PS : Haemolacria ( Menangis Darah ). Haemolacria adalah kondisi fisik yang menyebabkan seseorang untuk memproduksi air mata yang sebagian terdiri dari darah ketika menangis. Pokoknya kasihan sekali yang mengidap penyakit langka seperti ini. Mereka mudah sekali terkena anemia akut lantaran jika sudah menangis, darah yang keluar itu tidak tanggung-tanggung. Tapi terkadang, efek Haemolacria berbeda-beda setiap orangnya. Dan di sini, saya membuat Seiryuuto makin sengsara dengan penyakit ini. Hoho~ #Taboked


"Arigatou, Baa-chan!" Seiryuuto menjeritkan rasa terimakasihnya seiring dengan tubuhnya yang meluncur jauh lebih cepat ke arah gerbang dengan sebuah skteboard miliknya. Seiryuuto memiliki hobi lain selain bermain basket dan belajar. Yaitu adalah skateboard.

"Maafkan saya, Seijuuro-sama..." wanita tua itu berkata setelah kepergian Seiryuuto. Air mata mulai turun untuk menganak sungai pada pipinya yang sudah memiliki kerutan. "Saya telah membimbing Seiryuuto-sama untuk mengetahui kebenaran yang sebenarnya..."


Disclaimer :

Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki

Winter Heart © Mizuno Yozora

Rated : T+

Warning : AU, BL, YAOI, MxM, M-PREG, OOC SEKALI!, TYPO(s), OC!AkaKuro's Child

.

:: Chapter 4 ::

"Haemolacria – Penyebab Seiryuuto tidak ingin menangis."


Tentu saja aku mencintai Okaa-sama.

Tentu saja aku menyayangi Otou-sama.

Tentu saja...

Sebagai seorang anak, aku memang harus melakukannya...


Kota Tokyo itu semakin diselimuti oleh warna putih. Rintik salju mulai mewarnai hari yang masih berada di tengah siang ini. Suhu kota semakin menurun. Langit yang tadinya cerah, kini telah beralih warna menjadi sendu. Suasana benar-benar menunjukkan jika sekarang ini bukanlah waktu yang tepat untuk berkelana keluar rumah. Tapi, seorang bocah kecil berumur 7 tahun dengan zodiak capricorn itu tetap melajukan skateboard miliknya dengan kencang. Menerobos beberapa pejalan kaki yang tergolong sepi di sekitar trotoar jalan.

Hembusan angin yang cukup kencang membuat rambut merah dengan poninya yang panjang itu berkibar-kibar. Beberapa kali Seiryuuto kita ini harus mengerjap-ngerjapkan mata yang selalu tertusuk surainya sendiri. Seiryuuto dongkol dalam hati. 'Mungkin, aku harus segera memangkas rambutku seperti model rambut Otou-sama'.

Bagaimana tidak dongkol? Jika sudah setengah jam lamanya bocah kecil itu berkeliling-keliling dengan skateboardnya, namun tidak mendapatkan hasil-hasil apa-apa?

Jika boleh jujur, ini adalah tindakan Seiryuuto yang paling sembrono dalam hidupnya. Bercak-bercak darah yang telah ia ikuti semakin lama semakin kering dan menipis. Salju-salju yang bertebaran telah menghapus jejak-jejak penting bagi Seiryuuto. Dan bocah kecil berparas tampan itu benar-benar menyesal dengan ini semua.

Seiryuuto memiliki rasa untuk mengikuti jejak darah itu dengan sendirinya. Naluri alamiah seorang anak kecil yang penasaran telah membuatnya melakukan hal yang tidak dipikirkan secara matang terlebih dahulu. Oh, seharusnya ia tahu jika ini akan terjadi.

"Sialan..." gerutunya pada diri sendiri.

Anak dari pasangan Akashi dan Kuroko itu memutuskan untuk menghentikan laju skateboard-nya. Ia turun, lalu menginjak ujung dari papan skateboard hitam-merah itu dan membuatnya melayang. Dan dengan satu tangan, anak itu telah menagkapnya dengan mudah.

Untuk rehat sejenak, Seiryuuto memutuskan untuk duduk di pinggir trotoar sembari memandangi beberapa kendaraan dan orang-orang yang lalu-lalang. Mata dengan dua warna berlawanan itu memandang lelah pada apa yang dilihatnya. Mata merahnya terlihat sadis dan keji pada satu sisi, namun terasa begitu melindungi dengan tulus. Sedangkan mata birunya yang datar terlihat begitu cerah dan lembut, penuh dengan kepolosan yang begitu manis.

Asal kalian tahu saja, semua cerminan sikap itu ada pada dirinya. Setidaknya, itu merupakan suatu aset penting yang harus dijaganya baik-baik. Hal itu menunjukkan bahwa ia benar-benar keturunan asli dari Akashi Seijuuro dan Kuroko Tetsuya. Asli. Dan benar-benar SUNGGUHAN.

Awalnya, tak ada satupun dari pemandangan di depannya yang mampu menarik perhatian dari sang bocah kepala merah. Namun, ada satu gambaran di mana seorang anak kecil yang kira-kira sebaya dengan dirinya, tengah merengek kepada sang ibu yang menggandeng tangannya. Seiryuuto mengerenyitkan dahinya begitu melihat adegan tersebut. Mungkin dalam benaknya, anak tersebut sangatlah manja untuk ukuran bocah yang terlalu cepat dewasa seperti Seiryuuto.

Tapi begitu melihat senyum menawan dari sang ibu, Seiryuuto terdiam. Tangan kanan yang memangku dagunya itu terlihat sedikit mengencangkan kepalan tangannya. Matanya yang unik itu memandang tajam pada pemandangan di depannya. Tepat ketika wanita paruh baya itu menggendong putra kesayangannya itu dalam dekapan hangatnya.

"Huwaaa! Kaa-chan! Aku mau ice cream!" rengek bocah kecil dengan surai hitam legam dalam gendongan sang ibu.

Dengan sabarnya sang ibu membelai lembut kepala sang anak, lalu menciumnya pelan. "Sekarang kan musim dingin. Kalau Ken-chan sakit, bagaimana?" ujarnya dengan begitu lembut dan keibuan. Seiryuuto langsung mengingat bagaimana baik dan lembutnya seorang Kuroko Tetsuya.

"Tapi-Tapi, kan ada Kaa-chan yang merawat aku nanti!" si anak tetap berusaha keras untuk membujuk sang ibu.

Sang ibu tersenyum. Senyum yang begitu terlihat jika ia menyayangi bocah kecil dalam gendongannya itu. Lalu dengan sekali kecupan di pipi, maka sang ibu menganggukkan kepala dan menyentil pelan hidung sang anak. "Baik, baik. Tapi jangan bilang-bilang Tou-chan, ya? Ini rahasia kita berdua. Janji?"

Si anak mengangguk cepat dan menunjukkan cengiran lebarnya. Melihat jika sang ibu mengulurkan jemari kelingking tangan kanannya, anak itu segera menggamit jari tersebut dengan jari kelingkingnya yang mungil. Ia mengucapkan sebuah janji kecil yang terdengar begitu lugu. "Janji! Ini rahasia aku dengan Kaa-chan!" si anak berteriak senang, lalu turun dari gendongan ibunya.

Merekapun berlalu. Sang anak yang menarik jemari kelingking ibunya, lalu ibunya tertawa-tawa akan kelucuan anaknya sendiri. Dan dengan itu semua, Seiryuuto merasa sesak. Ia merasa bahwa ada sesuatu yang menyakitkan dalam batinnya, namun ia tidak tahu itu apa.

