Author : Yumiya-san & Miki-san

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Pair : Hinata Hyuuga x Uzumaki Naruto

Rated : T

Genre : Romance, Fantasy

Warning : OOC, Typo, Bahasa amburadul(maklum masih baru)

Summary : Kalian mau tahu rasanya jika kita diberi sebuah harapan dari seseorang yang kita sayang? Senang, dan penuh harap bukan? Tapi bagaimana jika janji itu berubah menjadi koyakan harapan hampa? Tertarik membaca kisah sedihku? Aku ingin berbagi sebuah pengalaman menyedihkan dengan kalian.

(A/N) : Ini ff baru kita, jadi kalo ada salah maklumin yah? Jangan lupa saran dan kritiknya.

.

.

.

Jrsssshhh...

Hari ini hujan turun lebat diluar sana. Bisa ku lihat pepohonan yang bertarung dengan gunjangan angin yang menyertai hujan tersebut. Aku melihat angin yang berkejaran dalam badai dikamarku. Kepalaku serasa kosong tak terisi apa-apa melihat pemandangan sendu diluar.

Dahulu aku naif berpikir harapan dan janji adalah sesuatu yang menyenangkan. Tapi bisakah kalian bayangkan bila semua itu menjadi gelap dan hampa?

Pernahkah kalian bermimpi seseorang yang datang dari dunia mimpi akan membawamu merasakan hal yang manis? Oh,aku harap kalian benci dengan mimpi. Kenapa? Bukan berarti aku bicara begini artinya kalian dilarang mempunyai harapan loh! Lagipula aku juga punya sebuah harapan. Tapi seperti kataku tadi, harapan itu telah menjadi gelap dan hampa seperti palung yang tergeletak manis didasar laut.

Terkadang menyimpan beribu misteri dan pertanyaan tentang apa saja teka-teki yang ada disana. Bagaimana melewatinya, adakah mahluk hidup didalam sana, bagaimana terbentuknya, dan bagaimana ia bisa memanipulasi siapa saja yang mencoba mendekati keanggunannya dalam kegelapan biadap. Sama seperti mimpiku.

Mimpi yang semula manis seperti madu kini telah berubah menjadi sepedih ranjau.

Ok, namaku Hinata Hyuuga si anak indigo. Aku rasa julukan itu cocok denganku yang suka berkhayal kalau saja pangeran mimpiku akan hadir dalam kehidupan nyataku dan menjalani takdir yang berjalan bersamaku. Aku tahu itu gila dan bodoh. Tapi, semenjak mimpi itu hadir, aku menunggu dan menunggu keajaiban

Fisikku?

Kalian akan langsung tertawa melihat betapa anehnya fisikku. Tinggiku hanya 169cm. Padahal usiaku telah menginjak 20-tahun. Sangat tidak sesuai dengan dewasa-dewasa muda seumuranku. Rambutku tidak berwarna pirang, atau gelap seperti orang-orang kebanyakan. Kelabu kebiruan yang menurutku...begitu aneh. Kulitku-pun berkata demikian. Pucat, bukan pucat seperti orang barat kebanyakan. Pucat pasi seakan kulitku tak teraliri darah sama sekali. Dan bersinar seperti dewi malam. Kau tahu berapa berat badanku? Hanya 43kg. Bisa bayangkan betapa kurusnya tubuh ini. Mataku berwarna lavender dengan ukuran yang juga tak bisa dikatakan mirip dengan orang-orang pada umumnya. Bibirku tipis dan pucat. Beruntung hidungku mancung seperti orang tuaku.

Baik, untuk kalian yang sudah menunggu membaca kisah gilaku ini bisa langsung duduk manis, dan menggeser kursor kalian kebawah. Tapi jika kalian tidak tertarik, kalian bisa langsung tekan tombol exit atau semacamnya. Aku tidak ingin ada seorang-pun yang mengecewai Yumiya-san dan Miki-san karena mereka juga telah menyisihkan waktunya menuliskan artikel perasaanku.

Akhir kata, selamat membaca...

.

.

.

Aku duduk dibalkon kamarku memandangi dewi malam yang tersenyum kearahku. Sungguh cantik, ia begitu besar dan bersinar. Kulihat beberapa awan berterbangan menutupi sang dewi. Aku mulai takut akan kehilangannya. Tapi lama kelamaan, kumulus malam itu berhasil menutupi kecantikan sang-dewi.

