Kuroko Tetsuya, seorang pemuda manis dengan helaian surai biru muda. Kedua iris permatanya yang berwarna senada, bersatu padu dengan kulitnya yang putih pucat nan mulus. Tubuhnya mungil dengan gestur yang rapuh, dibalut dengan jacket biru lembut beserta bulu putih di sekitar kerahnya, celana dasar hitam dan sepatu hitam-merah. Syal berwarna merah terang menggantung indah di lehernya yang jenjang, mencoba untuk mengurangi hawa dingin yang sedari tadi kian menusuk.

Sungguh, padahal ia masih berdiri di dalam kelas tempatnya mengajar para siswa Sekolah Dasar Teikou. Tetapi, ia masih bisa merasakan dinginnya hembusan salju yang begitu kencang di luar sana. Musim dingin memang benar-benar musim yang paling dibenci oleh kuroko. Ya, Kuroko sangat membenci musim dingin. Mengkesampingkan fakta bahwa Kuroko sendiri terlahir tatkala musim dingin.

Bosan menunggu hingga badai salju di luar sana berhenti, Kuroko mengambil inisiatif untuk duduk di salah satu bangku siswa. Ia merogoh kantung celana guna mencari I-phone putih kesayangannya. Sendirian sembari mendengarkan beberapa lagu mellow tidak ada salahnya, kan?

Untuk kali ini, Kuroko benar-benar menyesal karena telah menolak ajakan pulang bersama yang ditawarkan oleh Kise Ryouta–Pilot manis sahabat Kuroko. Sahabat pirangnya tersebut sangat sulit untuk mendapatkan waktu cuti. Dan dengan segala kerja keras yang telah memakan waktu hingga 10 bulan lamanya, akhirnya Kise diberi waktu sekitar 2 bulan untuk mengambil cuti terpanjang yang pernah diberikan kepada seorang Pilot Junior.

Kuroko sangat merindukan Kise. Salah satu sahabat paling berisik yang ia punya, sahabat yang selalu memaksakan kehendaknya dengan rayuan manja, serta sangat berlebihan dalam memberikan reaksi responsif bagi hal-hal diluar dugaan.

Kise menelponnya setelah 10 bulan lamanya mereka tak melakukan kontak fisik, tapi Kuroko menolak tawarannya dengan alasan untuk membersihkan kelas tempatnya mengajar. Kuroko benar-benar tidak habis fikir, setan apa yang telah membuat dirinya berkata demikian.

Akhirnya dengan sukarela, pemuda berhelaian baby blue itu harus menunggu hujan salju di luar hingga reda. Seandainya ia menerima tawaran Kise... mungkin ia masih bisa mampir ke Maji Burger dan terjebak hujan salju di sana. Itu lebih mengasyikan ketimbang harus duduk sendiri dan termenung di dalam kelas yang menjadi tanggung jawabnya.

Akhirnya Kise memutuskan untuk memutar arah dan menemui Aomine Daiki, seorang pemuda tampan berkulit eksotis yang bekerja sebagai Polisi beberapa bulan ini. Aomine juga sahabat mereka, maka itu ia memberitahukan pada Kise atas keberhasilan Aomine menjadi seorang Polisi. Kise senang bukan main. Tapi tidak ditunjukan dengan jeritan yang menggemparkan dunia. Melainkan dengan puji syukur pada Tuhan untuk apresiasi yang ia tujukan pada Aomine.

Walau logat do'a yang ia panjatkan tetap disertai dengan nada kekanak-kanakan.

Tapi paling tidak, Kuroko sangat berterima kasih pada Tuhan, karena telah membuat sahabatnya itu menjadi sedikit lebih dewasa. Ketika ia menolak tawaran Kise dengan halus, tidak ada lagi rayuan manja, tidak ada lagi jeritan histeris, yang ada hanyalah suara tawa renyah dari Kise yang memaklumi bahwa kuroko tidak bisa pulang bersamanya. Ajaib, kan?

"Tetsuya-sensei."

