Disclaimer : Saya sudah berulang kali menulisnya dan tidak akan pernah berubah meski kiamat di depan mata. Naruto tetap milik Masashi Kishimoto-sensei. Tulisan ini hanya pengantar ide dari otak absurd saya, bukan untuk kepentingan komersil.

Warning : Jadwal update tidak tertebak. Author tukang ngibul. Gak bisa dipercaya. Payah. Pantas dibakar. Sekian.

Enjoy Please~

.

.

.

Berniat menguasai teknik penyegelan Uzumaki, ia salah mengaktifkan segel sehingga gendernya tanpa sengaja berubah jadi perempuan.

Bertekad melindungi desa walau selama ini yang didapatnya hanyalah cacian dan makian, ia malah dianggap ancaman yang harus disingkirkan.

Berhasil menemukan figur seorang ayah, ia harus menelan kenyataan pahit bahwa sosok itu telah dibunuh oleh sahabatnya sendiri.

Mungkin Kami-sama berpendapat hidup Naruto masih kurang greget, sehingga memberi Naruto bonus : Naruto terbangun di peron Uzushio. Tak jauh di hadapannya, ia bisa melihat Uchiha Sasuke versi 6 atau 7 tahun yang lalu. Pantas saja ia merasa aneh. Badannya juga serupa. Perbedaannya, sesuatu di antara selangkangannya—yang dengan sukses ia hilangkan gara-gara sebuah segel tingkat tinggi saat umur segitu—masih ada di sana.

Naruto bingung antara harus mengernyit atau menjerit, "WHAT THE HELL, GOD?!"

Ada tiga kemungkinan mengapa Naruto bisa terbangun dalam keadaan seperti ini. Satu, ini hanya sebuah mimpi. Dua, kurang lebih 16 tahun hidupnya itu hanya mimpi dan ia tidak ingat apapun selain mimpinya. Tiga, Naruto tanpa sengaja mengaktifkan sebuah segel asing dan mengirim dirinya sendiri ke dunia paralel. Entah mana yang benar.

"Oi, Naru!" Suara Sasuke menyapa telinga dari jauh. "Sebaiknya kita pulang! Aku tak mau dimarahi ibumu!"

Naruto menggertakkan giginya. "Kau mengejekku, sialan?!"

Booft.

"T-tung—"

Buagh!

Naruto menyeringai puas, menatap tajam pada Sasuke yang baru saja ia jatuhkan sesaat setelah dirinya melakukan Hiraishin. "Makan itu, Uchiha sialan!"

Sasuke bangun dalam satu hentakan, mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan darah. Mata hitamnya berkilat marah. "Apa masalahmu, Namikaze?!" Kepalan tangan Sasuke ditangkap oleh Naruto. "Aku mengingatkanmu untuk segera pulang! Kau lupa bagaimana mengerikannya ibumu kalau dia marah?! Hanya karena aku lahir lebih cepat beberapa bulan darimu, aku yang disalahkan!"

Naruto tergagap tak mengerti. Apa maksud Sasuke? Kenapa dia memanggilnya Namikaze? Dan…apa maksudnya ibu Naruto…

"…Naruto? Kau baik-baik saja?" Sasuke terdiam. Anak itu melambaikan tangannya di depan wajah Naruto dengan sebelah alis terangkat. "Kau tidak membuat ramuan aneh-aneh dan membuat dirimu amnesia mendadak, kan?"

Naruto tersedak ludahnya sendiri, tidak menghiraukan Sasuke barang sejenak. Matanya melebar seiring dengan terbentuknya sebuah kesimpulan dalam kepalanya. Dia, bukan dirinya yang 'dulu'. Peron tempatnya biasa rehat sejenak dari latihan itu pun tampak terurus. Catnya cerah, tidak berlumut, dan…

J-jangan bilang…!?

"Oi, OI!" Mengabaikan Sasuke yang kini mengejarnya dengan keheranan tersirat dari mata hitam anak itu, Naruto berlari menerjang portal Uzushio.

Naruto seakan ditarik kembali ke masa di mana ia rajin 'main kucing-kucingan' dengan Anbu Root. Portal yang baru saja diterjangnya menghubungkan Uzushio pada ruangan dengan tata letak familiar—Kamar tidur rumah peninggalan Yondaime yang ia ratakan dengan tanah. Akan tetapi, kontras dengan ruang kotor penuh debu sana-sini, ruangan yang ia pijaki ini justru amat berwarna.

Sebuah aroma sedap menggelitik indera penciuman Naruto. Nasi kare, ia terka. Kakinya reflek bergerak menuju sumber wewangian yang menggoda. Dua bagian tubuh yang pernah menakuti seorang Hatake Kakashi karena efek tendangannya itu sukses dibuat membeku. Naruto melihat seorang wanita berdiri di depan kompor dengan celemek putih memeluk tubuhnya. Rambutnya merah menjuntai, nyaris menyentuh lantai.

Uzumaki Kushina. Naruto tidak mungkin lupa dengan rambut indah itu.

"KAA-SAN!"

Kushina terlonjak kaget. Wanita itu berbalik, ekspresi wajahnya mengatakan kalau ia sedang marah. Namun, ketika dua tangan mungil Naruto memeluk pinggangnya dan anak itu mulai sesenggukan, Kushina mengernyit heran.

"Ada apa, sayang?" Kushina menyejajarkan tingginya dengan buah hatinya. Ketika Naruto tak menjawab, mata indahnya berubah menyeramkan dengan satu objek tatapan : Uchiha Sasuke. "Kau yang menjelaskan atau aku yang memohon secara 'baik-baik', dattebane?"