Ia merasa... ada yang hilang...

Seiryuuto menggingit bibir bawahnya. Ia menahan genangan 'air' yang mulai melanda pelupuk mata. Namun, ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat. Kedua tangannya itu mengusap-ngusap matanya yang terasa panas dan ingin mengeluarkan 'air mata'. Namun, sebisa mungkin ia ingin mencegahnya. Tidak, ia tidak boleh menangis. Tidak boleh...

Ia sudah terlalu banyak merepotkan ayahnya...

Tiba-tiba saja, sebuah kaleng hangat berwarna putih mendarat tepat ke pangkuannya. Tentu saja siapapun yang dilempari seperti itu akan terkejut. Maka Seiryuuto melepaskan kedua matanya untuk menatap aneh pada kaleng yang berlabel sebuah merek susu ternama. Siapa yang melemparnya?

"Kurasa, hari di luar cukup dingin. Mau mampir ke rumah?"

Seiryuuto menengadahkan kepalanya, dan menatap seorang pria dengan kemeja putih tipis yang tersenyum –menyeringai- ke arahnya. Lengan baju bagian kirinya berlumuran darah, dan tepat pada bagian lengan atasnya, terdapat sebuah perban yang diikat kencang seolah menutupi sebuah pendarahan akibat luka. Dengan semuanya, itu juga memancing seringai Seiryuuto.

"Haizaki Shougo." Seiryuuto mendesis tak suka.

Pria dengan rambut abu-abu panjang(*) nan berantakkan itu makin menyeringai. Ia memegang kepala Seiryuuto dan mengelusnya 'pelan'. "Kau, kukira kau menyukai rasa vanilla. Benarkah itu?" tanya pemuda dengan anting-anting di setiap telinganya itu.

"Ya. Aku sangat menyukai vanilla." Seiryuuto menjawab sekenanya. Ia tahu arah dari pembicaraan ini akan melenceng ke mana.

"Hahaha. Kau benar-benar anaknya Kuroko!" Haizaki tertawa. Ia memegangi perutnya yang sedikit sakit lantaran tertawanya sangatlah berlebihan. Ya, tawa meremehkan. Benar-benar meremehkan. Dan itu membuat Seiryuuto memasang ekspresi menusuk. Datar seperti ibunya, dan dingin seperti ayahnya.

"Hentikan tawamu. Katakan saja apa maumu hingga membawaku kemari, Haizaki-san."

Haizaki benar-benar menghentikan tawanya. Tergantikan oleh tatapan tajam penuh kebencian dari pria bersurai kelabu berantakan itu. "Untuk membunuhmu, bocah." dan juga sebuah acungan pisau panjang yang mengarah tepat ke permata biru Seiryuuto.

"Tsk, kau tidak bia melihat sikon, ya? Di sini banyak orang, bodoh. Turunkan pisaumu." Seiryuuto berdecak sebelum akhirnya mengambil langkah seribu, menghindari kemungkinan terburuk dari situasi ini.

.

Akashi Seijuuro X Kuroko Tetsuya

.

Kuroko membenahi tas bawaannya. Jam pulang SD Teikou telah berlalu, dan itu artinya ia harus segera pergi menuju tempat Murasakibara. Ia yakin jika pemuda ungu itu pasti sudah menantinya. Ia tidak ingin membuat temannya itu menunggu lama. Dan lagi, Kuroko juga ingin segera mencicipi rasa vanilla cup cake yang telah sengaja dibuat oleh Murasakibara. Hm, rasanya pasti enak.

"Kuroko, mau aku antar? Sekalian aku ingin menuju rumah sakit." Midorima menawari Kuroko dengan alasan penipuan. Rumah sakit? Ahaha! Katakan saja jika kau ingin segera pergi ke rumah Akashi Seijuuro. Siapa tahu, pemuda mungil tersebut bisa mengingat sosok yang telah menjadi suaminya hingga sekarang itu.

Kuroko tersenyum. Ia menggelengkan kepalanya pelan sembari memejamkan mata, lalu membuka matanya lagi setelah usai. Ia menarik tas jinjingnya yang berwarna kelabu, lalu beranjak dari kursi wali kelas 3-A yang sedari tadi menjadi tempatnya duduk. "Terimakasih, Midorima-kun. Tapi Momoi-san mengirimiku pesan jika ia akan kemari sebentar lagi, jadi tidak perlu." Kuroko membungkukkan tubuhnya sedikit sebagai bentuk formalitas. Ciri khas seorang Kuroko Tetsuya yang selalu sopan kepada siapapun.

Tapi jangan harap dia bisa bersikap 'sopan' kepada seseorang yang telah membuatnya lupa ingatan. Bersyukurlah bahwa ia belum mengingat apapun mengenai masa lalu kelamnya...

"Baiklah kalau begitu." Midorima melepaskan jas putih panjangnya, membiarkan kemeja hijau yang ia kenakan terekspos jelas. Ia melirik jam tangan, lalu kembali melirik ke arah Kuroko yang masih memandangi dirinya. Ia mengambil ponselnya lalu mengetik sebuah pesan kepada seseorang. Begitu ia merasa jika kegiatannya sudah selesai, Midorima melipat asal jas putihnya, lalu menggantungkannya pada lengan kiri.

Melihat Midorima yang mulai beranjak pergi dari kelas, Kuroko memberikan senyumnya seraya berkata "Hati-hati, Midorima-kun."

Pemuda bersurai hijau itu berhenti sejenak dan membalikkan badannya. Ia tersenyum kecil dan membalas perkataan Kuroko yang baru saja memberinya rambu-rambu agar selamat sampai tujuan. "Ya, Terimakasih."

Akhirnya, Midorima berlalu dari pandangan mata biru cerah Kuroko.

.

Form : Midorima Shintaro

To : Momoi Satsuki

"Momoi, setelah giliranku, tolong jaga Kuroko baik-baik."

"Tapi, aku bicara begini bukan berarti aku peduli padanya!"

.

Midorima melangkah keluar gedung SD Teikou dengan langkah terburu-buru. Ia mencoba untuk mempersingkat waktu yang terbuang dan segera menuju ke rumah Akashi. Jarang-jarang pemuda dengan warna mata unik itu meminta –memerintahkan- dirinya untuk menemuinya secara langsung di ruang kerja. Ini pasti sesuatu yang penting, dan jika itu benar-benar penting, maka Midorima sesegera mungkin melajukan mobil sport hitamnya yang telah ia naiki ini.

Mencoba berfikiran positif, Midorima memacu cepat kendaraannya dengan penuh kehati-hatian. Memang ia sedang terburu-buru untuk mengejar waktu, namun Midorima adalah tipe laki-laki yang waras dan tidak akan menyia-nyiakan nyawanya begitu saja hanya karena nafsunya untuk berkuasa di tengah jalan. Yap, kebut-kebutan.

Seumur hidup, Midorima tak akan melakukannya.

.

Akashi Seijuuro X Kuroko Tetsuya

.

Kuroko menatap pintu kelas yang telah di tutup oleh Midorima. Sekarang ia telah sendirian, dan tak ada satupun yang menemaninya. Tatapannya berubah sendu. Entah mengapa, ia sangat tidak menyukai kesendirian. Ia sangat tidak menyukai kesepian. Ia sangat tidak suka… ditinggalkan...

