Rosepius:A Never Ending Story
Chapter 2
Scorpius Malfoy's POV
"It is better to be hated for what you are than to be loved for what you are not."
― André Gide, Autumn Leaves
Ada sebuah perkataan yang mengganjal di pikiranku setiap kali aku memandang Rose Weasley. Aku ingat perkataan itu kutemui di sebuah buku Muggle yang kubaca beberapa tahun yang lalu. Perkataan ini sangat mencerminkan segalanya di antara Rose Weasley dan aku. Perkataan ini kurang lebih berisi kenyataan bahwa lebih baik dibenci untuk siapa yang memang dirimu daripada dicintai untuk siapa yang bukan dirimu.
Itulah yang kupilih. Lebih baik aku dibenci oleh Rose daripada dicintai olehnya untuk seseorang yang bukan aku. Aku ingin dia menyukaiku apa adanya karena aku mencintainya apa adanya. Aku mencintai segalanya tentang dia.
Bunga yang menjadi asal namanya...
Rambut merah gelapnya...
Mata biru beningnya...
Kulitnya yang seputih porselen...
Hidung kecil mungilnya...
Garis garis wajahnya...
Aku mencintai segalanya tentang dia dan aku harus menyalahkan Dad untuk hal itu karena dialah yang menunjukkan Rose padaku hari itu. Hari yang kuingat seperti hari yang baru saja terjadi kemarin.
Hari itu hujan, seperti halnya hari hari di musim gugur. Tapi hari itu berbeda. Hari itu adalah hari keberangkatanku ke Hogwarts, hari pertama aku naik Hogwarts Express. Aku selalu ingin pergi ke Hogwarts karena mendengar terlalu banyak cerita dari Dad tentang masa sekolahnya (dia hanya menceritakan hal hal menyenangkan yang dilakukannya saja).
Jadi, hari itu kami pergi dari Manor dengan mengendarai mobil Muggle yang baru dibeli Dad. Tetes tetes hujan membasahi jendela mobil dan jalanan macet. Dad mendecakkan lidahnya dan mulai membunyikan klakson mobil. Mum menyuruh Dad untuk berhenti membunyikan klakson sementara aku menatap ke luar jendela.
Langit gelap dengan awan awan hitam bergerumbulan. Rintik rintik hujan turun dengan deras. Muggle Muggle yang berjalan jalan di trotoar langsung memakai jaket dan membuka payung yang selalu mereka bawa kemana mana. Beberapa Muggle yang tidak membawa payung bergegas mencari tempat berteduh. Ada yang masuk ke kafe terdekat, ada pula yang berdiri di depan etalase toko.
Aku takjub dengan cara Muggle bersikap. Mereka memilikki gerak refleks yang lebih bagus daripada penyihir karena mereka tidak pernah menggunakan sihir. Mereka tidak mendapat kemudahan dalam segalanya. Mereka harus berusaha melakukannya dengan benar.
Keluargaku tidak terlalu menyukai Muggle. Grandfather Lucius membenci Muggle dan Muggle-born. Dia sekarang berada di Azkaban dengan hukuman seumur hidup. Aku tidak pernah bertemu dengannya karena Mum dan Dad tidak mau aku bertemu dengannya. Hanya Grandmum Cissy yang mengunjunginya. Aku yakin Grandfather Lucius pasti merasa terbuang dari keluarganya.
Tapi aku tahu, dia pantas dihukum. Dia membunuh banyak Muggle dan Muggle-born juga menyiksa banyak orang. Banyak cerita yang kudengar tentang dia, beberapa bahkan kubaca dalam buku buku seperti Sejarah Hogwarts, Sihir Hitam: Perkembangannya di Dunia, dan Voldemort dan Pelahap Maut: Sejarah Lengkap yang Berhasil Dikorek dari Sumber Terpercaya (Karangan: Rita Skeeter).
Aku memang tidak sepenuhnya mempercayai semua cerita itu. Tapi cerita cerita itu ada benarnya dan terkadang cerita cerita itu akan mengiang ngiang di kepalaku sampai berhari hari bahkan terkadang berminggu minggu. Salah satunya cerita yang ditulis si Skeeter tentang Grandfather Lucius.
Lucius Malfoy
Terkenal sebagai tangan kiri Voldemort dan salah satu yang paling cepat berbalik arah, Lucius Malfoy adalah pelahap maut yang sangat loyal pada Voldemort. Tapi, begitu kejatuhan Voldemort karena kalah dari bayi Harry Potter, Anak Laki-laki yang Bertahan Hidup, Lucius Malfoy langsung mengaku dirinya di-Imperius untuk melakukan segala pembunuhan dan penyiksaan yang dilakukannya. Dia juga menyuap Kementerian Sihir dengan banyak Galleon yang tentu saja diambil Kementerian dengan senang hati. Dia lalu dibebaskan begitu saja, pada awalnya Mad-Eye Moody, mantan Auror yang sudah meninggal, menolak habis habisan. Tapi apa mau dikata jika Kementerian dan sistemnya yang jelek dan berat sebelah sudah menerima berkeping keping Galleon? Tentangan Moody hanyalah angin lalu.