Sasuke meneguk ludahnya panik. "Bukan aku, sumpah!"

Naruto yang sudah bisa mengontrol air matanya kini melirik Sasuke. Didorong rasa dendam kesumat yang ia dapat gara-gara Sasuke di entah-mimpi-atau-kenyataan yang ada di memorinya, Naruto lanjut menangis. Kali ini bohongan.

"S-Sasuke jahat padaku, ttebayo!"

Cukup mendengar satu kalimat itu, Kushina terkekeh menyeramkan. Wanita itu membisikkan kata-kata lembut penyejuk hati, kemudian melepaskan pelukannya dari Naruto. Perlahan tapi pasti, langkah wanita itu membawanya mendekat pada Sang Bungsu Uchiha.

"Selamat tinggal, dunia," bisik Sasuke, hebatnya masih dalam intonasi datar khas. Padahal, hatinya sudah mewek kejer.

Naruto tertawa lepas begitu Sasuke hengkang diekori oleh Kushina yang sudah masuk mode habanero. Kembali digoda oleh harumnya kare, Naruto mendekati kompor dengan cengiran lebar. Dia menggunakan sebelah tangannya untuk mematikan kompor, sedang sebelah yang lain menyeka sisa air mata di pipinya.

"Kalau kau seperti itu terus, suatu saat nanti Sasuke minta dipecat jadi temanmu, lho." Satu suara baritone gantian mengejutkan Naruto. Berbalik, ia melihat sosok ayahnya dengan pakaian santai. Matanya yang agak sayu menandakan bahwa pria itu baru saja bangun tidur. "Bagaimana latihan hari ini?"

Naruto lagi-lagi memeluk sosok yang dilihatnya sambil sesenggukan.

"Kau ini kenapa?" Minato bertanya heran. Tak biasanya Naruto emosional seperti ini. Pria itu terkekeh saat cengkraman Naruto pada kaosnya mengerat. "Kau melihat hantu di Uzushio?"

Naruto bergidik ngeri. Melepaskan pelukannya, anak itu menendang tulang kering Sang Ayah karena kesal. Ia paling benci kalau ada yang membicarakan tentang makhluk maya itu. "Hantu yang kulihat justru ada di depanku!"

Minato mengernyit. "Maksudmu, aku?" Mendapat anggukan pasti, pria itu tertawa. "Dasar tidak sopan. Tou-san itu nyata, Nak!"

"Aku mimpi buruk, tou-san." Naruto mengalihkan pandangannya pada kaki kecilnya. "Di mimpi itu, kau dan kaa-san meninggal sebagai pahlawan desa, meninggalkanku dengan Kyuubi di dalam tubuhku. Semua penduduk tak mengacuhkanku. Aku jadi pembuat onar agar semua orang menganggapku ada."

Minato tertawa kecil, menarik putranya ke ruang keluarga. Lalu, mereka duduk bersebelahan di sofa. "Bagaimana akhir mimpi itu?"

"Sasuke masuk organisasi penjahat, membunuh guru yang sudah kuanggap seperti ayah sendiri. Kami bertarung, sampai aku hampir membunuhnya. Lalu rekan Sasuke datang dan melukai Sasuke. Sasuke mengkhianati penjahat itu, yang artinya dia sebenarnya memihak desa. Akhirnya, aku mengorbankan nyawaku sendiri untuk menyelamatkan Sasuke dan teman-temanku yang sekarat karena anak itu juga. Setelah itu, aku terbangun di peron altar Uzushio."

"Keren. Seperti kisah klasik kepahlawanan!" Minato mengacak gemas rambut pirang putranya.

"Keren apanya?!" Naruto mendengus kecil. "Aku punya firasat buruk kalau mimpi itu akan berlanjut."

"Hm?" Minato tersenyum penuh makna. "Kau pasti bisa berakhir menjadi pahlawan di mimpimu."

Naruto menatap mata biru ayahnya, mencari jawaban di sana. "Bagaimana tou-san begitu percaya? Bagaimana kalau aku jadi penjahat dan memusnahkan seluruh populasi manusia? Tou-san tidak tahu, di mimpi itu aku menyatakan keluar dari desa langsung ke hokage."

"Kau anak tou-san." Minato menepuk puncak kepala putranya dengan lembut. "Di sana tou-san mati sebagai pahlawan, kan? Meski kau keluar dari desa ataupun jadi penjahat, tou-san tahu setidaknya kau tidak akan sudi nyawa tou-san terbuang sia-sia."

"Bagaimana kalau aku mengecewakanmu?" Naruto bertanya penasaran.

Minato menyeringai. "Tidak mungkin terjadi. Aku percaya sepenuhnya padamu, Naruto!"

Setelah itu, hanya kegelapan yang dapat Naruto lihat.

.

.

.

Go sit and rest once in a lifetime. Even the strongest knight has a weak side.

.

.

.

Uzumaki's Prodigy

Chapter 34 [A Little Journey to The Past]

Tidak perlu waktu lama bagi Naruto untuk mengenali tempatnya berada sekarang ini. Ruangan dengan dinding, langit-langit, lantai, bahkan perabotan yang rata-rata berwarna putih. Tak salah lagi, Rumah Sakit Konoha.

Naruto menghela napas, lalu mendudukan dirinya di bangsal pasien yang ia tempati. Menoleh ke samping kanan, ia dapat melihat sosok Karin dan Matatabi yang tidur saling menyender di sofa. Mau tak mau, Naruto tersenyum simpul.