Namun, Kuroko sadar diri jika seluruh temannya itu telah memiliki urusan pribadi menyangkut kelangsungan hidup masing-masing. Mereka bukan lagi siswa SMA atau Mahasiswa Universitas seperti dulu. Mereka kini telah menjadi 'orang', dan waktu kebersamaan mungkin akan lebih termakan oleh jadwal kerja bagi karier hidup.

Kuroko tahu itu. Tapi tetap saja, rasanya ditinggalkan dalam rangka apapun itu menyakitkan hatinya.

Sangat sakit...

'BRAKK!'

Pintu kelas yang tertutup beberapa saat yang lalu itu tiba-tiba saja terbuka keras oleh seorang wanita dengan surai merah muda yang cantik. Tubuhnya terbalut sebuah jacket jeans dengan rok biru dongker selutut, long-boots hitam menjadi alas kakinya, leher jenjangnya tertutup oleh sebuah syal biru muda dengan paduan merah terang yang indah. Rambutnya yang kini telah bertambah panjang itu tergerai bebas ke belakang dan jepitan biru muda yang ikut menghiasi poninya.

Dialah, Momoi Satsuki. Seorang asisten pelatih Tim Basket Nasional Jepang U-17, sekaligus pelatih Tim Basket Touou Gakuen. Setidaknya, mengabdi kepada sekolah terdahulu merupakan sebuah kesenangan baginya.

"Momoi-san, pelan-pelan membukanya. Kau menyebabkan keributan." Kuroko meletakkan telunjuknya di depan bibir. Membuat pose manis dengan wajahnya yang datar.

Momoi yang kedua tangannya tengah memegang banyak plastik berisi belanjaanpun hanya bisa memasang cengiran khasnya, seraya berkata, "Teehee, gomen teba~".

Kuroko memandangi gadi-wanita yang sifatnya tidak pernah berubah sedikitpun itu. Sudah berapa tahun berlalu semenjak ia pertama kali bertemu dengannya di masa SMA, namun Momoi tidak pernah menunjukkan suatu tanda-tanda perubahan dalam sikapnya yang Kuroko akui sangat kekanak-kanakkan itu. Dan satu pula yang masih Kuroko ketahui hingga sekarang, perasaan Momoi terhadap dirinya juga belum pernah berubah. Ya, ga-wanita itu masih mencintai Kuroko hingga sekarang.

-Huh, sulit sekali untuk menyebutnya sebagai seorang wanita-

Tapi yang ia senangi dari Momoi adalah, wanita itu tidak pernah egois dalam hal cinta. Ia tetap menanti Kuroko untuk datang padanya. Kapanpun itu. Hanya saja, ia tidak pernah memaksa yang bersangkutan untuk membalas cintanya. Tidak pernah. Ia hanya ingin Kuroko mengetahui apa isi hatinya, namun tetap berhubungan seperti yang biasanya. Momoi tidak suka hal-hal –apapun itu- yang berbau pemaksaan. Ia hanya menginginkan cinta yang tulus tanpa adanya paksaan. Dan kini, Momoi tetap bersikap biasa di hadapan Kuroko, tanpa pernah menyinggung soal perasaannya tersebut.

Asal kalian tahu saja, Momoi-lah yang telah berperan banyak dalam acara pernikahan Kuroko dengan Akashi. Ia melakukannya dengan senang hati, meski rasa cintanya terhadap Kuroko harus mengalah. Wanita yang hebat.

"Kau baru dari mana, Momoi-san?" tanya Kuroko yang kini matanya telah melirik ke arah tiga plastik putih besar yang dibawanya dengan susah payah.

Momoi mengikuti arah pandang Kuroko pada kedua tangannya, lalu tertawa kecil. "Ahahaha. Aku baru dari mini-market, Tetsu-kun. Muk-kun memintaku untuk membeli beberapa bahan kue untuknya."

Kuroko memandangi kedua tangan Momoi yang telah memerah dan lecet di sana-sini. Perjalanan dari Touou Gakuen menuju SD Teikou bukanlah perjalanan yang singkat. Kasihan, tangannya hingga menjadi seperti itu. Dengan lembut, Kuroko menarik dua plastik dari tangan Momoi, lalu membawanya. Mencoba untuk membantu makhluk merah muda di depannya.

"Kalau dibawa bersama-sama, rasanya akan menjadi lebih ringan." Kuroko berujar dengan lembut. Ia tersenyum kecil pada sosok wanita yang masih terperangah akibat tindakan Kuroko yang secara tak sengaja telah menyentuh tangannya dengan hangat. Pipi Momoi sedikit bersemu, namun ia mencoba untuk tidak berharap lebih dari apa yang baru saja terjadi.

"Ba-Baiklah, Tetsu-kun! Ayo segera berangkat!" seru Momoi dengan sedikit kikuk. Merasa jika wanita cerewet di depannya itu kini tengah merasa salah tingkah, Kuroko hanya tersenyum lembut sembari berjalan dan mencoba menyusul Momoi yang kini telah berjalan keluar lebih dahulu.

SD Teikou memiliki sebuah pekarangan sekolah yang luas. Pintu gerbang keluar-masuknya pun terdapat 4 gerbang. Dan yang paling depan merupakan gerbang Utama. Beruntung karena kelas 3A berada di lantai satu dan dekat dengan gerbang utama, sehingga sikepala biru dan merah muda itu tidak harus mengambil rute lebih jauh hanya untuk keluar dari SD mewah itu. Beruntung sekali guru-guru yang bisa mengajar di sana. Pasti gaji-nya sangat tinggi. Hehe.

Momoi Satsuki adalah tipe wanita yang tidak menyukai keheningan. Ia tahu, berjalan dengan seorang pria bernama Kuroko Tetsuya akan menjadi sunyi senyap jika bukan kita sendiri yang membuka suara. Untuk itu, Momoi mengambil posisi di depan Kuroko dan berjalan mundur. Ia tersenyum dan memanggil nama Kuroko dengan manja. "Tetsu-kun!"

Kuroko hanya memandangnya datar, lalu mengisyaratkan pada sosok wanita di depannya ini seolah ia mengatakan "Apa?"

"Apa kau pernah mencintai seseorang?"

DEG!

Pandangan Kuroko kini telah berubah menjadi serius. Ia benar-benar merasa tertarik dengan topik pembicaraan mereka kali ini. "Belum. Memangnya kenapa?"

Momoi memperlambat langkahnya, wajah cantiknya itu kini cemberut, menyerukan sesak di dada. Bibir tipisnya itu ia gigit untuk menghilangkan rasa khawatir, Kuroko benar-benar melupakan Akashi. Padahal niat awalnya adalah, untuk membuktikan jika Kuroko masih mengingat cintanya yang begitu dalam untuk pria dengan segala kemutlakannya itu, dan juga putranya. Tapi ia benar-benar mendapati kenyataan jika memori Kuroko pada masa lalu benar-benar telah kosong mengenai dua orang bermarga 'Akashi' itu.

Sempat termenung lama, Momoi kembali menampakkan senyumnya pada Kuroko. Ia mengambil tiga langkah cepat ke belakang dan berhenti melangkah, lalu meletakkan jari telunjuknya di depan bibir. "Mau dengar kisah tentang orang jatuh cinta, tidak?"

Kuroko yang saat ini memang sedang malas bicara, akhirnya menyetujui apa yang Momoi tawarkan. Lebih baik ia mendengarkan sebuah cerita, dari pada Momoi yang justru menyuruhnya untuk bercerita. "Boleh." jawabnya dengan datar.