Aku tersenyum. Aku rasa ia mulai bosan bicara denganku. Tak apa, aku masih punya bintang-bintang yang mengedip-ngedip genit kearahku. Sesekali bibirku mengucap kata-kata pujian untuk benda-benda langit ciptaan Tuhan tersebut.

Merasa cukup, aku menutup jendela balkonku rapat dan segera membaringkan tubuh kurus ini diatas kasur. Kemudian aku mematikan lampu tidur, Rasa kantuk mulai datang. Perlahan mataku tertutup menyisakan keheningan malam.

-Hinata POV End-

Sebuah cahaya putih menimpa nya dari kejauhan. Cahaya itu seperti menyeret tubuh kecilnya kedalam sebuah tempat yang jauh dari hidupnya yang membosankan. Ia menutup matanya berharap cahaya ini akan segera berhenti menyeretnya.

Perlahan kaki mungil yang menjadi penopang tubuh kurus itu bisa menapak sempurna diatas pasir putih yang begitu lembut. Seiring dengan hilang nya cahaya yang sempat menyeretnya. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya membiasakan diri di tempat bersilau ini. Berhasil ia melihat dengan sempurna, betapa terkejut nya ia ditampilkan dengan pemandangan didepannya.

Nyiur pantai melambai-lambai, ombak saling berkejaran, burung-burung camar saling sahut-menyaut, dan matahari bersinar begitu cerah sampai pupil matanya menyipit tak tahan dengan sinarnya. Dihadapan nya terdapat laut biru yang begitu luas membentang tanpa ujung. Disisi kiri, dan kanan terdapat tebing-tebing menjulang menjilat langit. Ia tersenyum seraya mengucapkan pujian untuk pemandangan dihadapannya. Seingatnya, ia masih berada dikamarnya sambil berbicara dengan sang dewi malam.

Merasa asing, ia menengok ke kiri dan kanan mencari seseorang untuk menanyai tempat apa ini? Mengapa aku bisa sampai ke tempat indah begini?

Tapi baru ia sadari ia sendirian. Ia berjalan mendekati ombak yang menyapa dirinya didepan. Sesekali iseng menyentuhkan kakinya pada bibir ombak. Semakin asyik,ia pun lupa kalau ia sedang sendirian ditempat orang lain.

TAP! TAP! TAP!

Sebuah langkah kaki berjalan dari kejauhan ke arahnya. Lantas ia menengok kebelakang. Setahunya, tak ada orang disini. Ia membulatkan mata melihat orang itu tersenyum manis kearahnya. Hampir ia tidak percaya jika yang ada dihadapannya itu benar manusia. Sosok itu begitu menawan dengan kulit sawo.

'Andai ia punya sayap' Ucap Hinata dalam hati.

Seakan mendengar isi hati Hinata yang berbisik, orang itu membalikan badannya. Kemudian orang itu tersenyum memperlihatkan beberapa bulu putih dibelakang kemeja pantainya. Bulu itu terbentang sempurna hingga bisa disebut sayap. Hinata menganga tak percaya dengan pemandangan aneh tersebut.

"Kau tidak usah terkejut manis." Ujar orang itu.

Hinata merasa jantungnya berdetak kencang ditambah dengan semburat merah yang menghiasi pipi pucatnya. Suara orang itu terdengar berat, dan dalam. Begitu anggun. Hinata melempar pandangan entah pada apa saja asal mata besarnya tak bertemu dengan pemilik iris biru dihadapannya.

'Bagaimana bisa ia menyebutku manis? Selama ini hanya ejekan, dan kata-kata kasar yang semua orang berikan padaku..' Hinata kembali ribut dalam hatinya.

Orang itu kembali berjalan mendekat ke arah Hinata. Hinata yang sedang melempar pandangan pada apa saja itu masih merasa takut kalau-kalau orang itu akan menyerang nya tiba-tiba. Bisa saja orang itu menyebut nya manis karena ada suatu hal yang ia inginkan dari Hinata bukan?

Hinata kembali menunduk menyimpulkan fakta demikian. Tapi...mereka memang baru mengenal bukan? Bisa saja awal yang manis akan berubah menjadi pahit!

Hinata mulai berpikir jauh. Dimana ia bisa menjadi pemilik malaikat berkemeja pantai itu. Mengingat wajahnya yang sangat rupawan, iris birunya yang sempurna, rambut pirang cerah yang tertata rapih, kulit sawo seperti orang asia kebanyakan, tinggi yang ideal, dengan tubuh atletis. Hinata kembali berpikir...