Mulai meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku, Naruto teringat kejadian yang menjadi alasan pasti mengapa ia bisa berada di sini sebagai pasien. Sesuai dengan perhitungannya, semua chakra yang ia salurkan untuk mengaktifkan teknik regenerasi spesial itu tidak membuatnya mati.

Ah… Naruto berandai. Mungkinkah lebih baik jika ia tak bisa bangun dan terperangkap pada mimpi indah tadi?

Tiba-tiba saja, Naruto mendapat dorongan untuk mencari udara segar. Oleh karena itu, Naruto meninggalkan ruang rawatnya dengan langkah perlahan. Melewati koridor rumah sakit yang sudah sepi—tengah malam, Naruto terka—pemuda itu bergegas menuju atap rumah sakit.

Satu langkah menapaki atap, Naruto terpaku di tempat. Ia bisa merasakan sebuah chakra tak asing di seberang sana. Bukan hanya dirinya, sosok yang bersangkutan pun rupanya merasakan keberadaan Naruto. Sosok yang semula memandang lurus ke pemukiman penduduk, kini berbalik dan bertatap muka dengan Naruto.

"…Ah. Kau sudah bangun." Suaranya terdengar samar diakibatkan oleh jarak mereka yang cukup jauh.

Kemudian, sosok itu mendekat dengan langkah santai. Seiring berkurangnya jarak di antara mereka, tangan Naruto terkepal erat. Sejauh lima langkah mereka berdiri berhadapan, Naruto tak bisa menahan diri lagi.

Tap.

Buagh!

Naruto melakukan shunshin dan menghantamkan kepalan tangannya ke pipi sosok itu hingga badannya terpelanting. Baru saja sosok itu hendak bangun, Naruto kembali melakukan gerak kilat. Ia cengkram kerah sosok itu, mengangkatnya hingga wajah mereka sejajar. Bibir Naruto bertahan pada satu garis horizontal, tapi matanya jauh berbeda.

"Apa yang kau pikirkan, Uchiha?"

Sosok itu—ya, Uchiha Sasuke namanya—terdiam tanpa melakukan perlawanan. Dia merasa sangat pantas Naruto hajar.

"Kalau Itachi, aku masih bisa memaklumi. Dia dan Shishui tak punya pilihan lain. Tapi, kau?" Satu tinju kembali diterima pipi Sasuke. "Kau pikir dengan menjadi penjahat, kau akan sekeren kakakmu? Hee… Anak manja ini mengira dia adalah pahlawan."

Sasuke tersinggung. Dia menepis kasar tangan Naruto, lalu melayangkan tendangan yang tentu saja Naruto hindari dengan melompat 2 meter ke belakang. Pemuda bermarga Uchiha itu memijit pelan pipinya yang terasa linu, matanya tak lepas dari sosok yang selalu bersamanya selepas pembantaian klan.

"Bukankah kau sendiri yang berlagak seperti pahlawan?" Sasuke mendecih. "Seolah kau bisa melakukan segalanya."

Naruto menggeram rendah. Dia berlari menerjang Sasuke. Kali ini, Sasuke sudah siap menangkisnya. Pukulan lain dikeluarkan, Sasuke menangkap tangan Naruto. Kaki ganti berulah, Sasuke melompat salto melewati badan Naruto. Pemuda itu menendang punggung Naruto. Naruto terjatuh. Ia menggunakan tangannya sebagai penumpu berat badan, lalu memberikan dorongan dan mendarat dengan keadaan siaga serang.

"Aku hanya melakukan apa yang memang mampu kulakukan! Siapa peduli soal menjadi pahlawan?!"

Kali ini, keduanya saling menerjang. Hanya beradu pukulan dan tendangan biasa. Tanpa ada teknik khusus maupun penggunaan chakra. Selain karena keduanya tak mau menimbulkan keributan dan kehancuran, saat ini mereka bukan bertarung sebagai dua shinobi yang punya jalan berbeda. Mereka berhadapan sebagai dua kawan lama.

Bug! Bug! Syut. Tap!

"Biarkan aku menjelaskan!"

Bug! Bug! Tap! Tap!

"Apa lagi yang mau kau jelaskan, sialan?! Semuanya sudah jelas!"

Syut!

Sasuke menggertak kesal. Serangan Naruto semakin membabi-buta seiring tumpahnya semua emosi yang ia pendam selama ini. Sasuke tidak punya pilihan lain. Ia mengaktifkan Sharingan, langsung mengeluarkan tulang rusuk keunguan Susano'o dan menggunakan tangan raksasanya untuk menangkap tubuh Naruto.

"KAU HARUS MENDENGARKANKU! SAAT ITU AKU JUGA TIDAK MAU KELUAR DESA!" Bentakan dari Sasuke berhasil membuat Naruto diam dalam genggaman Susano'o. "Ini satu-satunya rencana yang paling efektif untuk menjauhkan Akatsuki dari Konoha! Itachi bilang, aku masih bisa kembali ke desa tanpa perlu khawatir soal statusku selama aku bisa menggunakan teknik khusus mata Shishui!"

Naruto pun pernah mengkhawatirkan apa yang akan terjadi jika suatu saat Sasuke kembali ke desa. Teringat dengan teknik khusus itu, tentu saja bukan perkara sulit untuk memanipulasi sebagian penduduk desa. Nama Sasuke akan bersih dalam waktu singkat. Namun, bukan itu yang Naruto permasalahkan.

