I don't own the characters. Copyright: Mangaka Eyeshield 21

Original artwork of cover book is not mine. Just modified it.

DiyaRi De present : IF YOU BELIEVE

Chapter 1

Mamori menelusuri jalan di lorong kelas dengan mengenakan setelan kemeja pink muda dibalut sweater putih, dengan rok selutut berwarna krem terang dan sepatu flat berwarna sama dengan roknya. Lorong sudah lumayan sepi, namun suara anak-anak berbicara dan tertawa masih bisa terdengar di sepanjang Mamori berjalan. Suara-suara berisik ini sama sekali tidak mengganggu Mamori, dia bahkan bisa menemukan ketenangan dari suara-suara itu. Karena dengan mendengar suara itu, menandakan bahwa mereka masih tetap ceria dan bersemangat untuk mengikuti pelajaran.

Mamori menggeser pintu kemudian menutupnya lagi, berjalan ke meja untuk menaruh buku yang sedari tadi dia bawa dan masih tetap bisa mendengar suara-suara ceria itu walaupun mereka tahu bahwa gurunya sudah datang, akhirnya Mamori berkata, "Ayo anak-anak. kembali ke tempat duduk kalian." ujar Mamori berdiri di depan kelas sambil menepuk tangannya pelan. Murid-murid kecil yang hanya setinggi pinggang Mamori langsung berrlarian ke meja mereka, masih tetap dengan keceriaannya.

"Hari ini kita mau belajar apa, sensei?" tanya seorang murid perempuan yang duduk paling depan dengan rambut hitam yang dikuncir ke samping sambil mengangkat tangannya.

Mamori melihat ke arahnya lalu tersenyum, "Coba tebak Mika-chan?" tanya Mamori menggoda sambil menunduk melihatnya.

Anak itu berpikir keras sambil berpikir, "Jum'at kemarin sensei menyuruh kita membawa sarung tangan..." ujarnya masih terus berpikir.

"Aku tahu Mamori-chan!" sahut anak laki-laki dengan rambut cokelat halusnya yang duduk dua bangku dari depan di dekat jendala.

"Ya, Hikaru-kun?" Mamori menegakkan tubuhnya menghadap ke arah jendela, "Kamu tahu?"

"Tentu saja." jawabnya bangga. "kita mau bersih-bersih ruang kelas 'kan?"

"Kau saja sendiri Hikaru kalau mau bersih-bersih kelas." sahut lelaki di belakang Mika sambil bersorak diikuti dengan teman-teman yang lain.

Mamori hanya tertawa melihat tingkah anak-anak muridnya yang sudah dia ajar selama hampir lima bulan ini. "Bagaimana kalau yang dibilang Hikaru-kun benar, Yuki-kun?"

Anak yang memiliki mata biru cerah itu yang sangat kontras dengan rambut hitamnya menatap Mamori cemas, "Sensei bohong 'kan? Aku tidak pernah bersih-bersih."

Mamori tertawa lagi, tentu saja dia tidak akan menyuruh anak-anak lucu ini untuk bersih-bersih. "Baiklah," ujar Mamori lalu menyimpulkan senyumnya lagi, "Sebenarnya aku ingin mengajak kalian memetik sayuran di kebun milik kakek Shiro." katanya sambil mendesah pelan, "tapi seperti kalian lihat," tambahnya sambil menunjuk ke jendela dengan ibu jarinya, "di luar turun salju."

Anak-anak ikut melihat ke luar jendela dengan wajah kecewa. Mereka memang paling senang kalau sudah diajak untuk melihat-lihat kebun milik kakek Shiro, yang rumahnya hanya berjarak tiga ratus meter dari sekolah mereka, juga pemilik sekolah ini, dan sebagai tambahan, adalah kakek dari muridnya, Shirohara Yuki.

"Jadi sebagai gantinya, kalian mau kita belajar apa?" tanya Mamori dengan memasang wajah cerianya agar murid-muridnya juga kembali ceria.

Semua menjawab dengan bersaut-sautan menyebut pelajaran atau permaian kesukaan mereka. Suasana kelas kembali menjadi ramai karena tidak ada yang setuju dengan ide satu sama lain. Mulai dari menggambar, bernyanyi, bermain masak-masakan, bermain ular tangga, bermain sambung kata, "Bagaimana kalau kita bermain salju di luar?" saran Hikaru dan akhirnya mendapat persetujuan dari teman-temannya yang lain.

