Waktu banjir hari sabtu, entah kenapa kepikiran buat fanfic ini, akhirnya malah bikin akafuri, padahal rencananya fic ini mau di tulis berdasarkan POV-nya OC ini ;w;
Terpaksa masukin OC disini, berhubung saya selalu tega sama OC saya :'3 #bukan
maaf baru pertama kali buat fic akafuri! maaf kalo Akashi-sama terlalu OOC #dilempargunting
pairing: AkaFem!Furi, AoMomo, KiFem!Kuro, MidoTaka, implied KagaAlex
I don't own Kuroko no Basuke dan karakternya. KnB milik Tadatoshi Fujimaki-sensei. Plot fanfic ini milik saya.
Cover: pixiv illust id 40844301
"Putuskan hubunganmu dengan gadis desa itu, Seijuurou."
Akashi Seijuurou mendongak dari papan shogi yang tengah ia mainkan dengan ayahnya dan berkerut samar, berusaha untuk tidak menunjukkannya di hadapan sang ayah. Seijuurou paling tahu walaupun dia tidak sedang memperhatikannya, ayahnya selalu tahu apa yang sedang ia lakukan bahkan pikirkan.
"Aku tidak mengerti, ayah." Laki-laki berambut merah itu berkata, memecahkan keheningan yang menulikan di antara mereka berdua, kemudian mata heterokromnya kembali terfokus ke permainan papan yang sedang mereka mainkan. "Bukankah ayah sudah merestui hubunganku dengan Kouki?"
Laki-laki berambut cokelat yang lebih tua mendengus, kemudian menggerakkan salah satu pion shogi ke sebuah petak—tepat seperti dugaannya, batin Seijuurou. "Sudah saatnya seorang Akashi memiliki penerus yang pantas." Sekali lagi kening Seijuurou berkerut, tidak terima kekasihnya di sebut seperti nama sebuah penyakit menular yang menjijikkan. Namun tidak mendongak dari papan di hadapannya. "Dan aku tidak akan menerima gadis itu—siapa namanya? Furihata Kouki?—ke dalam keluarga Akashi."
"Kouki memiliki kemampuan observasi yang bagus, ayah. Berkat bantuannya, aku dapat—"
"Kita tidak memerlukan bantuan dari orang luar, Seijuurou." Ayahnya memotong kata-kata Seijuurou dengan ketus. "—dan seorang gadis desa? Sungguh, Seijuurou. Apa kau berusaha untuk menjatuhkan nama keluarga Akashi lebih jauh?"
Seijuurou meletakkan—lebih tepatnya, membanting—salah satu pion shogi dengan keras. Mata biasa mungkin tidak bisa melihatnya, namun Seijuurou—yang memiliki Emperor Eyes—dapat melihat ekspresi stoic ayahnya bergerak, terlihat kaget untuk beberapa milisekon.
Ayahnya tidak tahu betapa besar bantuan yang Furihata Kouki—kekasihnya yang telah berada di sisinya selama dua tahun lebih—berikan dengan kemampuan observasinya yang sebanding dengan Seijuurou. Seijuurou dapat lebih mudah membuat keputusan dan mendapat dukungan lebih banyak dari para pihak yang terlibat dalam proyek besarnya. Ini semua berkat Kouki yang mampu melihat pandangan yang sama dengan Seijuurou, dan dapat melengkapi kekurangan dalam rencana Seijuurou yang sudah mendekati sempurna.
"Kau perlu intuisi seorang wanita juga." Kouki berkata suatu ketika sambil terkekeh manis. Benar kata orang-orang; di balik laki-laki yang sukses, terdapat perempuan yang hebat.
Dan berani-beraninya orang ini, ayah Seijuurou sendiri, mengatakan hal-hal kurang ajar tentang Kouki. Siapapun yang berani mengatakan itu—bahkan orang tuanya sendiri—tidak akan segan-segan ia bunuh. Bahkan gunting merah yang selalu menemaninya di setiap saat, yang kini beristirahat di atas meja kecil di sebelah kursinya, akan terasa begitu cocok berada di wajah ayahnya sekarang.