Sasuke hanya bisa mengernyit ketika tubuh Naruto menghilang dari tangan Susano'o. Lalu, Naruto tiba-tiba ada di hadapannya. Setelah itu, pipinya dihadiahi satu tinjuan terakhir.

"Aku tahu kau bisa mengatasi akibat dari keputusanmu untuk keluar desa," Naruto berbalik memunggungi Sasuke. "Kau membunuh Shishou. Itu yang jadi masalah."

Setelah itu, Naruto mengaktifkan portal menuju Uzushio dan menghilang dari hadapan Sasuke.

"Sudah kubilang ini ide yang buruk, Jiraiya-san…."

.

.

.

Karin bukan termasuk orang yang mudah panik. Dua kali nyaris mati, ia pasrah-pasrah saja.

Akan tetapi, kali ini tak bisa dipungkiri, Karin benar-benar panik. Pasalnya, saat ia bangun, bangsal yang ia jaga semalaman bersama Matatabi sudah kosong tak berpenghuni.

Naruto menghilang.

Bagaimana ia tidak panik? Selama tak sadarkan diri, pemuda itu menjadi buronan Akatsuki yang murka. Kalau tak salah dengar, Naruto telah menipu mereka dengan chakra bijuu palsu? Yang jelas, ulahnya sukses menimbulkan kekacauan yang membuat seluruh pemimpin negeri elemental mengadakan pertemuan dan bergegas menyiapkan perang.

Sekarang, ia tiba-tiba saja menghilang dari bangsalnya. Dan Karin tak dapat merasakan keberadaannya sama sekali.

"…Rin. Karin!" Matatabi menepuk pundak Karin agak keras. Gadis berkacamata itu terlonjak kaget. "Tenang, oke? Kita cek ke Mansion Uchiha. Siapa tahu Naruto pulang duluan dan sedang melakukan sesuatu yang membuatnya tak terdeteksi."

Karin menghela napas dan mengangguk. Kemudian, keduanya kembali ke Mansion Uchiha bersama-sama.

Sayang sekali, Naruto tidak ada.

Ketika seisi rumah panik dan berniat mengirimkan sinyal tanda bahaya, seseorang membuka pintu dan masuk tanpa permisi. Sosok itu berjalan mendekat dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku. Mata hitamnya tampak keheranan. "Kalian kenapa?"

Bukan Uzumaki Naruto.

"Tidak perlu sok peduli, Uchiha." Keempat jelmaan monster berekor kompak berujar.

Itu hanya Uchiha Sasuke.

"Cih. Kalian yang menumpang di rumahku, tapi aku yang merasa seperti keberadaanku tidak diinginkan." Sasuke menatap datar pada empat sosok itu, lalu melanjutkan langkahnya ke dapur. "Kalau kalian panik karena Naruto, tengah malam tadi dia bangun dan langsung ke Uzushio."

"Kau mau ke mana?" tanya Karin penasaran, sekembalinya Sasuke dengan sebuah bento di tangannya. Para jelmaan bijuu sudah berpencar entah ke mana dan sedang apa.

"Menyusul Naruto." Sasuke mengaktifkan portal yang dulu biasa dipakai oleh tim 7. Ia terdiam sejenak, menatap Karin. "Kau mau ikut?"

Tentu saja, Karin ingin ikut. Akan tetapi, gadis itu memilih untuk menolak tawaran tersebut. Ia sangat mengerti, banyak yang harus diselesaikan oleh dua kawan lama yang biasa bersama itu.

"Mungkin lain waktu."

"Hn, baiklah."

.

.

.

Seperti yang telah Sasuke duga, Naruto sudah tertidur di peron Uzushio ketika ia menyusulnya. Ada banyak perkamen dan kertas yang berserakan di sekitarnya. Ada satu benda di pojok peron yang berhasil mencuri perhatian Sasuke, yaitu gulungan raksasa milik Jiraiya.

"Kerja bagus, Uchiha Sasuke!"

Bau amis…

Senyum tera—

Sasuke mengalihkan pandangannya pada objek yang menjadi alasan mengapa ia ke Uzushio. Kaki dilangkahkan hati-hati, agar tidak menginjak benda-benda penting yang berserakan di sana. Sasuke berjongkok, meletakkan bento tak jauh darinya. Kemudian, tangannya terulur untuk mengguncang pelan bahu Naruto.

"Hei…"

Tak ada respon. Sasuke menambah tenaga pada tangannya.

"Nar…"

Masih tak ada respon.

"Woi!"

Plak! Plak!

Sasuke menampar pipi Naruto, tapi yang bersangkutan masih menolak untuk kembali ke dunia nyata.

Kehabisan akal, Sasuke menggunakan cara ampuh membangunkan Naruto yang diciptakan oleh Kurama. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Naruto, lalu sengaja menghembuskan napas di sana. Melakukan hitungan mundur di dalam hati, Sasuke mencoba untuk terkikik seperti sadako.

"U-UWAAA!"

Jduak!

Naruto berhasil dibangunkan. Yaa…, meski akhirnya jidat mereka bertubrukan.

"S-Sialan! Apa-apaan?! Dan…KENAPA KAU ADA DI SINI?!" Naruto berdiri, menunjuk-nunjuk Sasuke tidak terima. Matanya membulat horror, ia berkeringat dingin. Tadi, Naruto bermimpi sedang bermain kucing-kucingan bersama Ibu dan Ayahnya, tiba-tiba saja mereka berubah menjadi sadako. Bagaimana Naruto tidak senewen?! "Siapa yang mengizinkanmu menyusulku?!"

