Confession

Author: alienpan

Naruto © Masashi Kishimoto

Warning: AU, OOC, Typo(s) dan warning warning lainnya yang biasa disebut/?

A/N: telat kabeh... gomennasai ne. Saya bingung saya galau, mars lagi krisis tepung nanti anak-anak sekolah saya makan pake apa kalo gak ada roti /terus kenapa/ anyway here's 4th chapter please enjoy OωO)/

.

Confession

First Love

.

Karena kebodohan Neji dan Sasuke, Hinata kembali bertemu dengan Naruto. Bocah berambut kuning yang selalu tertawa. Mataharinya—cinta pertamanya. Hei, kapan lagi kita lihat Sasuke galau karena cemburu, hm?

.

Pagi itu Tanpopo Gakuen dihebohkan dengan kedatangan dua idola sekolah dengan cara yang tidak biasa. Seperti meteor yang menghantam bumi, kedua remaja pria berpaut umur satu tahun itu melesat memasukki bangunan sekolah dengan menimbulkan kehebohan dari para gadis-gadis remaja kelebihan hormon yang memekik-mekik penuh damba.

"Neji-kun kakkoii yo~"

"Sasuke-kun gentle banget!"

"Ah aku bisa mati dengan tenang saking bahagianya terima kasih Tuhan sudah menciptakan manusia serupawan mereka."

Sudah biasa—bahkan merasa terganggu—dengan pekikan-pekikan itu. Kedua remaja itu terlihat jauh lebih sibuk dengan satu sama lain. Saling menatap tajam dan bersiap untuk melontarkan ejekan.

Sasuke tersenyum miring. Kaki kirinya menahan keseimbangan sepedanya sedangkan kedua tangannya masing-masing memegang setang. Pose yang indah, tidak sedikit gadis remaja disana mengabadikan pose itu dengan kamera ponselnya, sambil repot menahan darah yang keluar dari hidungnya.

"Aku menang, senpai." Katanya dengan suara mengejek penuh tekanan di kata-kata terakhirnya.

"Lumayan juga kouhai." Neji membalasnya tak kalah tajam. Rambut panjangnya terlihat sedikit berantakan akibat terpaan angin nakal. "Tapi masih terlalu cepat seribu tahun untuk mendapatkan Hinata—" Pemuda tujuh belas tahun itu tertegun sejenak. Begitu juga dengan juniornya.

"Hinata!" Mereka berseru hampir bersamaan. Memutar sepedanya untuk kembali pada gadis bersurai indigo yang secara sepihak mereka tinggalkan.

"Ini semua gara-gara kau kalau terjadi sesuatu pada Hinata." Geram Neji sambil mengayuh sepedanya dengan sekuat tenaga.

"Hei kau yang meninggalkannya lebih dulu." Protes Sasuke tidak terima menjadi pihak yang disalahkan.

"Aku tidak akan pergi kalau kau tidak menantangku."

Belum jauh mereka ngebut, sosok berambut pirang melambaikan tangannya kepada kedua remaja itu. Ia menaikki sepeda berkeranjang yang kelihatan terlalu feminim untuk laki-laki. "Oi! Teme! Neji-senpai." Sapanya riang.

Sasuke menghentikan sepedanya, begitu juga dengan Neji. Sama-sama menatap tajam pemuda berambut pirang itu. "Oi, dobe. Bukannya itu—" Sasuke menggantung kata-katanya. Memperhatikan tas dengan gantungan rubah di bawah tas kumal milik Naruto—nama pemuda itu.

"Aku menemukan sepeda di pinggir jalan." Naruto meringis.

Gubrak..!

"Hei Hei, itu sepeda Hinata. Dimana dia?" Tanya Neji dengan cemas.

"Wuaaaaa~" Suara lembut milik seorang gadis SMA tiba-tiba saja terdengar dari balik punggung Naruto, bersamaan dengan tersembulnya kepala berambut indigo dan mata pucat yang sangat dikenal Sasuke dan Neji.

"Kalian jahat meninggalkanku begitu saja." Hinata merajuk. "Lalu aku bertemu Naruto-kun di jalan. Ternyata kita satu sekolah, kenapa Naruto-kun tidak bilang?" Tanyanya.