Pemikirannya tentang Kise seketika runtuh begitu saja. Kuroko kenal panggilan ini. Suara khas ini. Hanya anak itu yang berani memanggilnya langsung dengan nama kecilnya. Maka dari itu, Kuroko segera menolehkan kepalanya, mencoba menangkap sinar samar yang terpancar dari balik pintu kelas yang terbuka.

Kuroko menemukan bahwa dugaannya tepat. Kini, Siswa paling elegant yang pernah ia ajar telah berdiri di ambang pintu kelasnya. Siswa dengan corak rambut berwarna merah terang, dilengkapi dengan senyumnya yang seolah selalu meremehkan banyak orang. Matanya tak terlihat, terhalang oleh gelapnya bayangan yang menelan separuh wajahnya yang menunduk.

"Ada apa, Ryuu-kun?Kau belum pulang?" Kuroko bertanya sembari menatap sosok anak tersebut. Suaranya yang lembut telah mampu membuat siswa berambut merah itu mendekatkan langkah menuju ke arahnya.

Tepat ketika jarak mereka sekitar tiga langkah anak kecil, siswa berkulit putih pucat seperti dirinya tersebut segera mendongakkan kepalanya. Menghujam mata lembut Kuroko dengan matanya yang berkilat tajam penuh intimidasi.

DEG

Kuroko selalu merasa aneh. Tiap kali dipandangi oleh anak tersebut, Kuroko selalu merasakan bahwa ada rasa yang membuncah untuk memeluk anak itu dengan segera, membelainya dengan lembut, melindunginya dengan kasih sayang, mengucapkan beribu-ribu kata cinta, dan tentu saja kata 'maaf'. Pemuda manis itu tak mengerti akan hal yang selalu terjadi padanya tatkala mata siswa tersebut menerjangnya.

Mungkin, ini hanyalah naluri seorang guru yang begitu menyayangi siswanya. Tetapi Kuroko segera menepis jauh-jauh pemikiran tersebut. Mengapa? Karena Kuroko hanya merasakan rasa itu pada satu orang saja. Satu orang pemilik mata maut yang selalu dapat membuat hati seorang Kuroko bagai di ambang rasa kerinduan paling dalam. Sepasang iris heterokromatik, dengan sisi kanan yang berwarna scarlet dan sisi kiri yang berwarna... baby blue.

Ya, mata itu hanya dimiliki oleh satu orang yang pernah Kuroko kenal. Akashi Seiryuuto...

"Sensei, aku belum bisa pulang karena badai salju di luar. Temani aku di sini."

...yang segala perkataannya terdengar mutlak dalam indera pendengaran Kuroko Tetsuya.


.

Disclaimer :

Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki

Winter Heart © Mizuno Yozora

Rated : T (Form Now)

Warning : AU, BL, YAOI, MxM, M-PREG, OOC, OC!AkaKuro's Child

.

:: Prolog ::

"Akashi Seiryuuto"

.


Pemuda scarlet itu mengerang frustasi. Sedari tadi perjalanannya terasa begitu lama oleh adanya macet yang mengambil alih keseimbangan jalan raya pada jam-jam pulang kerja seperti sekarang. Tak terhitung olehnya sudah berapa kali ia menekan klakson mobil mewahnya–Chevrolet Corvette Stingray. Tapi tetap saja, kemacetan tak akan berkurang hanya dengan suara dengkingan klakson. Ditambah lagi dengan adanya badai salju yang berhembus menerpa hamparan jalan raya.

Pemuda itu–Akashi Seijuuro, melepaskan jas hitamnya dengan gerakan cepat. Ia melemparnya kesembarang arah pada jok belakang. Tak lupa tangan kanannya juga ikut mengendurkan dasi hitam yang ia kenakan, dan membuka dua kancing teratas dengan gerakan agak kasar. Akashi nampak acak-acakan. Keringat mengucur dari pelipisnya meskipun AC tetap menyala dan menghembuskan kesejukan.

