sebelumnya saya bilang pertama nulis pov nya OC... ini dia _(:'3/ sekalian sama sedikit bagiannya Kouki, yang terinspirasi dari umineko _(:'3/ #digunting
warning: OC-centric, OC nggak punya nama, father-daughter incest, OOC, dll
i don't own kuroko no basuke c:
Dia adalah seorang Hazuki, keluarga yang memiliki perusahaan elektronik terbesar kedua di Jepang setelah keluarga Akashi. Walaupun nomor dua, dia sudah bangga sebagai salah satu anggota Hazuki. Dia tahu tentang usaha ayahnya dalam mengembangkan usaha ini dari awal; ayahnya selalu memerintahkannya untuk berada di sisinya untuk belajar supaya dia bisa menjadi penerus selanjutnya dari perusahaan keluarganya walaupun dia memiliki dua orang kakak yang, menurutnya, lebih pintar daripada dirinya. Oleh karena itu dia tahu kalau ayahnya, bisa dibilang, seorang jenius dalam hal ini.
Hanya saja hal itu tidak bertahan lama. Keinginan ayahnya supaya dia yang mewariskan kepemilikan perusahaan harus kandas ketika ayahnya terkena penyakit dan diharuskan turun dari jabatannya sebagai CEO, dan itu terjadi ketika dia masih ditengah dia menduduki bangku perguruan tinggi sehingga dia tidak bisa mengambil alih posisi ayahnya seperti yang ayahnya inginkan. Dengan berat hati, posisi CEO-pun pindah ke tangan kakak pertamanya.
Dia tidak menyesalinya sedikitpun. Dia tahu kakak-kakaknya adalah orang yang berbakat dalam bidang mereka masing-masing. Dia tahu kakaknya pasti bisa menjadi penerus yang baik dan mampu membuat perusahaan Hazuki makin maju daripada sebelumnya.
Namun, untuk kali ini, dugaannya salah.
Kakaknya, tidak seperti dia yang diberikan pelajaran langsung dari ayahnya, tidak mampu memimpin perusahaan dengan baik. Justru sebaliknya, ketidak mampuan kakaknya justru membuat perusahaan Hazuki berada di ambang keterpurukan dengan hutang yang besar menimpa mereka.
Dan dengan berat hati, perusahaan Hazuki akhirnya meminjam uang yang jumlahnya sangat besar pada perusahaan yang selama ini di akui sebagai saingan utama; Akashi.
Dia pikir cerita ini akan berakhir di sini. Tidak, cerita ini terus berlanjut, seolah hidupnya memang ditakdirkan untuk mempermalukannya sepanjang hidupnya.
.
.
.
"Kau akan dijodohkan dengan anak sulung keluarga Akashi."
Dia menatap kakak tertuanya sambil mengerjap sekali, sebelum kenyataan akhirnya menerpanya.
"T-Tunggu, a-apa maksudnya, kakak?!"
Dia hanya seorang gadis pada umumnya; masing ingin memiliki kebebasan dalam memilih pasangan seumur hidupnya. Lagipula dia sudah memiliki seorang pacar, dan mereka juga sudah berjanji akan menikah ketika sudah selesai kuliah nanti. Tentu saja dia tidak bisa menerima keputusan kakaknya yang tiba-tiba itu.
"Kita tidak bisa melakukan apapun." Kakaknya menggumam, kemudian memeluk tubuhnya yang—dia sendiri tidak sadari—gemetaran. "...Maafkan kakakmu, tapi ini demi keluarga Hazuki..."
Demi keluarga Hazuki. Kata-kata itu terngiang dalam benaknya, dan dia hanya bisa mengangguk, mengabaikan air mata yang sudah mengalir di pipinya.
.
.
.
Hari pernikahan yang sudah direncanakan telah tiba. Sebelumnya dia belum pernah bertemu dengannya, tapi dia sudah sering mendengar nama penerus dari keluarga Akashi itu; Akashi Seijuurou. Dia mendengar kalau Seijuurou adalah orang yang sempurna dalam segala aspek, pernah menjadi ketua tim basket di SMP prestigi Teikou dan memimpin sekolah itu menjadi pemenang selama tiga tahun berturut-turut, kemudian tiga tahun penuh menjadi kapten SMA Rakuzan di Kyoto.