Nah. Walaupun ide itu terasa begitu menggiurkan, Seijuurou bukan orang bodoh. Dia tidak ingin membuat skandal tentang 'CEO Perusahaan Akashi terbunuh ketika bermain shogi dengan anaknya, yang kini mewariskan posisi tersebut'. Bisa-bisa semua usaha yang ia—dan Kouki—lakukan terbuang sia-sia.
"Aku sudah melakukan kontak dengan keluarga Hazuki." Suara ayahnya menyadarkannya dari lamunannya dan mendongak, memandangi ayahnya yang tengah memasang wajah sulit sambil menatap papan shogi di antara mereka. "Kau tahu keluarga Hazuki memiliki hutang yang besar dengan keluarga kita. Untuk itu aku berencana untuk menjodohkan seorang anak gadis miliknya denganmu—"
Seijuurou pernah mendengar nama Hazuki. Perusahaan Hazuki; perusahaan elektronik terbesar setelah Akashi, walaupun perbedaan di antara mereka begitu jauh hingga Seijuurou merasa nama itu tidak penting untuk di ingat. Hanya saja perusahaan itu tiba-tiba meminjam uang dengan jumlah besar pada Perusahaan Akashi, yang, menurut rumor, digunakan untuk menutup kerugian yang di sebabkan oleh penerus keluarga mereka yang tidak kompeten—
"Tunggu." Saat itulah kenyataan membentur kepalanya seperti ombak. "—apa maksud ayah, menjodohkan?"
"Kau mendengarku dengan jelas, Seijuurou." Ayahnya tersenyum lebar, seolah bangga terhadap dirinya sendiri yang telah membuat—walaupun enggan ia akui—sang Emperor terlihat begitu terkejut seperti ini. "Terkadang kau melupakan posisimu, Seijuurou. Dan dengan itu, aku perlu mengikatmu."
Pernikahan akan menjadi rantai yang tepat untuk mengikat sang Emperor.
...Dan Seijuurou yang bisa membaca pikiran ayahnya seperti buku yang terbuka langsung menggeram.
Seijuurou yang telah mendapatkan restu ayahnya dua tahun lalu untuk menjadi kekasih Kouki tidak menyangka ayahnya akan mengkhianatinya seperti ini. Tidak. Jauh dalam pikirannya, Seijuurou tahu kalau suatu saat hal seperti ini akan terjadi, dan berbahagia dengan Kouki sepertinya membuat pikiran itu terdorong jauh dalam pikirannya—
Seijuurou mengangkat sebuah pion—sudut matanya menangkap perubahan ekspresinya sekali lagi, membuatnya tersenyum penuh kemenangan—dan meletakkan pion tersebut ke petak yang, kedua laki-laki dewasa itu ketahui, akan mengakhiri permainan dengan kemenangan Seijuurou.
"Oute [1]." Laki-laki berambut merah itu berdiri, memandang ayahnya dengan tatapan merendahkan, yang hanya di balas dengan tatapan datar. "Aku selalu menang—dan kau tahu itu, ayah—dan oleh itu, aku tidak pernah salah." Kemudian Seijuurou berbalik. "Aku tidak akan membiarkan pernikahan konyol ini mengganggu hubunganku dengan Kouki."
Akashi Seijuurou tidak menunggu waktu untuk mendengar jawaban ayahnya dan langsung keluar dari ruang kerja ayahnya, sama sekali tidak melihat senyum penuh kemenangan dari sang laki-laki tua.
.
.
.
"...Sei?"
Dia membuka matanya perlahan, dan langsung merasakan pegal di bagian lehernya.
"Ah, kau tidak apa-apa, Seijuurou?" Wanita berambut cokelat di hadapannya langsung terlihat panik. Mata cokelatnya yang besar makin melebar. "I-Ini pasti karena kau tidur dengan posisi begitu!"
Bahkan tanpa menunggu kata-kata Seijuurou, Furihata Kouki—ah, sekarang Akashi Kouki, benar?—langsung meletakkan dua pasang jari di sisi lehernya, dan mulai memijat bagian itu dengan lembut.
Akashi Seijuurou merintih pelan, merasakan semua rasa pegalnya menguap begitu melihat sosok yang ia cintai tepat di hadapannya, begitu dekat hingga dia bisa merasakan hangatnya tubuh wanita itu, dan tanpa sadar langsung mendekap Kouki ke dalam pelukannya.