Ya, ia tahu jika ini bukanlah dirinya. Seorang Akashi, seharusnya lebih bisa mengontrol emosi dan tingkah lakunya dalam situasi apapun. Namun ini sebuah pengecualian bagi Akashi Seijuuro yang saat ini telah berada di ambang batas kekhawatirannya. Akashi benar-benar merasa gelisah. Kemacetan yang menghambat dirinya menuju tempat tujuannya, membuat Akashi berkali-kali merutuki keadaan.

Walau begitu... tak pernah ia menyalahkan salju. Tak pernah ia menyalahkan segala sesuatu yang berhubungan dengan musim dingin. Kenapa? Karena ia sungguh mencintai musim dingin.

Akashi selalu memiliki alasan atas segala yang ada dalam hidupnya. Dan apakah alasan Akashi mencintai musim dingin? Yang pertama, karena Akashi dan sosok orang yang dicintainya telah lahir dalam waktu musim dingin. Yang kedua, Akashi telah berhasil meminang orang yang dicintainya pada saat musim dingin. Sungguh, Akashi sangat mencintai istrinya yang juga lahir di musim dingin tersebut. Yang ketiga, Anak pertamanya lahir dengan keadaan sehat ketika musim dingin. Yang membuat kebahagiaan seorang Akashi Seijuuro benar-benar terlengkapi.

Akashi menghela nafas. Ia memijat pangkal hidungnya pelan, berharap agar penat yang menggerogoti tubuhnya dapat terlepas. Mengingat kenangan masa lalu, mau yang membahagiakan atau yang menyedihkan, keduanya tetap sama saja akan membuat Akashi semakin jatuh cinta pada musim dingin.

Laju lalu lintas mulai terlihat berjalan. Perlahan, Akashi melajukan mobil mewahnya untuk semakin menyongsong ke tempat tujuan. Dengan segenap rasa cintanya terhadap sang buah hati, 2 jam terjebak macet yang menyebalkan bukanlah hal sulit bagi Akashi. Sembari melirik ke arah arloji hitam di pergelangan tangan kanannya, ia mendesah karena waktu telah menunjukkan pukul 19.07 malam.

Putra tunggal Akashi itu memiliki ekstrakurikuler basket, dan bimbel tambahan di sekolahnya. Sebagai siswa jenius berprestasi tingkat tinggi seperti ayahnya, putranya itu tergolong siswa yang sangat sibuk untuk tingkatan anak kelas 3 SD. Jam pulang yang seharusnya pukul 12.00 siang, kini menjadi 17.00 untuk putra kesayangannya dan beberapa temannya yang juga berprestasi.

Walau memiliki otak yang luar biasa pintar, namun putranya juga memiliki fisik yang rapuh nan lemah. Dan hal itulah yang Akashi khawatirkan sejak tadi. Hal serupa yang pemuda berambut merah itu khawatirkan pada Ibu dari putranya yang tampan tersebut.

"Tetsuya..."

Berhenti lagi. Macet mulai terjadi lagi. Dan pemuda dengan iris heterokromatik merah-emas itu kembali mendesah panjang. "Sayang, tunggu Otou-sama sebentar lagi, ne?" gumamnya pada diri sendiri. Sedikit berharap jika sang anak yang masih jauh dalam jangkauannya itu dapat mendengar harapannya barusan.

.

Akashi Seijuuro X Kuroko Tetsuya

.

Berakhir seperti ini. Posisi yang benar-benar membuat jantung Kuroko berdegup kencang. Saat ini, dirinya tengah duduk di atas meja guru yang berada di pojok dekat jendela. Sebenarnya, meja guru itu berada di tengah. Hanya saja, titah dari sang Akashi Junior membuat Kuroko memindahkan meja tersebut ke dekat jendela. Awalnya ia bingung, untuk apa hal ini dilakukan?