"Tapi ini kisah cinta di antara dua laki-laki, lho!" Momoi masih memandang Kuroko dengan tatapan usil. Ia ingin melihat reaksi seperti apa yang akan diberikan oleh Kuroko padanya.

"Apa?" Kuroko memandang terkejut pada paras Momoi –meski bagi wanita itu, ekspresi Kuroko masih sangat terbilang minim. "Kau bercanda? Jadi, Momoi-san adalah seorang fujhosi?"

Momoi kesal. Sebelum Kuroko sempat mendahuluinya, Momoi berjalan mundur lebih cepat dengan hentakan-hentakan keras. Entah kenapa, Momoi merasa kesal ketika Kuroko tidak kepikiran sama sekali tentang apapun masa lalunya yang merupakan seorang –ehem-gay-ehem-. Ayolah, Momoi sudah berusaha keras untuk memendam rasa terlukanya hanya untuk membuat Kuroko kembali mengingat Akashi. Tapi apa? Dirinya malah dikira sebagai seorang fujhosi! Yah, meski tak bisa ia ungkiri jika ia mendukung hubungan Akashi dan Kuroko. Yup! Momoi adalah seorang fujhosi, khusus untuk pasangan Akashi dan Kuroko.

Pandangannya mengarah kesal pada Kuroko yang membalasnya dengan tatapan datar. Momoi melangkah mundur dengan hentakan keras untuk yang kesekian kalinya. Tanpa pernah menengok kebelakang, ia berkacak pinggang dan berkata dengan seruan tinggi. "Aku ini bukan fujhosi, Tetsu-AKH!"

Dan berakhir dengan sebuah kaleng yang membuatnya terselandung dan hendak jatuh.

Sebelum Momoi terjatuh di depan sebuah gang yang jalannya agak kasar, Kuroko reflek melepaskan kedua kantung plastik yang ada di tangannya, lalu menarik satu tangan wanita merah muda yang tak membawa plastik. Ia menarik tangan Momoi dengan ekspresi wajah khawatir, dan itu membuatnya bergerak bagai seorang pacar yang baik.

Wanita itu tak jadi menghantamkan bagian kepalanya ke jalan aspal yang sedikit tajam itu. Sebuah tarikan lembut namun cepat telah menariknya dari kesialan. Tangan kirinya terasa hangat oleh karena genggaman kuat dari sang pemuda biru muda. Tak bisa berbohong, Momoi merasa sangat bahagia sekali.

Hingga tarikan Kuroko terasa tidak normal. Pria itu juga ikut menundukkan kepalanya, tatkala wajah wanita itu semakin mendekat ke dadanya. Dan dalam hitungan detik… hal yang tidak pernah Momoi harapkan namun tidak pernah Momoi tolak, telah terjadi.

Ya, entah karena alasan apa… Kuroko menciumnya…

.

Akashi Seijuuro X Kuroko Tetsuya

.

Midorima sampai pada halaman depan kediaman keluarga Akashi. Tanpa peduli jika ia menghentikan mobilnya di sembarang tempat, Midorima segera turun dari mobilnya. Ia mengambil langkah besar yang terkesan terburu-buru. Ya, memang ia tengah mencoba untuk mengejar waktu. Tentu saja karena penasaran dan juga tak ingin membuat sang emperor menunggu lama.

Begitu ia sampai di depan pintu kediaman Akashi yang memang sejak awal sudah terbuka, ia sudah disambut oleh beberapa buttler yang membungkukkan badannya sebagai rasa hormat mereka pada Midorima. Namun, pemuda dengan kacamata yang membingkai kedua iris hijaunya itu tak memiliki waktu untuk sekedar membalasnya.

Midorima menggulung kemeja hijaunya hingga sikut sembari berjalan mendekati anak tangga tunggal yang besar. Ketika ia menaikinya, Midorima beralih untuk memegang pegangan di sisi tangga dan menaiki anak tangga dengan bentuk yang memutar itu secara cepat. Beruntung karpet merah dalam setiap bentang anak tangga membuat gaya gesek sepatunya semakin besar, sehingga ia tidak akan mudah tergelincir meski tetap melangkah cepat.

Tanpa basa-basi lagi, Midorima segera mencari sebuah pintu yang terletak di pojok lantai dua itu. Ia sudah hapal di luar kepala jika ruang kerja Akashi berada di sana. Karena itulah ia segera mengetuk pintunya secara perlahan. Mencoba untuk bertingkah laku sopan, meski yang bersangkutan sudah menyuruhnya untuk langsung masuk ke ruang kerjanya.

"Akashi, ini aku. Boleh aku masuk?"

Dari dalam, Akashi yang kini telah menggunakan kacamatanya dan berkutat dengan sebuah buku bersampul merah menjawabnya dengan datar dan kecil, yang ajaibnya bisa terdengar secara teramat tajam ke telinga Midorima. "Jika kau masih memiliki kaki untuk melangkah, kusarankan kau untuk segera masuk. Sebelum aku memusnahkannya dengan tanganku sendiri, Shintaro."

Merasa jika apa yang dikatakan Akashi merupakan sebuah 'undangan' dirinya untuk masuk, Midorima segera memutar kenop pintu dan melangkah masuk ke dalam-

-hanya untuk disambut dengan ceceran darah pekat pada lantai ruang kerja Akashi.

"Hhh…" pemuda dengan surai hijau itu menghela nafas. Ia membenarkan letak kaca matanya itu, hingga memberikan kilatan cahaya yang terpantul. "Kau melakukannya lagi, Akashi?"

Dengan tenang dan anggun, Akashi mengangkat kepalanya, mempetunjukkan tahta merah-emas yang menempati kedua matanya. Pandangannya itu datar dan terkesan menusuk walau sudah terhalang lensa kaca. Belum lagi aura hitam kelam menguar cepat seolah hendak mencekik siapapun yang menganggunya. Namun, pemuda dengan surai scarlet itu tak terlihat ingin memusnahkan Midorima detik itu juga. Ia hanya menunjukkan jika dirinya merupakan seorang manusia kelas atas yang dianugerahi gelar 'bangsawan'.

Heh, pesetan dengan bangsawan! Midorima lebih merasa jika sosok yang identik dengan warna merah di hadapannya itu merupakan jelmaan raja iblis yang entah mengapa berada di dunia manusia.

Oke, alihkan pemikiran Midorima yang genre-nya mulai melenceng ke arah fantasy.

Akashi menutup buku merahnya perlahan. Ia juga melepaskan kaca mata yang membingkai wajah tampannya. "Aku memang selalu melakukannya selama 7 tahun ini, Shintaro."

Merasa jika berdiri bukanlah sebuah posisi yang enak untuk berbincang, tanpa titah perintah, Midorima segera melesat kearah sofa coklat gelap yang berada tepat di depan meja kerja Akashi. Membuat sang pria hijau itu mampu menatap Akashi secara face to face. Mulanya ia berdehem, sebelum ia memulai kembali perkataannya. "Untuk apa kau melakukan itu?"

Akashi menyeringai, sebelum akhirnya mengaitkan ruas-ruas jemarinya dan membuat kepalanya menumpu di sana. "Tentu saja untuk mengetes anak tercintaku."

"Mengetes? Kau bahkan melakukan hingga sejauh itu?" Midorima menggeretakkan giginya menahan kesal. "Tentu saja dia benar-benar anakmu, Akashi!"

Masih dengan tenang, Akashi memasang senyum damainya sembari memandang Midorima rendah. "Aku tahu. Sangat tahu."

