Disclaimer: Masashi Kishimoto
Warning: YAOI, AU, OOC dan hal absurd lainnya.
Pairing: Always NaruSasu
Rated: M for Mature, Sexual Content
.
Daddy, I Love You
.
By: CrowCakes
.
~Enjoy~
.
.
17 Tahun—Merupakan usia remaja yang memasuki masa pubertas dan pemberontakkan. Liar dan kekanakan. Tidak ubahnya seperti Naruto sekarang ini. Berpenampilan layaknya berandalan dan berkelahi tanpa henti. Setiap hari yang dilakukannya hanyalah mencari masalah dengan siswa lain, keluar-masuk ruang council, dan bahkan hampir di drop out gara-gara membuat keributan.
Dan sekarang, Naruto terlihat duduk santai di sofa ruang kepala sekolah dengan gaya angkuh. Sedangkan didepannya, Tsunade, sang kepala sekolah hanya menghela napas berkali-kali.
"Kali ini apa yang kau lakukan, Bodoh?" Tanya wanita cantik itu dengan malas.
Naruto mendengus, "Aku hanya meminjam buku." Ucapnya seraya mengorek telinga, tidak peduli.
Tsunade mendelik sadis, "Menghajar Choji karena dia tidak mau memberikan contekannya, itu tidak bisa dikatakan meminjam buku, Naruto."
Pemuda pirang itu hanya memutar bola matanya, kesal, "Sama saja. Dia tidak mau meminjamkan bukunya."
Tsunade menggebrak meja dengan penuh emosi, "Dengar, Idiot—ini sudah kesepuluh kalinya dalam seminggu kau masuk ke ruanganku. Aku bosan melihat wajahmu itu—" Desis wanita tadi kasar, "—Lagipula apa-apaan anting ditelingamu itu? Dan rambut pirang itu? Kau ingin jadi preman, Heh!"
Naruto menjulurkan lidahnya dengan seringai kecil, "Ini namanya style, Nenek tua—"
Urat kemarahan Tsunade sudah mencapai ubun-ubun, ia bergerak menuju Naruto kemudian menarik lidah pemuda itu dengan kasar, "Hoo—begitu? Jadi kalau menindik lidah juga termasuk style? Bagaimana kalau aku mencabut tindikanmu dan lidahmu sekarang juga?" Desis wanita tadi tanpa mempedulikan rintihan kesakitan Naruto.
"Awww—Aww—widahku swakit, ngengek thua!"
"Huh?—Apa? Aku tidak mendengar." Ucap Tsunade dengan seringai kejam sambil mempertahankan tarikannya pada lidah Naruto.
Pemuda pirang itu menepis tangan Tsunade dari lidahnya dan mendeliknya tajam, "Lidahku Sakit, Nenek Tua!" Rutuk Naruto akhirnya, setelah berhasil membebaskan organ mulutnya itu dari siksaan Tsunade.
Sang kepala sekolah hanya mendengus kecil, "Telepon ibumu untuk menemuiku sekarang." Perintah mutlak sudah dikeluarkan.
"Eh?" Naruto menoleh kaget sambil membersihkan lidahnya dari bekas sentuhan Tsunade, "—Kenapa ibuku harus dipanggil?" Protesnya lagi.
Wanita glamour itu hanya melipat kedua tangannya di depan dada, "Tentu saja, ini peringatan ke sepuluh kalinya untuk orangtuamu sekaligus yang terakhir. Kalau ibumu ingin kau tetap bersekolah disini, dia harus memperhatikanmu dengan seksama."
"Tapi—" Naruto ingin mengeluh lagi, namun gerakan tangan Tsunade yang mengusirnya hanya membuat pemuda pirang itu memeletkan lidah sambil keluar ruangan.
Sedikit marah dan emosi, Naruto terpaksa menghubungi ibu satu-satunya itu kalau tidak mau dikeluarkan dari sekolah ini.
Jujur—ia tidak ingin merepotkan sang ibu, namun melihat masalah yang sering dibuatnya, mau tidak mau sang ibu juga harus turun tangan. Mungkin, Naruto harus berubah menjadi anak yang baik mulai dari sekarang.