Naruto tertawa lebar. "Kau kan sekelas dengan si Teme. Kupikir sudah tahu darinya." Katanya riang.

"Sasuke-kun tidak pernah bilang apa-apa denganku." Timpal Hinata dengan nada menuduh.

"Wah Teme. Kau parah nih, pasti mau memonopoli Hinata-chan sendirian. Tidak adil." Katanya bercanda.

Tapi tidak dapat mencegah munculnya semburat merah di pipi Hinata. Gadis itu tertawa gugup.

Sasuke mendecih. "Dobe, cepat turun." Perintahnya tegas. Kesal juga dia melihat Hinata duduk dengan jarak sangat dekat dengan laki-laki lain. Apalagi si Dobe yang bodoh ini. Pakai pegang pinggang segala lagi.

"Kenapa aku harus turun?" Tanya Naruto dengan bodoh.

"Tentu saja jaga jarakmu dengan Hinata. Bodoh!" Kata Neji dengan gusar. Tidak cukup Sasuke kenapa muncul lagi orang menyebalkan sih. Empat siku-siku merah muncul di pelipisnya. Pemuda itu kelihatan mati-matian menahan marahnya.

"Hei Hinata-chan apa kau mau aku turun?" Tanya Naruto, ia memutar kepalanya. Bertanya pada gadis pemalu yang duduk di belakangnya.

"Ti-tidak usah. Jalan saja Naruto-kun." Kata Hinata.

"Sesuai perintah tuan puteri!" Naruto berseru riang. Mengayuh pedal sepeda Hinata dengan sekuat tenaga. "Kami duluan!" Katanya mendahului Sasuke dan Neji.

Kedua onyx dan amethyst itu membulat. Berusaha menyerukan kata-kata ancaman dan perintah. Tapi mulut mereka tersumpal ketika dilihatnya wajah berpipi bulat yang dibingkai rambut indigo panjang menoleh ke arah mereka berdua. Menjulurkan lidahnya meledek.

Sweatdrop. Baik Sasuke dan Neji rasanya ingin sekali menusuk perut mereka dengan katana yang tajam.

Hi-hinata...

.

.

.

Hinata menggoreskan pensilnya sambil bersenandung riang. Tangan pucat gadis itu dengan lincah menggambar sketsa kasar dari seekor rubah lucu dengan ekor sembilan. Dia tidak tahu kenapa tiba-tiba saja keinginannya untuk menggambar muncul. Ia memberi sapuan warna oranye pada rubah itu. Gambar itu membuatnya teringat oleh pemuda bersurai pirang yang tadi pagi berbagi sepeda dengannya.

Uzumaki Naruto. Pemuda berambut pirang yang merupakan cinta pertamanya sejak sekolah menengah. Cinta pertama sekaligus cinta tak berbalasnya. Bukannya Naruto menolaknya atau apa, tapi karena memang gadis itu tidak pernah mengungkapkannya. Baginya itu bukan perasaan yang begitu istimewa sehingga Naruto harus mengetahuinya. Meski cukup istimewa untuk menjadi rahasia miliknya sendiri.

Gadis itu menghentikan tariannya di atas kertas, sebagai gantinya menyandarkan punggung kecilnya di kursi yang didudukinya. Mata pucatnya memandang ke arah jendela. Tempat pohon Sakura yang berbunga disinari cahaya matahari yang keemasan. Indah. Keindahan yang membuat hatinya terasa begitu hangat, bahkan melumer karenanya. Ia membalik buku sketsa dengan gambar rubah itu, menuangkan keindahan bunga sakura dan sinar matahari yang terekam jelas di otaknya.

Teringat jelas di kepala Hinata. Naruto yang dengan kelakuan bodohnya dan nilai minus di olahraga minta bergabung dengan klub basket. Beberapa kali penolakan didapatkannya tapi bocah itu masih tidak menyerah. Terus menerus berlatih siang dan malam. Dan lihat, sekarang ia adalah salah satu pemain basket yang dikagumi karena kemampuannya membawa timnya menang.

Hinata sangat mengaguminya. Pemuda yang menjadi mataharinya, yang membangkitkannya kembali ketika keterpurukan akibat tekanan ayahnya mulai datang. Jadi tidak aneh kan kalau Hinata senang karena (mantan) cinta pertamanya bertemu kembali denganya. Di sekolah yang sama dan terpaut hanya beberapa kelas.