Kali ini Mamori yang tidak setuju lalu berkata, "Tidak boleh, di luar masih turun salju. Nanti kalian sakit kalau bermain di luar." jawab Mamori, "Jadi, bagaimana kalau kalian main salju saat salju berhenti sebelum masuk libur musim dingin ini?"

Murid-murid bersorak riang mendengar tawaran Mamori. Inilah mereka, dua belas murid di kelas panda yang selalu menurut mendengarkan perkataan Mamori.

"Jadiā€¦ Bagaimana kalau kita bermain sambung kata seperti saran Mika-chan?" tanya Mamori dan semuanya setuju. "Kalau begitu, pikirkan kosakata yang sudah kalian ingat. Hewan, buah, sayuran, benda-benda. Apapun, asal kata yang baik." tambahnya lalu berjalan ke meja paling depan di dekat jendela. "Baiklah, kita mulai dari Satori-chan."

.

.

Sejak lulus kuliah satu tahun yang lalu, Mamori sibuk mencari pekerjaan menjadi guru TK. Memang sudah menjadi cita-citanya. Karena itu, sebelum dia diterima di TK Shirohara ini, dia bekerja sambilan menggantikan staff yang melahirkan di kantor tempat ayahnya bekerja.

Pekerjaan Mamori di TK ini sungguh menyenangkan. Dia tidak pernah mengeluh atau merasa kelelahan, mengajar anak-anak yang lucu dan penurut ini sungguh sebuah anugerah untuk Mamori. Mereka adalah murid pertama Mamori, begitu lincah dan memiliki rasa pengetahuan yang tinggi. Mamori juga tidak keberatan dengan panggilan yang mereka gunakan untuknya. Mamori masih berumur 23 tahun, karena itu tidak semua muridnya memanggil sensei, sebagian memanggilnya Mamori-chan, dan sebagian lainnya memanggil Mamori-neesan.

Fakta mengejutkan yang baru diketahuinya sekitar dua bulan lalu bahwa Ichiro adalah anak keempat dari kakek Shiro. Sebelumnya, dia sudah tahu bahwa nama keluarga dari Ichiro, adalah Shirohara, tetapi Mamori sama sekali tidak menyangka kalau nama keluarganya ada hubungan dengan keluarga Shirohara tempat Mamori mengajar. Sampai suatu hari Mamori bertanya kepadanya apa dia memiliki hubungan keluarga dengan kakek Shiro. Jawaban Ichiro mengejutkannya. Karena sebelumnya Mamori pernah bercerita kalau dia diterima bekerja di TK Shirohara, tetapi Ichiro sama sekali tidak pernah mengungkit-ungkit kalau itu adalah TK milik Ayahnya. Dia hanya bilang, kalau itu adalah tempat yang bagus dan dia akan betah bekerja disana. Dan sepertinya dugaan Ichiro benar, Mamori memang betah dan nyaman kerja disana.

Berbicara tentang Ichiro, Mamori kadang-kadang bertemu dengannya saat Mamori tidak membawa bekal makan siang di kedai makan dekat dengan TK-nya dan juga klinik tempat Ichiro bekerja. Mereka menghabiskan jam makan siang dengan makan bersama dan mengobrol. Seperti juga hari ini, Mamori bertemu dengan Ichiro.

"Bagaimana Yuki?" tanya Ichiro meminum kopi yang dipesannya.

Mamori mengambil creampuff yang dipesannya setelah menghabiskan makan siangnya, walaupun bukan Kariya creampuff, "Seperti biasa, pintar." jawab Mamori, "Kau tahu, dia bahkan tahu tentang nama-nama alat kedokteran!"

Ichiro tertawa setelah menelan kopinya, "Tentu saja dia tahu. Bahasa kedokteran sudah melekat di telinganya bahkan sat dia masih di kandungan."

Mamori ikut tertawa. Wajar saja, dari Ayah sampai adik perempuannya, semua bekerja di bidang kedokteran. Kakek Shiro juga dulunya dokter, tapi sekarang sudah pensiun dan hanya menjadi direktur rumah sakit dan TK Shirohara. Ya, hanya. Karena Mamori tidak tahu tempat apa lagi yang menjadi milik keluarga Shirohara.