Ia rasa itu tidak mungkin. Yang paling membuat hatinya tersindir adalah, perbedaan fisik yang begitu jauh. Dan... bisa saja malaikat dihadapannya ini adalah iblis yang begitu kejam yang menginginkan nyawanya. Ia menggeleng keras mengenai kesipulannya yang terakhir.

Tanpa Hinata sadari, malaikat itu tengah tersimpuh sembari memberikan Hinata sebuah edelweish berwarna putih, Orang itu menunjukan The Best Smile-nya pada Hinata. Hinata blushing sesaat. Orang itu mengisyaratkan Hinata mengambil bunga ditangannya. Hinata yang mengerti langsung mengambil bunga langka itu dari tangan sang malaikat.

"Aku melihat kesedihan dari dalam mata indahmu Hinata..."

Hinata terbelalak. Matanya indah? Belum ada yang bilang begitu kecuali orang tuanya. Malaikat itu memanggil Hinata dengan namanya? Bahkan Hinata belum memberi tahu siapa namanya.

"Bagaimana..." Hinata kembali melempar pandangannya.

"Aku mengambilnya dari tebing itu." Kata malaikat itu. Hinata mengedarkan pandangan mencari sebuah lokasi yang ditunjuk mahluk dihadapannya. Ia tersenyum, sebuah tebing curam yang diatasnya berwarna putih seperti gundukan salju. Tapi... itu bukan adalah kumpulan edelweis yang sedang berbincang-bincang. Hinata tersenyum.

Tapi bukan itu yang ingin ia katakan, "Maaf, sebenarnya. Aku hanya ingin tahu dari mana kau tahu namaku? Kita hanya baru bertemu disini. Bahkan aku tidak tahu apa ini mimpi atau bukan." Hinata bertanya jujur. Iris mereka bertemu. Kemudian malaikat dihadapannya tersenyum kembali sambil mengusap kepala Hinata. Hinata merasa sebuah tangan dingin dan halus itu bersentuhan dengan kulit dahinya.

"Mungkin.. kita ditakdirkan untuk bersama." Ujar orang itu. Hinata kembali blushing.

"Dari mana kau tahu?" Hinata kembali bertanya.

"Dari matamu." Kata malaikat dihadapannya. Hinata kembali memberanikan diri menatap dalam iris biru dihadapannya. "Boleh ku tahu siapa namamu? Dan.. mahluk apa kau ini?" Hinata kembali bertanya, Mahluk itu kembali tersenyum. Bahkan tertawa sendiri melihat kepolosan anak manusia satu ini.

"Aku adalah bunga mimpimu. Kau bisa panggil aku dengan nama Naruto. Lebih lengkapnya Uzumaki Naruto" Ucap orang itu. Hinata kembali mengernyit mengola kata-kata lawan bicaranya.

"Mengapa kau punya sayap yang indah seperti malaikat?" Pertanyaan Hinata satu ini sukses membuat Naruto tertawa lepas. "Hinata.. aku adalah bunga mimpimu.. apa saja yang kau inginkan bisa aku lakukan untuk mu." Kata Naruto kembali memberi The best smile pada Hinata.

"Jadi.. aku bisa..." Hinata menggantung pertanyaannya. Tapi sepertinya Naruto sudah mengertahui isi otak kepo anak satu ini. "Kau bisa mengekspresikanku seperti boneka. Bukannya selama ini, kau berdoa agar hidupmu bisa menyenangkan setelah kedua orang tuamu meninggal?" Naruto mengingatkan. Hinata yang merasa memori lamanya terkuras itu hanya memandang sendu telapak kakinya yang bersentuhan dengan pasir putih pantai.

"Ya, kau benar. Kau bilang kau adalah bunga mimpiku, jadi.. apa aku sedang mengalami lucid dream? Atau De javu?" Hinata kembali bertanya. "Tidak... bisa saja kau dan aku bertemu dalam dunia yang sama." Naruto menjawab pertanyaan Naomi dengan nada lembut.

"Jadi...apakah suasana yang kualami sekarang ini adalah mimpi?" Hinata bertanya seakan ingin mengetahui segalanya. " benar."