Tapi tetap ada orang orang yang curiga pada Lucius Malfoy, salah satunya Arthur Weasley yang tak henti hentinya melakukan penggeledahan di Malfoy Manor meskipun terkadang tidak mendapat apa apa.
Beberapa sumber bahkan mengatakan bahwa Harry Potter pernah tersesat di Knockturn Alley dan melihat Lucius Malfoy menjual beberapa racun dan barang barang Ilmu Hitam-nya di Borgin and Burkes. Lalu Harry Potter dan teman temannya, Ron Weasley dan Hermione Granger, juga pernah mendengar Malfoy mengatakan bahwa orangtuanya menyembunyikan barang barang Ilmu Hitam di bawah ruang tamunya. Betapa munafiknya Lucius Malfoy? Tapi Kementerian tetap menutup mata. Menurut sumber lain, Lucius Malfoy diketahui juga pernah menyimpan sebuah jurnal milik Voldemort yang kemudian diselipkannya di antara buku buku milik Ginny Weasley. Buku itu adalah Horcrux dan merasuki Ginny Weasley sehingga dia membuka Kamar Rahasia. Satu lagi hal yang ditutup tutupi oleh Kementerian karena uang. Tentu saja ini sangat memalukan untuk dibaca tapi aku, Rita Skeeter, selalu menguak kebenaran.
Sebetulnya ada banyak hal hal menarik tentang Lucius Malfoy seperti dialah yang membuat keributan di Piala Dunia Quidditch bertahun tahun lalu. Tapi ada satu hal yang sudah jelas, dia berada di Azkaban sekarang. Hukuman yang kurang pantas menurutku. Kementerian harusnya membunuhnya.
Artikel itu sangat menurunkan martabat keluargaku dan aku tahu akulah yang akan paling banyak terkena dampaknya. Banyak anak yang akan membenciku nanti di Hogwarts. Banyak orang yang akan menyalahkanku atas sesuatu yang aku tahu ceritanya saja tidak. Aku menghela napas, memperbaiki nama keluarga yang sudah sangat rusak adalah hal yang sangat sulit...
"Scorpius, kenapa kau diam saja?" tanya Mum tiba tiba. Aku langsung menoleh kepadanya dan menganguk sopan, seperti biasanya kalau dia mengajakku berbicara.
"Tidak kenapa kenapa, Mum." jawabku. Mum mendesah dan kembali menatap jalanan kota London yang padat oleh mobil. Tidak ada yang menarik sebetulnya dari jalanan di luar tapi Mum selalu merasa ada yang menarik di luar. Mum selalu seperti itu, mencari sesuatu yang menarik dan baik dari seseorang. Mum selalu melihat segalanya secara positif.
Perjalanan kami akhirnya selesai. Kami sampai di Stasiun King's Cross yang ramai dan mulai mencari tempat parkir. Banyak Muggle berlalu lalang di sana, mendorong troli yang penuh dengan barang. Mobil mobil juga banyak, semuanya terparkir rapi. Kami akhirnya berhasil menemukan tempat parkir kosong dan Dad memarkirkan mobil di tempat itu. Mum mengambil troli kosong dari dalam Stasiun King's Cross dan keluar membawa satu. Aku dan Dad mengeluarkan koper kayuku dan burung hantuku, Voila (aku tidak tahu ini bahasa apa tapi Mum suka menggunakannya, jadi kunamakan saja burung hantuku Voila).
Setelah selesai meletakkan koperku di troli, kami sekeluarga berjalan masuk ke Stasiun King's Cross. Aku mendorong troliku yang berisi koperku dan sangkar yang berisi Voila. Dad dan Mum berjalan di sampingku. Mum sibuk membuka buka tasnya, mencari sesuatu. Sementara Dad berjalan di sebelahku. Kami berjalan menembus kerumunan menuju palang rintangan yang membatasi peron 9 dan peron 10.
Aku, Dad, dan Mum bersandar di palang rintangan yang berada di antara peron 9 dan peron 10. Kami berhasil dan dalam sekejap kami sudah berada di peron 9 3/4. Mum berjalan pergi dariku dan Dad dan mulai menyapa beberapa kenalannya. Dad tetap berjalan di sebelahku. Aku tahu alasannya. Banyak orang yang menatap kami dan berbisik bisik di antara sesamanya. Aku mendengar bisikan bisikan mereka yang semuanya begitu membuatku kesal...
"Itu anaknya? Tidak terlihat seperti pelahap maut..."
"Anak malang... Dilahirkan di keluarga pelahap maut..."
"Apa anak itu disiksa?"
"Aku ingin tahu apakah anak mereka sama seperti ayahnya..."
Aku dan Dad hanya berjalan melewati mereka. Dad menganguk pada beberapa orang, mungkin orang penting di Kementerian atau teman teman lamanya. Aku tidak kenal sebagian dari mereka. Mungkin aku pernah bertemu mereka tapi aku tidak ingat.
Kami berjalan terus menuju Hogwarts Express yang berwarna merah tua dan mengosongkan troli. Koper kayuku kutaruh di dekat koper anak anak lain dan sangkar Voila yang tentu saja berisi Voila kuletakan di atas koper. Kami lalu mulai mencari Mum yang sepertinya sedang bersosialisasi seperti biasa. Aku menyayangi Mum tapi Mum terlalu berisik.