Kouki yang sama sekali tidak menduga kelakuan suaminya, agak terkesiap. Kedua tangan yang sejak tadi berusaha membuat leher Seijuurou lebih baik kini melingkar di leher laki-laki itu, berusaha untuk mendapatkan lebih banyak kehangatan darinya.
Seijuurou mendesah, menguburkan kepalanya di puncak kepala Kouki. Menghisap wangi shampo mawar yang selalu wanita itu gunakan. Dia mempererat pelukannya di pinggang Kouki, seolah berusaha menghilangkan wangi wanita itu dan menguburkan dirinya sendiri dalam wangi Kouki.
Memikirkan wanita itu saja sudah membuat Seijuurou jijik. Wanita dari keluarga Hazuki itu—ah, siapa lagi namanya? Dia tidak ingat—sudah bersamanya sejak dua bulan yang lalu. Bahkan Seijuurou harus terpaksa melakukan hubungan dengan wanita yang tidak ia kenal dan baru ia temui sekali. Sejak saat itu, bahkan masuk ke dalam rumahnya saja terasa seperti masuk ke dalam kawah penuh lumpur. Dan untuk membersihkan dirinya sendiri, dia harus bersama dengan Kouki, dalam hubungan yang intim dan penuh cinta.
Jangan salah; Seijuurou tidak membenci wanita itu. Wanita malang itu hanya korban dari kebodohan kakak tertuanya dan keegoisan keluarga Akashi—lebih tepatnya ayah Seijuurou. Wanita itu tidak bodoh, namun Seijuurou tidak menyukai bagaimana wanita itu enggan untuk mundur walaupun Seijuurou selalu memberinya isyarat untuk mejauh darinya. Oleh karena itu Seijuurou selalu beralasan untuk pergi ke pertemuan penting di tempat lain dan langsung menuju ke rumah Kouki, bahkan tidak kembali ke rumahnya selama beberapa hari. Hanya untuk menjauh dari tempat yang mulai terasa seperti sangkar, dengan wanita itu sebagai rantainya.
Lagipula, hubungannya dengan Kouki tidak ilegal. Kouki adalah istrinya, sah di bawah hukum. Mereka sudah mengucap janji suci lebih lama daripada pernikahannya dengan wanita itu. Seijuurou melamar Kouki sebulan sebelum ayahnya memutuskan untuk menjodohkannya dengan wanita itu, kemudian langsung menikah dengannya beberapa hari kemudian tanpa sepengetahuan ayahnya, hanya mengundang beberapa orang terdekat di antara mereka berdua.
"Sei?" Panggilan dari Kouki menyadarkannya dari lamunannya. "Ada yang sedang kau pikirkan?"
Seijuurou memandang wajahnya dengan lembut—tatapan yang hanya Kouki yang tahu—, kemudian mengecup keningnya, membisikkan kalau dia baik-baik saja.
Kemudian Kouki menggerutu dengan kesal, "Seijuurou, tolong jangan berbohong padaku."
Laki-laki itu tersenyum di kening Kouki, kemudian mengangkat tubuhnya dalam sebuah gendongan seperti pasangan pengantin baru. Wanita yang ada dalam gendongannya tersentak, kemudian mencengkram kain dari pakaian Seijuurou seolah nyawanya bergantung pada setiap benangnya.
"S-Sei! A-aku harus menyiapkan makan malam—"
"Untuk malam ini," Seijuurou menyela kata-kata wanita itu dan memberikannya senyumnya yang terbaik, yang dia tahu kalau Kouki tidak akan bisa mengatakan tidak pada senyum itu, "...Izinkan aku untuk memakanmu malam ini."
Dia tidak membiarkan Kouki mengatakan apapun dan langsung mengunci bibir mereka berdua, masih berjalan—berlari kecil—menuju tempat yang sudah ia hafal letaknya dan tidak perlu bertabrakan dengan lemari di sepanjang jalan mereka.
Seijuurou sudah lapar. Menyentuh Kouki sudah seperti oksigen keduanya, dan tidak melakukan hubungan dengannya selama... entah, seminggu mungkin? Sudah membuat tubuhnya begitu sesak.
