Disclaimer : Naruto and all the characters mentioned in the story they're all belongs to Masashi Kishimoto. I do not take any financial benefits from this.


My Personal Assistant

[ You annoy me more than I ever thought possible, but I want to spend every irritating minute with you ]


"Hari ini aku akan bermalas-malasan total," ucapnya memeluk guling, sambil memejamkan mata.

Namanya Uzumaki Naruto. Iris mata berwarna biru, rambut pirang, badan tinggi dan tegap, serta kulit tan miliknya, membuat pria berusia 22 tahun itu didambakan oleh para wanita dan pria juga tentunya, apalagi mengingat posisinya sebagai seorang pewaris tunggal salah satu perusahaan gadget yang sudah mendunia, yaitu Namikaze Corp.

Banyak orang mengatakan jika kehidupan miliknya adalah lambang kesempurnaan, meskipun jika boleh jujur, Naruto, tidak merasa demikian.

Sejak kecil ayah dan ibunya bekerja keras untuk membangun Namikaze Corp. Dan tentu saja, melupakan arti sesungguhnya dari sebuah keluarga.

45 menit terlewati begitu saja, dan Naruto mencoba membuka matanya perlahan saat perutnya mulai berbunyi tanda lapar.

Dengan malas ia melangkah ke kamar mandi. Berteriak sesekali saat air yang mengguyur tubuhnya bersuhu 28°C. Setelah itu kembali ke kasur dan merebahkan tubuhnya, masih dengan rambut pirang acak-acakan yang sedikit basah, dan parfum beraroma citrus kesukaannya yang belum kering di bajunya, tidak lupa juga ia membawa secangkir kopi hitam di tangan kiri, dan remot televisi di tangan kanan.

Menonton berita pagi di hari minggu bukan kesukaannya, ia lebih menyukai saluran olahraga atau kartun, tetapi semua orang dewasa menonton berita, dan ia juga ingin terlihat keren. Lagipula waktu yang ia miliki untuk bersantai ini tidak akan lama lagi, hanya terhitung beberapa bulan sebelum Minato memanggilnya untuk memberikan jabatan CEO kepadanya.

Asik menyeruput kopi dari cangkir oranye, tiba-tiba ia dikagetkan oleh dering ponsel miliknya di atas meja.

Tidak mengulur waktu, iris birunya membaca beberapa pesan singkat dari Kushina yang dipenuhi kalimat peringatan 'jangan membuatnya marah.' Berulang kali.

Setelah itu, sambil bersiul, dan tersenyum lebar ia melangkah menuju ruang tamu, bersamaan dengan bel pintu utama yang berbunyi.

"Tidak salah lagi, itu pasti dia," ucap Naruto kegirangan. Berjalan dengan cepat menuju pintu —terlihat hampir berlari—, tetapi saat pintu terbuka, senyuman lebar di bibirnya perlahan menghilang.

"Uchiha Sasuke. aku adalah asisten pribadimu yang baru," ujar pria itu.

Naruto hanya diam karena ia tidak mengerti. Iris birunya terpaku memandangi sosok asing di hadapannya. Kulit pucat, surai hitam yang senada dengan iris matanya, dan badan kekar tinggi setara dengannya.

Dilihat beberapa kali pun sosok di hadapannya bukanlah seorang wanita.

"Apa Kushina tidak memberitahumu, aku ini laki-laki, Dobe?" tanya Sasuke, melangkah melalui pintu, menerobos tubuh si pirang tanpa dipersilahkan.

Naruto menggeleng, melangkah pelan mengikuti dari arah belakang. "Dia hanya mengatakan jika hari ini asisten baruku akan datang," ada jeda sesaat, "dan jangan panggil aku, Dobe, Teme. Kau ini bekerja untukku mulai dari sekarang."

"Hn, ... Dobe," sahut Sasuke menyeringai.

"Teme, aku bisa saja membuatmu kehilangan pekerjaan hari ini juga," ancam Naruto. "Jadi panggil aku Naruto. N-A-R-U-T-O. Naruto, mengerti?"

"Hn, ... Dobe," sahut Sasuke tidak peduli, sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan.

Dan Naruto hanya bisa menghela napas dengan pasrah, menerima julukannya yang baru.

"Kau sudah lama tinggal di sini?"

"Huh? Tentu saja. 9 tahun yang lalu, saat usiaku menginjak 13 tahun, ayah memberiku rumah ini sebagai hadiah," sahut Naruto.

"Sendirian? Hebat sekali," tukas Sasuke.

"Tidak," ada jeda sesaat, "aku tinggal di sini bersama seseorang. Uh ... dia asisten sama sepertimu. Hanya saja sudah kuanggap seperti keluargaku sendiri, tetapii sayang, 2 tahun terakhir kesehatannya menurun."

