Gift Of Love

.

Naruto milik Masashi Kishimoto.

.

Real Story by Julie Garwood

.

Tachibana Ema II

.

Warning AU, OOC, miss typo

.

.

Konoha, 1 Januari 1985

Tinggal masalah waktu sebelum pada akhirnya para tamu diupacara pernikahan itu saling membunuh. Asuma Sarutobi yang diberitugas untuk menjaga kedua keluarga itu, sudah mengambil berbagai macam tindakan untuk mengantisipasi hal-hal tersebut, tapi karena Hasirama Senju sebagai pimpinan dan Raja di Negara-nya yang menentukan pernikahan yang akan berlangsung, jadi dia tidak dapat berbuat banyak.

Di sinilah dirinya sekarang, terjebak diantara kedua keluarga yang saling berseteru, diacara pernikahan yang menurutnya tak akan membuahkan hasil. Asuma diperintahkan oleh Hasirama untuk mengurus semua hal yang berhubungan dengan acara yang sakral ini. Sebenarnya Asuma ingin menolak perintah ini, tapi apa daya dirinya saat sang pimpinanlah yang memerintahnya, jadi dengan berat hati Asuma menerima perintah itu.

Sebenarnya bukan Asuma saja yang menolak perintah ini, dari pihak keluarga Hyuuga maupun Uzumaki juga memprotes keras pilihan ini. Tapi apa daya, keberatan yang mereka ajukan tidak ada gunanya, karena sang pimpinan bersikeras agar keinginannya dituruti.

Asuma mengerti alasan dibalik keputusan yang diambil pimpinannya ini dan juga kenapa dirinya yang dimintakan tolong. Karena di Negara ini hanya dirinyalah yang memiliki hubungan erat dengan kedua keluarga yang berseteru tersebut. Upacara pernikahan itu dilakukan di wilayah netral, pimpinannya yakin kalau semua yang hadir dalam upcara tersebut akan bersikap sopan. Tentunya Asuma sudah lebih tahu akan seperti apa jika kedua keluarga tersebut saling bertemu.

Orang-orang disekelilingnya seperti bernafsu untuk saling membunuh. Satu kata saja diucapkan dengan nada suara yang salah, atau satu saja tindakan yang dianggap sedikit mengancam bisa memicu pertumpahan darah di aula ini. Mereka memang sudah gatal untuk saling serang. Dari ekspresi wajah mereka saja sudah menunjukkan semua itu.

Sang pendeta, yang mengenakan jubah upacara pernikahan berwana putih, duduk disebuah kursi bersandaran tinggi diantara kedua keluarga yang berseteru. Sang pendeta tidak menengok ke kiri, tempat keluarga Hyuuga berkumpul, ataupun ke kanan, tempat para pasukan Uzumaki berdiri, dia hanya menghadap lurus kedepan. Untuk melewatkan waktunya, sang pendeta mengetuk-ngetukkan jarinya kelengan kayu kursinya dengan wajah kesal. Asuma hanya bisa mendesah putus asa. Dia tahu kalau pendeta itu tidak bisa diharapkan bantuannya, karena begitu keributan yang sebenarnya terjadi pendeta itu hanya jadi seorang penonton.

Sementara itu baik mempelai perempuan maupun pria sedang menunggu dikamar terpisah di lantai atas. Baru setelah Hasirama sang pimpinan datang, mereka akan dibimbing, atau lebih tepatnya diseret ke aula ini. Untuk melakukan acara pernikahan konyol ini.

Sungguh ini adalah hari yang paling terburuk menurut Asuma. Karena hari ini dia harus melipat gandakan pasukan penjaganya sendiri diantara prajurit Hashirama sebagai upaya pencegahan, jika hal-hal yang tak diinginkan terjadi. Tindakan seperti ini seharusnya tak dilakukan diacara yang sakral seperti ini, dan kalau dipikir-pikir baru kali ini juga dia menyaksikannya secara langsung acara seperti ini. Ingin rasanya dia tertawa, tapi apa daya dia tak bisa melakukannya karena dia harus terus waspada.