.
"Hallo? Naruto? Ada apa?" Suara wanita di seberang telepon menyadarkan lamunan pemuda pirang itu.
.
"Ibu, bisa ke sekolah sebentar?" Ucap Naruto dengan nada berbisik, takut dimarahi wanita yang melahirkannya itu.
.
Ada jeda dan helaan napas dari seberang telepon, "Kali ini masalah apa lagi?"
.
Naruto menggaruk pipinya, gugup, "Aku—menghajar Choji."
.
"Apa?! Kenapa bisa begitu?"
.
"De—Dengar dulu, Ibu—" Naruto memotong dengan cepat, "—Choji tidak mau meminjamkan contekannya, jadi terpaksa aku—"
.
"Itu bukan alasan untuk menghajar orang, Naruto—" Sela wanita itu dengan nada sedikit kesal, kemudian dilanjutkan dengan helaan napas lagi, "—Baiklah, ibu mengerti. Ibu akan kesana 15 menit lagi."
.
Naruto sumringah, "Aku sayang ibu."
.
"Ya—ibu tahu. Dan ibu harap ini terakhir kalinya kau dipanggil oleh kepala sekolah, mengerti?" Ucap wanita itu dengan nada lembut namun tegas.
.
Naruto terkekeh pelan, "Siap!—" Jawabnya singkat kemudian segera mematikan sambungan telepon mereka.
Kini yang dilakukan pemuda pirang itu hanya berjongkok malas didepan ruang kepala sekolah sambil menunggu sang ibu. Sesekali ia menggaruk rambut pirangnya, frustasi.
—Apa aku berhenti mengecat rambutku saja ya? Tapi, aku sangat menyukai rambut pirang... Huh, menyebalkan. Batin Naruto lagi.
.
.
.
_Ruang Kepala Sekolah, Pukul 10.30 Pagi_
.
Tsunade mengetukkan jarinya di atas meja kayu yang dipelitur licin. Tatapannya tajam memandang seorang wanita yang duduk gelisah dihadapannya. Tsunade mengenal wanita itu dengan baik. Dia adalah ibu dari si biang masalah di sekolah ini.
Tsunade menghentikan ketukan jarinya dan mulai mendesah, "Ini sudah kesepuluh kalinya Naruto membuat masalah disekolah." Ucapnya, membuka suara.
Wanita dihadapannya hanya bergerak gelisah sambil menunduk dalam-dalam, "A—Aku minta maaf, Tsunade-san. Aku sangat tidak becus dalam mendidik seorang anak."
"Ini bukan masalah becus atau tidak becus, Hinata Hyuuga." Potong Tsunade cepat, membuat wanita berambut indigo dan bermata lavender itu kembali bergerak gelisah.
"Tapi ini salahku yang tidak bisa mengajari Naruto dengan baik." Sela Hinata dengan nada lirih, ia menggigit bibir bawahnya dengan kalut, "—Dan karena Naruto tidak mempunyai sosok seorang ayah, makanya dia selalu bersikap pemberontak seperti itu." Lanjut wanita itu.
Tsunade meliriknya sekilas, "Tidak mempunyai ayah bukanlah suatu alasan, Hinata-san. Kau hanya perlu tegas dengan Naruto, jangan terlalu memanjakan dia, mengerti?"
Hinata cepat-cepat mengangguk, "A—Aku mengerti. Akan kupastikan Naruto tidak akan berulah lagi di sekolah." Sahut wanita anggun itu.
Tsunade tersenyum lega, "Baiklah, kali ini sikap Naruto akan kumaafkan, soal Choji biar aku yang akan menyelesaikannya dengan baik."
Hinata mendongak penuh rasa terima kasih, kemudian segera membungkuk 90 derajat untuk menghargai kebaikan Tsunade, "Aku berhutang budi padamu, Tsunade-san."
Wanita glamour itu tertawa kecil, "Baiklah, baiklah, sekarang kau boleh pulang, Hinata-san."
.
.
.
_Kediaman Hyuuga, pukul 19.00 Malam_
.