Karena bersama Kouki, rantai yang mengikat lehernya seolah menghilang tanpa jejak.
.
.
.
Sungguh, Seijuurou merasa menjadi orang paling bahagia sebelum wanita itu tiba-tiba masuk ke dalam ruang kerjanya, kemudian meletakkan sebuah map putih. Di sudut atas map itu terdapat logo rumah sakit.
Dan saat membaca laporan yang ada dalam map itu, seluruh kebahagiaannya menguap seketika.
"Akashi-san," Wanita itu memulai, "...Aku hamil."
Ingin sekali dia membuang wanita ini—wanita yang telah membuat kebahagiaannya sirna tanpa jejak—entah kemana hingga tubuhnya tidak di temukan.
Baru tadi pagi, ketika Seijuurou sudah mulai mengubur dirinya dalam tumpukan kertas-kertas yang harus di periksa dan di tanda tangani oleh CEO Perusahaan Akashi, ponselnya berdering. Andai saja dia tidak mendengar nada panggilan yang di peruntukkan untuk Kouki, sudah pasti Seijuurou tidak akan mengangkatnya.
"Sei!" Suara wanita itu terdengar bersemangat dari ujung telepon. Bahkan Seijuurou bisa membayangkan kalau Kouki tengah melompat-lompat kegirangan sekarang. Membayangkan istri tercintanya melakukan hal yang manis, Seijuurou tertawa kecil dan berusaha menenangkannya. "Ah, dengar, Sei! Ini, oh tuhan—Satsuki-san! A-apa yang harus ku katakan? A-Aku terlalu bahagia sekarang!"
Satsuki? Seijuurou memang meminta Aomine Satsuki dan suaminya untuk datang dan menjaga Kouki dari orang yang mencurigakan—dalam hal ini, ayahnya dan para pers. Bahkan terkadang dia meminta teman Seijuurou dan Kouki, Kise Tetsuna, untuk datang jika Satsuki dan Daiki tidak bisa datang. Namun, entahlah. Bahkan Seijuurou yang mengaku bisa melihat masa depan tidak bisa menduga apa yang kedua wanita ini sedang bicarakan secara rahasia.
Setelah beberapa saat, Kouki akhirnya bisa menenangkan dirinya sendiri. Kemudian—"Sei! A-Aku hamil!"
...Hah?
"A-Aku serius!" Kouki melanjutkan, seolah bisa mendengar pikirannya (atau dia tidak sengaja mengatakannya? Seijuurou sudah tidak yakin). "A-Aku, Satsuki-san, dan Tetsuna pergi ke rumah sakit kemarin dan—oh tuhan, Sei! A-aku sungguh tidak tahu lagi—aku, aku—"
"Kouki," Seijuurou menarik nafas, berusaha menenangkan jantungnya yang barusan berdetak dua kali lebih cepat dan kegembiraan yang meluap dari hatinya. "Benarkah itu? Aku akan datang malam ini, oke? Bagaimana kalau kita makan di luar—" Hening sebentar, kemudian Seijuurou membiarkan senyum kecil menari di wajahnya. "—Ah, tentu saja. Bagaimana kalau aku memasak hari ini? Oke. Aku mencintaimu, Kouki." Kemudian memutuskan sambungan, sambil tersenyum pelan.
"Akashi-san." Suara wanita itu menarik Seijuurou dari lamunannya, membuat laki-laki berambut merah itu memicingkan mata heterokrom nya kepada wanita itu, yang kini terlihat ketakutan setengah mati. "B-Bagaimana, Akashi-san? B-Bukankah aku berhasil memberikan keturunan yang pantas untuk keluarga Akashi?"
Seijuurou memijat hidungnya, berusaha meredakan pening yang tiba-tiba menyerang kepalanya. Bagaimana bisa, wanita yang hanya tidur sekali dengan Seijuurou, hamil di saat yang sama dengan istrinya? Bahkan Akashi nyaris tidak pernah menatap wajah wanita itu, lebih lagi bicara dengannya.
Eksistensi wanita itu seperti asap di mata Seijuurou. Malah lebih parah dari Tetsuna.