"Kekasihmu, Karin."

"Dia bukan—"

"—Boleh buatku?"

"—Keka—what? JANGAN BERANI-BERANI MENYEN—"

"—Makanlah." Sasuke menunjuk bento yang dibawanya. Naruto terdiam, memandangi benda berbentuk balok itu tanpa minat. "Kurama yang masak, kok."

Meskipun sangsi, pada akhirnya Naruto tetap membawa bento itu menjauh dari Sasuke. Menyamankan posisi duduk, Naruto mulai melahap isinya. Dua suapan berhasil disantap, Naruto menyempatkan diri untuk melempar tatapan penuh dendam pada satu-satunya Uchiha di sana.

"Ini bukan buatan Kurama, dasar penipu!"

Sasuke menyeringai kecil. Meskipun protes, Naruto tetap melanjutkan makannya. Ia anggap sikap Naruto ini sebagai lampu kuning. Bukan hijau, tapi setidaknya bukan merah pula. Naruto memberinya kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya. Untuk sementara, Sasuke merasa semua itu sudah cukup.

Kira-kira setelah menghabiskan setengah dari isi bento, Naruto bertanya, "Berapa lama aku tak sadar?"

"Hampir satu bulan," jawab Sasuke. Naruto menatapnya horror. "Terima kasih padamu yang telah memberikan chakra bijuu palsu dan membuat Akatsuki murka, sekarang semua negara sedang bersiap-siap untuk memerangi mereka."

Naruto tersedak. Apa? Chakra palsu, katanya? Hei, dia nyaris mati kehabisan chakra gara-gara Akatsuki! Itu chakra asli! Itu salah Akatsuki sendiri karena menyerap chakranya yang jelas-jelas berbeda dengan chakra bijuu biasa! Dan… Tunggu… Bersiap-siap untuk perang? Pantas saja Naruto merasakan sesuatu yang aneh dengan desa! Ia tidak merasakan chakra-chakra kuat dari beberapa ninjanya! Naruto awalnya berpikir, keadaannya yang masih memulihkan chakra yang telah membuat sistem sensorik tubuhnya agak ngaco.

Rupanya penghuni desa memang tidak kumplit.

"Kenapa kau tidak memberitahuku dari awal?!" Naruto menggertakan giginya, segera menghabiskan isi bento yang tersisa. Setelah itu, ia membereskan kotak tersebut dan melemparnya pada Si Pemberi. "Aku akan menyusul—"

Naruto membatalkan niatnya untuk segera berdiri dan hengkang dari sana. Sasuke kini berdiri tak jauh darinya, dengan sebilah pedang ditempelkan di leher Naruto. Melirik pemuda itu, Naruto tak dapat menahan dengusan. Sasuke sedang mengaktifkan Mangekyou Sharingan.

"Kau adalah objek yang diinginkan Akatsuki. Aku diperintahkan untuk menjaga objek itu tetap selamat di desa," ujar Sasuke lugas. "Aku tak akan membiarkanmu menyusul."

"Tanpaku, apa yang kalian bisa lakukan dengan bijuu yang Akatsuki miliki?" Naruto mendecih. "Baiklah, terserah padamu. Kalau selesai perang shinobi jadi musnah, jangan salahkan aku."

Naruto menepis senjata Sasuke, lalu berdiri dan kembali ke Mansion Uchiha dengan langkah biasa. Sesampainya di sana, Naruto langsung lompat ke sofa, merebahkan dirinya. Matanya menatap lurus ke langit-langit rumah itu. Saat Sasuke duduk di sofa seberang, Naruto sempat meliriknya sebentar.

Kemudian, sunyi.

.

.

.

Kepulan asap dapat terlihat dari Perpustakaan Konoha. Konohamaru, Moegi, dan Udon yang sedang berpatroli mengelilingi desa segera berlari ke sumber kepulan asap. Begitu sampai di sana, mereka terbelalak kaget. Petugas perpustakaan terbaring tak sadarkan diri dengan bibir membiru. Beberapa buku berserakan tak beraturan. Jauh lebih ke dalam, tepatnya dekat rak arsip yang sepertinya menjadi sumber ledakan, Konohamaru dkk mendapati dua rekan seangkatan mereka yang tersungkur di tanah—badannya luka-luka.

"K-Konoha-m-maru… P-panggil N-Naruto-san. H-Hiraishin… R-racun… Uhuk!"

Tanpa banyak bertanya, Konohamaru langsung berbalik dan segera berlari. Meninggalkan tugas pertolongan pertama dan penggalian informasi atas apa yang sebenarnya terjadi pada dua rekan setimnya. Seluruh Negara elemental sedang bersiap untuk melaksanakan perang. Ini bisa saja menjadi hal gawat yang dapat membahayakan penduduk Konoha. Konohamaru tidak bisa membiarkannya.

Sesampainya di komplek mansion Uchiha, Konohamaru terfokus pada satu hunian yang beberapa kali ia kunjungi selama ini. Pintu geser ia buka tanpa permisi. Anak itu menghela napas lega saat melihat Naruto ada di ruang depan. Setidaknya, keputusan Konohamaru untuk bergegas ke rumah ini benar dan ia tak perlu pusing mencari Naruto—yang kalau sudah menghilang, mencarinya akan sangat susah.

"N-Naruto-san!" Konohamaru mengatur napasnya yang terengah-engah. "Gawat!"

Naruto mendudukkan dirinya, mengernyit heran. "Gawat?" beonya singkat.