Berbanding terbalik dengan suasana hati Hinata yang begitu riang, Sasuke yang duduk di sampingnya kelihatan mengeluarkan aura hitam yang membuat para fangirls-nya sekalipun tidak berani mendekat. Entah karena terlalu tidak peka atau aura penuh bunga milik Hinata yang melindunginya membuat gadis itu tidak menyadari sorotan tajam dari onyx kelam milik pemuda berambut raven di sampingnya.

"Sasuke-kun mau lihat gambarku?" Hinata menoleh ketika gambarnya sudah selesai. Ia menunjukkan gambar pohon Sakura yang berwarna keemasan. Tersenyum riang, menunggu tanggapan dari pemuda berambut raven.

Bukannya menanggapi Sasuke hanya membuang muka. Mendecih, menolak untuk memberikan pujian atau kritikan. Melihat tanggapan abai itu, Hinata menurunkan gambarnya dengan kecewa. Mata amethyst bundarnya hanya memandangi gambarnya dengan sedih. "Sasuke-kun pasti tidak suka pohon sakura." Gumamnya.

"Ah, akan kutunjukkan pada Naruto-kun. Dia pasti menyukainya." Katanya tiba-tiba. Hampir melonjak senang dengan gagasan tersebut. Ia melihat jam tangannya masih ada beberapa menit sampai waktu istirahat pertama habis. Hinata masih punya waktu untuk berlari ke kelas Naruto yang berjarak dua kelas dari kelasnya dan memberikan gambar itu pada pemuda riang itu.

Hinata bergerak hampir tergesa-gesa. Kaki mungilnya hampir saja melesat menuju ke luar kelas sampai tangan besar Sasuke menahan pundak gadis itu, memaksanya untuk kembali duduk.

"Sa-sasuke-kun?" Hinata bertanya kebingungan. Mata pucatnya memandang ke arah pemuda dengan onyx kelam yang kini berdiri di sebelahnya. Masih memegangi bahunya yang lebih rendah darinya.

"Hoi! Teme, Hinata-chan..!" Suasana tegang diantara kedua remaja itu dibuyarkan oleh seruan riang dari pemuda dengan tanda tiga garis di masing-masing pipinya. Naruto berdiri di depan pintu kelas mereka, melambai dengan riang. "Permisi, permisi." Katanya seenaknya masuk dan menghampiri kedua remaja berambut gelap itu.

"He? Apa yang kalian berdua lakukan?" Naruto menatap posisi Hinata dan Sasuke yang sedikit aneh dengan tatapan bingung. Mata birunya menampakkan sorot ingin tahu.

"Tidak ada." Jawab Hinata cepat-cepat. Ia duduk dengan tenang. Diikuti oleh Sasuke yang kembali ke bangkunya.

"Oh, begitu." Pemuda itu manggut-manggut. Lalu tersenyum lebar. "Wah, apakah ini gambarmu Hinata-chan?" Tanyanya kagum. Kali ini dia sudah mengambil tempat di kursi depan Hinata. Memperhatikan sketsa bunga sakura dengan tatapan takjub.

"U-un..." Hinata mengangguk dengan gugup.

"Uwah keren. Good job Hinata-chan." Naruto memuji gambar itu sambil tertawa lebar. Mengacungkan ibu jarinya ke arah Hinata.

Membuat gadis itu menyunggingkan senyum malu-malu karena senang.

"Aku juga menggambar rubah. Naruto-kun mau lihat?"

"Mana mana?"

Srekk...

"Manisnya~ Tapi kenapa ekornya sembilan?"

"Lucky charm."

"Ah, iya juga." Naruto tertawa lagi. "Kalau begitu ini boleh buatku?" Tanyanya penuh harap.

"Te-tentu saja."

"Hore! Terima kasih Hinata-chan." Naruto merobek kertas itu dengan hati-hati. Lalu dengan riang menunjukkannya pada sahabatnya. "Hei Teme, lihat yang diberikan Hinata padaku!" Katanya riang. Sasuke membalasnya dengan tatapan tajam. Mengusirnya pergi dengan gesture yang mengancam.