Pada akhirnya kami bertemu Mum lagi, dia sedang membicarakan sesuatu dengan Aunt Daphne. Mereka berdiri dekat Uncle Theo dan Jenn, sepupuku. Joshua, sepupuku yang satu lagi, tidak kelihatan. Aku menyapa Jenn dan Uncle Theo lalu berjalan pergi lagi bersama Dad yang sedang mencari cari seseorang di antara kerumunan kerumunan penyihir di sekitar kami. Akhirnya Dad menemukan orang yang dicarinya.
"Scorpius, kau lihat anak perempuan berambut merah yang berdiri di situ?" tanya Dad sambil menunjuk seorang anak perempuan berambut merah gelap. Aku melihat lebih tajam ke arah anak perempuan itu.
Anak perempuan itu berambut merah gelap dengan ujung ujungnya yang membentuk ikal sempurna. Rambutnya panjang sepunggung. Matanya yang berwarna biru bening bertatapan dengan mata abu abu kebiruanku selama beberapa detik sebelum dia memalingkan wajahnya. Wajahnya cantik dan menarik untuk dilihat. Terkesan natural tapi menarik dan cantik. Dad yang melihatku memperhatikan gadis itu tersenyum.
"Dia sering muncul di Daily Prophet. Setiap minggu, terkadang bisa dua atau tiga kali. Namanya Rose, kau tahu? Rose Hermione Nymphadora Weasley." kata Dad lagi.
Kulihat mata Dad menyisir kerumunan ketika mengucapkan nama Hermione dari nama anak perempuan itu dan berhenti ketika matanya menemui sesosok wanita berambut cokelat madu. Raut wajah Dad melembut. Seulas senyum terbentuk di wajah Dad.
"Dia anak Hermione Granger dan Ron Weasley, pahlawan pahlawan perang." ucap Dad menyambung perkataannya sebelumnya. Kulirik anak perempuan yang bernama Rose itu sekali lagi sekadar untuk mengingatnya lebih lama di dalam ingatanku dan berpaling.
Peluit Hogwarts Express berbunyi. Aku dan Jenn bergegas mengucapkan selamat tingga dan sampai jumpa pada keluarga kami. Mum memelukku dan memberikanku sandwich yang tadi dibuat oleh Poppy, peri-rumah kami. Dad menepuk punggungku.
Aku dan Jenn tersenyum sedikit pada keluarga kami dan bergegas masuk ke dalam kereta. Jenn masuk terlebih dahulu. Aku masuk setelahnya. Jenn langsung sibuk mencari kompartemen yang kosong. Tapi tak ada kompartemen yang benar benar kosong. Kebanyakan berisi tiga atau empat anak.
Jenn mulai marah dan mengumpat. Hal yang jelas tidak akan pernah dilakukannya di depan Aunt Daphne. Akhirnya kami menemukan kompartemen yang tidak terlalu sesak juga. Kompartemen itu hanya diisi dua orang. Salah satu orang di dalam kompartemen itu adalah anak perempuan yang baru saja ditunjuk Dad di peron, Rose Hermione Nymphadora Weasley.
Jenn, yang tampak cukup senang dengan kompartemen yang hanya berisi dua orang anak tahun pertama, langsung membuka pintu kompartemen itu dan berjalan masuk. Aku mengikuti di belakangnya.
"Hey? Ermmm... apa tempat duduk itu kosong? Tidak ada tempat lagi di kompartemen kompartemen lain." kata Jenn, berdiri di ambang pintu. Aku berdiri di sebelahnya, memperhatikan Rose dan anak laki laki yang duduk bersamanya.
Rose, sementara itu, tersenyum dan menganguk pada Jenn, membuat segalanya jelas bahwa tempat duduk di kompartemen itu kosong. Jenn balas tersenyum pada Rose dan kami pun masuk. Aku menutup pintu kompartemen itu dan mempertimbangkan akan duduk di mana.
Jenn duduk di sebelah Rose jadi tampaknya, aku harus duduk di sebelah anak laki laki yang berada dalam kompartemen. Aku, pada akhirnya, duduk di sebelah anak laki laki itu. Jenn tersenyum simpul.
"Oh, ngomong ngomong namaku Rose. Rose Weasley. Dan ini sepupuku Albus Potter." Rose lalu memperkenalkan dirinya sendiri dan anak laki laki yang duduk di sebelahku. Jenn juga mulai memperkenalkan dirinya dan aku.
"Well, aku Jenn, Jenn Nott. Ini sepupuku, Scorpius Malfoy." kata Jenn. Aku menganguk pada Rose dan Albus. Rose tampak mengernyit sedikit.
"Malfoy?" tanya Rose. Aku menganguk.
"Ya, Malfoy. Ada masalah?" aku balas bertanya.
"Dad memperingatkanku tentangmu." kata Rose hati hati.
"Oh..." hanya itu tanggapanku pada pernyataan Rose.
Aku tahu ini akan terjadi, tentu saja! Seseorang akan mendengar hal hal buruk tentang keluargaku dari orangtuanya dan mulai membenciku bahkana sebelum bertemu denganku. Jadi aku memutuskan untuk diam.