"Jadi—" Naruto menggigit apel di ruang makan, "—Aku dimaafkan oleh nenek tua itu?" Tanya lagi seraya melirik sang ibu yang memasak di dapur.
Hinata mendeliknya galak, "Tsunade-san bukannya nenek tua, Naruto. Kau harus bersikap hormat pada kepala sekolahmu itu." Terang wanita berambut indigo itu seraya menaruh beberapa mangkuk sayur di meja makan.
Naruto menguap malas, ia mengacak rambut pirangnya, "Tidak ada bedanya. Tetap saja, wanita itu perawan tu—"
"Naruto!—" Hinata menatapnya marah, "—Kalau kau masih bersikap seperti ini terus, ibu benar-benar akan menghukummu." Ancamnya lagi.
Naruto terdiam, kemudian memalingkan wajah dengan dengusan kesal, "Baiklah, aku mengerti." Ia bangkit dari kursi dan bergerak menuju anak tangga. Membuat Hinata langsung terkejut.
"Ma—Mau kemana? Kau belum makan malam, Naruto." Ucap sang ibu sedikit khawatir.
Naruto hanya melambai pelan tanpa berbalik, "Mau tidur. Aku ngantuk."
"Ta—Tapi, Naruto—"
"Selamat malam, Ibu." Potong Naruto cepat, bahkan tanpa mendengar kelanjutan omelan wanita anggun itu.
Hinata mendesah lelah, ia menatap masakan yang tersedia diatas meja dengan pandangan kecewa.
—Sepertinya, ia harus menyimpan seluruh makanannya ke dalam kulkas.
.
.
Bruk!—Naruto menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Kemudian bergelung dengan selimut hangatnya. Entah kenapa, ia memilih untuk tidur cepat daripada mendengar omelan sang ibu.
Mungkin—kalau dia memiliki ayah, ceritanya akan berbeda. Bisa saja, ia dan ayahnya sama-sama menjahili ibunya kemudian tertawa bersama. Atau ia akan diajarkan karate oleh ayahnya. Pasti hal itu sangat mengagumkan.
Pernah suatu kali Naruto bertanya pada Hinata bagaimana rupa sang ayah. Namun wanita indigo itu hanya menggigit bibirnya gugup. Dan enggan menyebutkan hal lain, kecuali mengatakan kalau sang ayah sangat mirip dengan Naruto, kecuali kulit tan nya, tentu saja. Dan saat Naruto bertanya dimana ayahnya sekarang, lagi-lagi Hinata mengalihkan pembicaraan dengan mengobrol tentang liburan atau acara tivi terkenal.
Semenjak itu, Naruto enggan bertanya lebih lanjut mengenai ayah kandungnya. Mungkin saja, ibunya pernah dikhianati sang ayah kemudian bercerai, atau lebih buruknya, ayahnya sudah meninggal dunia.
.
Tok—Tok—Tok—Suara ketukan halus dari arah pintu kamar, menyadarkan lamunan Naruto lagi. Ia beranjak dari ranjang dan membuka pintu dengan malas.
Hinata tersenyum lembut seraya menyodorkan semangkuk ramen, "Ibu pikir kau harus makan dulu sebelum tidur. Bukankah kau sangat menyukai ramen, Naruto?" Ucap wanita indigo itu.
Naruto terdiam, kemudian tersenyum tipis. Bagaimana pun juga, wanita sebaik ibunya sangat langka didunia ini, siapapun yang menjadi ayahnya, sangat bodoh karena meninggalkan seorang wanita anggun nan cantik seperti Hinata.
Naruto memperlihatkan cengirannya, "Terima kasih, Ibu."
Hinata ikut tersenyum, "Jangan lupa, cuci rambutmu dan lepaskan lensa matamu itu sebelum tidur, oke?"
Naruto menunjuk matanya, "Bukankah warna biru sangat cocok denganku?"
Hinata mendesah, "Tapi itu hanya lensa, jadi lepaskan sebelum tidur atau matamu akan rusak, Naruto."
"Baiklah, baiklah, aku mengerti. Selamat malam, Bu." Ucapnya lagi seraya menutup pintu kamarnya. Meninggakan Hinata yang menggeleng maklum menghadapi anak remaja.