"Pacarmu tidak menelepon?" tanya Ichiro, "Biasanya dia selalu menelepon kalau kita lagi makan siang."

"Oh, aku melarangnya." jawab Mamori tenang.

Ichiro memasang wajah bertanya.

"Kau tahu, di sana itu malam hari." jawabnya dan mendapat anggukan dari Ichiro. "Dia seharusnya tidur dan istirahat." bersamaan dengan Mamori menyelesaikan kalimatnya, ponselnya di atas meja berdering.

"Sepertinya laranganmu tidak berguna." sahut Ichiro menunjuk ponsel Mamori.

"Youichi." jawab Mamori pasrah setelah dia mengangkat teleponnya. "Apa yang kau lakukan?" tanyanya sedikit kesal.

"Meneleponmu." jawab Hiruma singkat.

"Aku 'kan sudah bilang jangan meneleponku jam segini. Kamu seharusnya tidur."

"..."

"Aku akan mematikan ponselmu sekarang agar kamu tidak bisa meneleponku lagi. Kamu harus istirahat. Jangan tidur terlalu malam terus, jagalah kesehatanmu."

"..."

"Kau mendengarkanku Youichi?"

"Sialan! Ya aku mendengarkan semua celotehanmu."

"Jaga kesehatanmu. Makan yang teratur, jangan makan mie instan terus. Jangan terluka dan jangan menantang bahaya. Mengerti?"

"Berisik. Aku tahu."

"Jangan membuatku khawatir. Aku akan meneleponmu lagi saat kamu bangun besok pagi." ujarnya lagi lalu menutup teleponnya dengan kesal.

Ichiro menatapnya terheran-heran. "Wow." sahutnya.

Mamori melihat ke wajah Ichiro dan langsung tersenyum malu. "Maaf Ichiro-kun. Kamu jadi mendengarnya."

Ichiro tertawa khasnya. "Tidak apa-apa Mamori-san. Aku cuma tidak menyangka kau bisa setegas itu."

Ah, Ya. Ichiro belum begitu mengenal Mamori sehingga bisa berkata seperti itu. Mamori selalu tegas, kepada iblis miliknya ini. "Aku sudah biasa mengomelinya seperti ini." jawabnya.

Mamori menghela napas. Dia sebenarnya sangat ingin berbicara dengan Hiruma, tapi dia harus menahan diri. Dia pasti akan menelepon Hiruma lagi nanti malam, saat Hiruma sudah bangun besok pagi. Mamori sungguh merindukannya. Sudah satu tahun mereka tidak bertemu, saat hari kelulusan mereka. Mamori mengantarkannya ke bandara, dan saat itu juga Mamori sebenarnya sangat tidak ingin melepaskan tangannya.

"Apa kamu berencana mau ke Amerika liburan nanti?"

Mamori tersadar mendengar pertanyaan Ichiro. "Aku?" tanya Mamori lagi dengan nada heran."Aku bahkan tidak pernah berpikir ingin kesana."

"Kau serius? Kenapa?" tanya Ichiro heran kemudian menambahkan. "Tahun baru di sana meriah sekali..." ujarnya lebih kepada dirinya sendiri.

"Aku hanya tidak ingin mengganggu Youichi."

Ichiro mengangguk. "Aku mengerti." sahutnya, "Tapi kamu berlebihan, kenapa kamu pikir akan mengganggunya? Dia pasti senang kalau kamu mengunjunginya."

Mamori terdiam memikirkan kata-kata Ichiro.

.

.

Mamori menaiki tangga menuju apartemennya, atau lebih tepatnya apartemen Hiruma. Sejak Hiruma pergi ke Amerika, Mamori menempati apartemen Hiruma. Selain sayang kalau dibiarkan kosong, juga karena tempat kerjanya lumayan dekat dibanding dari rumahnya. Orangtuanya sudah memberi izin. Hiruma juga sudah berbicara di telepon dengan mereka agar mengizinkan Mamori menempati Apartemennya.

Orang tua Mamori sudah mengetahui hubungan mereka. Namun yang lebih mengherankan saat Mamori mengatakan kepada Ibunya, adalah tanggapan yang dilontarkan oleh Anezaki Mami sendiri.