"Hn." Akhirnya Seijuurou mengeluarkan sebuah jawaban, yang lebih terdengar seperti suara tercekik. Rantai di lehernya terasa mengikatnya lebih erat dari biasanya. "Apa itu yang ingin kau katakan? Tolong keluar dari ruanganku. Aku sedang sibuk sekarang."
Wanita itu cukup pintar untuk langsung mematuhi kata-kata Seijuurou, meninggalkannya sekali lagi dalam ruang kerjanya yang terasa sesak, seolah menginjak-injak paru-parunya.
Dia butuh udara segar, pikirnya, dan langsung mengambil jaket hitam. Udara di luar cukup dingin sekarang. Lagipula dengan Kouki, dia yakin dia tidak akan merasa kedinginan.
Sambil tertawa pelan, Seijuurou mengenakan jaketnya dan keluar dari ruang kerjanya. Mengabaikan—mungkin lebih tepatnya tidak menyadari—keberadaan wanita yang, kebetulan, melihat senyum yang tidak akan pernah terarah padanya.
.
.
.
"Sungguh, Sei! Kau tidak perlu berlebihan!"
Kouki benar-benar tersanjung, sungguh. Walaupun dia tahu suaminya ini selalu melakukan hal yang melampaui benaknya (Akashi Seijuurou tidak terikat dengan peraturan dunia ini, Kouki baru ingat), dia tidak menyangka Seijuurou akan langsung datang beberapa jam setelah dia menyampaikan berita bahagia itu dan langsung memasakkan makanan yang cukup untuk pesta yang di hadiri banyak orang.
Oleh karena itu Kouki memutuskan untuk mengundang teman-temannya dan Seijuurou, yang memutuskan untuk mengadakan pesta taman dadakan. Satsuki dan Daiki datang paling cepat, berhubung rumah mereka yang paling dekat. Kemudian di susul dengan Shintarou—yang sekarang menjabat menjadi dokter—dan pasangannya, Takao Kazunari, yang tidak malu-malu menunjukkan hubungan dekatnya dengan sang dokter, mengetahui kalau orang-orang di sana juga tidak masalah dengan hubungan sesama jenis kelamin. Pasangan Kise Ryouta dan Tetsuna, Kagami Taiga yang istrinya tidak bisa datang karena masih di Amerika, dan pasangan Hyuuga Junpei dan Riko (mantan kapten klub basket Seirin dan pelatihnya), yang datang terakhir. Sayang sekali Murasakibara tidak dapat datang karena jarak antara Kyoto dan Akita cukup jauh.
"Aku sudah dengar beritanya, Kouki-san." Wanita berambut biru cerah, Tetsuna, tersenyum pelan. Andai saja Ryouta tidak menempel di sisinya, mungkin Satsuki dan Kouki yang tenggelam dalam pembicaraan tentang menjadi ibu dengan Riko (yang sudah memiliki dua orang anak) akan langsung terlonjak kaget, "Selamat ya. Aku sungguh bahagia atas kalian berdua."
Walaupun di ucapkan dengan wajah dan nada yang datar, Kouki bisa mendengar setitik kesungguhan dalam suara Tetsuna. Itu cukup untuk membuat Kouki memeluk wanita yang lebih kecil.
Seijuurou menyaksikan adegan kecil itu dengan senyum kecil, menyaksikan bagaimana bahagianya istri tercintanya terlihat bahagia di antara teman-temannya, sebelum terperanjat ketika sebuah lengan terlingkar di lehernya.
"Heei, Seijuurou!" Nada ceria Kazunari terdengar tepat di sebelah telinganya, membuat telinganya terasa berdengung. "Selamat ya! Kurasa kau memperlakukan istrimu dengan baik!"
Sambil menggerutu, Seijuurou menyingkirkan tangan Kazunari dari bahunya. "Tentu saja, Kazunari. Aku tidak akan membuat Kouki sedih." Karena Seijuurou sudah bersumpah, sejak dia menggenggam tangan Kouki dua tahun lalu sebagai kekasihnya, dia bersumpah akan selalu membuat Kouki bahagia hingga ajal memisahkan mereka.
Shintarou kemudian menghampiri mereka, tatapannya serius. Sungguh tidak cocok dengan suasana pesta perayaan yang meriah ini. "Akashi. Kau tidak memberi tahunya tentang istrimu, bukan?"