"Huh? Ada apa dengannya?" Tanya Naruto bingung, menggaruk rambut pirangnya kebingungan. Tapi memang pada dasarnya pemuda itu adalah orang yang tidak peka, pemuda itu justru tertawa lebar. Lalu melanjutkan obrolannya pada Hinata.

"Sial sekali kau harus satu kelas dengannya Hinata." Kata Naruto. "Aku selalu bersamanya sejak sekolah dasar." Keluhnya.

"Oi, Dobe jangan mengatakan hal yang tidak perlu." Sasuke menatap temannya dengan tajam. "Lagipula sudah bel tahu, cepat pergi." Usirnya.

"Tuh kan dia tidak asyik." Keluh Naruto sambil menggembungkan pipinya kesal. "Ya sudah aku pergi ya Hinata-chan. Lain kali kita ngobrol lagi kalau tidak ada si Teme menyebalkan ini." Liriknya.

"Cepat pergi." Sentak Sasuke galak.

Rambut pirang itu sudah melesat sebelum Sasuke menghajarnya.

.

.

.

"Apa lihat-lihat?" Sasuke membentak kepada beberapa teman sekelasnya yang menonton kemurkaan Sasuke. Sontak saja sekumpulan anak remaja itu kembali menyibukkan diri dengan kegiatannya masing-masing. Takut kalau-kalau mereka menjadi sasak tinju pemuda itu ketika kemarahannya sudah tidak bisa ditahan lagi.

Berbeda dengan Hinata yang justru menatap pemuda berambut raven di sampingnya dengan bingung. "Sasuke-kun," Panggilnya dengan suara pelan. "Kau sakit?" Tanyanya khawatir karena Sasuke sedari tadi diam saja dan mengeluarkan aura tidak mengenakkan.

"Hn." Sasuke hanya mengeluarkan konsonan singkat sebagai tanggapannya atas pertanyaan gadis Hyuuga di sampingnya. Merasa tidak perlu menjelaskan lebih jauh.

"A-apa perlu ke UKS?" Tanyanya. Mata bulannya menatap langsung ke arah siluet yang jauh lebih besar darinya. Dan Sasuke bukannya tidak merasakan sorot kekhawatiran dari tatapan langsung itu. pemuda itu mengalihkan pandangannya. Merasa sedikit—malu.

Pemuda itu menghela nafas panjang. "Ya, aku akan ke UKS." Ia berdiri. Memutuskan untuk pergi UKS. Percuma saja tetap disini, dia Cuma akan membuat kegiatan belajar terganggu. "Bilang pada sensei ya." Sasuke menitipkan pesan pada Hinata. Membuat pengurus kelas perempuan itu mengangguk patuh.

"Baiklah, Sasuke-kun." Hinata memanggil pemuda itu ragu-ragu. Membuat pemuda itu menoleh ingin tahu apa yang hendak diucapkan Hinata. "Odaijini." Katanya sungguh-sungguh. Mengira bahwa teman pertamanya itu benar-benar sakit.

"Hn." Tanggapan singkat dari pemuda itu sampai punggungnya benar-benar menghilang.

.

.

.

Cukup lama Sasuke merebahkan dirinya di atas ranjang UKS. Beruntung, dokter sekolah yang centil itu sedang tidak masuk. Kalau ada, Sasuke lebih memilih pulang daripada harus menghadapi wanita muda itu.

Meski dia akui wanita itu cukup oke di beberapa bagian yang tepat.

Kelopak matanya menutup menyembunyikan kedua bola mata kelamnya.

Ah, Hinata..

Kenapa rasanya dia tidak pernah tenang sebelum gadis itu menjadi miliknya?

Ia merubah posisi rebahnya. Kali ini terbersit sosok Naruto di otak cemerlangnya. Siapa yang tidak tahu kalau Hinata sempat menyukai laki-laki berambut pirang pecinta ramen yang bodoh itu. Sekali lihat tingkahnya yang selalu salah tingkah dan malu-malu saja sudah cukup mengambil kesimpulan baginya untuk tahu bahwa hati gadis itu telah dicuri oleh rubah sialan bernama Naruto.

Dia tahu. Tentu Sasuke tahu. Dan sayangnya dia tahu dengan cara yang terasa agak pahit.

.