Sepanjang sisa perjalanan siang itu kuhabiskan dengan mengobrol dengan Albus yang ternyata merupakan teman bicara yang lumayan. Kami membicarakan Quidditch tentu saja dan asrama sesekali. Albus berulang kali mengatakan: "Aku akan masuk Slytherin! Itu kata James!" dan Rose akan berkata: "Oh, diamlah! Kau harus berhenti mempercayai James! Aku sudah berhenti mempercayainya sejak kita masih lima."
Jenn sendiri tidak terlalu menghiraukanku selama perjalanan. Dia mengobrol dengan Rose. Mereka membicarakan pelajaran pelajaran, sekolah, dan beberapa hal hal lainnya.
Sesekali aku memandang Rose tapi tidak lama hanya sekadar melempar pandang dan berbalik. Rose tidak menyadarinya dan aku tidak berharap dia sadar.
Kereta akhirnya berhenti di Stasiun Hogsmeade. Kami semua turun dari kereta.
Seorang laki laki berbadan raksasa memandu kami, anak anak tahun pertama, menuju semacam danau. Rose dan Albus menyapa pria raksasa itu dengan nama Hagrid. Hagrid itu lalu menyuruh kami naik ke perahu, empat anak dalam satu perahu. Perahu berjalan dan kami sampai di Hogwarts.
Sampai di Hogwarts, kami dimasukkan dalam sebuah ruangan kecil di dekat Aula Depan. Seorang profesor laki laki tua menjelaskan tentang asrama asrama dan Sorting Hat lalu kami digiring ke Aula Besar untuk Sorting Hat. Nama nama dipanggil untuk Sorting Hat. Nama belakang yang disebut dari A sampai Z.
"Malfoy, Scorpius!" disebutkan dan aku maju. Kuambil topi dan duduk lalu memasang topi di kepalaku.
Well, well... Seorang Malfoy... Baik untuk Ravenclaw dan Slytherin... Tapi lebih banyak Slytherin...
Ya, ya, ya...
Sudah tahu masa depanmu rupanya?
Yap! Aku akan menjadi seorang Slytherin.
Baiklah. Kau benar, tapi kau punya keinginan untuk berada di Gryffindor.
Aku tidak ingin berada di Gryffindor.
Kau tak bisa membohongiku. Apa gadis Weasley itu membuatmu tertarik?
Da-dari mana kau...
Aku bisa membaca pikiranmu. Nah, aku sudah membuat keputusan. Takdirmu sudah ditetapkan. Jadi...
"SLYTHERIN!" si topi berteriak dan meja Slytherin bertepuk tangan. Aku berjalan ke sana dan mengambil tempat duduk.
Sorting Hat pun berlanjut...
"Nott, Jennifer!" disebut dan Jenn maju. Dia mengambil topi yang diletakkan di atas kursi kecil dan duduk. Dipakainya topi itu di kepala. Selama beberapa menit, Aula sunyi. Sampai topi meneriakkan: "GRYFFINDOR!". Jenn berjalan tenang menuju meja Gryffindor dan duduk. Wow, guncangan besar bagi keluarganya...
Nama nama dipanggil lagi sampai ke huruf P.
"Potter, Albus!" Albus berjalan ke depan, duduk di kursi, dan memakai topi. Banyak anak berbisik bisik di antara sesamanya sementara Albus duduk di sana. Topi dan Albus tetap di sana selama kira kira lima belas menit sampai si topi membuka mulutnya. "SLYTHERIN!" teriak si topi.
Semua orang langsung diam selama beberapa detik sampai meja Slytherin meledak dengan tepuk tangan. Aku ikut bertepuk tangan dan menyambut Albus di meja Slytherin, dia kelihatan lebih tenang. Kami lalu menyisir meja Gryffindor dan melihat beberapa orang berambut merah dan coklat yang tampak kaget bercampur marah. Aku tertawa kecil dan kembali fokus dalam Sorting Hat.
"Weasley, Rose!" adalah yang terakhir untuk diseleksi. Rose berjalan maju dan melakukan hal yang dilakukan oleh semua anak. Topi diam selama beberapa menit dan Rose juga duduk dengan tenang. Sampai tiba tiba si topi berteriak keras dan lantang. "GRYFFINDOR!"
Meja Gryffindor meledak dengan tepuk tangan dan teriakan senang. Rose berjalan dengan anggun ke meja Gryffindor dan langsung mendapat pelukan dari sepupu sepupunya. Mereka mengerumuninya dan tertawa tawa. Mereka benar benar berisik.
"Mereka akan membenciku..." Al bergumam. Aku tidak memperhatikan.
Aku berharap bisa satu asrama dengan Jenn, Albus, dan terlebih lagi Rose. Tapi ternyata tidak. Aku dan Al di Slytherin sementara Rose dan Jenn di Gryffindor.
Dan kurasa sejak itulah, aku mulai memperhatikan Rose Hermione Nymphadora Weasley dan entah bagaimana aku mulai menyukainya.
Aku sedang memandangi Rose dari meja Slytherin ketika dia berbalik. Mata kami bertemu selama beberapa saat. Mata biru beningnya bertemu dengan mata abu abu kebiruanku. Aku memandang mata birunya cukup lama untuk membuatku sadar bahwa aku tidak boleh ketahuan memandangnya. Aku mengalihkan pandanganku dari Rose.