Karena bagaimanapun para tamu yang hadir di sini sudah melengkapi diri mereka dengan persenjataan lengkap. Sampai-sampai keluarga Hyuuga yang terlalu banyak membawa senjata, sulit untuk bergerak. Sebenarnya kelakuan mereka sudah melanggar hukum dan tidak seharusnya ditolerir. Dua orang paman yang sudah cukup lanjut usia dari keluarga Hyuuga terang-terangan mengelus-elus mata pedang mereka, seolah sedang mengejek keluaga Uzumaki. Sedangkan gerombolan Uzumaki yang melihatnya membalasnya dengan senyum sinis. Sebenarnya sebagain besar keluarga Uzumaki tidak membawa senjata, padahal keluarga Hyuuga membawa banyak rombongan. Dan itu juga tidak bisa menjamin mereka bisa lebih unggul dari keluarga Uzumaki.

Karena keluarga Uzumaki terkenal lebih kejam dibandingkan dengan keluarga Hyuuga. Sudah banyak cerita yang tersebar dimasyarakat tentang kekejamannya, bila ada yang berani macam-macam dengan keluarga mereka. Maka penyiksaan yang menyakitkanlah yang akan diterima.

.

.

Suara ribut-ribut yang terdengar dari halaman depan menarik perhatian Asuma. Asisten pribadi sang raja, adik kandung Hashirma yang bernama Tobirama Senju adalah seorang pria berwajah masam, pria itu bergegas masuk dan berjalan menghapirinya. Tobirama mengenakan jas hitam lengkap yang pas dengan tubuhnya, jika diperhatikan lebih detail sebenarnya Tobirama yang berwajah masam terlihat tampan mengenakan setelan jas seperti itu.

Saat Tobirama sampai dihadapan Asuma ia berbisik, "Aku berkendara lebih cepat dengan membawa beberapa pengawal, untuk mengabari kalau sebentar lagi Raja akan tiba beberapa menit lagi."

"Oh, terima kasih, Tuhan," desah Asuma merasa lega.

Sepintas Tobirama melongok melewati bahu Asuma, kemudian menggelengkan kepalanya. "Suasana di aulamu seperti dikuburan," bisiknya. "Pasti kau sangat kerepotan ya menjaga para tamumu tetap terhibur?"

"Terhibur? Hanya upacara pegorbanan manusia saja yang bisa membuat mereka terhibur," jawab Asuma kesal.

"Jangan ngaco, pasti suasana hatimu sedang muram ya?" ucap Tobirama bergurau tak menganggap ucapan temannya itu hanya sungguhan.

"Aku tidak bercanda Tobirama," bentak Asuma. "Kau akan berhenti tersenyum, begitu sadar situasi bisa saja berubah jadi tak terkendali tanpa kau duga. Keluarga Hyuuga datang membawa persenjataan lengkap."

Dengan cepat Asuma menambahkan sebelum temannya itu berbicara, "Aku sudah berusaha membujuk mereka untuk meninggalkan senjatanya diluar, tapi mereka menolaknya mentah-mentah."

"Oh ya? Kita lihat saja nanti apa yang akan aku lakukan," gumam Tobirama. "Sebagian pasukan yang mengawal Hashirama ikut bersamaku, aku akan menyuruh pasukan itu untuk melucuti senjata mereka. Aku tidak bisa membiarkan Raja kita memasuki arena yang berbahaya seperti ini. Ini upacara pernikahan bukan medan perang."

Dan bernar saja Tobirama membuktikan ucapannya. Akhirnya seluruh rombongan keluarga Hyuuga menyerahkan senjata mereka kepengawal-pengawal raja, setelah Tobirama mengancam siapa saja yang berani melawan perintahnya akan ditembak ditempat. Bahkan keluarga Uzumakipun akhirnya menyerahkan senjata mereka juga.

Ketika sang Raja tiba dikediaman Asuma, Hasirama langsung disambut oleh sipemilik rumah juga dengan Tobirama yang sudah tiba lebih dulu. Saat sang raja memasuki aula utama, pasukan pengawal seketika berbaris rapih dengan membungkukkan badan. Pendeta yang sedang terdudukpun bangkit lalu membungkuk hormat ke sang Raja, lalu mempersilahkan Hasirama untuk duduk.