Naruto mengunci pintu kamar sebelum beranjak menuju cermin kecilnya. Ia menatap matanya. Warna ocean blue terlihat cocok dengan warna kulit dan rambutnya, namun Naruto memilih melepaskan lensa biru itu daripada matanya harus rusak karena terlalu sering memakai lensa.
Pemuda pirang itu kembali menatap cermin. Warna biru itu terganti dengan hitam kelam. Layaknya night sky. Matanya yang asli terlalu gelap dan tidak cocok dengan warna kulit tan nya. Ia membenci warna mata hitamnya, namun ibunya sangat menyukai warna mata aslinya. Hinata mengatakan kalau mata Naruto sangat mirip dengan sang ayah. Dan Naruto hanya menjawab dengan tawa kecil.
"Sepertinya aku juga harus mandi." Ucap Naruto pelan sambil beranjak menuju kamar mandi. Menyalakan shower dan langsung mencuci rambut pirangnya.
Lima menit kemudian, Naruto sudah keluar dari kamar mandi dengan handuk yang tersampir di pinggangnya. Rambut pirangnya berubah warna menjadi hitam kelam dengan tetes air diujung surai lembut itu.
Naruto lagi-lagi menatap cermin. Ia mendengus kecil menatap dirinya sekarang. Rambut dan mata sehitam onyx, serta kulit tan dengan tubuh atletis. Not bad—tetapi Naruto lebih suka dengan cat pirang dan lensa birunya.
Sedikit mendesah, Naruto memilih beranjak menaiki ranjang tanpa berpakaian dulu. Ia terbiasa untuk tidur telanjang, lebih enak saat bersentuhan dengan seprei dan selimut.
Dan Naruto mulai terlelap, tertidur dengan dengkuran halus.
.
.
.
KRIIIING!—KRIIING!—Jam beker berbunyi lebih nyaring dari biasanya. Membuat Naruto langsung terlonjak dari tempat tidur. Matanya mengerjap perlahan sebelum menatap ke penanda waktu itu.
Pukul 08.00 pagi.
Mata hitam Naruto terbelalak lebar dan langsung terlonjak dari ranjang empuknya, "Shit!—Shit!—aku telat!" Umpatnya seraya menuju lemari untuk mengambil lensa matanya.
"Aww!—Aww!—Mataku tertusuk!" Rutuk pemuda itu sambil berguling-guling dilantai, mengaduh kesakitan.
Setelah meneteskan obat mata ke matanya yang memerah, Naruto langsung menyambar semprotan rambut untuk mewarnai surai hitamnya.
Selesai dengan aktifitas sehari-harinya itu, Naruto bergegas memakai seragam sekolah dengan cepat, dan segera melesat keluar kamar.
"Naruto!—" Hinata memanggil anaknya itu saat melihat Naruto yang bergegas menuju pintu depan, "—Kau tidak sarapan?"
"Nanti saja!—Aku terlambat!" Balas Naruto panik.
"Na—Naruto!—" Sang ibu memanggil lagi, membuat Naruto mengerang kesal.
"Aku sudah terlambat, Ibu—kalau menyuruhku sarapan nanti saja." Sela pemuda pirang itu lagi.
Hinata bergerak gelisah, "Bu—bukan itu—sejujurnya Naruto, kau belum memakai celana."
Naruto terdiam selama sepersekian detik sebelum menyadari angin semilir menerpa selangkangannya yang polos.
"Oh, Shit!—" Rutuk Naruto yang kembali bergegas masuk ke dalam kamar. Meninggalkan ibunya yang mengulum senyum kecil.
.
.
.
Kereta bawah tanah merupakan transportasi yang sering digunakan oleh Naruto. Lebih ampuh menuju ke sekolahnya dibandingkan bus kota. Tanpa macet dan cepat sampai di tempat tujuan. Sayangnya, kereta juga mempunyai kekurangan, yaitu banyaknya orang yang berdesakan untuk menaiki transportasi itu, membuat Naruto harus tergencet diantara puluhan orang.