"Lho, bukannya sudah dari dulu kalian sudah berpacaran?"

"Bukan pacaran ma. Tidak seperti itu." jawab Mamori memalingkan muka agar Ibunya tidak melihat wajahnya yang merah.

Anezaki Mami mendengus, "Memang apa bedanya? Kalian tidak menyebutnya pacaran tapi memutuskan untuk bersama itu sama saja kalian akan menikah nanti." jawabnya. "Baguslah kalau kamu dengannya. Dia anak yang baik." tambahnya sambil tersenyum lega.

Mamori hanya bisa mengerjapkan matanya saat mendengar komentar ibunya itu. Menikah? Dari mana Ibunya bisa sampai pada kesimpulan seperti itu? Oh ya, tidak heran, karena semua orang di sekeliling mereka selalu beranggapan begitu, termasuk Ibunya.

Mamori memasukan kunci ke dalam lubang pintu lalu hendak memutarnya ke belakang, dan sesaat itu juga Mamori langsung berpikir buruk. Pintu apartemennya tidak terkunci. Mamori mengingat-ingat saat dia meninggalkan apartemen pagi ini, dia yakin sekali kalau sudah menguncinya. Dia tidak mungkin lupa.

Pikiran buruk itu terus merasuki Mamori, mungkin ada maling yang masuk ke apartemnennya. Oh Tuhan, Mamori sungguh panik dan memegang gagang pintu, menariknya ke bawah perlahan. Pintu terbuka, dan suasana lorong yang menuju ruang tengah masih gelap, sama sepeti saat dia meninggalkannya pagi ini. Mamori berjalan di lorong pelan agar tidak menimbulkan suara. Dia menuju ruang tengah yang benderang. Dia bahkan lupa untuk mengganti sepatu flat-nya dengan sandal rumah.

Saat hampir mencapai ruang tengah, Mamori mendengar suara televisi yang menyala. Dia meneruskan langkahnya. Perlahan sudah mencapai ke tempat terang dan saat itu juga Mamori tercekat. Mamori menutup mulutnya, tanpa sadar air matanya tergenang, bahunya melemas, dan dia tidak bisa bersuara. Mamori melihat sosok itu duduk di sofa, dia sedang mengetik sesuatu di laptop kesayangannya dengan kaki dijulurkan di atas meja. Dia melihatnya, iblis yang sangat dicintainya.

Mamori bertemu mata dengan mata hijau terang itu.

"Kau sudah pulang, heh?"

Hanya itu yang Mamori dengar. Suara yang selalu ingin didengarnya. Senyuman yang selalu membayangi pikirannya. Dan kehangatan yang selalu dirindukannya. Pandangan Mamori sudah buram dan air mata jatuh di pipinya. Dia samar-samar melihatnya mendekat, dan Hiruma memeluknya.

Hiruma menarik Mamori ke dekapannya. Dia mengelus kepala Mamori dan menaruh dagunya ke atas kepalanya. Dia membiarkan Mamori manangis dalam hening mereka sambil terus mengusap kepala dan punggungnya. "Kau begitu merindukanku ya?" tanyanya saat merasakan napas Mamori sudah mulai teratur.

"Kenapa kamu tidak bilang kalau mau pulang?" tanya Mamori setelah menemukan kembali suaranya yang sudah tidak bergetar.

"Kenapa? Agar kau bisa mempersiapkan hatimu agar tidak menangis saat melihatku?" tanya Hiruma balik masih tetap dengan cengiran khasnya.

Mamori memeluk balik Hiruma. Terus dan terus memeluknya. "Kamu tidak merindukanku Youichi?"

Hiruma melepaskan pelukan mereka dan memegang kedua pipi Mamori. Sambil tetap tersenyum dia berkata, "Menurutmu?" jawabnya lalu mencium kening Mamori dan kembali memeluknya.

"Kau mencintaiku."

"Bukan itu jawabannya, bodoh." balas Hiruma sambil berjalan ke sofa dan mendudukan Mamori di sana. Hiruma ikut duduk di samping Mamori dan menghadapnya sambil mengurungnya dengan kedua tangan di sandaran dan pegangan sofa. Hiruma lalu mengecup bibir Mamori lembut, "Aku lapar."

