dari Uchiha Sasuke ini hanyalah anda, nona Haruno, jadi saya menganggap persoalan ini clear. Mungkin bisa dilanjutkan jika ada banding,"
Ingin rasanya aku bernafas lega—mengingat tidak akan ada orang yang menuntutku karena saat ini korbannya adalah Sasuke. Aku meninggalkan ruang interogasi sambil mengelap keringat di permukaan dahiku. Dari ujung pengelihatanku, terlihat bapak supir bernafas dengan lega karena ia bebas dari tuntutan bersalah.
"Kau orang yang baik, ya, Nona Haruno," ujar si bapak supir. Aku yang tidak mengerti maksud dari pertanyaan (atau pernyataan) bapak tersebut. Aku hanya mengerutkan dahi membalas kata-katanya.
"Kau baik, tidak menuntut macam-macam—padahal ia kekasihmu, kan?" katanya lagi. Jujur saja, aku tidak mengantisipasi pertanyaan seperti itu. Siapa yang mengira pertanyaan sederhana seperti itu membuatku gugup tak karuan?
"Ah, bukan seperti itu, kok, Ojisan. Aku hanya ingin kasus ini tidak berlarut-larut," jawabku. Sang lawan bicara mengangguk-angguk pelan mencerna kata demi kata yang baru saja keluar dari bibirku. Sempat aku berpikir apakah jawabanku terdengar terlalu konyol dan tidak logis.
"Ne, Nona Haruno, mungkin jawabanmu tadi masih bisa diterima nalar. Sebagai pertanggungjawaban saya, saya akan mengganti setengah dari biaya perawatan Uchiha-san," katanya kemudian. Baik sekali, pikirku. Ia lalu berpamitan dan langkah-langkahnya mulai menjauh dari spot tempat kami berdiri.
Tak lama, ia berhenti dan memalingkan wajahnya ke arahku, "Ne, Nona Haruno. Kalau tidak salah, Uchiha-san itu… keturunan dari keluarga yang dibantai habis-habisan itu, kan? Mengerikan, ya?"
.
.
.
Bunyi dari alat pendeteksi jantung itu terus berbunyi pelan menggema di seisi kamar bercat putih ini. Udara yang mengembun di sekitar alat pemasok oksigen itu timbul dan tenggelam senada dengan desahan nafasnya yang lemah. Ia masih tertidur hingga sore ini. Wajahnya yang tengah tertidur itu terlihat sangat tampan dan damai. Bisa kupastikan—tak akan ada yang menyangka bahwa pemuda berparas elok ini merupakan seorang psikopat.
Kata-kata yang keluar dari bibir si supir truk susu itu masih menggema di pikiranku. Aku tak menyangka bahwa ia mengerti tentang pembantaian keluarga yang dibunuh oleh Sasuke. Terbesit rasa lelah—lelah untuk terus berbohong menutupi kejadian yang sebenarnya. Tapi di sisi lain, aku merasa iba pada Sasuke yang kesepian dan haus akan perhatian. Entahlah… apa pemikiranku kali ini tepat, atau justru sebaliknya.
Tok..tok. Terdengar pintu ruangan tengah kedatangan tamu. Yah, paling-paling hanya suster. Pintu lalu terbuka—aku mendapati Ino dan Naruto yang ternyata menjadi tamuku (atau kami). Mereka lalu masuk dan duduk di dekatku. Untuk sekian detik, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari kami. Entah karena mereka tengah berduka, atau masih diselimuti ketakutan karena insiden tempo lalu.
"Apa yang akan kau lakukan sekarang?" Naruto membuka percakapan. Ia bertanya tanpa melihat ke arahku. Bisa kulihat pipinya terpampang jelas luka gores dari Sasuke pada malam mengerikan itu. Aku mengalihkan pandanganku ke arah Sasuke lagi—tak menggubris pertanyaan Naruto.
"Kau masih menyukainya, huh? Setelah semua yang ia perbuat kepadamu, kau masih berada di pihaknya, ya, kan? Kau bahkan sudah berada di kantor polisi, tapi kau seakan membebaskannya dari segala hukuman yang pantas untuknya! A, jangan bilang kau mencintainya, Sakura-chan! Persetan dengan cinta! Ia sudah menyakitimu dan—"
PLAK! Tanganku secara otomatis menampar pipi tan Naruto. Seluruh tubuhku bergetar—menahan segala emosi aneh yang bercampur di dalam diriku. Aku marah—tapi aku tak bisa tidak setuju dengan segala perkataan Naruto barusan.
Semuanya terdiam, hingga Ino maju dan mencoba menenangkan Naruto dan mengajaknya keluar. Ino menatap miris ke arahku—tatapannya pedih—menandakan bahwa ia kecewa. Ia lalu berkata, "Semua yang telah dan akan kau lakukan—semuanya adalah pilihanmu, Sakura. Ingat itu."