Dia baru pertama kali bertemu dengannya di upacara pernikahan mereka. Seperti dugaannya, Seijuurou tidak terlihat begitu senang dengan pernikahan ini, sama sepertinya. Bahkan ketika mereka bertukar cincin dan bertukar ciuman, dia tahu kalau Seijuurou tidak pernah sedikitpun memandangnya. Bahkan ketika mereka menghabiskan malam bersama, dia tahu kalau Seijuurou hanya melakukan ini sebagai sebuah rutinitas; suasana di sekitar mereka begitu dingin dan kaku, dan Seijuurou, sekali lagi, tidak pernah memandang matanya langsung.
Seolah dia melihat seseorang yang lain dalam dirinya.
.
.
.
Dia diharuskan untuk pindah dari rumah keluarga Hazuki dan tinggal bersama dengan Seijuurou sebagai 'Nyonya Akashi', merubah semua sikapnya menjadi seorang yang cocok untuk menyandang nama Akashi.
Mereka memang tinggal dalam satu rumah, namun dia selalu merasa Seijuurou berusaha untuk menghindar darinya.
Seijuurou selalu pulang malam, hal itu bisa dia terima sebagai alasan. Namun selalu menolaknya ketika ia ingin masuk ke dalam ruang kerja, atau selalu ada urusan dan diharuskan untuk pulang setelah beberapa hari, atau selalu pulang larut dan bangun sangat pagi, atau hanya menjawab seadanya ketika dia berusaha mendekati Seijuurou...
Suatu ketika dia tengah berjalan menuju ruang makan, dia menemukan orang yang seharusnya menjadi suaminya tengah berjalan menuju ruang kerjanya dengan ponsel tertempel di telinganya. Saat itulah pertama kali dia melihatnya tersenyum—dan saat itu pula dia baru menyadari kalau senyum itu tidak pernah ditunjukkan padanya.
Setelah Seijuurou selesai menelpon—dengan siapapun itu—dia langsung menghampirinya dan mengajaknya untuk ikut makan malam dengannya.
Senyum bahagia Seijuurou langsung menghilang sekejap, kemudian dia langsung menjawab dengan nada dingin, "...Aku ada urusan. Aku akan pergi setelah ini." dan langsung pergi ke dalam kantornya, menutup pintu kayu dengan kasar tepat di depan wajahnya.
.
.
.
Dia mendengar desas-desus di antara kalangan pelayan kalau Seijuurou memiliki seorang istri lain.
Tentu saja, sebagai seorang Akashi—walaupun terpaksa—dia memiliki kewajiban untuk menjaga nama baik suaminya sebagai seorang CEO, menyatakan kalau seorang Akashi bukanlah orang rendahan yang akan menduakan istri yang sah dibawah hukum, walaupun mereka berdua tahu kalau mereka sama-sama terpaksa menikah.
Tidak, dia tahu jauh di dalam lubuk hatinya, Seijuurou memang menduakannya. Alasannya untuk terus pergi dari rumah pasti untuk menjauh darinya dan bertemu dengan orang yang benar-benar dia cintai.
Dia buru-buru membuang pikiran itu dari benaknya. Dia adalah seorang Akashi, dan sebagai seorang Akashi bukanlah hal yang baik untuk meragukan Seijuurou.
Karena, dia ingat saran dari kakak-kakaknya, "Keluarga Akashi selalu benar, maka janganlah sekali-kali kau meragukan mereka."
.
.
.
Sambil memeluk sebuah amplop putih, dia memberanikan diri untuk memasuki ruang kerja Seijuurou—ironisnya, ini adalah pertama kalinya dia memasuki ruangan yang, bisa dibilang, paling pribadi milik suaminya sendiri.
Yang pertama kali ia lihat adalah senyum Seijuurou, seolah telah terjadi sesuatu yang bagus padanya. Kemudian berganti dengan ekspresi kesal, seperti yang selalu dia terima dari orang yang disebut sebagai suaminya sendiri.
Tanpa mengatakan apapun, dia meletakkan amplop putih itu di antara tumpukkan kertas-kertas milik Seijuurou. Dan ketika laki-laki itu membukanya, dia langsung berkata, "Akashi-san..." aneh sekali dia memanggil suaminya sendiri dengan nama belakangnya. "...Aku hamil."
Wajah laki-laki itu membeku. Matanya terus memeriksa kertas yang ada dalam amplop putih itu, seolah berusaha mencari kesalahan dalam pemeriksaannya.