Hinata kembali merasa tenang. Ketenangan seperti ini hanya bisa ia peroleh saat bersama dengan orang tuanya. Hinata merasa tidak ingin mimpi ini berakhir dan hanya bisa diingat kemudian terlupakan suatu saat. Tidak, itu terlalu sakit.

Oleh karena itu, Hinata kembali mengemukakan pertanyaanya yang terakhir. "Satu lagi, bisakah kita bertemu lagi?" Semburat merah kembali menghiasi pipinya.

"Tentu, sekalipun didunia nyata." Naruto kembali menjawab dengan sabar.

Mata Hinata berbinar. "Berjanjilah?" Hinata menunjukkan kelingkingnya dihadapan Naruto berharap lawan bicaranya mau mengaitkan kelingkingnya juga. "Ya aku janji." Pertanyaan Hinata terjawab sempurna. Malah, dilengkapi dengan sebuah janji yang entah bisa terjadi atau tidak.

"Baiklah, sekarang bangunlah. Pagi sudah menghiasi duniamu." Naruto mendorong pelan tubuh Hinata. Hinata kembali terseret cahaya putih itu. Kali ini ia serasa ditarik kebelakang. Bisa ia lihat Naruto yang tersenyum manis didepan cahaya yang perlahan menutup matanya, membawa dirinya menghilang terbawa cahaya tersebut.

.

.

.

-Hinata POV-

KRIIIIIINGGG!

Aku terbangun dari tidur malamku. Jam weker yang berteriak nyaring disisi ranjangku segera ku matikan agar tidak menimbulkan bunyi yang memekakan telinga. Aku mengucek mataku membiasakan diri melihat dengan jelas sinar matahari pagi yang menembus gorden kamarku.

Aku berjalan ke arah jendela, dan segera membuka gorden membiarkan cahaya matahari menghiasi kamarku yang semula gelap menjadi terang karena nya. Aku menatap keluar jendela. Para burung masih berkicauan menyambut sang mentari, sedikit yang berjalan melintasi jalanan yang masih gelap. Aku rasa ini masih jam enam pagi. Sepinya Konoha yang begitu hangat dipagi hari.

Aku membuka jendela, kali ini membiarkan udara pagi menghilangkan rasa pengap di dalam kamarku. Setelahnya merapikan tempat tidurku. Aku terbiasa mandiri di rumah bibi Shizune. Orang tuaku juga sudah berpesan agar tidak merepotkan orang yang memberiku tempat tinggal. Aku masih ingat ketika kelingkingku bertautan dengan kelingking ayah, dan ibuku. Berharap aku menjadi Hinata mereka yang mandiri.

Selesai membereskan tempat tidur. Aku melesat kekamar mandi yang letaknya tidak jauh dari kamarku. Baiklah, hari yang membosankan akan kembali dimulai.

.

.

.

_In The Office. 09.00. p.m._

TING!

Pintu lift yang sedaritadi kutunggu akhirnya terbuka. Aku memasuki lift yang akan mengantarkaku ke tempat dimana aku harus mendesain sebuah gedung dengan kemampuan berkhayalku. Aku menekan angka 20. Lift ini masih begitu sepi, mungkin karena masih terlalu pagi. Hanya ada seorang pria berambut pirang disamping ku berdiri. Aku rasa ia adalah karyawan baru. Ah, dari mana kau tahu Hinata? Bisa saja dia adalah karyawan lama, bahkan lebih lama darimu!? Tapi kau tidak mengetahuinya karena saking indigonya dirimu.

Aku hanya diam. Mungkin saja orang disampingku juga memiliki tujuan yang sama denganku. Lantai 20. Sambil menunggu, iseng aku melihat pantulan wajahnya dari dinding lift. Tidak terlalu jelas memang. Tapi bisa ku pastikan wajah orang ini berwibawa. Mungkin saja dia anak boss.

"Ada apa?" Orang itu bersuara memecahkan lamunanku tentang wajahnya.

Aku sedikit terkejut memang, benar saja, wajahnya telihat berwibawa. Bahkan..tampan. ah benar, aku rasa ia memang anak seorang boss. Karena merasa derajatku lebih rendah, aku pun membalas pertanyaannya. "Tidak ada apa-apa." Jawabku cuek.

Aku meraih handphoneku disaku jas kerjaku untuk mengalihkan tatapan mata dari sang anak boss. Beberapa saat aku sibuk dengan beberapa e-mail masuk dari teman-temanku. Entah mengapa aku merasa diperhatikan oleh orang disampingku. Walau aku tak menatapnya, bisa ku pastikan ia sedang mengamatiku dari atas kebawah. Aku hanya cuek.