"Asuma," panggil sang raja. "Pergilah panggil mempelai pria dan mempelai wanitanya. Hari sudah semakin siang masih banyak pekerjaan yang harusku lakukan."

Asuma membungkuk hormat menerima perintah tersebut, lalu saat Asuma berjalan keluar ruang aula sang Raja memutar kursinya lalu bertanya pada Tobirama, "Tobirama, dimana semua perempuannya? Kenapa yang hadir diacara bahagia ini hanya para laki-lakinya saja?"

Untuk sesaat Tobirama bingung untuk menjawabnya, dia tak bisa mengatakan yang sejujurnya. Karena dia takut melukai hati sang Raja jika beliau mengetahui alasan sebenarnya, kalau para tamu datang bukan untuk menyaksikan upacara pernikahan melainkan untuk bertempur.

"Ah ya, sepertinya para perempuan tidak datang, kira-kira kenapa ya Asuma?" tanya Tobirama melemparkan pertanyaan Raja kepada Asuma.

Asuma yang berjalan sudah mencapai pintu, mendengar pertanyaan dari temannya itu segera berbalik dan menjawab, "Ehm.. itu karena perjalanan untuk mencapai ke tempat ini membutuhkan waktu yang cukup lama Rajaku, mungkin perjalanan itu terlalu berat untuk para wanita."

Asuma nyaris tersedak sendiri akibat kebohongannya. Kebohongan yang dibuatnya ini sangat keterlaluan, karena bagi siapapun yang mengetahui para wanita dari klan Hyuuga adalah para wanita tangguh. Tapi untung saja sang Raja tak mengetahui perihal itu, jadi beliau menerima alasan itu dengan tersenyum.

Sebelum keluar aula, Asuma menyempatkan diri untuk menengok kearah keluarga Hyuuga, dia memberikan pelototan sinis dan kesalnya pada klan itu. Bagaimanapun juga ini semua gara-gara sikap mereka yang membuat dirinya harus berbohong kepada Rajanya sendiri. Kemudian dia melanjutkan melaksanakan tugasnya untuk memanggil para mempelai.

.

.

Mempelai prialah yang pertama turun menuju aula. Begitu Uzumaki Naruto yang bertubuh tinggi tegap itu memasuki aula, sebuah jalan telah tersibak untuk dilaluinya. Mempelai pria berjalan memasuki ruangan seperti seorang prajurit.

Uzumaki Naruto adalah pemuda yang berwajah tampan, dia memeliki rambut berwarna kuning keemasan dan sepasang mata biru cerah. Bentuk wajahnya kurus, bersudut tajam dengan tiga buah garis dimasing-masing pipinya, serta kulitnya yang berwarna tan melengkapi kesempurnaannya.

Naruto, panggilan dari keluarga intinya, dia adalah salah seorang bangsawan termuda dikeluarganya. Usianya baru lima belas tahun lewat beberapa hari. Ayahnya, Namikaze Minato adalah orang yang berpengaruh dipolitik negara ini, sedang berada diluar negeri melaksanakan tugas penting untuk pemerintahnya, dan karena itu dia tidak bisa mendampingi putranya selama upacara pernikahan ini.

Bahkan Minato pun taktahu-menahu tentang pernikahan ini. Jika Minato mengetahui hal ini pun dia pasti akan marah besar. Dalam keadaan biasa saja Minato adalah orang yang paling tidak ramah. Jika ada yang berani memancing kemarahannya dia bisa menjadi sekejam iblis. Oleh karena itu Asuma yang dimintai tolong untuk mengurus penikahan ini semua, karena hanya dia sajalah yang memiliki hubungan baik dengan ayahnya Naruto.

.

.