Tapi sialnya, tanganku tanpa sengaja menyenggol piala emasku yang berisi jus labu dingin. Sebelum sempat kuraih, piala itu sudah jatuh ke lantai. Isinya mencipratiku dan Al yang duduk di sebelahku. Isinya juga tumpah berceceran di lantai.
Albus menoleh karena kecipratan jus labu dingin. Jubah hitam Slytherin-nya basah terkena jus labu. Dia menatapku dengan kesal, tapi dia memungut piala yang tak sengaja kujatuhkan itu dari lantai. Aku meminta maaf padanya dan langsung mengeluarkan tongkatku.
Aku langsung mengucapkan Mantra Pembersih yang kupelajari di tahun pertama dan dalam sekali lambaian tongkatku, tumpahan jus labu itu menghilang dan tak meninggalkan bekas. Al meletakan piala emas yang agak penyok di atas meja dan memperbaikinya.
"Kau memperhatikan Rosie lagi?" tanya Albus sambil memperbaiki pialaku dan mengisisnya dengan jus labu dingin lagi. Disodorkannya piala itu padaku. Aku meminum jus labu dingin itu dan tidak menjawab pertanyaan Al. Aku berpura pura tertarik pada kentang tumbuk.
"Well, kalau kau masih menyukai Rose, kau harus mengajaknya ke Yule Ball Natal ini atau ke Hogsmeade, bagaimana?" Albus melanjutkan omongannya tanpa mempedulikan sikap diamku. Aku kembali makan kentang tumbukku dan tidak mempedulikannya. Al yang kelihatannya tidak menyadari sikap diamku masih terus berbicara tentang aku dan Rose.
"Well, meskipun aku lebih suka Rose dengan Lorcan, tapi kau juga lumayan." Al berbicara. Tapi sebelum dia bicara lebih banyak, aku memotongnya.
"Al, diam. Tolong. Tidak perlu menceramahiku." kataku memotong ucapan Al dengan kasar. Albus menoleh dengan kesal.
" Malfoy, sudah berapa lama kau menyukai sepupuku, Rosie? Enam tahun, kan! Dan selama enam tahun, yang kau lakukan malah berusaha menyainginya dalam pelajaran dan Quidditch." kata Albus setengah berteriak. Untung saja tidak ada yang mendengarkan kata kata yang baru saja diucapkannya. Ya, semua yang dikatakan Albus memang benar. Aku menyukai Rose Weasley selama enam tahun dan selama itu yang kulakukan hanyalah menyainginya.
Tahun lalu, ketika kami harus menjalani OWL, kami berdua sama sama mendapat O dalam semua mata pelajaran yang kami ambil. Rose agak marah karena disaingi dan selama beberapa hari, aku mendapat serangan pie ginjal.
Lalu, ketika Slytherin memenangkan pertandingan melawan Gryffindor tahun lalu, Rose menyihir bola bola salju yang sudah dicampurnya dengan lumpur untuk terbang dan mengenai kepala pemain pemain Slytherin. Al bahkan terkena bola bola salju itu juga.
Selain itu, Rose membenciku, sangat membenciku.
"Malfoy, kau melamun. Lagi." suara Al langsung membuyarkanku dari lamunanku. Aku langsung duduk tegak dan menatap kentang tumbukku yang sudah berubah menjadi bubur kentang.
"Ada apa, Al?" tanyaku, bingung karena aku tidak mendengarkan Al sedikit pun.
"Sudahlah." jawab Al singkat. Dia kembali memakan puding cokelatnya (di bagian ini aku baru sadar bahwa puding sudah dihidangkan) dan mengobrol dengan Jane Zabini, mantan pacarnya dan partner Prefek-ku.
Aku sendiri kembali melanjutkan makan malamku, kentang tumbuk dengan ayam panggang dengan saus barbeque. Selesai dengan makananku, aku mengambil puding cokelat dengan vla dan mulai memakannya. Aku menghabiskan pudingku dengan cepat, tepat sebelum McGonagall bangkit dari kursinya.
"Waktunya tidur! Prefek, bawa anak anak tahun pertama ke asrama!" kata McGonagall.
Aku bangkit dari kursiku karena aku punya tugas Prefek yang biasa, aku harus membawa anak anak kelas satu ke asrama Slytherin. Mereka mungkin akan tersesat kalau tidak dibimbing.
"Anak anak kelas satu, ikuti aku!" seruku. Jane Zabini juga ikut membantuku memanggil anak anak kelas satu. Dan setelah kami yakin tidak ada anak kelas satu yang tertinggal di Aula Besar, kami mulai berjalan menuju asrama Slytherin.
Aku dan Jane Zabini berjalan di depan, memimpin anak anak tahun pertama. Sesekali, kami menjelaskan beberapa hal seperti tangga yang bisa bergerak, letak tangga tipuan, dan kelas kelas. Beberapa murid kelas satu menganguk sementara yang lain mengagumi Hogwarts.
"Kalian harus menghafal semuanya, mulai dari jalan ke asrama, ke kelas kelas, ke Aula Besar. Tapi jangan khawatir, dalam waktu beberapa bulan, kalian pasti sudah hafal." kataku, memberi sedikit penjelasan.