Dia sudah meminta tolong pada dokter Midorima Shintarou, dokter yang sangat dekat dengan Seijuurou. Dia tahu dokter itu tidak akan berani berbohong padanya maupun Shintarou. Dan, untuk pertama kalinya, dia merasa menang menghadapi Seijuurou.
Setelah beberapa menit Seijuurou belum memberikan tanggapan, akhirnya dia memberanikan dirinya untuk menyadarkan laki-laki itu dari lamunannya. Langkah yang salah, sepertinya, karena yang diterimanya adalah tatapan tajam dari sepasang mata heterokrom. Namun kali ini, dia memberanikan dirinya untuk melawan emperor yang absolut itu, "B-Bagaimana, Akashi-san? B-bukankah aku berhasil memberikan keturunan yang pantas untuk keluarga Akashi?"
Jawaban Seijuurou tepat seperti dugaannya; sekarang dia terlihat seperti orang yang sangat tertekan, dan itu tidak membuatnya merasa lebih baik.
"Apa itu yang ingin kau katakan?" Suara Seijuurou terdengar begitu dingin, lebih dingin daripada biasanya, malah. "Tolong keluar dari ruanganku. Aku sedang sibuk sekarang."
Dia tahu ini adalah kesempatan emasnya untuk membuktikan kalau dia adalah orang yang pantas di matanya, namun memutuskan untuk tidak memaksakan keberuntungannya. Dia tahu dia telah menentang Seijuurou sekali. Kalau lebih, dia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya. Maka langsung saja dia keluar dari ruangan Seijuurou.
Oh, andai saja dia tidak tinggal di depan ruangan itu lebih lama, pasti dia tidak akan melihat senyum hangat itu. Senyum hangat yang tidak pernah ia lihat, dan tidak akan pernah terarah padanya.
Seijuurou tidak kembali ke rumah selama seminggu setelah itu.
.
.
.
Seijuurou, seperti layaknya suami lain, masih mau mengurusnya yang tengah berada di masa kehamilan. Dia memberikan apapun yang ia butuhkan. Semua, kecuali waktu.
Laki-laki itu nyaris tidak pernah berada di sisinya, hanya berbicara beberapa patah kata melalui telepon rumah, dan mengirimkan segala kebutuhannya melalui pelayan.
Dia hanya memandang Seijuurou melalui jendela rumahnya, yang kini mengendarai mobil mahalnya dengan sebuah senyum, kemudian menghilang di ujung jalan.
.
.
.
Bahkan di hari dia melahirkan janin dalam tubuhnya, Seijuurou tidak berada di sisinya, dan dia, menghadapi situasi antara hidup dan mati dirinya dengan calon anaknya, hanya bisa menangisi nasib sedihnya seorang diri.
.
.
.
Perlahan dia membuka matanya, mengutuk dirinya sendiri yang masih bisa melihat hari esok, dan menyadari kalau Seijuurou sudah berada di sisi kasurnya, mendekap seorang bayi yang diselimuti oleh selimut merah muda dengan senyum hangat.
"...Akashi-san..."
Senyum Seijuurou menghilang ketika menatap wajahnya—tentu saja, seharusnya dia sudah tahu—namun kali ini dia memutuskan untuk mengabaikannya. "Bayi itu... aku ingin melihatnya."
Seijuurou menatapnya kosong, kemudian ke arah bayi yang ia dekap, seolah tidak merelakan anaknya sendiri berada dalam dekapan ibunya sendiri.
Kenapa...?
Dengan berat hati, Seijuurou menyerahkan bayi tersebut dengan hati-hati, menciptakan hanya sedikit sentuhan di antara kulit mereka, hingga bayi itu sampai dalam pelukannya.
Kenapa bayi itu tidak terasa seperti miliknya...?
"Akashi-san... sudah memikirkan nama untuknya?"
Dia memperhatikan bayi itu baik-baik; dia memiliki sedikit rambut berwarna cokelat, sama seperti dirinya dan memiliki kulit yang sama dengan Seijuurou.
"...Ah..."
Dia mendongak, mendapati mata Seijuurou mulai memerah ketika mata cokelat anak itu terbuka.
"Akashi Kouki."
.
.
.
Hidupnya berubah setelah kehadiran Kouki di tengah keluarga Akashi.