Kazunari yang masih di sebelah Seijuurou terlihat kaget, sementara Seijuurou terlihat seperti telah di ingatkan tentang sesuatu yang tidak menyenangkan. "Belum." Dia menjawab jujur, pandangannya kembali terarah kepada Kouki. "...Kurasa dia sudah tahu. Kouki bukan orang bodoh."
Laki-laki berambut hijau itu mendesah, kemudian membetulkan kacamatanya dengan jari yang terbalut dengan perban. "Dia datang padaku untuk melakukan check-up kemarin." Shintarou memulai. "Sungguh lucu, berhubung beberapa menit sebelumnya Furihata—ah, maaf, Kouki-san—datang untuk check up juga." Sang dokter menggeleng sambil mendesah pelan.
"Takdir bekerja dengan cara yang aneh, bukan begitu?"
Entah siapa yang mengatakan itu. Mungkin Shintarou, dengan slogan biasanya, 'Manusia berusaha, Tuhan memutuskan'. Mungkin Seijuurou, yang memutuskan kalau takdir memang bekerja sama dengan ayahnya untuk menghancurkan hidupnya. Heh, siapapun itu, Seijuurou hanya bisa mengangguk setuju.
.
.
.
Seijuurou lebih menghabiskan waktu untuk menemani Kouki di masa mengandungnya, berhasil memberikan apapun yang di inginkan Kouki dalam masa mengidam dan bertahan ketika mood swing habis-habisan (baru Seijuurou sadari kalau dia sering seperti ini dulu pada Kouki, dia langsung tertawa kecil).
Tentu saja, meskipun Seijuurou tidak menyukai wanita itu, dia tidak lupa memperhatikan dan memberi dukungan sebisanya untuk membahagiakan ayahnya.
"Mengurus dua keluarga itu pusing." Laki-laki berambut merah itu mengakui pada Shintarou, yang entah sejak kapan mulai ia anggap sebagai psikiaternya sendiri.
Shintarou mengangkat bahu. "Kalau begitu berhentilah, Akashi."
Mendengar jawaban yang di ucapkan dengan enteng itu membuat kepala Seijuurou makin penat. "Tidak semudah itu." Dia mendesah. "Aku tahu aku akan di tendang dari posisi sebagai CEO jika memilih Kouki. Tapi aku tidak mencintai wanita itu, Shintarou."
Belum lagi sikap Perusahaan Akashi terhadap Kouki jika aku meninggalkan perusahaan hanya untuknya.
Laki-laki berambut hijau itu menatap sahabat SMP-nya dengan kasihan. Akashi tidak pernah terlihat se rapuh ini; dia lebih sering menyembunyikan sifat lembut dan rapuhnya di balik topeng yang tidak menunjukkan emosi apapun. Tekanan-tekanan di sekelilingnya pasti sudah menghancurkan Akashi, dan diri laki-laki itu.
"Akashi, kau harus memilih." Akhirnya Shintarou berkata, suaranya tidak menyisakan tempat untuk berdebat lebih jauh. "Kau tidak bisa hidup seperti ini terus. Siapakah yang akan kau pilih; jabatanmu atau Kouki-san?"
Shintarou sudah tahu jawaban yang akan di berikan Akashi. Sudah pasti dia akan memilih Akashi Kouki, orang yang Akashi akui sebagai cinta pertama dan cinta terakhirnya. Dia juga tahu kalau Kouki-san lah yang telah mengubah Akashi, sedikit demi sedikit mengikis topeng keras yang ia tunjukkan kepada dunia dan mengembalikan senyum yang selalu menghiasi wajahnya ketika mereka memenangkan pertandingan basket.
"Aku tidak tahu, Shintarou." Justru gumaman berat dari Seijuurou membuat sang dokter terkejut. "Aku tidak tahu lagi..."
.
.
.
Hingga pada suatu malam, ketika janin dalam kandungan Kouki (dan wanita itu) mencapai usia tujuh bulan. Pening di kepalanya semakin menjadi-jadi mengingat waktu kemunculan dua bayi yang semakin lama semakin mendekat.