Mamori menatap mata Hiruma yang hanya beberapa senti darinya. "Kau yang lapar atau perutmu yang ingin makan?"

Pertanyaan Mamori membuat Hiruma tertawa, "Aku lapar dan buatkan aku makanan."

Mamori tersenyum dan menangkap bibir Hiruma dengan bibirnya. Mereka berciuman cukup lama kemudian Mamori menyingkirkan tangan Hiruma yang menghalanginya. "Oke. Untung saja kemarin aku sudah berbelanja." katanya berdiri dari duduknya menuju dapur dan Hiruma kembali mengerjakan sesuatu di laptopnya.

.

.

"Oh, Hiruma-san. Selamat pagi." sapa tetangga apartemen Hiruma, kepada Mamori.

Mamori tersenyum ke arahnya saat baru keluar dari pintu untuk berangkat kerja. "Selamat pagi."

"Oh ya Hiruma-san, kemarin ada pria menyeramkan yang langsung masuk begitu saja ke apartemenmu. Kamu mengenalnya?" tanya tetangga yang baru pindah sekitar empat bulan lalu. Ibu dua anak itu baru saja pulang dari belanja.

Mamori tersenyum lagi lalu tangannya diulur ke dalam apartemen untuk menahan Hiruma yang hendak keluar. "Ah ya. Dia kenalanku."

"Oh ya ampun." sahutnya sambil menutup mulutnya. "Dia menyeramkan sekali. Aku sampai tidak berani menegurnya." katanya sambil membuka kunci pintu apartemennya sendiri. "Untunglah dia kenalanmu. Ya sudah kalau begitu Hiruma-san. Semoga harimu menyenangkan." tambahnya sambil tersenyum.

"Terima kasih." sahut Mamori, lalu tetangganya itu menutup pintu apartemennya.

"Sejak kapan namamu menjadi Hiruma Mamori?" tanya Hiruma setelah yakin kalau tidak ada lagi yang mendengar mereka.

Mamori menoleh ke ambang pintu apartemennya, melihat lelaki yang sudah siap untuk mengantarkannya bekerja itu. "Aku sudah bilang saat pertama kali berkenalan kalau namaku Anezaki Mamori kepada ibu itu. Tapi sepertinya dia lupa." jelasnya. "Dan dia hanya membaca nama keluargamu di plat nama itu." tunjuknya kepada papan nama yang terpasang di samping pintu apartemen Hiruma.

Hiruma tersenyum memamerkan giginya lalu mengunci pintu di belakangnya. "Tapi sepertinya nama Hiruma Mamori cocok untukmu." ujarnya membuat rona wajah Mamori memerah.

Udara hari ini sudah cukup dingin. Mereka berjalan menuju tangga sambil Mamori menggenggam tangan Hiruma dan membuat Hiruma menarik genggaman mereka ke dalam kantung jaket tebalnya. Mereka menuruni tangga dan menuju tempat parkir. Sesampainya di sana Mamori dibuat tercengang oleh sesuatu yang terparkir di depan Hiruma berdiri.

"Mobil siapa itu?" tanya Mamori menunjuk mobil berwarna biru tua yang terparkir dua meter di depannya.

Hiruma menoleh ke belakang saat hendak membuka pintu mobil. "Mobilku bodoh! Kau kira mobil siapa?"

"Sejak kapan?"

"Sudah lama. Aku menyuruh Pak tua itu membelinya saat aku di Amerika." jelasnya dan Mamori masih tertegun. "Oh sial! Naiklah. Kau mau terlambat kerja."

Mamori menggerutu lalu memutari depan mobil dan duduk di kursi sebelah Hiruma.

"Kau suka?" tanya Hiruma saat Mamori memperhatikan seisi mobil.

"Ya." jawabnya tersenyum lalu melihat ke arah Hiruma yang sudah mulai menyalakan mesin mobil. "Kau sudah punya sim 'kan?"

"Dari mana kau dapat pikiran bodoh itu? Tentu saja aku punya." jawab Hiruma melotot ke arah Mamori. "Jadi lebih baik kau pasang sabuk pengaman itu dan berhenti khawatir." tambahnya sambil menjitak kepala Mamori pelan.

.

.