Setelah kebingungannya, kini ia pun menjadi lebih heran. Seiryuuto menyuruhnya untuk duduk di atas meja. Itu memang tidak sopan meskipun tak ada yang melihatnya selain mereka berdua, dan Kuroko tak suka itu. Tapi entah mengapa, tatapan perintah yang dimiliki oleh Seiryuuto berubah menjadi tatapan penuh luka jika itu Kuroko yang melihatnya. Dan dengan sempurna perintah Seiryuuto di ikuti oleh Kuroko yang mendudukan tubuhnya di atas meja.

Tanpa Kuroko duga-duga, anak tampan tersebut segera melempar tasnya ke sembarang tempat, lalu segera naik kepangkuan Kuroko yang mendadak gemetar sendiri. "Sensei?" tanya sang Akashi Junior sembari menengadahkan kepalanya, menatap paras dari guru sekaligus wali kelasnya yang kelewat manis itu.

Kuroko tersentak. Sontak ia memandang ke bawah, tepat pada permata heterokromatik merah-biru yang dalam sekejap telah memenjarakan perhatiannya untuk sesaat. Iris Baby blue itu terdiam. Tenggelam dan tertarik arus dari sesuatu yang tak Kuroko ketahui. Yang jelas, ia merasakan hatinya yang sakit bukan main. Kuroko terus berdiam dalam posisinya yang membuat kepala Seiryuuto pegal. Hingga akhirnya Seiryuuto memutuskan untuk berdehem kecil untuk kembali membawa kesadaran Kuroko sebelum jatuh terlalu jauh. Gaya seorang Akashi untuk mendapatkan perhatian.

Kuroko gelagapan sendiri, antara malu dan kaget. Walau tanpa ekspresi cukup untuk menunjukan jika ia tengah terkejut, dengan mata heterokrom merah-biru milik Seiryuuto, ia bisa mengetahui jika pemuda yang terkenal sukar berekspresi itu kini benar-benar terkejut.

"Ryuu-kun, Kenapa kau menjadikan dadaku sebagai sandaranmu?"

"Berisik. Aku mau tidur!"

Setelah beberapa saat, hening mengambil alih ruangan. Kedua mata ganda warna milik anak di pangkuan Kuroko itu menatap teduh keluar jendela yang dihujani salju. Ia tidak tidur, melainkan mencoba untuk menikmati pemandangan hamparan putih yang tersuguh di hadapannya. Sama seperti Ayahnya, ia juga mencintai musim dingin. Sedangkan Kuroko? Entah mengapa tangan mungilnya itu bergerak sendiri untuk memainkan surai lembut milik siswa kesayangannya itu.

.

'Akashi-kun, kenapa kau menjadikan pahaku sebagai bantalmu?!'

'Berisik. Aku mau tidur!'

'Akashi-kun!'

'Tetsuya, diam! Atau kupastikan jika kau tak akan bisa berjalan hingga satu minggu penuh!'

'H-Hai, Akashi-kun.'

.

"Sensei... peluk aku..."

Apa?

"Peluk aku..."

Pemilik mata sewarna langit itu mengerjap. Ia mencoba menajamkan telinganya kembali. Takut-takut jika ia salah dengar. "Kau mau kupeluk, Ryuu -kun?"

Seiryuuto menghela nafas. Ia menegakkan tubuhnya yang semula bersandar pada dada Tetsuya. Ia mengayun-ayunkan kakinya pelan. Pandangan matanya jatuh pada sepatu kecilnya yang berayun kedepan dan belakang seolah-olah tengah berjalan. Sesaat kemudian, ia membuka suara. "Aku tidak memaksa, Sensei. Kalau tidak mau, juga tidak ap –"

Kuroko memeluknya. Ya, Kuroko Tetsuya memeluknya. Dengan erat dan penuh kehangatan yang menyebar luar di setiap ujung jarinya. Baru saja ia hendak melompat turun dari pangkuan sang wali kelas, pemuda manis berkulit pucat itu segera memeluknya erat.

"Tubuhmu dingin!" Kuroko panik, walau wajahnya tak mengatakan demikian. Tanpa pikir panjang, Kuroko menarik lepas jaketnya dan memakaikannya pada tubuh Seiryuuto yang tergolong lebih mungil darinya. "Pakai ini." ujarnya sembari merapikan jaket yang melekat pada tubuh Seiryuuto, lalu kembali memeluknya hangat.