Seijuurou mendesah. Tangannya melingkar di pinggang Kouki yang terlelap di sisinya sambil menatap bintang yang bertaburan di langit malam. Entah mengapa Kouki ingin melihat bintang bersama Seijuurou—sesuatu yang mereka tidak lama lakukan, katanya—dan langsung terlelap setelah beberapa menit menghabiskan waktu dalam ketenangan yang menyenangkan.
Laki-laki itu menatap perut Kouki yang membesar, sesekali meletakkan tangannya di atas perut Kouki, dan tertawa geli ketika merasakan tendangan pelan dari dalam perut wanita itu.
"Sei,"
Yang di panggil mendongak, menemukan Kouki tengah memandangnya dengan wajah mengantuk.
"Ada apa, Kouki?" Jawaban lembut meluncur dengan lancar dari bibir Seijuurou.
"Setelah semua ini berlalu," Kouki tiba-tiba menelan ludah, suaranya terdengar dengan jelas di telinga Seijuurou. "...Apakah kita bisa bersama lagi? Bertiga?"
Bertiga?
Seijuurou mengerti maksud Kouki. Bertiga; hanya Seijuurou, Kouki, dan bayi yang ada dalam kandungan Kouki. Tidak ada Perusahaan Akashi. Tidak ada ayahnya. Tidak ada wanita itu. Hanya bertiga, sebagai sebuah keluarga.
Tidak mendapat jawaban dari Seijuurou, Kouki melanjutkan, "...Kenapa kau tidak bilang kalau istrimu juga sedang... hamil?"
Pandangan Seijuurou jatuh ke tanah, enggan melihat wajah sedih Kouki—wajah yang tidak ingin ia lihat dan bersumpah akan hapus dari wajah manis wanita itu. Padahal dia sudah bersumpah untuk tidak membiarkan Kouki sedih lagi. Dan sekarang? Dia lah yang membawa kesedihan dalam wanita itu.
Kemudian dia melakukan hal yang sama seperti dua tahun lalu—dia langsung menarik Kouki dalam pelukannya, berhati-hati supaya bayinya tidak terjepit di antara keduanya.
"Semua akan baik-baik saja, Kouki." Dia berbisik, mengelus rambut cokelat panjang Kouki dengan lembut. "Aku akan selalu bersamamu. Kita bertiga."
Dia akan meninggalkan semuanya; perusahaannya, kekayaannya, namanya. Hanya untuk seorang Akashi Kouki dan anaknya. Walaupun dia harus merangkak di tanah, dia bersumpah akan membuat kehidupan baru yang bahagia dengan mereka berdua.
Baginya, sebuah dunia dengan mereka bertiga di dalamnya sudah sempurna. Dan dia tidak akan membiarkan apapun menghancurkan dunia sempurnanya.
.
.
.
"Akashi-kun! Kou-chan...! Kou-chan...!"
"Tuan Akashi! Nona sudah hendak melahirkan...!"
Oh tuhan. Kenapa bisa seperti ini?
Seijuurou duduk di dalam mobil hitam mahal itu, memerintahkan pelayan yang menelponnya terakhir untuk membawa istrinya ke rumah sakit yang sama dengan Kouki supaya dia bisa melihat kedua wanita itu lebih mudah. Dan sekarang, dia memerintahkan supir pribadinya untuk mengemudi lebih cepat, bahkan sempat mengancam supir itu dengan gunting merah, yang hanya bisa menurut dan mengemudi dengan panik.
Setelah beberapa menit perjalanan—yang terasa seperti satu abad bagi Seijuurou—mereka akhirnya sampai di rumah sakit yang disebutkan oleh Satsuki. Dia membuka pintu mobil tanpa menunggu supirnya, kemudian langsung berlari menuju ruangan tempat Kouki berada. Tanpa meminta izin, dia memasuki ruangan bercat putih dan berisi dengan orang-orang yang berpakaian putih, kini menatapnya dengan kaget.
Dia mendengar suara Shintarou, memanggilnya dan menyuruhnya keluar, yang akhirnya tidak di indahkan oleh Seijuurou yang langsung berada di sisi istrinya, menggenggam tangan Kouki dengan erat.