Biasanya Sasuke benci bulan Februari. Karena biasanya di bulan itu dia terjangkit alergi serbuk bunga. Juga karena bau coklat yang menguar kemana-mana. Perlu dicatat, Sasuke tidak suka coklat atau makanan manis sejenisnya. Makanan seperti itu membuatnya mual. Terlebih lagi kalau gadis-gadis mulai menyerbunya dengan coklat. Membuat dia kerepotan berfikir hendak dibuang kemana coklat-coklat itu.

Dan hari ini, tanggal 14 Februari. Hari yang paling dibencinya dari 28 hari dalam satu bulan itu. Sasuke sengaja datang agak siang dan membawa uwabakinya dari rumah supaya tidak perlu membuka lokernya yang pasti saat ini penuh sesak. Dan dia juga sudah bilang pada pembersih sekolah untuk membersihkan lokernya segera setelah cokelat terakhir diletakkan.

Tapi ternyata usaha loker tidak cukup membantu. Beberapa pesan diterimanya menyuruhnya pergi ke atap sekolah, taman belakang dan banyak lagi tempat-tempat membosankan lainnya. Sasuke memilih untuk mengabaikan pesan-pesan itu tidak peduli bahwa gadis-gadis itu masih menunggunya dengan penuh harap dan coklat di tangannya.

Untuk sementara ia bisa santai, tapi beberapa adik kelas yang berisik kemudian datang dan menyerbunya. Pemuda itu sampai harus membentak mereka dua kali sampai mereka benar-benar pergi. Untuk mengantisipasi pengganggu lain yang datang ia memutuskan untuk kabur saja dari kelasnya. Berjalan tak tentu arah sampai langkah kakinya membawanya ke daerah gelap tempat menyimpan barang-barang.

Lumayan juga, tidak ada pengganggu.

Sasuke berjalan semakin jauh ketika dia melihat punggung seorang gadis berpakaian sailor berdiri membelakanginya. Ia kelihatan hendak membuang sesuatu dengan sangat berat hati. Sesaat tangannya turun, lalu naik lagi. Begitu beberapa kali hingga akhirnya benda yang hendak dibuangnya sempurna jatuh di tempat sampah.

KLANG..!

Sasuke bisa mendengar gadis itu terisak sebentar. Lalu berbalik. Untunglahh saat itu Sasuke berada di tempat yang aman sehingga gadis itu tidak melihat keberadaannya. Dia kemudian berlari meninggalkan tempat itu.

Tapi Sasuke membeku. Bukannya dia tidak kenal gadis itu. dia mengenalnya. Sangat. Tapi dalam mata gadis itu barusan muncul kilauan yang baru pertama kali dilihatnya dari mata pucat milik gadis itu—Hinata—kilauan yang..membuat hatinya perih.

Perlahan Sasuke menghampiri tong sampah itu dengan sedikit menyeret langkah kakinya yang mendadak terasa berat. 'huh? apa yang kulakukan?' pikirnya. Tapi pikirannya untuk tetap pada karakternya yang biasa tidak menghentikan gerakan tangannya dalam membuka tutup tong sampah.

"Ah.." Ia mengambil sekotak coklat yang masih dibungkus rapi. Kepalanya menoleh ke sekeliling. Memastikan bahwa tidak ada yang melihatnya lalu dengan gerakan secepat kilat ia menyembunyikan kotak itu di balik punggung dan menjauhi tempat sampah itu.

Pemuda berambut raven itu memutuskan untuk duduk di bawah pohon maple yang tersembunyi dari pandangan orang-orang. Onyx-nya tajam memandangi kotak bernuansa ungu lembut itu. bungkusnya sedikit kotor tetapi isinya baik-baik saja.

Di dalam kotak coklat itu ada sebuah kartu manis dengan tulisan tangan yang rapi bertuliskan beberapa pesan pengakuan. Onyx-nya melebar, bibirnya membulat tidak percaya.

Nama Naruto tertulis di dalamnya sebagai penerima.

Tangannya mengepal. Meremas kertas itu dengan perasaan panas, jengkel, menjadi satu. Dia tidak bisa mempercayai hal ini, dari semua anak laki-laki di sekolah ini kenapa harus Naruto? The most nobody? Tanpa berfikir lagi ia memakan habis coklat-coklat itu. tidak peduli bahwa bukan haknya untuk memakan coklat-coklat mungil buatan gadis Hyuuga yang telah merebut perhatiannya belakangan ini. Hatinya terasa pahit, dan coklat yang dimakannya tidak membuatna terasa sedikit lebih manis.