Dagu mungilnya bersandar pada kepala Seiryuuto. Menghisap lembut wangi coklat yang menguar dari tubuh mungil dalam pelukannya. Sungguh, pelukan itu sangat intens. Kuroko benar-benar mendekap sang Akashi Junior dengan erat dan penuh kasih sayang dari belakang. Bagaikan seorang ibu yang tak pernah berjumpa dengan sang anak yang kini telah tumbuh besar.

Yah, walau kenyataan yang ada memang begitu, bukan?

"Tetsuya-sensei..." Seiryuuto dapat merasakan jika dekapan sang wali kelas kian mengerat.

"Iya, Ryuu-kun?"

Kedua tangan Seiryuuto mendekap kedua tangan Kuroko yang berada di atas perutnya. Mencoba berbagi kehangatan terhadap guru yang kini menjadi sandaran sesaat baginya. Ia tahu, wali kelas imutnya itu juga pasti tengah merasa kedinginan.

'Aku mencintaimu... Okaa-sama...'

.

Akashi Seijuuro X Kuroko Tetsuya

.

Akashi segera turun dari mobil mewahnya begitu ia memarkirkannya di halaman Sekolah Dasar Teikou. Dengan alasan yang begitu jitu, serta kedudukannya yang terbilang sangat tinggi dalam perindustrian Tokyo, semudah membalikkan telapak tangan, ia dapat masuk dan keluar Sekolah Dasar dengan keamanan ketat tersebut.

Tangannya mengancingi dua kancing yang sebelumnya sudah ia lepas dengan beringas. Bersyukurlah ia jika kancing tersebut tidak ada yang lepas. Segera ia menarik dasi hitam yang sempat longgar dan membuatnya terlihat rapi kembali. Dengan sedikit mengibaskan debu di sekitar kemeja biru mudanya, Akashi mencoba untuk tetap terlihat sempurna di hadapan siapapun, terlebih jika di hadapan anaknya.

Kelas 3-A. Merupakan kelas unggulan yang telah diraih oleh putra kebanggannya. Langkah lebar Akashi menyebabkan beberapa benturan antara sepatu dan lantai yang terdengar nyaring di setiap lorong kelas. Selain faktor keadaan yang sunyi, langkah terburu-buru sang pemuda bermata heterokrom merah-emas itu juga menyebabkan bunyi yang cukup keras.

Sampailah Akashi di depan pintu kelas yang terbuat dari kaca bening berlapis gorden biru yang cantik. Ia menariknya tanpa pikir ulang dan segera memanggil putra kesayangannya itu. "Seiryuuto! Otou-sama datang untuk menjemput...mu."

Kian lama, perkataan Akashi menjadi kian lemah. Ia memandang dengan perasaan yang entah apa ketika dirinya disuguhkan pemandangan yang begitu menguras nurani ini.

"Otou-sama!" begitu merasakan jika dagu Kuroko sudah tidak berada di atas kepalanya lagi, ia segera menoleh dan mendapati sang Ayah yang diam terpaku dengan tatapan datar nan dingin. Ya, mungkin itu yang di pikirkan oleh orang lain. Jika Seiryuuto? Jelas ia mengetahui jika sang Ayah tengah dilema.

Kuroko tersenyum tipis ketika Akashi sudah datang menjemput Seiryuuto. Ia mengangkat tubuh yang telah berada di atas pangkuannya kurang lebih selama 2 jam itu. Dengan langkah pelan, Kuroko mengambil tas Seiryuuto dan memakaikannya pada punggung mungil berjaket biru muda di depannya. "Hai, Ryuu–kun." ujarnya sembari menepuk-nepuk kepala dengan surai merah terang.

Kuroko bangkit dari posisi merunduknya. Ia berdiri dan tak sengaja memandang mata yang juga memiliki warna ganda seperti Seiryuuto. Bedanya, yang ini bermata merah-emas. Ya, pemuda yang tidak terlalu tinggi darinya, namun lebih tegap dan lebih berwibawa.