"Kouki, aku disini, oke?" Seijuurou berbisik. Dan seolah dapat mendengar bisikan Seijuurou, Kouki menoleh. Tatapannya lemah, kesakitan, namun terlihat senang begitu melihat wajah Seijuurou.
Terdengar suara suster yang terus meminta Kouki untuk meneruskan, kemudian erangan kesakitan dari Kouki. Jeritan itu membuat hati Seijuurou semakin miris.
Dia tidak pernah merasa selemah ini.
Dia hanya bisa menyaksikan Kouki, tersiksa oleh rasa sakit yang luar biasa dengan wajah yang ternodai oleh air mata, dan tidak bisa melakukan apapun selain membiarkan Kouki menggenggam tangannya dengan genggaman yang meremukkan.
Membisikkan dukungan.
Jeritan kesakitan.
Semua suara yang tidak ingin Seijuurou dengar terus terulang seperti radio yang rusak.
Dan setelah waktu yang terasa seperti selamanya, genggaman Kouki melemas, kemudian seorang suster yang sejak tadi membantu Kouki berjalan ke sisinya, menggendong seorang bayi mungil dengan senyum lebar.
"Akashi-san, selamat! Anakmu adalah seorang anak perempuan!"
Seluruh beban dalam hati Seijuurou seolah terlepas ketika melihat bayi yang berkulit merah yang di dekap oleh suster itu. Teriakan bayinya yang baru lahir itu bahkan tidak membuatnya kesal, justru membuatnya begitu bahagia hingga air matanya mengalir.
"Kouki, kau mendengarnya?" Seijuurou menggenggam tangan Kouki yang lemas. "Anak kita perempuan, Kouki..."
Wanita yang terbaring di atas kasur itu membuka matanya. Lelah jelas tertulis di seluruh wajahnya. Dia mengangguk lemah, kemudian matanya terpaku pada suster yang kini sudah membelakanginya dan berjalan menjauh.
"Menurutmu, bagaimana anak kita nanti, Kouki?" Seijuurou tersenyum lembut, menghapus setitik air mata yang meluncur di pipi Kouki. "...Hei, Kouki. Bagaimana kalau kita pindah ke tempat lain nanti? Sebuah tempat yang jauh dan hanya di kelilingi taman bunga yang kita tanam sendiri. Bukankah itu impianmu?"
Kouki mengangguk lemah. Kemudian—
Dia berbisik.
Mata Seijuurou melebar ketika mendengar bisikan Kouki. Dia menggenggam tangan yang mulai kehilangan energinya dengan keras, seolah berusaha menahan kehangatan yang mulai meninggalkan istrinya—
"—Cepat—"
"—Bertahanlah—"
"—Nyonya Akashi—"
"—Midorima-sensei—"
Semua suara mulai bermunculan. Potongan demi potongan. Pikirannya mulai tenggelam dalam jeritan panik para suster dan teriakan Seijuurou sendiri.
Dan di ruangan yang ribut itu, Kouki sama sekali tidak kesulitan untuk menutup matanya dan—
.
.
.
"Kami melakukan semua yang kami bisa, Tuan Akashi."
Adalah suara kelam Midorima yang menyambutnya dan bunyi panjang dan datar yang menggema dalam ruangan yang dingin.
.
.
.
Seijuurou menatap bayi yang ada di dekapan wanita itu. Bayi yang terlahir dari rahim Kouki. Bayi yang menjadi penghubung terakhir antara dia dan wanita yang dicintainya, kini terkotori oleh bau wanita itu.
Ah, bukankah barusan dia menanyakan nama? Entahlah. Dia dan Kouki belum memutuskan nama untuknya, bukan?
—Kita akan selalu bersama bukan, Seijuurou?—
Bayi berambut cokelat itu masih tertidur pulas.
—hanya kita bertiga; aku, kau, dan anak kita bertiga—
Mata anak itu terbuka. Mata cokelatnya yang lebar kemudian bertemu dengan Seijuurou.
—Tentu saja. Kita akan selalu bersama—
"Akashi Kouki."
.
.
.
"Seijuurou, rawat anak kita baik-baik ya?"
.
.
.
Saat itulah dunia yang kecil namun sempurna milik Akashi Seijuurou hancur berkeping-keping.
.
.
.
End.
[1] Oute: Skak dalam permainan shogi.