Naruto yang baru saja memasuki aula tetap mengarahkan tatapannya pada sang Raja. Asuma terus memperhatikannya. Ia tahu kalau Naruto diperintahkan oleh paman-pamannya untuk tidak membukuk dihadapan Raja kecuali diperintahkan. Namun Naruto mengabaikan perintah tersebut. Dia malah membungkukkan badannya sembilan puluh derajat dihadapan sang Raja dan mengucapkan salam hormatnya dengan suara tegas.

Kekaguman langsung meliputi Asuma melihat hal tersebut. Asuma bisa melihat dari senyum sang Raja bahwa dia sangat senang. Tapi kerabat Naruto tidak. Sorot geram mereka cukup panas untuk menimbulkan kebakaran di aula ini. Ditambah lagi dengan keluarga Hyuuga yang tampak senang dan terkikik geli. Membuat keluarga Uzumaki semakin geram.

Mendengar kikikan itu Naruto membalikkan tubuhnya untuk menatap rombongan keluarga Hyuuga, tanpa berkata-kata, dan ekspresi wajahnya yang sedingin es tampaknya membuat seringai kurang ajar keluarga Hyuuga lenyap seketika. Saat seluruh keluarga Hyuuga menundukkan kepala dan menatap lantai dibawahnya, Naruto mengalihkan pandangannya lurus kedepan. Melihat hal tersebut klan Uzumaki tak bisa menahan diri untuk melenguh pelan menyuarakan dukungan dan ejekan untuk klan Hyuuga.

Melihat hal tersebut Asuma pun tersenyum dan menganggukkan kepalanya pada Naruto dan dibalas senyuman tipis. Setelah puas dengan yang dilihatnya, dia pergi untuk menjemput mempelai wanita.

.

.

Dari luar ruangan Asuma bisa mendengar suara tangis meraung-raung sang mempelai wanita ketika ia tiba dilantai dua. Suara itu terputus oleh teriakan marah seorang laki-laki. Asuma mengetuk pintu sampai dua kali sebelum akhirnya Hyuuga Hiashi, ayah mempelai wanita membukanya. Wajahnya merah marah.

"Sudah kutunggu dari tadi," bentak Hiashi kesal.

"Kedatangan Raja sedikit tertunda," jawab Asuma.

Jawabannya langsung disambut anggukan. "Masuklah. Bantu aku membawanya turun. Dia sangat keras kepala."

"Kurasa sikap keras kepala memang bukan hal yang aneh untuk anak perempuan semuda itu ditambah dia berasal dari klan Hyuuga," ucap Asuma tersenyum tipis.

"Benarkah?!" gumam Hiashi. "Sebenarnya baru kali ini aku berduaan saja dengan putriku. Dan aku juga tak yakin dia mengetahui siapa aku ini," lanjutnya.

Asuma tak bisa menyembunyikan keterkejutannya terhadap komentar yang mengagetkan itu. "Hiashi?!" ucapnya. "Seingatku, kau punya satu orang anak perempuan lainnya, dan usianya lebih muda dari Hinata. Aku tidak mengerti bagaimana bisa kau tidak meng..."

Hiashi memotong ucapan Asuma dengan mengatakan, "Aku terlalu sibuk untuk menemani mereka, lagi pula masih ada istriku."

Asuma merasa pengakuan memalukan Hiashi itu sangat keterlaluan. Dia sampai mengeleng-gelengkan kepalanya dan mengikuti Hiashi masuk kekamar. Saat memasuki kamar Asuma melihat mempelai wanita sedang terduduk sambil menangis di sebuah sofa ditengah ruangan.

Mempelai wanita yang bernama Hinata itu berhenti menangis ketika melihat kedatangannya. Asuma berpikir kalau Hinata adalah mempelai wanita yang paling memukau yang pernah dilihatnya. Rambut pendek berponi keunguan membingkai wajah yang bak bidadari itu. Ada sebuah mahkota dari rangkaian bunga lavender menghiasi kepalanya. Air mata masih mengalir di pipinya, dan mata lavendernya tampak berkabut. Hinata mengenakan gaun putih panjang dengan ujung bawah dan pergelangan tangan dihiasi renda. Ketika Hinata berdiri, selempang berbordir yang melingkari pinggangnya jatuh kelantai. Hiashi yang melihatnya mengumpat lantang. Hinata pun mengikutinya.