Midorima tidak pernah tahu bagaimana bentuk jalan pikiran Akashi. Menurun, kah? Menanjak? Berkelok? Bergelombang? Atau bahkan jalan buntu? Pria tampan sekaligus menyeramkan itu begitu bisa menunjukkan emosinya secara teratur. Kendali emosinya benar-benar di atas kendali orang-orang biasa. Bahkan hanya dengan tatapan, bagi siapapun yang tak pernah mengenal Akashi, ia akan mengalami trauma berat. Sungguh, tidak ada yang mengada-ada.

Akashi dapat mengatur segala ekspresi maupun emosinya sesuai yang ia mau. Seolah jika hatinya sendiri merupakan sebuah program software yang dapat di instal sesuka hati. Namun, tidak segalanya yang Akashi ingin sembunyikan bisa tertutup rapi dengan aman sendirian. Terdapat dua orang kesayangannya yang mampu membaca apapun gerak-geriknya yang mencurigakan. Dan mereka adalah Kuroko dan Seiryuuto.

Bunyi-bunyi retakkan kecil menggema dalam ruangan. Kayu-kayu kecil yang terbakar kobaran api dalam tungku pemanas itu mengeluarkan beberapa bunyi kecil. Menghiasi suhu ruangan kerja Akashi dalam keadaan musim dingin, pria scarlet itu lebih memilih untuk menghidupkan tungku pemanas.

Suhu dalam ruangan tersebut sudah bisa dikatakan hangat dengan temperatur yang pas. Namun, seseorang dengan juntaian surai hijau itu merasa jika saat ini, suhu udara dalam ruang kerja Akashi benar-benar terasa dingin menusuk. Aura dingin Akashi mampu mengalahkan apapun, bahkan hingga tungku pemanas.

"Ayolah, Akashi. Seiryuuto itu benar-benar anakmu. Kau tidak perlu melakukan segala macam tes gila yang tidak ada artinya ini! Kau seolah ingin mengembalikan tragedi 7 tahun sila-"

"-Untuk ukuran seorang Dokter Kejiwaan, kau benar-benar cerewet."

Akashi bangkit dari kursi kerjanya. Kaki-kaki atletisnya itu tergerak menuju ke arah rak buku yang menyimpan segala buku hariannya. Mata merahnya menyempatkan diri untuk menunjukkan sorot sendu yang mendalam, sebelum akhirnya mengambil sebuah buku bersampul hitam dan membawanya ke samping wajah. Menunjukkan buku tersebut secara sengaja pada Midorima yang masih setia berdiam diri di tempatnya duduk.

"Kau tahu buku apa ini?" tanya Akashi mengarah langsung pada inti. Yang tentu saja dijawab dengan gelengan kepala dari orang yang baru saja ia tanyakan.

Akashi menghela nafas. Ia membuka belahan buku yang memiliki celah kecil, dan mengambil selembar foto usang dengan berbagai macam baretan gores maupun robek yang disengaja. Kini, posisi buku berpindah pada tangan kirinya. Tangan kanannya itu sekarang memegang selembar foto mengerikan di samping wajahnya. "Kau ingat ini, bukan?"

Bulatan hijau itu membesar dalam sekejap. Itu, foto kuroko. Ya, foto Kuroko ketika baru saja pindah dan mendaftar dalam SMA yang sama sepertinya dan juga Akashi. Dan ketika itu, Akashi benar-benar membenci Kuroko tanpa Midorima ketahui apa sebab-musababnya.

Ia ingat betul bagaimana dulu, pria dengan mata belang itu mensayat-sayat foto Kuroko dengan geram. Beberapa robekan dan goresan telah membekas tragis. Bahkan pemuda tersebut dengan gilanya mengenggam cutter merah yang ia gunakan hingga membasai foto tersebut dengan tetesan darahnya sendiri. Akashi bahkan bersumpah akan membuat Kuroko menderita seumur hidupnya-

-tanpa ia ketahui, jika sumpah itu justru membalik dan membuatnya menderita karena Kuroko...

"Kau mengetahui kebiasaanku dalam menulis diary, bukan?" kembali, Akashi mengehela nafas dengan titik-titik uap kecil yang menebar di sekitar mulutnya. "Diary ini... adalah Diary yang menceritakan dari awal pertemuaku dengan Kuroko, hingga kejadian 7 tahun silam..."

Si dokter kejiwaan membeku. Lidahnya kelu dengan keterkejutan yang sungguh tiada tara. Midorima benar-benar kehabisan kata-kata.

"...dan hal penting yang ingin aku bicarakan padamu adalah... fakta bahwa Shougo memiliki copy-an dari diary ini. Dan ia datang kembali padaku, hanya untuk membuka lembaran suram itu kembali."

'BRAK!'

Midorima tersentak lagi-entah untuk yang keberapa kalinya. Ia bangkit berdiri dengan sirat emosi yang jarang tergambar dalam kilatan matanya. Bahkan lututnya ia biarkan menabrak meja dengan kerasnya tanpa peduli akan rasa sakit. "Dimana? Dimana Seiryuuto?!"

"Sayangnya ia sudah pergi menyusul bedebah tengik itu lebih awal darimu. Dia adalah bocah yang jenius. Dia mendapatkan naluri untuk mengejarnya seorang diri dengan segala kemampuan otaknya. Bukankah itu hebat?" berbanding terbalik dengan sikap yang selama ini Akashi tunjukkan pada Seiryuuto, justru ia terlihat acuh tak acuh akan suatu hal yang bisa saja menimpa Seiryuuto.

Sebagai seorang dokter kejiwaan, tentu saja Midorima mengetahui dengan pasti bagaimana mental yang tergolong sehat bagi anak-anak seusia Seiryuuto. Seharusnya, bocah seumuran Seiryuuto tidak perlu ikut terlibat dalam lilitan masalah keluarga yang menyita waktunya untuk bermain dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Namun, bocah itu sudah terlanjur tenggelam dalam masalah ini. Menjadikannya –atau lebih tepatnya, memaksanya- dewasa sebelum waktunya. Hal itu membuat Midorima merasakan sesak di dada.

Ia tak tahan lagi...

"Kau harus tahu ini, Akashi! Hal yang bagimu membanggakan itulah yang menjadikannya sebagai bocah TIDAK NORMAL untuk anak seusianya yang seharusnya menerima kebahagiaan!"

Dengan bentakan Midorima yang cukup keras itu, berakhir sudah pembicaraan antara mantan kapten dan mantan wakil kapten Tim Basket dari SMA Teikou. Bantingan pintu terdengar nyaring, dan langkah Midorima terdengar memburu menjauhi ruang kerja Akashi. Meninggalkan sosok merah yang masih terdiam memandangi pintu ruang kerjanya yang baru saja terbanting.

Tanpa seorang ketahui, satu titik air mata mengalir perlahan dari mata kanan Akashi. Pria itu membiarkannya seperti itu sembari memberikan senyum pedihnya yang entah tertuju pada siapa. Ia bermonolog sendiri, sembari meremas erat kemeja dibagian hatinya. "Maafkan aku yang selalu menggunakan topeng ini di depan kalian..."

.

"Halo? Aomine! Bantu aku menemukan Seiryuuto! Saat ini, ia tengah mengejar Haizaki Shougo!"

"Haa?! Bagaimana bisa?! Aku dan Kise baru saja mengantarnya pulang satu jam yang lalu, Midorima!"

"Akan kujelaskan nanti. Yang jelas, sekarang bantu aku! Ajak Kise dan juga Murasakibara!"