God!—nasib Naruto benar-benar jelek. Terhimpit diantara kakek tuli dan ibu-ibu gendut yang genit, membuat pemuda pirang itu hampir muntah ditempat.
Matanya mencoba beralih dari dua orang yang menghimpitnya ke arah lain. Berharap menemukan gadis cantik dan sejenisnya. Tepat ketika penglihatannya sibuk menjelajah, sesosok pria raven terlihat gelisah di salah satu sudut kereta. Wajahnya memerah dengan napas yang terengah.
Awalnya, Naruto berpikir kalau pria itu sedang sakit. Namun, begitu ia mencoba mendekat, mata birunya melebar saat ada pria lain yang menggerayangi tubuh pria raven itu.
Otak Naruto loading sesaat sebelum sel-sel neuronnya menyampaikan pesan pada pusat otak kalau sedang terjadi pelecehan seksual didepan matanya.
Goddamn!—Kenapa Naruto harus melihat seorang pria dilecehkan oleh pria lain. Tidak adakah cewek cantik yang jadi korban? Setidaknya, Naruto ingin terlihat menjadi pahlawan di depan cewek cantik. Tetapi yang berada dihadapannya hanyalah seorang pria raven yang terlihat menampilkan death glare pada pencabulnya.
Sedikit mendesah, Naruto terpaksa membantu pria raven itu. Hitung-hitung berbuat amal.
"Maaf—" Naruto menyambar tangan pria pencabul tadi, "—tolong cari cewek lain saja untuk dilecehkan. Kau membuatku ingin muntah." Desisnya sinis, sambil menampilkan tampang preman andalannya.
Tersangka pencabulan itu terlihat ketakutan kemudian bergegas pergi. Meninggalkan Naruto dan sang korban.
Naruto melirik pria raven itu dari atas kepala hingga ujung kaki. Kulit putih mulus bak porselin mahal, rambut raven, mata onyx gelap, dan tatapan death glare. Cantik namun menakutkan.
"Berhenti memandangku, Dobe—apa kau ingin melecehkanku juga?" Ucap pria raven itu dengan nada sinis yang kentara sekali.
Naruto menatapnya sewot, "Heh!—Jangan bercanda!—Siapa juga yang sudi melecehkan pria berumur 20 tahunan sepertimu."
"Sejujurnya, Dobe—umurku 35 tahun." Ucap pria raven itu yang langsung membuat Naruto ternganga.
"Kau bercanda, kan?"
Pria raven itu berdecak kesal kemudian menarik sebuah kartu nama dari jas nya, Naruto mengambilnya dengan rasa penasaran dan langsung membacanya, "Uchiha Sasuke, umur 35 tahun, pekerjaan host club?" Ia kembali menatap pria yang dikenal nama Sasuke itu.
"Well—istilah kasarnya penjual jasa untuk menemani tamu, Dobe." Sahut Sasuke ketus.
Naruto menggaruk kepalanya, "Hmm—aku tidak begitu paham mengenai host club dan sejenisnya. Tapi aku tidak menyangka orang sepertimu adalah seorang host. Apa kau tidak mempunyai pekerjaan lain?"
Sasuke melipat tangannya angkuh, "Pekerjaan dijaman sekarang ini sulit, Dobe." Ucapnya enteng, kemudian mendengus kecil, "—Bocah sepertimu tidak akan mengerti."
"Hei!—Aku bukan bocah! Umurku sudah 17 tahun!" Tukas Naruto cepat.
"Itu masih bocah—" Balas Sasuke tidak peduli, "—Sana ke sekolah, aku mau pergi kerja." Usirnya, seraya mengibaskan tangan pada pemuda pirang itu.
Naruto menekukkan wajah, "—Aku malas ke sekolah, bagaimana kalau aku ikut denganmu?"
Pertanyaan Naruto ditanggapi Sasuke dengan delikan sinis, "—ikut denganku? Tidak! Aku tidak mau membawa bocah sepertimu ke klub ku, bisa-bisa aku dimarahi oleh 'Queen bee'."
Naruto menaikkan satu alisnya, heran, "Queen bee?—"
Sasuke mengangguk, "Ya—sebutan bagi pemilik Host Club terkenal di distrik hiburan Konoha, tempat aku bekerja."