Jane menambahi dengan peraturan peraturan seperti tidak boleh keluar dari asrama setelah jam malam, pengurangan angka, dan lain lain. Aku menambahi sedikit sedikit dan dalam waktu beberapa menit, anak anak tahun pertama sudah mulai paham. Semoga saja mereka bisa membuat Slytherin memenangkan piala asrama.
Sementara itu, kami sudah sampai di tangga menuju Lantai Bawah Tanah, tempat asrama Slytherin dan Hufflepuff berada juga dapur. Jane memberitahu apa saja yang ada di lantai bawah tanah dan bahwa lantai bawah tanah dulunya berisi penjara. Beberapa anak tahun pertama bergidik ngeri. Mungkin merekan membayangkan jeruji jeruji besi sebagai kelambu tempat tidur mereka.
Aku, Jane, dan anak anak kelas satu pun turun ke bawah dan berjalan lurus menuju asrama. Kami berbelok ke kiri dan menghadapi sebuah tembok. Aku dan Jane berputar untuk menghadap anak anak tahun pertama.
"Nah, jadi di sini, kalian harus menyebutkan kata kunci. Kata kunci ini sangat rahasia, jangan beritahu anak asrama lain." Jane menjelaskan. Aku menganguk, mengiyakan kata kata Jane. Kami lalu berbalik lagi ke arah tembok.
"Kata kunci?" terdengar suara dari tembok. Seorang anak kelas satu terlonjak kaget, beberapa tampak ketakutan. Aku tertawa.
"Telinga Terjulur." ucapku santai. Tembok itu langsung membuka sendiri. Batu bata batu bata yang menyususnnnya menyingkir membentuk sebuah pintu besar. Kami semua lalu masuk ke dalam Ruang Rekreasi Slytherin yang bernuansa hijau dan perak.
Sebuah karpet hias yang dipasang di atas perapian menampilkan seekor ular perak besar bermata hijau. Perapian marmer di bawahnya menyala. Karpet karpet hijau bertebaran di lantai. Sofa sofa hijau dan perak berjajar dengan rapi. Meja tulis meja tulis berada di pinggir. Sebuah rak buku berdiri di dekat jendela, yang menampakan pemandangan bawah danau. Si cumi cumi raksasa melongok ke dalam jendela. Ah, 'Home Sweet Home'.
Aku mengambil tempat duduk di sebuah sofa hijau yang berada dekat jendela dan tak lama kemudian, Al datang. Dia tersenyum seakan membawa kabar baik saja.
"Hey, Malfoy!" panggil Albus yang sudah duduk di sofa sebelah. Dia nyengir. Aku menoleh dan mengangkat alisku. Apa lagi ini? Ceramah lain?
"Kau harus memberikan lima Galleon untuk ini, Scorp. Rose baru saja putus dari Lorcan Scamander. Aku dengar dari Jenn." kata Albus. Aku menatapnya, kaget sekaligus senang. Dia akan mendapatkan lima Galleon untuk hal ini.
"Kau serius? Ini bukan lelucon?" tanyaku, waspada. Al sering melakukan lelucon pada orang orang. Tapi kali ini Al kelihatan serius.
"Aku serius. Mereka putus saat liburan." jawab Al. Aku tersenyum kecil. Ini berita bagus.
Lorcan Scamander adalah pacar Rose sejak tahun kelima. Si Scamander ini lebih muda setahun dari Rose ("Lorcan lahir di tahun yang sama denganku. Hanya bulannya yang membuatnya berada satu tahun di bawah." kata Rose). Kabar bahwa mereka putus adalah kabar baik bagiku.
"Sebab mereka putus menurut Jenn (Jenn biasanya tidak akurat dalam soal sebab) adalah karena Rose tahu Lily menyukai Lorcan." kata Albus. "Yang sebetulnya kurasa aneh adalah Rose merelakan Lorcan padahal dia tahu Lily menyukai banyak laki-laki."
"Sebentar, Lily Potter, adikmu? Menyukai Lorcan Scamander?" tanyaku kaget. Aku tidak tahu Lily Potter menyukai Scamander. Aku memang sering mendengar bahwa Lily Potter menyukai banyak laki-laki tapi tidak pernah mendengarnya menyukai Lorcan.
"Well, kenyataannya begitu. Lil menyukai tipe orang yang seperti Lorcan. Rata rata laki laki yang disukai Lil sama sama memiliki rambut pirang platina atau hitam atau coklat, mata abu abu atau biru, dan terlihat baik." jawab Albus tenang, seolah olah dia membicarakan adik orang lain.
Al sendiri sekarang sudah mulai membuka bungkus cokelat Muggle yang sudah pasti dibelinya di Sugar and Honey di Diagon Alley atau diberikan padanya oleh Rose. Al menawariku satu tapi aku menolak. Terlalu banyak permen itu tidak baik. Al hanya mengedikkan bahu dan memakan cokelat Muggle-nya.
"Mate, apa kau pikir kau saja yang terkenal di Hogwarts? Ada banyak anak laki-laki di sini. Kau hanya satu dari sekian banyak." kata Albus terang terangan. Dia memandangku seperti biasa kalau aku merasa terkenal dan mulai agak arogan (arogan ada dalam darah Malfoy, jangan salahkan aku karena bersikap arogan).