Seijuurou lebih sering berada di rumah, di sisinya, dan lebih sering mengobrol dengannya, membicarakan tentang Kouki. Kemudian bersama dengan Kouki, layaknya ayah yang normal bersama dengan keluarganya.
Dia akhirnya merasakan bagaimana rasanya memiliki keluarga yang sesungguhnya.
.
.
.
Ketika Kouki menginjak usia empat tahun, Seijuurou menyatakan padanya kalau Kouki akan menjadi penerus keluarga Akashi.
Tentu saja, sebagai seorang ibu, dia tidak bisa menerima keputusan kejam yang ditimpakan pada anak yang masih sangat belia itu. Namun Akashi hanya memandangnya dengan tatapan dingin yang sama seperti ketika Kouki belum lahir dan berkata, "...Kau berani menentangku, orang rendahan?"
Dia hanya bisa menangis di kamarnya seorang diri.
.
.
.
Ketika Kouki menginjak usia enam tahun, Seijuurou melarangnya untuk ikut belajar di sekolah umum dan memberikan pendidikan privat untuknya.
Seijuurou juga menolak semua saran guru-guru kelas atas yang ia sarankan, namun memilih menyewa teman-teman dekat Seijuurou; wanita bernama Kise Tetsuna dan Aomine Satsuki sebagai penjaga sekaligus guru Kouki.
Dan dia memiliki perasaan kalau dua wanita itu juga menjaga Kouki darinya.
.
.
.
Ketika Kouki menginjak usia dua belas tahun, sikap posesif Seijuurou terhadap Kouki semakin berkembang, bahkan mulai di luar kendali.
Kouki dilarang untuk berbicara dengannya, dilarang untuk bertatap muka dengan pelayan lain, hanya diperbolehkan untuk mengobrol dengan Tetsuna, Satsuki, dan Seijuurou, dan hanya diperbolehkan untuk berada dalam ruang kerja Seijuurou.
Pernah sekali Kouki berhasil melarikan diri dari ruang kerja ayahnya dan bersembunyi dalam kamarnya. Di sana, dia menumpahkan segala perasaan yang ditimbun selama dua belas tahun padanya.
"...Ayah tidak pernah memandangku sebagai Kouki,"
"...Ketika ayah memanggil namaku, aku merasa dia bukan memanggilku, tapi orang lain,"
"...Ayah selalu menginginkanku untuk tidak memanggilnya 'ayah', tapi 'Sei'."
Wajah sedih anaknya kemudian terbakar abadi dalam ingatannya.
"Aku ini... Akashi Kouki, bukan? Anak ayah dan ibu...?"
.
.
.
Ketika Kouki menginjak usia delapan belas tahun, Kouki melarikan diri dari rumah.
Seijuurou, tidak seperti dugaannya, tidak terlihat panik sama sekali. Dia pernah menanyakannya pada Seijuurou—yang kini sudah mulai termakan usia, sama sepertinya—yang hanya tersenyum lebar.
"Kouki tidak akan bisa lari dariku."
Dan akhirnya dia tahu satu hal.
"Karena aku sudah berjanji akan selalu bersamanya."
Seijuurou memang tidak pernah melihat Kouki sebagai anaknya.
.
.
.
Terkadang dia menanyakan sebuah pertanyaan pada dirinya sendiri, apakah hidupnya memang berarti sebagai hiburan takdir yang kebosanan?
Kemudian dia teringat akan Kouki. Dia belum melihatnya lagi setelah itu, gadis malang itu pasti sudah berada di tangan Seijuurou sekarang, tersembunyi, sama seperti wanita yang pernah Seijuurou cintai.
Dia menyayangi Kouki, dia sudah menganggap Kouki sebagai anaknya sendiri. Namun ia tahu, Kouki bukanlah anak yang lahir dari rahimnya. Sejak pertama kali dia menyentuh Kouki dan melihat tatapan Seijuurou, dia tahu kalau dia memang bukanlah orang yang pantas untuk menimang Kouki dalam pelukannya.
Dia tertawa miris, bahkan hingga akhir hayatnya ini, takdir masih bisa menertawakannya seperti ini.
Setidaknya jika dia mati, maka takdir tidak akan bisa mempermainkannya lagi, bukan?
Maka dengan senang hati, dia menutup matanya.
.
.
.
Bahkan hingga akhir, Seijuurou tidak pernah benar-benar melihatnya.
.
.
.
End.