"Wow—" Naruto bersiul takjub, "—Aku jadi ingin bertemu dengan 'Queen bee' mu itu." Ucapnya lagi seraya tersenyum lebar.
"Lupakan, aku tidak akan membawamu." Tolak Sasuke seraya bergerak menjauh, namun cengkraman Naruto di lengannya membuat pria onyx itu berbalik dengan delikan ganas, "—Apa maumu, Idiot?!—Lepaskan aku!"
"Tidak!—" Jawab Naruto keras kepala, "—Bawa aku juga, kalau tidak, kau akan ku perkosa sekarang juga."
Sasuke menaikkan kedua alisnya tinggi, "Oh—really?" Kemudian melipat kedua tangannya, menantang, "—Kalau begitu lakukan sekarang juga."
Naruto menggeram kecil, matanya melirik ke kanan dan ke kiri. Beberapa orang berseliweran di sekitar mereka, masuk-keluar dari stasiun kereta bawah tanah.
Well—memperkosa seseorang ditempat umum bukanlah hal yang pintar, jadi yang dilakukan pemuda pirang itu adalah berusaha menekan emosinya dan kembali memohon pada Sasuke "Please—ajak aku ke tempat kerjamu. Aku janji tidak akan membuat masalah." Ucapnya lagi seraya menangkupkan kedua tangan, memohon.
Sasuke menatap tajam ke arah pemuda dihadapannya itu, "Rambut pirang, anting ditelinga, tindikan di lidah, dan seragam berantakan. Yup!—Kau pasti akan membuat masalah." Tegasnya.
Naruto memutar bola matanya, kesal, "C'mon, Sasuke—ajak aku ke klub mu."
Sasuke mendesah pasrah, "Baiklah, lagipula percuma saja aku mengusirmu, kau sangat keras kepala." Lanjut sang onyx seraya berjalan menjauh, diikuti oleh Naruto yang mengekor di belakangnya sambil terkekeh senang.
.
.
.
.
Satu hal yang ada dipikiran Naruto saat melihat tempat kerja Sasuke, yaitu—MENAKJUBKAN!
Jujur saja, ia tidak pernah masuk ke klub mewah dengan fasilitas nomor satu di kawasan hiburan distrik Konoha. Uang saku nya tidak akan sanggup membayar biaya masuk kesana, apalagi memesan makanan sekaligus host atau hostess. Dan sekarang, Naruto bisa masuk ke salah satu host club terkenal secara gratis. Wow—ia benar-benar beruntung, sayangnya, keberuntungannya itu harus berakhir ketika ia bertemu dengan 'Queen bee', pemilik host club.
"Jadi—" Suara wanita yang serak membuat suasana ditempat itu sedikit tegang, terlebih lagi Sasuke yang berdiri gugup dihadapan sang 'Queen bee', "—Siapa anak itu?" Lanjut wanita tadi sambil menunjuk ke arah Naruto.
Sasuke masih menampilkan wajah stoic nya, "Dia Naruto—bisa dibilang kenalanku."
"Hoo—" sang Queen bee menghisap rokoknya dan menghembuskannya pelan, "—Anak itu lumayan tampan." Puji wanita tadi, membuat Naruto bergidik ngeri.
"Dengar, nenek tua!—aku tidak sudi di puji olehmu." Potong Naruto dengan nada kesal.
Sang Queen bee membelalakkan matanya kaget, "Kau bilang apa, bocah ingusan?!" Serunya marah.
Naruto mendengus dengan angkuh, "Lihat saja dirimu itu!—" Naruto menunjuk wanita didepannya itu, queen bee terlihat sudah memasuki umur 60 tahunan, memakai gaun dress merah menyala dengan belahan paha yang tinggi, make-up tebal dengan lipstik yang sama terangnya dengan gaunnya, serta rambut yang digelung ikal dengan pernak-pernik berkilau. Oh jangan lupa—syal bulu merah muda yang tersampir di bahu wanita itu. Membuat siapa saja langsung bergidik jijik, "—Kau mengerikan." Ucap Naruto, jujur.