"Ayo, ini sudah waktunya kita turun, Hinata," perintah ayahnya, dengan suara lembut yang dipaksakan.

"Tidak."

Teriakkan berang Hiashi bagai menggema diruangan itu. "Kalau kau terus bersikap keras kepala seperti ini, aku akan memukulmu Hinata. Lihat saja nanti."

Tanpa memperdulikan ayahnya, Hinata kembali duduk dan menguap keras.

"Hiashi, kalau kau membentak-bentak putrimu seperti itu, kurasa kau tak akan menghasilkan apa-apa," ucap Asuma menyarankan.

"Kalau begitu aku harus memukulnya, biar dia mengerti," gumam Hiashi. Ia berjalan dengan langkah mengancam mendekati putrinya, tangannya terangkat hendak memukul Hinata.

Asuma berhenti tepat di depan Hiashi. "Kau tidak perlu memukulnya," ucap Asuma, suaranya penuh amarah.

"Dia putriku," teriak Hiashi kesal. "Aku boleh melakukan apa pun padanya untuk membuatnya menurut padaku."

"Saat ini kau tamu di rumahku. Jadi dengarkan permintaanku," balas Asuma berteriak pula. "Biar aku yang membujuknya."

Seketika Asuma berpaling pada mempelai wanita itu. Dia melihat kalau Hinata tidak khawatir sama sekali dengan kemarahan ayahnya itu. Malah Hinata sudah kembali menguap keras.

"Hinata, semua akan selesai sebentar lagi," ucap Asuma tersenyum berusaha membujuk Hinata. Kemudian dengan lembut memaksa Hinata untuk berdiri kembali, lalu Asuma mengikatkan kembali selempang yang tadi terlepas kepinggang Hinata. Setelah selesai terpasang, Hinata kembali menguap.

'Astaga kurasa anak ini benar-benar membutuhkan tidur siang,' pikir Asuma yang melihat Hinata terus menguap sejak tadi.

Hinata membiarkan Asuma menggandeng lengannya dan membawanya menuju pintu, tapi kemudian Hinata menarik lengannya, dia lari kembali ke sofa tempatnya duduk tadi, lalu dia mengambil selimut yang tadi menyelimuti dirinya.

Saat berjalan menghampiri Asuma lagi, Hinata berjalan mengitari ayahnya sejauh mungkin lalu kembali menggandeng tangan Asuma. Selimut itu dijadikan tudung untuk menutupi kepalanya, karena tubuhnya yang kecil dan selimut yang besar menyebabkan selimut itu terseret saat dia berjalan.

Hiashi yang melihat kelakuan anaknya itu, merebut paksa selimut itu. Tapi karena genggaman Hinata pada selimut itu kuat, terjadilah adegan tarik menarik selimut antara anak dan ayah itu. Suara Hinata yang menjerit-jerit mempertahankan selimutnya dan suara Hiashi yang menggelegar kembali memenuhi ruangan itu.

Asuma yang sudah pusing dengan kelakuan anak ayah itu akhirnya berteriak kesal kepada Hiashi dan merebut paksa selimut itu dan memberikannya ke Hinata. "Demi Tuhan! Sudahlah Hiashi, biarkan dia membawa selimut itu."

"Tidak!" teriak Hiashi. "Itu jelek, tidak akan kubiarkan dia membawanya."

"Biarkanlah dia membawanya sampai depan aula," perintah Asuma kesal.

Akhirnya Hiashi mengalah, dan membiarkan Hinata membawa selimut itu. Kemudian dia berjalan memimpin Hinata dan Asuma menuruni tangga menuju aula. Hinata yang tahu bahwa dia sudah dibela oleh pria yang menggandengnya itu, dia mendongakkan kepalanya lalu tersenyum pada pria itu. Asuma pun membalas senyumannya.

Tapi semua senyuman itu terhapus dalam sekejap saat sampai diambang pintu aula. Kenapa? Itu karena Hiashi kembali merebut selimut itu dari genggaman Hinata. Dan akhirnya keributan antara ayah dan putrinya kembali terjadi.