"Jadi karena itu Kushina memintaku menggantikannya," ujar Sasuke, "tipe sepertimu yang memiliki semuanya dengan mudah, memang berbeda."

Naruto memilih untuk tidak merespon. Ia hanya diam, dan menghela nafas panjang, karena sepertinya mendapatkan asisten baru yang sangat menyebalkan untuk waktu yang tidak sebentar hanya akan menguras energinya percuma jika ia tidak berhati-hati.

"Terlalu banyak debu di rumah ini, aku salut saluran pernapasaanmu tidak terganggu," ujar Sasuke menyentuh tumpukan debu pada punggung sofa dengan jemarinya.

Tidak menghiraukan, Naruto menyamankan tubuhnya di atas sofa. "Berapa umurmu, Teme?"

"Apa itu penting?" ada jeda sesaat, "27."

"Whoa ... apa aku tidak salah dengar, Teme? Kau bahkan terlihat sama denganku!"

"Aku tahu kau kagum, tetapi berhenti menatapku dengan tatapan mesum seperti itu, Dobe," ujar Sasuke datar.

Naruto mendengus. "Apa kau pikir aku tidak normal?"

Sasuke merespon dengan tertawa, lalu melangkah menjauhi Naruto. "Di mana dapurnya?"

Bukan jawaban yang Sasuke dapatkan, tetapi tarikan kencang di tangan kirinya.

"Hey! Apa yg kau lakukan?! Berhenti menarik tanganku!"

Seakan tidak mendengar penolakan dari Sasuke, Naruto tetap berjalan, dan menyeretnya ke sebuah ruangan.

"Ini dapurnya, Teme!"

Tangannya ditepis kasar oleh Sasuke, tahu jika pria bersurai hitam itu kesal karena ulahnya, ia memilih untuk melangkah mendekati lemari pendingin dan mengambil segelas jus jeruk untuk menyegarkan tenggorokannya yang terasa kering.

"Apa kau bisa pergi sekarang?"

"Huh? Memangnya kenapa? Apa ... hey, Teme, kau sakit? Kenapa wajahmu sangat merah?"

"Aku tidak apa-apa, lagipula itu bukan urusanmu," sahut Sasuke dingin.

"Baiklah, terserahmu saja. Aku ada di kamar, kau bisa menemuiku jika membutuhkan sesuatu." Naruto tersenyum lembut, ia menepuk pundak Sasuke pelan sebelum meninggalkan dapur.

"Aku tahu ini gila, tetapi aku tidak keberatan jika punya kekasih seperti Sasuke, meskipun itu berarti predikat gay akan menempel padaku," batin Naruto dalam hati sambil tersenyum lebar.

.

Iris hitamnya menatap tajam ke arah si pirang yang tertidur pulas di atas kasur.

Entah suaranya terlalu pelan, atau Naruto memang pemalas, ia tidak tahu.

"Dobe ... Oi, Dobe ... Naruto!"

Kesal, ia menarik paksa selimut oranye itu hingga si pirang tersungkur di lantai.

"APA-APAAN KAU ... TEME?!" bentak Naruto, menahan nyeri luar biasa di wajahnya.

"Kau tuli, huh, Dobe?"

Naruto tidak lagi merespon. Ia mencengkram kerah baju Sasuke, mendorongnya ke tembok, lalu menghimpit dengan kedua tangan besarnya.

Bahkan jarak bibir mereka tidak lebih dari 5 senti.

"Dengar Sasuke, aku paling tidak suka jika tidurku diganggu, apalagi dengan orang baru sepertimu!"

Sasuke hanya diam, iris hitamnya menatap Naruto datar seakan tidak menunjukan rasa takut.

"Maaf." Sadar akan posisi mereka yang sedikit aneh Naruto segera melepaskan cengkraman tangannya, tetapi Sasuke masih diam.

"Ini bukan salahmu, A-aku ... terbawa emosi," tukas Naruto, berniat untuk meninggalkan Sasuke, tetapi belum sempat jemarinya menyentuh knop pintu, tarikan di bahu kiri membuatnya menoleh.

"Huh? ... S-Sasuke?"

Bukannya mendapat respon yang ia inginkan, Sasuke memberinya bogem mentah tepat di rahang sebelah kanan.

"Sudah sewajarnya kau meminta maaf atas ulahmu, dan jika sekali lagi kau menyentuhku, aku tidak akan segan untuk membunuhmu, Naruto," acam Sasuke.

Naruto mengernyit, menyentuh tempat di wajahnya yang terasa ngilu dan menyeka darah segar dari sudut bibirnya sambil tertawa lirih. "Tsk ... hari pertamamu kerja, dan aku sudah memperlakukanmu dengan kasar," ada jeda sesaat, "maaf ... aku minta maaf sudah memperlakukanmu seperti itu."