"Perpustakaan Konoha diserang! Petugasnya keracunan! T-tadi Ritsu mengatakan sesuatu tentang Hiraishin dan—"

Naruto terfokus pada Perpustakaan Konoha dan Hiraishin yang Konohamaru ucapkan. Seketika, mimik wajahnya menunjukan kepanikan. Melupakan emosinya sejenak, Naruto menatap Sasuke. "Kita ke sana sekarang."

Sasuke mengangguk, "Hn."

Naruto melirik Konohamaru sejenak, lalu jalan duluan. Di gerbang mansion, mereka bertemu dengan Karin yang membawa kantong plastik penuh bahan makanan. Gadis itu tampak khawatir.

"Naruto! Aku melihat asap di sana!" Rupanya Karin melihatnya juga. "Ah! Kau mau mengeceknya?"

Naruto mengangguk. "Kau harus ikut!"

Berempat, mereka melompati atap rumah warga dan pertokoan yang ada untuk mempercepat perjalanan menuju perpustakaan. Begitu sampai, Karin langsung memeriksa petugas perpustakaan yang keracunan. Sedangkan Sasuke dan Naruto mengikuti Konohamaru ke bagian pengarsipan.

Naruto langsung memeriksa arsip yang ada, bahkan mengumpulkan arsip-arsip yang rusak akibat ledakan. Tangannya mengepal erat begitu sadar ada yang menghilang di sana. Satu-satunya arsip yang ia hafal betul-betul isinya. Arsip mengenai segel Hiraishin.

"Naruto," Sebuah tepukan diterima pundak Naruto. Menoleh, ia bertemu pandang dengan Sasuke. "anak itu bilang, penyusupnya seorang pengguna Kugutsu dan mengatakan sesuatu soal Reruntuhan Rouran. Kita masih belum terlambat untuk mengejarnya."

"Mukade." Naruto berucap tanpa sadar.

"Maksudmu?" Sasuke menatap Naruto tak mengerti.

"Aku sudah membaca jurnal misi Ayahku, terutama yang berkaitan dengan segel. Misinya di Rouran menyangkut dengan segel Hiraishin. Aku masih ingat deskripsi Ayah tentang musuhnya saat itu. Mukade namanya. Dia seorang pengguna kugutsu." Naruto menjelaskan.

Siapa peduli soal perang? Masalah ini tidak bisa dianggap remeh!

"Sasuke, kau pergilah duluan!" Naruto membungkuk untuk mengambil sebuah Kunai Hiraishin dari segel penyimpanannya. Kunai itu kemudian ia berikan pada Sasuke. "Bawa ini."

"Tidak berteleportasi lewat sini?" Sasuke menunjuk lehernya, bertanya keheranan. Akan tetapi, kunai itu tetap diterima olehnya.

Naruto mendengus. "Lebih efisien begini."

Sasuke hanya bergumam menanggapinya. Kemudian, pemuda itu berangkat mengejar buronan mereka yang diperkirakan bernama Mukade itu. Sedangkan Naruto membantu Moegi menyembuhkan temannya menggunakan chakra medis. Karin pun tak luput ia bantu. Untunglah petugas perpustakaan yang gadis itu tangani hanya keracunan racun yang umum dipakai para pengguna kugutsu. Sehingga tidak sulit untuk mendapatkan penawarnya.

Membiarkan petugas itu ditangani lebih lanjut oleh pihak rumah sakit, Naruto berangkat bersama Karin. Hiraishin dilakukan, dalam waktu singkat, mereka sudah berada di sisi Sasuke. Untuk beberapa waktu selanjutnya, mereka fokus melompati pohon-pohon tanpa berbicara pada satu sama lain.

.

.

.

"Jadi… Dunia ini sedang berperang?" Naruto bertanya tiba-tiba. Mata birunya melirik pada gadis berambut merah yang berada di sisi kanannya.

"Kurasa baru mau mulai. Ini salahmu yang telah membuat semua pemimpin Negara elemental panik akan penyerangan tunggal dari Akatsuki sehingga mereka berpikir lebih baik jika mereka menghimpun tenaga dan menyerang bersama." Jawaban ini datang dari Uchiha Sasuke.

Naruto mendesis kecil. "Aku tidak berbicara padamu, Uchiha."

Sasuke yang mendapat respon jutek begitu hanya bisa mendengus. "Aku tahu kau marah. Tapi ini terlalu kekanakkan!"

Naruto mendelik ke arah kirinya—tepat di mana Sasuke berada. "Aku tidak minta pendapatmu."

"Gaki." Sasuke memutar bola matanya.

"Maaf jika gaki ini mengganggumu, ojii-san."

"Ojii-san?" Sasuke merengut kesal. Ia berniat membalas hinaan Naruto itu, tapi ujungnya malah tertawa. Teringat akan masa-masa mereka di academy di mana berbalas hinaan adalah kegiatan rutin yang tidak boleh dilewatkan.

"Oh, bagus. Di saat kita sedang mengejar seorang penjahat gila, kita harus mengurus Uchiha kerasukan juga!" Naruto menyeringai kecil.

Sasuke mendengus, melempar sebuah shuriken yang langsung Naruto tangkap tanpa mengalami kesulitan. "Kuharap kau kembali jadi perempuan, Dobe." Sasuke menyumpahi.

Naruto menggeram rendah, melempar kembali shuriken yang ditangkapnya ke Sang Empunya. "Mati saja sana, Teme." Ia bergidik ngeri, membayangkan jika gendernya kembali berganti.