Intinya, coklat terburuk yang pernah dimakannya.

Tapi dia tidak bisa berhenti sampai coklat terakhir dalam kotak itu. ia mengusap bibirnya dengan geram. Mengutuk Naruto dengan murka dan umpatan yang terlalu kasar untuk dituliskan disini. Intinya, bocah itu harus membayarnya.

Sasuke tidak tahu keadaan bocah pirang itu sama buruknya dengan Sasuke. desperate mengemis-ngemis coklat pada Sakura.

.

"Grr.." Sasuke memukul ubun-ubunnya sendiri dengan kesal. Kenapa potongan kenangan itu justru muncul di saat seperti ini. Lidahnya bergerak ke langit-langit mulutnya. Disana dia masih ingat bagaimana coklat Hinata terasa. Rasa pahit dan manisnya membuatnya tercampur aduk. Dia tidak mengerti bagaimana gadis itu membuatnya. Yang jelas coklat itu membuat tubuhnya tak enak beberapa saat kemudian.

"Sasuke-kun apa kepalamu sakit?" sepasang amethyst pucat memandangnya dengan tatapan khawatir. Di tangannya terdapat paper dan beberapa minuman penambah energi. Juga sebuah buku sketsa. Sasuke menatap benci buku sketsa itu. Teringat rubah berekor sembilan yang dibuatnya untuk Naruto.

"Aku tidak apa-apa." Jawab Sasuke ketus.

"Be-benarkah?" Tanya Hinata sedikit tak yakin. "A-ano ne, be-berapa teman sekelas menitipkan minuman-minuman ini. Sepertinya ini akan membuatmu baikan." Katanya, menyerahkan plastik berisi minuman yang melihatnya saja sudah membuat Sasuke mual.

"Tidak perlu."

"e-etto... Ini catatan di –di pelajaran yang tidak kauikuti. Ada beberapa materi baru yang dijelaskan tapi rasanya kalau Sasuke-kun pasti bu-bukan masalah." Hinata kembali bicara. Menyerahkan kertas-kertas itu pada Sasuke.

"Hn."

"Dan ini—" Gadis itu membuka buku sketsanya dengan gerakan canggung yang cepat. Sasuke sudah bersiap untuk memalingkan wajahnya supaya tidak perlu melihat rubah lainnya atau apapun yang berhubungan dengan Naruto.

Tapi dia salah.

Hinata memang menunjukkan sebuah gambar. Tapi bukan gambar ceria yang mengingatkannya pada bocah berambut pirang itu.

Hanya bulan. Bundar sempurna di tengah malam yang diwarnai pekat. Onyx gelapnya memandangi gambar bulan itu dengan seksama. Bulan itu memancarkan aura kuat, tapi juga kesepian yang sangat kentara. Bulan yang bersinar sendirian dengan angkuh di tengah kegelapan malam.

"A-aku menggambarnya saat pelajaran Iruka-sensei." Cicit Hinata pelan seolah takut ada yang mendengar perkataannya. "Kupikir Sasuke-kun marah karena tidak kubuatkan gambar. Benar juga pasti gambar bunga sakura itu membuatmu silau. Jadi kubuatkan gambar lain." Jelasnya panjang lebar.

Diam sejenak.

"E-eh... Mu-mungkin gambarku kurang bagus ne..." Hinata menunduk. "Tapi Sasuke-kun se-seperti bulan di gambar ini." Katanya.

"Hn?"

"Selalu terlihat hebat, tapi sendirian. Berusaha untuk menyinari pekatnya malam sendirian. A-apa itu tidak berat?" Tanyanya. "Pe-pertama kali melihatmu di kelas. A-aku Cuma menganggapmu rival. Tapi ternyata yah—" pipinya mendadak memerah. "Po-pokoknya sekarang karena Sasuke-kun adalah temanku. Jadi, jadi..." Hinata memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya. "Jangan sungkan untuk meminta bantuanku. Ka-kalau kau merasa sakit. Misalnya seperti tadi, se-seharusnya kau memintaku untuk merawatmu atau setidaknya mengantarmu ke UKS. Ka-kalau tidak begitu." Kebiasaan lamanya muncul. Ia memainkan jari telunjuknya. "A-aku jadi merasa tidak berguna sebagai teman—"

Aha!