"Aku mengerti. Aku juga akan mengikut sertakan beberapa teman kepolisianku."

"Baiklah, aku mengandalkan kalian!"

.

Akashi Seijuuro X Kuroko Tetsuya

.

'PRAK!'

Seiryuuto menghindarinya. Pecahan pot bunga besar itu bisa saja memecahkan kepalanya. Kaki-kaki kecilnya itu membawanya lari menyusuri gang kecil nan kumuh yang menjadi arena kejar-kejarannya dengan Haizaki. Terlambat sudah jika ia ingin menggunakan skateboard. Pria menyebalkan-bagi Seiryuuto itu telah lebih dulu menendangnya jauh-jauh dari badannya yang mungil itu.

"Oi, bocah! Apa kau hanya bisa berlari?!"

Keturunan Akashi Seijuuro itu mendecih kesal. Bohong besar jika ia berkata bahwa dirinya tidak takut untuk saat ini. Namun, ia harus bisa mengetahui maksud dari kedatangan pria itu menghampiri Ayah tercintanya. Bertekad mengorbankan rasa takutnya, ia harus bisa mengatasi ini dengan tepat.

Nafasnya mulai tersengal-sengal. Terkadang, memiliki tubuh yang ringkih bukanlah suatu hal yang bisa dibanggakan dan tidak menghasilkan keuntungan sama sekali. Namun, mengingat jika ini merupakan turunan Ibunda kesayangannya, apa mau dikata? Tentu saja Seiryuuto akan menerimanya dengan senang hati.

Setelah merasa lelah akan lemparan-lemparan benda besar yang dilayangkan oleh Haizaki yang memiliki banyak pengalaman dalam bidang basket ketimbang dirinya, Seiryuuto menemukan sebuah pabrik tua tak terpakai di balik pengkolan gang terkahir yang ia lewati. Ia berniat untuk menguak segala yang ingin ia ketahui di sana. Ya, demi keluarganya, ia harus melakukannya.

Seiryuuto melangkah mantab memasuki pabrik tersebut. Dengan langkah yang tiba-tiba memutar, membuatnya termundur beberapa senti dengan berhadapan langsung dengan Haizaki. Haizaki menyeringai melihatnya.

"Hoo, jadi kau ingin beristirahat sejenak, Ryuu-chan?"

Bocah dengan surai merah darah itu merasa muak dengan panggilan tersebut.

"Langsung saja, Haizaki-san. Apa yang kau lakukan di ruang kerja Otou-sama?" tanya Seiryuuto dengan lantang. Ia mencoba mengatur nafas yang menderu-deru tidak teratur.

Haizaki menatap bocah kecil itu sebentar, sebelum akhirnya kembali tertawa dengan pose menjengkelkan. "Hahaha! Apa urusannya denganmu, bocah? Kenapa kau begitu ingin tahu?"

Seiryuuto mendelik tajam. "Segala yang menyangkut tentang kehidupan Otou-sama, aku patut tahu!" ia menyempatkan diri untuk menyeka keringatnya sesaat. "Pistol itu, berisi 8 peluru, benar? Otou-sama telah menembakmu sebanyak 3 kali. Jadi, masih tersisa 5 peluru lagi yang berkesempatan untuk memecahkan kepalamu! Sebaiknya kau jawab dengan benar seluruh pertanyaanku!"

"Pfft- HAHAHA!" Haizaki tertawa hingga air mata menetes dari ujung matanya. Ia memegangi perutnya yang terasa nyeri akibat terlalu banyak tertawa. "Sebaiknya aku memberikan apresiasi atas keberanianmu, sebelum ajal menjemputmu, bocah."

Pria itu melemparkan sebuah buku bersampul biru kepada Seiryuuto yang segera ditangkap dengan mudah. "Aku hanya ingin memberikan ini kepada Ayahmu. Itu saja. Bacalah jika kau ingin tahu."

Haizaki berbalik dan berjalan menuju pintu keluar pabrik dengan langkah santai. Ia mempertahankan seringai jahatnya sembari memasukkan kedua tangan dalam kantung celananya.

Entah karena termakan rasa penasaran atau memang emosi akan perkataan Haizaki, Seiryuuto segera membuka acak bagian dari buku tersebut, dan membacanya dengan gerakan cepat. Namun itu awalnya. Begitu mengetahui tulisan yang begitu terkesan familiar dalam ingatannya itu, Seiryuuto tercekat-

-lalu semakin tercekat ketika ia membaca sebuah halaman yang menceritakan Haizaki yang berhasil membuat sebuah skenario besar.

Bocah mungil itu, apa ia pernah bermimpi? Apa ia pernah berharap? Jika tidak, bisakah untuk yang pertama dan terakhir kalinya Seiryuuto berharap? Tolong, tolong jadikan apapun yang dibacanya hari ini hanyalah sebuah cerita fiksi atau sebuah kebohongan belaka.

Bisa…kan?

Tulisan-tulisan itu membuat matanya sakit. Bagaimanapun pikiran rasionalnya menjerit jika ini semua merupakan kenyataan, namun batinnya menangis meraung-raung dengan harapan segala yang tertulis di buku ini hanyalah sebuah kebohongan belaka.

Naïf? Seiryuuto tidak peduli.

Ya, dia tidak peduli. Atau lebih tepatnya mencoba untuk tidak peduli. Sayang di sayang, Sedewasa apapun sikap yang dimiliki olehnya, Seiryuuto tak akan pernah sanggup… tak akan pernah sanggup membayangkan…

Bagaimana Ayahnya membuat rencana pembunuhan untuk dirinya. Bagaimana Kise membuat keluarganya berantakkan. Bagaimana Aomine membenci Ibunya. Bagaimana Midorima membantu rencana pembunuhan Ayahnya. Bagaimana Murasakibara yang turut ambil alih dalam penyebab Ibunya amnesia.

Dan... bagaimana Momoi mati-matian untuk menghentikan mereka, namun ia harus menerima sebuah operasi pengangkatan rahim hanya karena membela ibunya... juga dirinya...

Tangan Seiryuuto bergetar hebat. Ia kembali menjatuhkan buku yang berbeda namun berisi sama di depan kakinya. Ia tak bisa menahannya lagi. Ia benar-benar harus menangis, ia benar-benar lelah dengan jalan cerita kehidupannya ini. "Hiks...Okaa...-sa-sama...M-Momoi-san...hiks..."

Darah segar itu membanjiri pelupuk matanya. Pipinya berlumuran darah yang anyir dan terus mengalir deras. Ia tak memperdulikan lagi pakaiannya yang kini telah berubah menjadi merah akibat air mata darahnya. Ya, akhirnya Seiryuuto kembali menangis dan membuat penyakitnya itu semakin menyiksanya dengan memaksa segala aliran darah di tubuhnya untuk keluar melalui air matanya.

Seiryuuto memandang tangan kanannya yang masih gemetar. Air matanya menetes bertubu-tubi dan membasahi telapak tangan kanannya. Giginya gemeratuk dengan luapan amarah, emosi, dendam, dan juga kesedihan yang mendalam. Bagai hatinya tertusuk ribuan belati tumpul yang jauh lebih menyakitkan. Kenyataan ini... terlalu berat baginya... dia... Seiryuuto...

Hanya menginginkan keluarga normal yang bahagia. Itu saja...

.

"Apa kau tahu, Seiryuuto? Keinginan dan Harapan itu berbeda…"

.

"AKU TIDAK AKAN PERNAH MEMAAFKANMU!"