Wanita yang berinisial Queen bee itu menggeram kecil, membuat Sasuke mundur perlahan dengan takut.
Sang onyx mendelik Naruto, kesal, "Bukankah kau janji tidak akan membuat masalah?" Desisnya tajam dengan bisikan halus.
Naruto mengedikkan bahunya, "Aku tidak mencari masalah, aku hanya berbicara apa adanya. Lagipula, apa benar nama nenek itu 'Queen bee'? Heh!—menggelikan sekali." Ucapnya tanpa menyembunyikan nada suaranya yang keras.
Sang Queen bee menghisap rokoknya lagi seraya beranjak menuju Naruto, "Namaku Chiyo. Queen bee hanya inisialku saja, Bocah." Balas sang nenek glamour itu.
Naruto menyeringai kecil, "Nama yang unik, Nenek Chiyo.—"
"Panggil aku 'Queen bee', Bocah ingusan." Potong sang nenek dengan angkuh, kemudian berbalik menatap Sasuke, "—Aku harap kau terus mengawasi anak itu, Sasuke-san. Untuk kali ini, aku tidak akan mempermasalahkan 'bencana' yang kau bawa kemari."
Sasuke membungkuk 90 derajat, "Terima kasih, Queen bee." Ucap sang onyx lagi.
Wanita tua itu hanya mengibaskan tangannya tidak peduli, kemudian beranjak pergi. Meninggalkan suasana yang tadinya tegang kembali mencair. Bahkan beberapa host langsung mengerubungi Naruto dengan semangat.
"Kau baru disini, kid? Jujur saja, kau membuatku takut karena membuat Queen bee marah." Ujar salah satu host yang ber'name tag' Kiba. Ia melirik ke arah host lain yang berambut merah dan bertatto 'Ai' di kening, "—Bukankah begitu, Gaara? Kau juga gugup 'kan saat Queen bee marah?" Tanyanya lagi.
Pemuda yang merasa dipanggil, hanya diam tanpa ekspresi, "Biasa saja." Jawabnya singkat.
Kiba terkekeh pelan, "Kau bohong—" Tukasnya, kemudian melirik ke salah satu host lain yang sibuk tertidur di sofa merah,"—Hei, Shikamaru, katakan sesuatu."
Yang dipanggil hanya bergumam kecil, tidak tertarik, "Aku ada tamu, jangan mengganggu." Jawabnya lagi sambil tersenyum simpul ke arah wanita yang duduk disebelahnya sambil terkikik manja.
Kiba memutar bola matanya malas, lalu beralih menatap Naruto lagi, "Well—karena kau teman Sasuke, sebaiknya kau duduk santai saja di sofa VIP, dan Sai akan menemanimu."
"Sai?—Siapa Sai?" Tanya sang Uzumaki bingung.
Belum sempat Kiba menjawab, seorang pemuda berambut hitam dan selalu memasang senyum palsu mendekat ke arahnya dengan pelan, "Aku Sai, salam kenal." Katanya lembut seraya membungkuk sopan.
Naruto menoleh ke arah pemuda hitam itu, kemudian menampilkan cengirannya, "Aku Naruto—" Ia menjulurkan tangan, bersalaman, "—Salam kenal."
Sai menyambutnya dengan hangat, kemudian menuntun Naruto untuk duduk di sofa.
Sasuke hanya mendengus kecil menatap Naruto yang duduk gembira di sofa mahal dengan Sai disebelahnya, "Dasar bocah—" Rutuknya, kemudian segera bergegas ke ruang ganti untuk memakai seragamnya.
.
.
"Selamat datang, Nona—" Sasuke terlihat membungkuk sopan di depan pintu klub, menjamu para tamu dan menggandeng mereka ke salah satu sofa yang terbaik, "—Ingin memesan sesuatu?" Tanya lagi, masih dengan tampang stoic andalannya, dan herannya, para wanita itu berteriak kecil kegirangan saat Sasuke berbicara dengan mereka. Walaupun dengan kata-kata yang sedikit—dingin. Naruto bahkan heran, kenapa Sasuke sangat populer di klub ini, padahal umur pria itu saja sudah mencapai kepala tiga lebih.