"Albus Severus Potter, aku tahu ada banyak anak laki-laki di sini. Aku tidak searogan itu, Potter." balasku. Aku lalu bangun dari sofa dan berjalan menuju kamar asramaku.
Sebenarnya ini bukan kamar yang hanya kuhuni, tapi aku sering menganggapnya begitu. Kamar asrama ini kutempati bersama lima anak lainnya: Al, Roland Howe, Dean Stark, Theodore Pucey, dan Paul Zabini. Kami sudah menghuni kamar ini sejak tahun pertama kami. Jadi kami sudah terbiasa di sini.
Kamar ini berisi enam ranjang hijau berkelambu hijau juga. Bantal dan selimutnya dilapisi sutra hijau. Karpet hijau dan perak terhampar di lantainya. Enam buah lemari mahoni besar berdiri di sisi masing masing tempat tidur. Meja meja kecil juga berdiri di samping masing masing tempat tidur. Di atasnya, diletakkan lampu meja perak dan teko air serta gelasnya yang terbuat dari kristal. Tembok kamar ini ditutupi oleh lukisan lukisan menarik. Ada yang menggambarkan perang di Hogwarts dan ada juga yang menggambarkan beberapa anak Slytherin yang duduk di atas singgasana.
Koperku dan koper anak anak lain sudah ada di dalam kamar, tergeletak di sampai ranjang. Peri-rumah pasti sudah memindahkannya dari kereta. Aku berjalan menuju ranjangku dan duduk di atas karpet. Tanganku membuka koper kayu berukir inisial namaku, SHM. Aku lalu mengeluarkan buku Sejarah Hogwarts (Membahas Legenda dan Cerita Cerita Hogwarts) yang diberikan oleh Dad ketika aku menerima surat penerimaan masuk Hogwarts-ku.
Dad bilang: "Kau harus tahu bahwa kau tidak bisa ber-Apparate atau ber-disApparate dari atau ke dalam Hogwarts. Kau juga harus tahu bahwa dari luar bagi Muggle Hogwarts terlihat seperti kastil terlantar dengan larangan untuk masuk."
Aku tidak terlalu mengerti kenapa dia berkeras aku harus membaca buku ini, tapi akau cukup menyukainya. Godric Gryffindor, Helga Hufflepuff, Rowena Ravenclaw, dan Salazar Slytherin. Ya, aku menyukai buku ini.
Aku memandang cover buku ini dan tersenyum. Lambang Hogwarts terpampang di sana dengan hewan hewannya yang bergerak. Aku lalu membuka buku itu sampai ke bagian The Battle of Hogwarts yang kutandai dengan pembatas buku.
Bagian ini adalah bagian favoritku karena di bagian inilah Voldemort mati. Bagian ini seperti lembaran baru bagi Dunia Sihir. Lepas dari teror Voldemort dan Pelahap Maut dan punya kesempatan untuk mengulang segalanya.
Kubaca bagian itu dan aku tersenyum. Bagian ini benar benar menyenangkan.
Harry Potter berhasil mengalahkan Lord Voldemort dengan Mantra Expelliarmus dan Voldemort pun mati. Kita semua tahu ini adalah awal yang baik. Kejatuhan Voldemort untuk selama lamanya, hal yang sangat perlu dirayakan oleh kita semua karena hari itu, kita lepas dari cengkraman Sihir Hitam.
Aku menyukai akhirnya. Penulis buku ini tahu cara mengakhiri sebuah buku. Kumasukkan kembali buku Sejarah Hogwarts (Membahas Legenda dan Cerita Cerita Hogwarts) itu ke dalam koperku.
Aku lalu berbaring di tempat tidurku dan tertidur.
Aku terbangun dari tidurku karena rasa lapar. Makanan makanan di Pesta Awal Tahun Ajaran memang tidak pernah membuat kenyang. Para peri-rumah terlalu mementingkan menyediakan makanan daripada nutrisi yang terkandung di dalamnya (Merlin, aku kedengaran seperti Mum...). Aku menatap sekelilingku.
Yang ada di sekelilingku hanya tempat tempat tidur berisi anak laki-laki teman sekamarku. Semua tempat tidur di sekelilingku berisi lima anak laki-laki yang masih tertidur.
Aku lalu menatap jam yang ada di meja kecil di sebelah tempat tidurku, mencoba menebak jam berapa sekarang.
Jam dua belas malam. Tidak ada yang bangun jam dua belas kecuali Prefek yang bertugas. Kalau aku pergi ke dapur sekarang, mungkin tidak akan ada yang tahu.
Jadi, kusambar mantelku dan kupakai dengan cepat. Aku lalu berjalan keluar dari kamar asrama dan langsung berhadapan dengan Ruang Rekreasi yang berwarna serba hijau dan perak. Ruang Rekreasi kosong melompong. Semua orang sudah pergi ke kamar masing masing untuk tidur.
Aku lalu berjalan menuju pintu dan membukanya. Udara dingin langsung menepaku sementara aku berjalan keluar dari Asrama. Aku lalu berjalan terus sampai menemui sebuah lukisan buah buahan.