Dan KLEK, pintu tertutup.
.
.
.
Matahari senja sudah tidak menampakkan warna jingganya, tergantikan oleh warna biru tua dengan semburan violet yang indah. Twilight hari ini terasa begitu damai, hanya suara pendeteksi jantung milik Sasuke lah yang menemaniku hingga saat ini. Aku tidak ingin melakukan apapun sekarang. Aku terlalu letih: fisik dan mental. Semua ucapan Naruto dan Ino terus-terusan bergema di pikiranku. Aku seperti orang linglung—terlalu bingung untuk melakukan semua hal.
Tiba-tiba, aku mendengar suara nafas yang sangat cepat. Aku menengok ke arah Sasuke. Ia telah membuka matanya. Nafasnya masih belum teratur.
"S-Sa-Sasuke-kun? Apa kau baik-baik saja? Syukurlah kau sudah siuman. Tunggu, aku panggilkan suster dulu," kataku spontan: panik, senang…semuanya. Saat ini tak ada yang lebih penting daripada progress kesehatan Sasuke. Aku bergegas bangkit dari tempat duduk, ingin memanggil suster. Hingga tiba-tiba jari-jarinya yang lemah menyentuh punggung tanganku—dingin.
"Ada apa, Sasuke-kun? Aku hanya ingin memanggil suster sebentar," kataku. Sasuke diam saja, tapi kepalanya menggeleng lemah—mengisyaratkan aku untuk tidak melakukannya. Jari-jarinya masih setia berada di atas punggung tanganku.
"Kenapa, Sasuke-kun? Aku hanya sebentar saja, kok."
Ia masih kekeuh dengan keinginannya. Astaga, manja sekali.
"Tunggu sebentar, ya, Sasuke-kun. Aku cuma mau memanggil suster saja. Ini demi kamu, kesehatanmu. Tolong mengerti," kataku lagi. Dan sama, ia tidak ingin aku melakukannya.
Aku menghela nafas panjang, "Lalu sekarang apa yang kau inginkan, Sasuke-kun? Kau beruntung karena kau masih hidup dan aku masih ingin merawatmu—padahal kau sudah menyakitiku berkali-kali."
Sejenak aku melihat Sasuke sedikit terkejut dengan pernyataanku barusan. Ya, kata-kataku barusan mungkin terdengar agak jahat. Aku ingin menghentikan ucapanku, akan tetapi, lidahku terus bergoyang. Aku tak ingin berhenti. Aku menikmati mengeluarkan kata-kata seperti ini tepat di wajahnya. Tepat di depannya—dirinya yang lemah.
"Apa yang kau inginkan sekarang, hah? Bicaralah! Bicaralah, dasar cowok sialan!" lanjutku tanpa kontrol.
Tanpa sadar, bibirku menunggingkan senyuman. Entah mengapa aku tersenyum, padahal tidak ada hal yang wajar untuk diapresiasi dengan senyuman. Sial, kenapa aku ini? Aku menyukai sensasi seperti ini. Sensasi dimana aku dengan leluasa menjelek-jelekkan orang yang telah membuatku down. Perasaan gembira yang pertama kali aku dapatkan dari mengejek-ejek seseorang.
Jari-jari Sasuke lalu bergerak lagi, menggapai pergelangan tanganku, seakan berusaha membuatku tenang, membuat tubuhku duduk kembali ke tempat semula. Ia lalu menatapku perih—berbeda dengan tatapan yang pertama kali ia tunjukkan kepadaku pada saat kami berpapasan dulu. Tubuhku merinding. Terbesit rasa bersalah yang amat besar ketika mengingat perbuatanku barusan. Apa yang sudah aku perbuat? Bukankah apa yang baru saja aku lakukan sama seperti seorang psikopat?
"Maaf, Sasuke-kun. Aku sudah berkata hal yang bukan-bukan…" air mataku sedikit demi sedikit mulai menggenang, tapi jari telunjuk Sasuke menggores tipis genangan air tersebut—lemah, tak berdaya.
Jari Sasuke kembali menyentuh punggung tanganku, lalu membaliknya lembut sehingga kini ia menyentuh telapak tanganku. Jari telunjuknya yang kurus menari-nari dengan perlahan, membentuk hiragana bayangan di atas telapak tanganku. 'Gomen,' tulisnya.
Air mataku semakin tak terbendung. Tiap butirnya perlahan mendarat sempurna di atas telapak tanganku dan jari-jari Sasuke.
"Aku juga minta maaf, Sasuke-kun."
.
.
.