Sasuke menyeringai.

"Jadi kau mengkhawatirkanku eh? Hime?" Tanyanya dengan nada menggoda. Membuat pipi Hinata semakin memerah.

"Eh, itu bukan—aku Cuma, itu—he.. yah.." Dia menunduk. Berharap poni tebalnya dapat menutupi seluruh wajah dan tubuhnya hingga luput dari pandangan pemuda di depannya.

Sebuah sentilan mendarat di dahi gadis itu. Hinata terkejut, jemari pucatnya memegangi dahinya yang tertutup poni sewarna indigo. Ia memandangi Sasuke dengan sorot mata kesal. "Kenapa kau menyentilku?" Tanyanya dengan pipi menggembung.

"Bodoh!" Ejek Sasuke. "Kalau Cuma khawatir kenapa harus repot-repot gambar segala. Semua penjelasanmu itu sulit untuk dimengerti tahu." Keluhnya. Lalu memijat kepalanya seolah pusingnya semakin merajalela akibat ulah Hinata.

"E-eh.. gomennasai.." Hinata meminta maaf. Menyesali tingkahnya yang terkesan berlebihan dan kekanak-kanakkan itu. Kalau dipikir lagi dia jadi merasa malu sendiri.

"Tidak ada yang perlu dimaafkan." Sungut pemuda berambut raven itu. "Kenapa sih kau suka sekali minta maaf?" Tanyanya. Hinata hanya menunduk. Terlihat tidak begitu ingin menjawab pertanyaan bernada keluhan dari temannya itu.

"Tapi, aku suka." Sasuke akhirnya berkata singkat. Dengan suara amat pelan.

"Eh?" Hinata melebarkan mata pucatnya. "Suka gambarku?"

"Gambarmu, sama kamu juga suka."

"E-Eh?"

"Geez, Hinata apa perlu aku mengatakannya lagi?" Tanya Sasuke tidak sabar. Hinata hanya memandang pemuda di depannya itu dengan tatapan tidak mengerti. Sasuke mengutuk dalam hati apa semua Hyuuga begini bodohnya ya?

"Hyuuga Hinata aku menyukaimu." Kata Sasuke.

Grep. Wajah Hinata kini memerah sepenuhnya. Sepertinya "sakit" Sasuke telah pindah ke Hinata sehingga gadis itu menampilkan gejala-gejala penyakit demam.

Sasuke tersenyum melihatnya. Tangannya meraih puncak kepala Hinata menepuk-nepuknya lembut. "Makanya cepatlah balas perasaanku supaya aku lebih tenang." Katanya dengan nada perintah. Kali ini Hinata menahan gerak refleknya. Tidak mengangguk, tidak pula menggeleng. Hal yang dilakukannya kini menatap Sasuke dengan ekspresi yang sulit diartikan.

Jangankan kalian, bahkan gadis itu yang saat ini merasakannya pun tidak mengerti. Perasaan yang tidak menentu, jantungnya berdetak diluar batas frekuensi normal, paru-parunya tidak bekerja dengan baik sehingga ketika ia mengambil nafas justru tekanan dalam rongga paru-parunya yang membesar hingga udara kembali keluar meninggalkannya yang megap-megap sendiri. Dan wajahnya, dia tidak mengerti kenapa semua terasa begitu panas dan merah. Semuanya terangkum dalam tubuh mungilnya, dan terlindung dengan perasaan nyaman dari tangan Sasuke yang melindunginya. Juga—ah jangan lupakan perasaan excited yang terasa asing.

Dia tidak mengerti.

Dan mungkin selamanya tidak mengerti, tentang apa yang selama ini dirasakannya.

To be continued

Chapter ini gak kayak yang saya bayangin bakal saya tulis T^T sejujurnya saya kecewa tapi stuck jadi mau diedit lagi jadi bingung hehe ;;^;;)v tapi tetep tunggu chapter selanjutnya ya! ^0^)/

Regards: alienpan