Jam makan siang telah tiba. Mamori kembali ke kantor guru dan duduk de kursi belakang mejanya. Ruang guru ini tidak terlalu besar. Terdapat enam meja karena memang hanya ada enam guru yang mengajar di sini. Ruang kelasnya pun ada enam. Dua kelas untuk murid yang berumur tiga sampai empat tahun, dua kelas untuk yang berumur lima tahun, dan dua kelas lainnya untuk yang berumur enam tahun. Dan Mamori mengajar salah satu kelas yang berumur lima tahun.

Mamori meletakan peralatan yang mengajarnya di atas meja lalu meluruskan punggungnya ke sandaran kursi. Dia merenggangkan tangannya ke atas dan memukul pundaknya yang kanan dan yang kiri. Mamori kurang tidur semalam, karena mengobrol banyak dengan Hiruma dan akhirnya mereka berdua tertidur di sofa.

"Kamu tidak makan siang dengan pacarmu Mamori-san?" tanya seorang guru wanita berusia dua tahun lebih tua dari Mamori yang sedang merapikan barangnya di atas meja di depan meja Mamori.

Mamori mendongak sedikit kemudian menjawab, "Aku sekarang ingin meneleponnya."

Guru wanita ini tersenyum, "Pacarmu tampan sekali. Kamu sungguh beruntung."

Mamori menyerngitkan dahinya, "Memang kamu sudah pernah bertemu dengannya Hana-san?" tanyanya bingung.

"Tentu saja pernah. Aku sering melihatmu berdua di kedai makanan itu. Dia Shirohara-san 'kan? Anak pemilik TK ini?"

Mamori tertawa pelan lalu tersenyum. "Ichiro-kun? Dia bukan pacarku. Kami hanya teman."

Hana terkejut dan tersenyum menggoda ke arah Mamori, "Kalau begitu, siapa yang sedang kau bicarakan ini? Pacarmu itu..."

Mamori tersenyum manis, "Bagaimana yaa..." ujar Mamori. "Dia orang yang sangat berarti bagiku."

"Oh ya ampun." Hana dibuat tertegun lagi,

Saat itu juga ponsel Mamori berdering di atas meja. "Permisi sebentar Hana-san." katanya kepada Hana sambil mengambil ponselnya dan berjalan keluar kantor.

"Ya Youichi." sapa Mamori. "Sudah sampai?"

"Kau sudah makan siang, heh?"

"Bukannya kau bilang kita akan makan siang bersama?"

"Urusanku masih belum selesai."

Mamori menghela napas, "Oh, ya sudah." sahut Mamori berusaha untuk menyembunyikan rasa kecewanya. "Tapi kau jangan lupa makan."

"Honey, come here. The foods is ready."

"Oke, kalau sempat nanti aku jemput. Sampai nanti."

Mamori terdiam sesaat. Dia mendengar suara wanita yang berbicara dengan bahasa inggris memanggil Hiruma. Tapi Mamori tetap tenang dan berpura-pura kalau dia tidak mendengarnya. "Baiklah kalau begitu." sahutnya dengan nada riang. "Sampai nanti." dan Mamori menutup teleponnya.

To Be Continue

Catatan Kecil:

Halo, jumpa lagi dengan saya diyaRi De. Ini cerita kedua saya. Dibilang cerita kedua juga sebenarnya ini sekuel dari cerita STILL THE SAME, jadi kalau ada yang tidak mengerti, harap baca cerita yang pertama dulu XD

Dan lagi-lagi, si Ichiro ini muncul, padahal di cerita pertama juga perannya ga penting XD, tapi saya suka sama si Ichiro ini. Jadi, penting ga penting, dia akan tetap exist (tolong dimaklumi ya). Kali ini saya tidak ingin membuat Mamori malu-maluin lagi, karena sepertinya banyak yang kecewa dengan karakter Mamori yang kayak begitu. Ga mau buat Mamori banyak nangis juga, cukup di chapter ini aja (mungkin XD).

Satu lagi, saya sebenarnya ga suka sama Summary ini, kesannya ceritanya sedih. Dan saya ga suka yang sedih-sedih, jadi tenang aja, ceritanya mungkin ga sesedih summary-nya.

Guys, fic ini mungkin banyak Typo (walau udah dicek berkali-kali), OOC, pasaran. Tapi tetap saya mengharapkan kritik dan saran.

So please Read and Review ^o^

Salam: De