Esoknya, aku terbangun dengan posisi serupa di tempatku duduk kemarin. Sasuke menyambutku dengan senyumannya yang lemah, dan aku tak pernah melihat senyuman setulus itu dari bibirnya yang tipis. Jari-jari Sasuke bergerak lagi di atas telapak tanganku. 'Ohayou,' tulisnya.
"Un, selamat pagi juga, Sasuke-kun. Bagaimana keadaanmu sekarang? Aku beres-beres dulu, ya. Nanti kamu harus makan dan minum obat. Ah, suster sudah kemari, ya?" kataku panjang lebar sambil melirik nampan makanan di meja sebelahku. Sasuke mengangguk pelan, lalu aku meninggalkannya sebentar untuk mandi dan beres-beres.
.
.
Hari ini berlalu dengan cepat. Aku menghabiskan waktu berbincang dengan Sasuke. Tentang apapun. Dan aku gembira. Sasuke makan dengan lahap hari ini, dan aku berharap keadaannya akan segera membaik.
Selama kami 'ngobrol', Sasuke kerap tersenyum kecil sambil menatapku berbicara. Tatapan yang membuatku jatuh cinta lebih dalam lagi dan lagi. Entah mengapa, semenjak kejadian ini, Sasuke menjadi lebih tenang dan sering tersenyum. Aku menyukainya. Aku makin menyukainya.
Oh, Tuhan, tolong biarkan waktu berhenti sejenak. Biarkan aku menikmati perasaan gembira yang tulus ini. Biarkan aku merasakan cinta yang bergejolak di dalam hati ini, sebentar saja…
.
.
.
Dua minggu berlalu, Sasuke belum menunjukkan kemajuan yang signifikan atas kesehatannya. Kekhawatiranku semakin menjadi-jadi ketika aku mendapati Sasuke menolak makanannya, detak jantung dan nafasnya pun melemah—sama seperti hari-hari pertama ia dirawat.
"Pada dasarnya, Uchiha-san memiliki tekanan darah yang tidak normal. Hal ini juga didukung dengan pendarahan hebat pada saat kecelakaan tempo hari, sehingga terjadi inflasi, infeksi yang dalam, serta tekanan darahnya turun drastis dan melemah," aku hanya bisa mendengarkan penjelasan dokter satu persatu. Jujur, persetan dengan segala teori-teori itu. Yang terpenting, bagaimana caranya Sasuke bisa sehat seperti dulu lagi?
"Selain itu, mungkin ada tekanan psikis tersendiri pada diri Uchiha-san. Entahlah, tapi saya merasa kondisi kejiwaan juga berpengaruh cukup besar dalam perkembangan kesehatan pasien," katanya lagi.
BRAK! Aku membanting telapak tanganku di atas meja dokter.
"Saya tidak peduli, Dok. Saya tidak mau tahu, ya. Pokoknya Sasuke harus bisa kembali sehat seperti dulu. Anda dokter, kan? Anda bisa, kan, membuatnya sehat lagi? Membuat pasien sehat adalah tugas dan kewajiban Anda, kan? Saya tidak peduli Sasuke mau kena penyakit apa, pokoknya lakukan kewajiban Anda sebaik mungkin! Saya membayar mahal untuk ini, Dok! Saya ingin timbal balik yang baik dari pihak rumah sakit maupun Anda sebagai penanggung jawab Sasuke!"
Sial. Aku mulai berbicara ngelantur—tidak terkontrol lagi. Sial, sial, sial! Apa-apaan ini? Mengapa jantungku berdetak sangat kencang? Aliran darahku seakan mengalir begitu cepat seiring dengan kata-kata yang terlontar dari bibirku. Sialan. Aku harus minta maaf.
"Maaf, Nona Haruno. Saya mengerti. Tolong keluar dari ruangan ini dan berpikirlah dengan jernih. Kami hanya memberi penjelasan atas hal yang terjadi pada pasien. Kami juga tidak tinggal diam. Jadi, Nona, tolong dinginkan pikiran Anda. Terima kasih," ujar si dokter sambil mengantarku keluar ruangannya.
Gah! Sekarang aku malah diusir. Apa-apaan?! Bukankah wajar jika aku berharap Sasuke bisa sembuh?
.
.
.
Nafasnya tersengal-sengal di balik supplier oksigen yang terpasang di hidungnya. Sudah tiga hari sejak perdebatan dengan si dokter, dan Sasuke tidak menunjukkan kemajuan berarti. Sudah tiga hari pula aku duduk di tempat yang sama—menatap pemandangan yang sama sepanjang hari. Tidak tidur, makan jika lapar saja… Aku melakukannya untuk terus menjaga Sasuke. Mencoba menyemangati Sasuke dan diriku sendiri, kalau sosok lelaki di hadapanku ini akan dapat menikmati hidup bersamaku lagi—setidaknya beberapa saat lebih lama.