'DOR!'

Satu tembakan, dan tepat menyerempet telinga dari seorang Haizaki Shougo yang diketahui sebagai kakak angkat Kuroko. Anting-antingnya bergesekan dengan panasnya timah peluru, dan hancur seketika. Adrenali pemuda kelabu itu benar-benar tengah di uji.

"A-Apa?!"

Di belakangnya, terlihat seorang bocah berumur 7 tahun tengah mengenggam sebuah pistol perak yang diketahui adalah milik Akashi. Wajahnya tertunduk dengan baju basah akibat banjir darah dari matanya. Tangannya itu terus begerak-gerak dengan gelisah. Seiryuuto masih gemetar, namun ia tak pernah gentar.

"Apa yang kau lakukan, bocah?!" Haizaki memekik murka. "Kau itu bukan anak kecil! Pantas saja Akashi berniat untuk membunuh monster sepertimu!"

'DOR!'

Satu tembakan ia lepas lagi, namun Haizaki masih bisa menghindarinya dengan selamat. Ia berlari menuju tempat kotak-kotak kayu tersusun rapi. Ia mencoba berlindung di sana, selagi mengambil kesempatan untuk menghancurkan bocah itu. Sayangnya, ia dalam posisi tak memiliki senjata jarah jauh. Ia tak menyangka jika Seiryuuto akan membawa pistol dalam pencariannya itu.

'DOR!'

Hanya mengenai lengan kanannya. Namun peluru tersebut tidak bersarang di sana. Seiryuuto tak menyerah. Ia tetap menembaknya dengan penuh emosi yang bergejolak dalam batinnya.

'DOR!'

Kini leher Haizaki yang tergores cukup parah. Sepertinya Seiryuuto benar-benar bisa mengeker sasarannya dengan tepat. Haizaki memilih tempat yang benar. Namun, kenapa peluru itu masih bisa mengenainya?

"Monster! Apa kau tidak pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi anak kecil?!"

Satu tembakan lagi. Seiryuuto tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang ada.

"Kuharap, kau mati."

'DOR!'

Seiryuuto berhasil. Ia telah berhasil menembak Haizaki tepat dibagian pergelangan kaki kirinya. Kini pemuda tersebut tak akan bisa lari kemana-mana.

"ARRGHH!"

Haizaki mengerang kesakitan. Apa yang terjadi? Bukankah dirinya sudah cukup kuat dan cepat untuk mengelabui Seiryuuto? tapi kenapa bocah tersebut masih bisa membaca gerakannya, bahkan bisa menembakkan peluru tersebut begitu tepat mengenai sasaran?

"Hei! K*parat! Apa yang kau lakukan Apakah itu Emperor Eye yang sama seperti mata Ayahmu?"

Seiryuuto tak bergeming. Wajahnya menunduk lagi dengan begitu dalam. Juntaian helai crimson menutupi paras wajahnya yang tampan. Tangan kirinya menutup mata kirinya, sedangkan tangan kanannya tetap setia memegangi pistol perak yang masih mengeluarkan reaksi asap atas tembakannya pada kaki Haizaki.

"Seperti katamu tadi... aku bukan anak kecil. Aku ini monster..."

Seiryuuto segera tertawa mengerikan. Membahana dan memberikan kesan ketakutanserta terror yang luar biasa berat. Tetesan-tetesan darah mulai berjatuhan dan menubruk lantai tempat Seiryuuto menunduk. Tempat Seiryuuto berpijak perlahan dibanjiri oleh tetesan darah kental yang merah pekat.

"Seperti katamu tadi... aku memang sudah lupa bagaimana rasanya menjadi seorang anak kecil...hiks..."

Untuk kali ini, Seiryuuto menangis. Ya, ia menangis setelah sekian tahun. Mulanya ia terisak pelan. Namun lama kelamaan menjadi semakin keras. Suara tangis tersebut begitu pilu dan sedih. Namun, dalam sekejap saja suara tangis tersebut berubah menjadi gema tawa Seiryuuto yang mengerikan.

"Aku perkenalkan padamu, ini bukanlah Emperor Eye-" perlahan, Seiryuuto mengangkat wajahnya yang sudah berlumuran darah kental. Seiryuuto menggerakkan tangan kirinya untuk berhenti menutupi mata kirinya. Dan hal yang terjadi berikutnya adalah, kedua mata Haizaki yang membulat sempurna penuh keterkejutan.

"-tapi ini adalah Chain Eye!" mata kiri Seiryuuto telah berubah menjadi emas dengan lelehan air mata darah yang membasahi sweater putihnya...

Seiryuuto mendekati Haizaki yang terjatuh tidak berdaya. Pandangan matanya kosong dengan nafas yang memburu. "Kuberitahu kau satu hal," Seiryuuto mengarahkan moncong pistolnya ke arah kepala Haizaki. "Jika ada 1 peluru di tempat peluru, dan kau memasukkan selongsong dengan 8 peluru lagi... total pelurunya jadi 9."

Haizaki masih sempat terkekeh. "Dan artinya, aku akan membunuhku dengan peluru terakhir itu?"

Diam sesaat, sebelum akhirnya Seiryuuto kembali melepaskan tembakan terakhirnya.

'DOR!'

"Sayangnya, tidak. Aku masih belum memiliki mental seorang pembunuh sepertimu."

Akhirnya, Seiryuuto segera berlari meninggalkan Haizaki dengan pergelangan kaki kanannya yang juga tertembak.

"Aku...harus segera keluar dari sini..." Seiryuuto bergumam dengan penglihatannya yang semakin lama semakin mengabur, akibat banyakanya darah yang terbuang akibat tangisnya...

.

Akashi Seijuuro X Kuroko Tetsuya

.

"Tetsuya, jangan berjalan mundur begitu. Nanti kau jatuh." Akashi memberikan komentar pada Kuroko yang terus berjalan mundur di depannya. Namun, sepertinya pemuda dengan surai biru lembut itu tak memiliki niat untuk mendengarkan perkataan kekasihnya.

"Akashi-kun, aku hanya terlalu senang. Akhirnya bulan Desember datang juga! Aku sangat menyukai salju!" Kuroko berujar ceria. I tetap berjalan mundur sembari menatap paras wajah tampan Akashi yang sedari tadi sibuk dengan buku mata pelajaran Kimia.

Akashi memberikan dengusan tanpa menatap Kuroko sama sekali. "Kalau aku, aku membenci salju."

Kuroko memasang ekspresi wajah terkejut yang tetap terlihat datar. "Akashi-kun hidoii desu."

"Hhh... Tetsuya, dengar. Aku...cemburu karena kau terlalu memperhatikan salju ketimbang Aku."

"E-eh?" Kuroko membulatkan matanya imut. "Ta-tapi cemburu dengan salju? Itu ane-AKH!"

Akibat banyaknya salju yang mencair di jalanan, Kuroko terpeleset dengan hendak terjatuh kebelakang, jika saja Akashi tak segera melempar asal buku Kimianya, dan menarik Kuroko dengan lembut namun cepat.

Namun, Akashi justru memanfaatkan momen tersebut untuk mendekatkan wajah Kuroko pada wajahnya, lalu menawan lembut kedua belah bibir Kuroko yang dingin. Begitu usai kecupan lembut itu, Akashi membiarkan tubuh Kuroko mencondong ke belakang, sedangkan Akashi semakin memajukan tubuhnya.