"Seharusnya aku sudah mati di tanganmu. Mau bagaimana lagi, ternyata aku kau anggap lebih berharga dari nyawamu sendiri." Sasuke menatap lurus ke jalan yang akan dipijakinya. Tetapi, sebuah senyum simpul terukir di wajahnya.

Naruto mendengus dongkol. Sedikit menyesal karena tidak menghabisi nyawa Uchiha sialan itu selagi ia bisa. "Kau berhutang nyawa padaku. Mulai sekarang dan selamanya, diam dan jadilah pelayan yang baik!"

"Kau butuh aku untuk di sisimu selamanya? Aku terharu." Sasuke berucap datar. Naruto gatal ingin meninju wajahnya.

Selagi Naruto kehabisan bahan hinaan dan terlalu malas untuk memikirkan yang lainnya, Karin terkikik kecil. Menurut gadis itu, percakapan yang terjadi tadi begitu menarik untuk ditonton.

"Kak Kurama benar. Kalian memang akrab."

Sasuke dan Naruto reflek berhenti melangkahkan kaki. Keduanya menatap Karin yang sedang tersenyum lebar.

"Yeah… Memang." Sasuke yang pertama menanggapi perkataan gadis itu. Ia menggendikan bahunya, lalu lanjut melompat.

"Itu dulu." Naruto menyusul, mengumpat pelan. "Kau! Uchiha! Berhenti bicara padaku! Aku tak mau dianggap akrab denganmu!"

"Sejak kapan kau jadi tsundere?"

"AKU TIDAK TSUNDERE, SIALAN!"

Karin tertawa kecil. Matatabi benar, sepertinya Uchiha Sasuke memang orang yang paling mengerti Naruto. Berani bertaruh, tidak lama lagi Naruto akan memaafkan Sasuke sepenuhnya.

Mereka akrab sekali. Ah. Aku jadi iri.

.

.

.

Boleh dibilang, Itachi cukup terkejut.

Ia kembali ke desa untuk memberikan semua informasi yang telah dikumpulkan olehnya dan Sasuke selama di Akatsuki. Membuka kedoknya sebagai agen ganda yang diutus oleh Sandaime Hokage. Ia dan Sasuke sudah menyiapkan rencana cadangan. Jika keberadaan mereka tidak diterima, mereka akan gunakan kemampuan mata Sasuke untuk memanipulasi ingatan para pimpinan desa.

Tapi, Tsunade menerima mereka. Ya, meski bukan dengan cara ramah. Mungkin, wanita itu tidak mau mengambil resiko kehancuran desa kalau Sasuke benar-benar melaksanakan rencana cadangan mereka dan lebih memilih untuk bekerja sama. Apapun untuk membasmi Akatsuki.

Intinya, Itachi bersyukur.

Apalagi, Sandaime dan Tsunade memintanya untuk ikut menjadi pembuat strategi bersama Nara Shikaku di perang ini. Urusan hukuman yang sangat mungkin diberikan untuknya…biar dipikirkan nanti saja.

Itachi sudah berjanji pada dua sepupunya. Ia akan melindungi Naruto dari Akatsuki.

Perang ini harus dimenangkan!

.

.

.

Setelah melumpuhkan berbagai jenis kugutsu yang dipasang Mukade sebagai jebakan, Naruto dkk sampai di depan sebuah lubang berdiameter luas yang cukup dalam. Sasuke mengaktifkan sharingannya tanpa diintruksi. Ia mengangguk pada dua Uzumaki yang berada di dekatnya—mengonfirmasi jikalau kecurigaan mereka benar. Mukade ada di dasar lubang ini.

"Ayo!"

Bersama, mereka bertiga melompat. Menapaki satu per satu anak tangga memutar yang ada di lubang itu. Naruto agak terpesona dengan bangunan tinggi yang ada di tengah lubang itu. Setelah bertahun-tahun lamanya, bangunan bersejarah ini tetap berdiri kokoh.

"Itu dia!" Karin menunjuk ke tengah-tengah dasar lubang.

Mukade berada di tengah-tengah ukiran segel besar yang tampak rumit.

"Orang-orang Konoha…" Mukade mendesis, kemudian tertawa jahat, meski posisi Naruto dkk hanya beberapa meter darinya. "KALIAN SUDAH TERLAMBAT!"

DOSH!

Tekanan angin dahsyat beserta ledakkan cahaya keluar dari ukiran segel tersebut. Naruto, Sasuke, dan Karin terhempas ke pinggiran lubang. Mereka kesulitan melihat apa yang terjadi.

"HAHAHA!"

Naruto menggertakan giginya. Sial. Jika kekuatan yang tersegel di pusat reruntuhan Rouran ini terbuka, dunia dalam bahaya! Ini tidak bisa dibiarkan!

"Sasuke, aku butuh kau untuk menahan Mukade saat aku memperbaiki segelnya. Pegangan, aku akan melakukan Hiraishin!"

Setelah Sasuke mencengkram pundaknya, Naruto melakukan Hiraishin ke segel yang ada pada arsip yang dicuri dan dibawa oleh Mukade. Mereka berteleportasi ke samping Mukade di balik kilatan kuning dan menghilang ditelan cahaya keunguan.

Karin terbelalak pada lubang kosong di hadapannya. "N-Naruto…? Sasuke-san…?"

.

.

.