Sungguh konyol mengingat bagaimana betapa inginnya aku menjauh darinya dulu, dan sekarang aku malah menginginkannya kembali menjalani hidup dengan indah bersamaku. Sungguh menggelikan bagaimana aku menginginkan dirinya untuk mati, dan sekarang aku malah ingin dia hidup lebih lama daripada diriku. Sungguh lucu bagaimana bisa aku berkali-kali jatuh karena dirinya—walaupun ia hampir membunuhku pada saat itu.
Hingga, di bawah lautan bintang, secara ajaib, ia membuka matanya lemah. Menyapa pandanganku dengan tatapan hangatnya. Aku menangis terharu. Perasaanku campur aduk. Betapa leganya aku dapat melihatnya membuka mata. Betapa senangnya aku dapat merasakan harapan perlahan tumbuh di saat aku mulai kehilangan harapan itu sendiri.
Jari-jarinya yang kurus dan sedingin salju kembali menyapa kulitku. Ia mulai 'menuliskan' sesuatu lagi. Huruf-huruf hiragana perlahan ia 'tuliskan' di atas telapak tanganku. 'Tsu', disusul dengan empat huruf lainnya sehingga membentuk sebuah kata: 'tsuyokunaru(*)'.
Aku tersenyum pahit sambil mengangguk merespon apa yang ia 'katakan'. Ia pun tersenyum. Dengan energinya yang terbatas, ia mencoba menuliskan hiragana lain dengan telunjuknya. Air mataku kembali jatuh senada dengan selesainya ia 'menulis'.
'Tadaima(**),' katanya.
.
.
.
Seiring dengan angin malam yang berhembus lirih, jari-jarinya jatuh di atas telapak tanganku. Matanya kembali terpejam—memancarkan wajah damai dan rupawan. Di balik isakan tangisku, aku tersadar, bahwa helaan nafasnya yang lemah itu turut terbawa dengan hembusan angin malam.
.
.
.
.
.
Chrysanthemum berbagai warna aku bawa hari ini—di hari ke-23 bulan Juli, tepat satu tahun dirimu meninggalkanku. Hei, Sasuke-kun, apa kau tahu mengapa aku membawa berbagai warna bunga Chrysan untukmu? Aku membawa warna merah sebagai tanda cinta. Aku membawa warna putih sebagai lambang kesetiaanku padamu. Dan tak lupa, aku membawa warna ungu untukmu: sebagai harapan bahwa kau akan bahagia di sana.
Sasuke-kun, aku minta maaf. Aku minta maaf jika aku terlalu lemah untukmu. Aku minta maaf karena aku belum bisa menyadari kesendirianmu pada saat itu.
Sasuke-kun, aku pun ingin berterima kasih. Terima kasih karena telah menjadi cinta pertamaku. Terima kasih karena berkatmu, aku dapat mengerti bagaimana rasanya dicintai, dan bagaimana rasanya mencintai dengan tulus.
Mungkin kebanyakan orang akan menganggapmu sebagai seorang psikopat, sayang. Tapi mereka tak tahu, jika aku mendapatkan berbagai kebahagiaan, berbagai kenangan indah dari seorang psikopat sepertimu.
Sasuke-kun, terima kasih atas dua kata terakhirmu malam itu. Terima kasih atas 'tsuyokunaru'-mu, yang membuatku menjadi tegar menjalani kehidupan tanpamu sekarang ini. Terima kasih atas 'tadaima'-mu, yang telah menyadarkanku bahwa memang sudah saatnya kau 'pulang'. Sudah saatnya kita berjalan di jalan masing-masing.
.
.
.
Angin musim panas yang hangat berhembus kencang. Membawa berjuta kenangan bersama Sasuke. Menghapus kenangan pahit dan menggantinya dengan kenangan indah bersama dirinya. Yah, mungkin sudah saatnya aku untuk bergerak juga. Menjalani hari-hari baru tanpa dirimu, Sasuke-kun. Bergerak maju ke depan, melewati berbagai hal di jalanku nanti, demi menyapa masa depan yang menantiku.
Nah, terima kasih, Sasuke-kun. Aku akan datang lagi.
.
.
.
.
.
F I N
akhirnya selesai juga fanfic ini. Maaf menunggu sangat lama, karena sibuk kuliah. /sokrajin /plok
terima kasih kepada para readers sudah mau membaca fanfic ini sampai akhir. Sekali lagi, saya minta maaf karena membuat para readers menunggu begitu lama T^T *bow* Semoga suka dengan fanfic ini, tunggu karya saya selanjutnya! ^^/ *tebar ramen*
Notes:
(*) Tsuyokunaru (強くなる), adalah bahasa Jepang dari "Kuatlah" atau "Tetap Tegar",dan sejenisnya.
(**) Tadaima (ただいま) adalah bahasa Jepang dari "Aku Pulang".