TING!

Pintu lift kembali terbuka. Menampilkan ruangan-ruangan kerja tempat para arsitek sepertiku. Aku melangkah keluar. Aku rasa orang disampingku berhenti menatapiku karena aku akan segera keluar.

"Tunggu!"

Grep! Ia memegang pergelangan tanganku. Lantas aku terkejut. Mau apa dia?

TING! Sedetik kemudian pintu lift kembali tertutup. Menyisakan kami dalam tanda tanya.

"Ada apa?" tanyaku dengan wajah datar.

Orang itu melepas genggamannya. "Eh., maaf. Apa..kau... Hinata Hyuuga?"

DEG!

Dia tahu namaku. Aku menatap matanya. Iris biru dengan wajah sawo? Tunggu.. aku rasa aku pernah bertemu dengan orang ini sebelumnya. Entah dimana, aku tak ingat. Tapi mengapa ia bisa tahu namaku? Aku rasa nametagku masih ada didalam tas. Ah, mungkin saja kami pernah berkenalan sebelumya. Tapi sayangnya aku tak mengingatnya.

"Ya benar itu aku." Ucapku masih dengan wajah datar, walau sebenarnya dalam hati aku merasa familiar dengannya.

"Apa kau mengingatku?" Ia kembali bertanya. Tuh kan 'benar, kami pernah bertemu. Aku kembali memutar memoriku. Entah mengapa aku merasa bertemu orang ini tadi malam saatku tertidur. Tunggu... Tadi malam?

"Aku Uzumaki Naruto. Kau ingat?" Ia memecahkan lamunanku. 'Aku Uzumaki Naruto' Hey hey.. tunggu aku ingat. Dia...

"Tidak mungkin!" Ucapku tanpa sengaja. Orang itu malah tersenyum dihadapanku.

Uzumaki Naruto? Dia bilang Uzumaki Naruto? HAH? Dia.. dia pria rupawan bersayap yang kulihat dimimpiku tadi malam. Ya, benar! Dia...

"A..apa kita pernah bertemu?" Ucapku ragu. Aku takut jika memang benar ia adalah pria dimipiku semalam. Sungguh!

"Ya, aku rasa." Jawabnya. Apa itu pertanda ia bukan Naruto yang sama dalam mimpiku?

"Apa kau seorang karyawan disini?" Tanyaku masih dengan penasaran.

"Tentu." Huuuh...aku menghela nafas dalam hati. Itu artinya dia bukanlah Naruto yang sama.

"jadi..apa benar kita memang pernah bertemu?" aku kembali bertanya. Sekarang dengan tatapan kepo.

"Kalau tidak pernah mengapa aku bisa tahu namamu Hinata?" Ia menyentuh pipiku. Semu.. aku merasa tangan semu Naruto dalam mimpiku juga memiliki kulit sehalus ini.

"Ehm.. maaf Tuan, tapi... aku tidak pernah melihatmu."Jawabku dengan takut.

Ia kembali tersenyum. "Pernah. Tadi malam aku bertemu dengan mu."

Deg! Perasaan apa ini? Tadi malam? Apa jangan-jangan?

"Ka..u..." Aku menunjuk orang dihadapanku dengan gemetar.

"Ya. Aku sudah berjanji padamu untuk menemuimu dalam duna nyata 'bukan?" Ucapnya. Aku rasa pipiku memerah karena kata-kaanya.

"Na..Naruto?" Aku merasa pusing seketika mengingat mimpi hangat tadi malam. DEG! Kurasakan gejolak dalam hatiku. Entah gejolak apa. Dan..kepalaku serasa diputar. Demikian pula dengan perutku yang tiba-tiba mual.

"Hinata, apa kau sakit?" Tanya orang itu mulai khawatir.

BRUK!

Aku terjatuh. Aku merasa kembali melayang di telan cahaya putih. Aku mendengar panggilan panik karena kondisiku. Tapi... lama-kelamaan yang kulihat hanyalah cahaya putih. Seketika itu juga telingaku tak bisa mendengar Naruto yang memanggili namaku.

Semu...

TBC

(A/N) : Ada yang penasaran sama lanjutannya? Kami harap sih ada. Ok, see you next chapter.