Rou takaku noboru hikari…

Wakitachi taru omoi…

Mamorubeki ryuu no michi yo…

Shira ha sasu sora o aogi…

Naruto dapat mendengar sebuah nyanyian yang begitu lembut dan menenangkan. Membuatnya merasa nyaman dan tergoda untuk menjelajahi negeri mimpi. Akan tetapi, ia merasakan ada sesuatu yang ganjal. Bukankah…ia tadi melakukan Hiraishin untuk menghajar Mukade?

Apa…yang sebenarnya terjadi?

Suna kaze arabutomo…

Sakihokoru kou no hi yo…

Hana ni ma ichiran…

Naruto mengerjapkan matanya. Ia dapat melihat lima titik cahaya di atas sana. Tak ada langit. Mungkinkah aku berada di sebuah gedung atau ruangan bawah tanah?—pikirnya. Naruto mendudukkan dirinya dan mulai menatap sekitar.

Rasen ni tsutau hikari…

Ryuu no te wo tatsu niwa e…

Arishi hi no omo kage yo…

Towa no uta wo kokoro tsunagi…

Naruto berhasil menemukan sumber nyanyian merdu yang di dengarnya. Di tengah reruntuhan entah tempat apa ini, seorang gadis berambut merah duduk menyendiri. Naruto mungkin akan mengiranya Karin kalau saja gadis itu memakai kacamata.

"Hei!" Panggil Naruto. Gadis itu terlonjak. "Ini di mana ya?"

Bukannya menjawab, gadis itu malah melarikan diri. Dia berlari melewati lubang persegi yang menyerupai ruang untuk pintu. Tepat di depan lubang pintu itu, Naruto berhenti.

Di depan sana, ada dua buah kugutsu yang siap menyerang. Tak sampai satu menit, mereka mengacungkan senjata tajam dan melesat cepat ke arah Naruto. Naruto reflek melompat mundur.

Matanya membulat, ketika kugutsu itu hancur setelah melewati lubang pintu yang sempat menunjukkan lapisan bercahaya keunguan. Tempat ini dilindungi.

Lalu, sebelum Naruto sempat melanjutkan pengejaran, lubang itu tertutup.

Mengumpat pelan, Naruto mencari jalan keluar lain. Fokusnya langsung tertuju pada lima titik cahaya di atas. Ia mulai melompati reruntuhan dan berlari secara vertikal. Menerjang bulatan cahaya yang ternyata merupakan kaca, Naruto akhirnya mendarat di atas rerumputan hijau.

Memperhatikan lingkungan sekitarnya, Naruto terperangah takjub. Pohon hijau tumbuh di sana-sini. Gedung ramping tinggi berdiri tak jauh di hadapannya. Ini jauh berbeda dengan tempatnya berada sebelum tak sadarkan diri.

"…Di mana aku?"

.

.

.

A/N

Tadaimaaaa…! Adakah yang merindukan saya? Hm…? Tidak ada? Tak apalah, yang penting sayanya rindu bersua wkwkwk.

Pasti mengesalkan ya, menunggu saya update. Telat mulu. Haha. Semoga tidak kapok saya gentayangi dengan ff tidak jelas ini.

Btw tanggal 16 Mei kemarin saya baru saja mengikuti ujian SBMPTN. Semua perjuangan saya dari mulai melupakan hobi nulis sejenak, kurang main, kurang tidur, kurang asupan, sampai pulang sekitar jam 9 malam saya keluarkan pada 4 jam penentuan itu. Semoga saja hasilnya memuaskan. Salam semangat untuk kalian yang sama dengan saya, sedang UAS/UKK, dan juga untuk yang menjalani ujian hidup wkwk.

Semoga ini memenuhi ekspektasi kalian, ya!

Sebelum ditutup, yok ulas review chapter kemarin :D

Naruto kembali jadi laki-laki, berarti bakal sama dengan cerita aslinya dong?

Tunggu, saya gagal paham. Sama apanya ya? Gendernya sih iya. Kalau dari cerita…bukannya dari konsep awalnya saja sudah berbeda, ya?

Tumben chapter lalu update cepet?

Karena sempat. :v

Itachi ngapain ke Konoha?

Terjawab di atas ya~ Intinya sih Akatsuki sudah menarget Naruto dan Itachi ingin melindunginya.

Sasuke dan Tim Kakashi diselamatkan Naru?

Yap.

Ah. Khusus untuk yang bertanya tentang penarikan chakra di chapter kemarin…

Saya mengambil referensi dari episode penarikan Ichibi dari Gaara di animenya. Yang ditarik semula adalah seluruh chakra dari tubuhnya. Hanya saja yang disimpan adalah chakra bijuu. Untuk kasus Naruto di ff ini, dia pertama menyegel chakra aslinya dengan sedikit sisipan chakra bijuu. Jadi, ketika diserap Gedo Mazo, di badannya masih ada chakra, namun tersembunyi. Dia sengaja menyerahkan diri agar bisa menyelamatkan teman-temannya. Ini cukup riskan, tapi tetap Naruto lakukan karena lebih menguntungkan. Karena Naruto tahu, Akatsuki tak akan bisa memakainya. Why? Karena bentuk chakranya sudah berbeda. Ini sama saja dengan menyerap chakra biasa milik Naruto.

Apakah masih membingungkan? Maaf kalau terlalu imajinatif hehe…

Apa ada yang tahu Naruto di mana? Keterlaluan kalau tidak tahu hahaha. Beberapa hal sengaja dibedakan. Tapi inti plotnya sama-sama ngehajar Mukade hahaha.

Thanks for all kind of supports! See you next chapter!

Sekian terimagaji.

Salam Petok,

Chic White

(Your Possible!Chic-ken*roosting*)