Di lukisan itu ada buah pir yang bisa digelitik, kukelitiki buah pir itu. Lukisan itu lalu tertawa geli sedikit dan mengayun terbuka untuk menampakkan dapur putih yang terang benderang. Aku memanjat lubang lukisan buah buahan itu dan masuk ke dalam dapur. Aku tidak melihat satu peri-rumah pun di sana yang tidak mengherankan (Hermione Granger dan peraturannya mengatakan bahwa jam kerja peri-rumah adalah dari jam empat pagi sampai sepuluh malam, tentu saja tetap ada pelanggaran jam kerja peri-rumah di mana mana). Aku akhirnya memutuskan untuk pergi ke pantry.
Pantry adalah semacam bar kecil yang ada di dapur, dikhususkan untuk anak murid dan terkadang, kau bisa menemukan satu dua peri-rumah di sana. Peri-rumah yang selalu ada di sana biasanya Winky atau Bloom. Sangat menyenangkan berada di sana.
Sesampainya di pantry, aku menyadari ada orang di sana. Orang itu sepertinya perempuan dengan rambut merah gelap yang panjang. Aku berjalan mendekat dan menyadari bahwa orang itu adalah Rose Weasley.
"Apa yang kau lakukan di dapur pada jam dua belas malam, Weasley?" tanyaku dari kiri Rpse. Rose langsung menoleh, lebih karena refleks. Rose langsung melihatku tentu saja dan dia mengangkat alisnya.
"Aku hanya makan makanan kecil, Malfoy. Apa yang kau lakukan di dapur pada jam dua belas malam, Malfoy?" Rose balik bertanya, meniru pertanyaanku.
"Lapar." jawabku singkat. Rose menganguk dan aku duduk di kursi di sebelah Rose.
"Jadi, Weasley, bagaimana kabar klanmu?"
"Seperti biasa."
"Oh ya, kau lihat Bloom atau Winky?" Pertanyaanku jelas menimbulkan sedikit rasa kesal pad Rose.
"Hukum perlindungan peri-rumah nomor tujuh tentang jam kerja peri-rumah. 'Peri-rumah peri-rumah sama halnya dengan manusia memerlukan jam kerja yang memberi mereka waktu untuk beristirahat. Oleh karena itu ditetapkanlah jam kerja untuk peri-rumah. Mereka bekerja dari pukul empat pagi sampai dengan sepuluh malam. Bila mana ditemui pelanggaran, pelanggar akan didenda 75 Galleon emas.'" jawab Rose mengulangi bunyi hukum peri-rumah yang dibuat oleh ibunya.
"Aku tahu tentang hukum itu, Weasley." kataku santai. Kuambil sepotong roti yang ada di atas meja dan memakannya.
"Malfoy, kau memakan rotiku."
"Kau bisa mengambil yang baru, Weasley."
"Aku mau rotiku kembali."
"Dengan cara apa?"
"Terserah yang penting kembalikan rotiku..."
"Well, Weasley, bagaimana caranya?"
"Aku tidak peduli bagaimana caranya! Kembalikan rotiku."
Aku berpikir sebentar. Roti Rose masih kukunyah. Mungkin aku bisa sedikit mengagetkannya. Kudekatkan wajahku ke wajahnya dan dalam sekejab harum bunga mawar tercium oleh hidungku. Aku semakin mendekat dan Rose tidak bereaksi, mungkin agak terkejut dengan gerakanku. Bibir kami tinggal berjarak beberapa senti lagi. Kutelan rotinya dan kucium Rose.
Bibirnya terasa manis seperti madu dan bibirnya juga terasa hangat. Bibir lembut itu benar benar membuatku menginginkan lebih. Kupejamkan mataku dan kuletakan tanganku di pinggang Rose, masih tidak ada reaksi. Akhirnya kuperdalam ciumanku. Bibir kami bertautan dan kuberanikan diriku untuk membuka mataku sedikit.
Mata Rose tertutup rapat seakan dia mau merekam kejadian ini di benaknya untuk selamanya. Pipinya memerah. Tapi, Rose tidak membalas ciumanku. Setahuku ini bukan ciuman pertamanya. Dia sudah pernah berciuman dengan beberapa laki-laki sebelumnya, mungkin karena aku yang menciumnya.
Kesadaran itu menghantamku. Aku tidak boleh menciumnya! Aku tidak boleh menyentuhnya. Cepat cepat kuputus ciuman kami dan mata Rose langsung terbuka. Pipikunya memerah lebih dari tadi.
"Ma-Malfoy, aku harus pergi." dan dengan itu dia meninggalkanku sendirian dengan pikiran yang kacau...
Taraa... Chapter kedua (khusus untuk Valentine)! Di cerita yang rewritten ini, Eve sengaja mengubah beberapa hal. Review dong sebagai tanggapan kalian!
Nah, skarang waktunya membalas review!
lunar = thanks untuk reviewnya! ini lanjutannya!
My lovely = salam kenal juga! Eve memang berencana Rose tetap suka musik, kok. tenang aja!
rosejean = ini updatenya! untuk soal berapa chap, Eve masih belum tahu... hehehe
So, give me reviews please. :)))