Iris hitam si Uchiha yang menatap tajam, perlahan melembut melihat kondisi si pirang di hadapannya yang duduk di lantai sambil menyentuh wajahnya.

"Diam di sini dan jangan bergerak."

Naruto hanya melirik, dan mengusap tempat di wajahnya yang berwarna kemerahan, meskipun sejujurnya ia ingin tahu apa yang akan dilakukan Sasuke.

"Perlihatkan wajahmu."

"Huh?" ada jeda sesaat, "mau kau apakan benda-benda itu, Teme?" tanya Naruto, saat ia melihat Sasuke kembali dari luar ruangan membawa kotak berwarna hitam berisikan obat-obatan.

Sasuke tidak menjawab.

"Whoa!" teriak Naruto saat wajahnya ditarik paksa dengan kedua tangan pucat bersuhu dingin itu. "Wow, Teme ... apa kau tidak bisa bersikap sedikit lembut terhadapku?"

"Hn," gumamnya datar, selagi mengobati pipi Naruto yang mulai membengkak.

Wajah Naruto sedikit bersemu. "Kau tidak perlu melakukan hal ini, aku tidak akan memecatmu hanya karena hal sepele seperti ini."

"Sebelum kau memecatku, aku akan memecat diriku sendiri, Dobe. Jadi kau tidak perlu khawatir akan hal itu," sahut Sasuke.

Naruto tertawa, ia melirik ke arah si Uchiha di sebelahnya sebelum mengangguk pelan. "Baiklah, terserahmu saja," ujarnya, "setelah ini, buatkan aku makan siang."

"Hn, bos."

Dan mendengar Sasuke memanggilnya dengan julukan 'bos', Naruto hanya bisa tersenyum malu.

.

Keduanya terlihat bersantai setelah makan siang. Naruto menyamankan tubuhnya di atas kasur, sedangkan Sasuke sibuk menata ulang ratusan buku dalam lemari.

Sesekali iris biru itu melirik ke arah Sasuke, memperhatikannya diam-diam dari arah belakang.

"Teme," panggilnya. Namun tidak mendapat respon. "Sasuke."

Kali ini pria bersurai hitam itu menoleh, tetapi raut wajahnya tampak tidak senang.

"Diam sebelum aku menjahit bibirmu."

"Ayolah, Teme. Hanya beberapa pertanyaan," rengek si pirang.

Sasuke menyerah, ia meletakan buku tebal bersampul emas dari tangannya, lalu menatap lurus ke arah Naruto. "Apa yang kau mau tanyakan padaku?"

Naruto tersenyum puas. "Kenapa kau memilih pekerjaan seperti ini?"

"Aku hanya tidak mau jadi rebutan para wanita," sahut Sasuke cepat yang ditanggapi, Naruto dengan mendengus malas.

"Sombong sekali kau, Teme."

Sasuke tidak merespon, meskipun ia masih menatap ke arah Naruto seakan menunggu pertanyaan selanjutnya untuk dilontarkan.

"Apa ... kau punya kekasih?"

Butuh waktu beberapa detik bagi Sasuke sebelum ia membuka mulutnya tanpa ragu. "Aku tidak punya, dan lagi aku tidak menyukai mereka."

"Kau ... kau apa, Teme?" tegas Naruto mendudukkan dirinya di atas kasur.

"Kau bodoh, atau tuli huh? Aku tidak suka wanita, Aku gay, Dobe," ulang Sasuke.

Naruto hanya bisa diam, dan memandangi Sasuke, meskipun jauh di lubuk hatinya entah mengapa ia merasa senang.

"Apa kau kaget mendengarnya?"

"Aku bukan tipe yang seperti itu, Sasuke," sahut Naruto.

Sasuke mendengus.

"Bersikaplah lebih ramah, kau tidak akan memiliki pasangan dengan sifatmu yang seperti ini."

Sasuke hanya memutar matanya malas.

"Aku tahu ini gila, aku bahkan mengucapkan kata itu berulang kali di kepalaku, tetapi kalau kau mau, aku bisa menjadi kekasihmu," ujar Naruto.

"Hentikan omong kosongmu, Dobe."

Si pirang menggaruk kepalanya. "Aku memang belum pernah berkencan dengan seorang pria sebelummya, tetapi saat pertama kali melihatmu sepertinya," ada jeda sesaat, "aku tidak masalah lagi dengan hal itu."

"Kau mungkin memiliki segalanya, uang, orangtua yang hebat, dan kehidupan yang sangat menyenangkan. Apa pun yang kau inginkan, dalam sekejap pasti kau akan mendapatnya, tetapi aku tidak peduli dengan hal itu. Kau kutolak," jawab Sasuke mentah-mentah meninggalkan Naruto sendirian yang saat ini tidak lepas menatapnya terkejut dari arah belakang.

.

Continued