Naruto yang mendengar keributan dari arah pintu masuk menoleh. Matanya terbeliak kaget. Sebenarnya selama ini dia tidak tertarik untuk mengetahui siapa yang akan menjadi mempelai wanitanya, karena dia yakin ayahnya akan membatalkan semua dokumen pernikahan ini begitu ayahnya pulang dari tugas nanti, dan karena alasan itu jugalah dia semakin terkejut saat melihat calon istrinya itu.

Mempelai wanitanya benar-benar liar. Naruto kesulitan untuk mempertahankan ekspresi dingin yang dipertahankannya sejak tadi. Teriakan Hiashi yang menggelegar kencang mengalahkan suara teriakan putrinya. Tapi gadis itu jauh lebih bersikukuh, gadis itu memeluk lengan ayahnya dan terus-terusan berusaha menggigit tangan ayahnya untuk mengambil selimut yang dipegang ayanya itu.

Naruto tersenyum tipis melihat hal itu. Sedangkan para kerabat Uzumakinya sudah tertawa membahana melihat pimpinan klan Hyuuga bisa menjadi out of topic seperti itu saat behadapan dengan putrinya, padahal Hyuuga Hiashi adalah pimpinan klan Hyuuga yang terkenal dingin dan kejam.

Sedangkan Asuma sendiri mulai kehilangan kesabarannya. Jadi dia menyambar tubuh mempelai wanita itu, menggendongnya, merenggut selimut dari tangan sang ayah, kemudian bergegas menghampiri Naruto. Tanpa basa-basi Asuma menyodorkan mempelai wanita dan selimutnya ketangan mempelai pria.

Pilihan untuk Naruto hanya ada dua, yaitu menerimanya atau menjatuhkan mempelai wanitanya. Naruto berusaha untuk memutuskan ketika Hinata melihat ayahnya berjalan mendekatinya. Tanpa basa-basi Hinata merangkulkan tangannya dileher Naruto dan menempelkan tubuhnya ke tubuh Naruto sekaligus bersama selimutnya.

Hinata terus-menerus melongok dari balik bahu Naruto untuk memastikan kalau-kalau ayahnya akan menariknya. Tapi ketika dia yakin kalau keadaan sudah aman, Hinata memusatkan perhatiannya pada orang asing yang menggendongnya. Hinata menatap pria itu lama sekali.

Si mempelai pria yang sedang berdiri dengan tegak, sambil menggendong mempelai wanitanya. Berkeringat dingin saat dia merasa gugup karena terus diperhatikan oleh mempelai wanitanya. Naruto takut untuk menatap mempelainya itu, karena dia takut jika wanita itu mengigitnya nanti. Jadi Naruto terus mengarahkan pandangannya pada sang raja sampai Hinata mengulurkan tangannya dan menyentuh pipinya.

Merasa pipinya disentuh oleh mempelainya Naruto menoleh dengan ragu.

"Ayah pasti akan memukulku nanti," ucap gadis itu dengan wajah sendu.

Naruto tak menunjukkan reaksi apa pun atas pernyataan itu. Karena tak ada jawaban, Hinata mulai lelah untuk menatapnya. Perlahan kedua kelopak matanya mulai menutup dan tubuh Naruto semakin tegang ketika tubuh gadis kecil itu terpulas digendongannya. Wajahnya ditempelkan dileher Naruto.

"Kumohon jangan biarkan Ayah memukulku," bisiknya.

"Takkan kubiarkan itu terjadi," jawab Naruto pelan.

Karena sudah puas dengan jawaban dari Naruto, perlahan Hinata tertidur pulas dalam gendongan Naruto. Dia kelelahan akibat perjalanan panjang dan amukannya yang penuh semangat tadi. Air liurnya menetes di leher Naruto.

Sebenarnya Naruto tidak mengetahui usia gadis itu yang sebenarnya sampai sang Pendeta mulai membacakan persyaratan pernikahan mereka. Dan ternyata usia mempelai wanitanya berumur empat tahun.

.


.

TBC