Keduanya serasa dilanda euforia. Jantung mereka berdegup dua kali lebih cepat dari biasanya. Namun ada hal yang sedikit berbeda pada Kuroko. Kuroko meremas baju bagian dada kirinya, seolah ia dapat benar-benar menggapai jantungnya sendiri. Ia melakukan itu dengan reflek, disertai wajah penuh sirat luka.

Akashi segera memutus kontak pandang mereka. Ia mengenggam lembut jemari kecil Seiryuuto. Berharap jika sang buah hati ikut mengerti kondisinya yang seolah terdesak waktu. "Terimakasih karena telah menemani anakku, Kuroko-san. Aku tidak tahu bagaimana jadinya jika kau tak menemani Seiryuuto di sini." ungkap Akashi secara formal. Mencoba menahan hasratnya untuk segera merengkuh tubuh mungil berbalut kemeja merah yang sedari tadi telah memeluk anaknya, Akashi Seiryuuto.

"Tidak apa-apa, Akashi -san. Saya sangat senang karena dapat menemani anak anda." Kuroko membalas dengan tak kalah formal. Ia memberikan sedikit tundukan kepala, tanda bahwa Kuroko menghormati Akashi. Yang entah kenapa malah membuat hati Akashi perih.

Cukup, Akashi tidak tahan lagi. Ia segera menarik tangan kecil putranya dan segera pergi meninggalkan Kuroko sendirian dalam ruangan kelas 3-A. Sesaat setelah ia mengucapkan rasa terimakasihnya untuk yang kedua kalinya. Lalu, Kuroko juga tengah kebingungan sendiri, lantaran tangan kanannya yang sudah berada di atas dada kirinya.

.

Akashi Seijuuro X Kuroko Tetsuya

.

"Nee, Otou-sama."

"Ya, Seiryuuto?"

"Kapan... Okaa-sama akan ingat lagi padaku? Pada kita?"

Akashi berhenti berjalan. Ia memandang wajah anaknya yang benar-benar kopian dari wajahnya sendiri. Tatapan mata heterokrom itu memandang sendu ke arah lantai. Mau tak mau, Akashi juga ikut merasakan kesedihan hati yang dialami oleh buah hatinya... dengan Kuroko Tetsuya...

Sumpah demi apapun, pasangan Ayah-Anak tersebut benar-benar terlihat menyedihkan. Dibalik topeng diktator penuh intimidasi, mereka benar-benar rapuh di baliknya. Bahkan lebih rapuh dari orang yang menjadi penyebab kerapuhan mereka.

Hingga 'senyum' Akashi tiba-tiba berkembang dengan sendirinya. "Seiryuuto... ingatkan Otou-sama untuk mengembalikan jaket Okaa-sama mu itu."

.

.

.

T.B.C

.

.

.

Wuh, akhirnya setelah sekian lama saya melupakan password akun saya, saya bisa kembali membukanya karena saya telah ingat kembali dengan passwordnya :D

Ini dia, FF pertama saya di fandom Kurobas. Dengan OTP nomor 1 saya di fandom ini, yaitu AkaKuro

Prolog ini benar-benar tidak saya baca ulang. Karena laptop harus berbagi dengan adik saya yang cerewet. Dan alasan saya sudah mencapai jenjang terakhir SMA, membuat saya agak dibatasi dengan dunia maya T_T

AkaKuro OOC banget, ya? Iya :D

Itu karena saya mencoba untuk menyesuaikan sifat dan karakteristik mereka dalam FF saya ini :*

Berhubung saya sudah lama sekali tidak menulis FF, dan saya juga masih sangat amatiran, saya minta maaf atas segala kekurangan yang ada dalam FF ini. Sebisa mungkin, saya bakal memperbaiki hal-hal tersebut di cahpter depan.

Yah, itu jika FF ini tidak berakhir di tujuan alternatif, yaitu 'DELETE' (:

RnR, Please...