"Dibawah rintik salju yang kau sukai ini, aku memintamu untuk berlabuh dalam hidupku dan menambatkan jangkar dalam hatiku. Jangan pergi kemanapun. Temani aku mengarungi hidup. Dalam suka maupun duka, dalam sehat maupun sakit, dalam senang maupun susah. Dan biarkan kita tenggelam hanya karena kematian, bukan karena badai yang menerjang."

Kuroko terpana beberapa saat dengan kata-kata Akashi yang bagai puisi, namun bukan puisi.

"Dan sebelum kau menjadi asisten dari seorang Nahkoda sepertiku, maukah kau menjadi roda kemudiku? Yang selalu bisa mengarahkanku kepada jalan yang lurus, jalan seharusnya. Dan aku mempercayakannya kepadamu. Menikahlah denganku, Tetsuya. Jadilah milikku."

.

Akashi Seijuuro X Kuroko Tetsuya

.

Kuroko tersentak. Ia melepaskan pangutan bibirnya yang tadi telah mencium sosok wanita bernama Momoi Satsuki. Apa yang ia lakukan? Menciumnya? Tapi kenapa... ini terasa familiar... namun Kuroko berada di posisi yang tak seharusnya... ia merasa salah posisi...

"Eh, eng... Tetsu-kun. Tak apa-apa. Aku akan melupakan kejadian tadi, dan bersikap seperti tidak ada yang terjadi. Ehehe~" Momoi mencoba tertawa meski terlihat kikuk. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Ia tahu, jika Kuroko menciumnya secara tidak sadar. Momoi juga tak berharap lebih, jadi tak apa.

"Ah, siapa sih yang membuang kaleng susu di tengah jalan seperti ini? Membahayakan, tahu!" gerutu Momoi sembari berbalik badan dan hendak membuang kaleng tersebut dalam kotak sampah. Jika saja matanya tak menemukan sesosok bocah bersurai merah yang baru saja terjatuh di depan gang.

Kaleng tersebu jatuh begitu saja. Momoi segera menjerit dan menghampiri bocah itu. Kuroko tersadar dari lamunannya. "RYUU-CHAN!"

Tubuh Kuroko mendadak beku. Anak itu... ya Tuhan? Benarkah dia?

"RYUU-KUN!"

Kuroko berlari mendahului Momoi yang juga tengah menuju ke arah bocah scarlet itu. Dengan tergesa, Kuroko memangku kepala Seiryuuto dengan perlahan, lalu membelai kedua pipinya dengan khawatir. Air mata tampak menggenang di pelupuk matanya.

Kuroko meraba pergelangan tangannya, dan memeriksa nadinya. Ia mendekatkan jemari telunjuknya untuk mengecek pernapasan Seiryuuto. Lalu, ia juga menempelkan telinga di atas dada Seiryuuto untuk memastikan detak jantung bocah itu. Itu semua Kuroko lakukan dengan segala ekspresi yang mengubah wajah datarnya, menjadi wajah khawatir.

Momoi terdiam. Kuroko, benar-benar dalam mode keibuan. Sungguh merisaukan anaknya dengan segala bentuk curahan kasih sayang. Jujur, Momoi merasa iri. 'Begitu ya, rasanya memiliki seorang anak...'

Tanpa pikir dua kali, Momoi segera menghubungi Midorima dan juga meminta pria tersebut untuk mengirimkan ambulans secepatnya.

"Ryuu-kun, sayang. Buka matamu, nak." Kuroko menepuk-nepuk pelan pipi Seiryuuto. Pakaian penuh darah serta wajah yang berselimut bau anyir itu tentu saja semakin membuat Kuroko panik bukan kepalang.

"Sayang, ini Tetsuya-sensei. Kuatkan dirimu, sayang..." Kuroko merasa lidahnya kelu. Pemuda dengan mata biru cerah itu kini terlihat redup. Rasanya ada yang aneh, ketika dirinya menyebutkan kata 'Tetsuya-sensei'.

Kelopak mata Seiryuuto bergerak-gerak. Remasan-remasan kecil dibarengi dengan sebuah gumaman, membuat Kuroko sedikit terlihat lebih lega. Ia segera menangkup kedua pipi Seiryuuto dengan sayang.

"Buka matamu, Ryuu-kun."

"Ngg...O-Okaa-sama?"

Kuroko membulatkan kedua matanya. Jantungnya serasa berhenti berdetak dengan segala hal yang kini telah terjadi kepadanya. Panggilan itu, tidak terlalu berefek banyak pada Kuroko. Namun, sepasang mata merah-emas yang membuka dengan perlahan itu, membuat Kuroko merasa pusing dengan hati yang berdebar tak karuan.

Sungguh, dengan model rambut dan iris merah-emas tersebut, Seiryuuto benar-benar menyerupai seseorang yang telah membuatnya trauma 7 tahun silam...

"S-Sei...juuro...-kun?"

.

.

T.B.C

.

.

Preview chapter 5 : "Kenangan Masa Lalu – Kuroko Tetsuya Kesepian."

Kuroko terus memperhatikan sosok tersebut dengan penuh kekaguman. Caranya berlari, caranya melempar bola, caranya membawa bola, semuanya yang bahkan Kuroko belum mengerti apa itu, telah membuat dirinya benar-benar terpukau. Sepertinya, bocah berkulit hitam yang baru ia temui ini memang calon pemain basket yang hebat.

"Bagaimana, newbie? Aku hebatkan?" ujar anak berambut biru gelap itu dengan bangga.

Kuroko yang saat itu berumur 7 tahun terlihat sangat gembira. "Ya, kau hebat!"

Bocah tersebut terkekeh pelan sembari mengusap hidungnya dengan jari telunjuk. Ia menyerahkan bola basket besar dalam dekapannya, pada Kuroko sembar memperkenalkan diri. "Namaku, Aomine Daiki. Tetanggamu yang tepat tinggal di rumah di samping panti asuhan ini."

"Berarti kau orang yang kaya, ya? Kau benar-benar sempurna."

Mendengar komentar Kuroko, Aomine mengibaskan tangannya "Ah, tidak juga! Meski kaya, aku selalu saja sendirian ketika bermain. Jadi, aku sering sekali menyempatkan bermain di sini."

Tangan kanan Kuroko kecil mengenggam lembut sikut kirinya. Ia memandang sendu kearah tanah tempatnya berpijak. "Kalau begitu, kita sama. Aku juga selalu kesepian..."

.

.

.

.

Author's Note :

AAAA! Ya ampun, akhirnya saya bisa update kembali! #Sujud

Maafkan saya, Minna-san. Saya lalai dalam urusan password, dan akhirnya saya kembali kehilangan password akun ini untuk yang ke-3 kalinya. Saya baru ingat ketika tak sengaja saya membuka-buka buku pelajaran saya ketika kelas XI, dan ternyata passwordnya tercantum di sana! Yokatta ^^

Sekarang, di kamar saya telah tertulis berbagai macam tulisan yang berisikan password akun ini. Yosh! Semoga gak bakalan lupa lagi ^^

Uyee, saya telah melewati masa-masa tegang UN 2014!
Sekarang tinggal menunggu pengumuman dan memfokuskan diri untuk tes masuk ke Universitas Y_Y)9

Saya minta do'a dan dukungannya, ya? Minna-san. Jujur, saya benar-benar merasa gugup kalau sudah menyangkut Universitas XD

Oke, saya tidak bisa banyak cingcong dulu untuk sekarang. Nanti okaa-san tercinta akan member ceramah no jutsu terpanjang yang pernah beliau punya kalau saya malas belajar. Jadi, see you again ^^