"Dia host termahal di distrik Konoha—" Ucap Sai, memotong lamunan Naruto.
Pemuda pirang itu menoleh kaget, "Kau bisa membaca pikiranku?"
Sai kembali tersenyum, "10 tahun menjadi host, aku bisa membaca gerak-gerik setiap pengunjung. Itulah keahlian para host."
Naruto terbelalak lebar, "Wow! Serius? 10 tahun?—Sebenarnya umurmu berapa?" Tanyanya heran.
Sai tersenyum kecil, "37 tahun."
Jawaban itu sukses membuat mata Naruto lagi-lagi melebar kaget, "Apakah semua orang disini awet muda? Maksudku—Sasuke dan kau terlihat masih berumur 20 tahunan."—Kecuali nenek Chiyo—tentu saja. Bagaimana pun wanita itu hanya muda di jiwa dan bukan fisik.
Pria itu hanya menanggapi ucapan Naruto dengan tawa kecil, "Aku yang tertua disini, Sasuke dibawahku, kemudian dilanjutkan Shikamaru yang berumur 25 tahun, serta Kiba dan Gaara yang berumur 23 tahun. Well—kami host yang berpengalaman."
Naruto menggaruk lehernya, "Yeah—terdengar sangat hebat."
Sai mengangguk, "Ya, selain itu, sebagai host, kami perlu bersabar untuk mempelajari tingkah laku seseorang, serta pikiran mereka... Mau minum?" Ia menyodorkan sebotol wine merah yang mahal.
Naruto menggeleng, "Tidak, uang saku ku tidak akan cukup membayar tagihannya. Lagipula—"
Belum sempat Naruto menyelesaikan kalimatnya, Sasuke sudah menyambar botol wine dari tangan Sai,"—Lagipula, dia masih bocah berumur 17 tahun. Jadi, tidak boleh ada alkohol dalam minumannya, mengerti, Sai?" Ucap sang onyx dengan penuh penekanan pada kata '17 tahun' dan 'alkohol', sedikit membuat sang Uzumaki merengut kecil.
"Kau tidak perlu mengatakannya keras-keras, Teme." Naruto menekuk wajahnya, kesal.
Sasuke memutar bola matanya malas, dan Sai hanya tersenyum kaku, "Baiklah—" Pemuda penyuka senyum palsu itu bangkit dari sofa, "—Sebaiknya aku tinggal kalian berdua dulu, aku harus menjamu tamu." Ucapnya lagi seraya menunjuk ke salah satu sofa yang penuh dengan wanita glamour yang tertawa cekikikan ke arahnya.
Sasuke mengangguk, dan menghempaskan pantatnya di sofa tepat di sebelah Naruto. Ia melonggarkan dasinya sebentar sebelum menghela napas lelah, "Aku membenci wanita-wanita berisik itu." Keluhnya.
Naruto menggaruk rambut pirangnya, bingung, "Bagiku sih, kau beruntung bisa bersama wanita-wanita cantik itu." Balasnya seraya menunjuk beberapa gerombolan wanita berpakaian mahal dengan ujung dagunya.
Sasuke mendengus pelan, "Jangan bercanda, mereka mirip toko perhiasan berjalan. Dan sayangnya, aku tidak tertarik dengan toko perhiasan, apalagi yang berjalan, membuat mataku sakit."
Naruto terkekeh kecil, "Hmph—terdengar seperti sarkasme yang berlebihan."
Sasuke tidak menjawab, ia hanya mengambil segelas air putih di atas meja dan meneguknya perlahan, "Ngomong-ngomong—" Ia melirik Naruto seraya menaruh gelasnya kembali, "—Mau sampai kapan kau disini? Ini sudah jam 3 sore." Ucap Sasuke sambil menatap jam tangan di pergelangan tangan kirinya.
Naruto terkekeh sebentar, "Sampai aku puas memandang wanita-wanita cantik itu."
Sasuke berdecak kecil, "Apa orangtuamu tidak khawatir? Aku yakin ayahmu akan berkeliling di jalan hanya untuk mencari bocah sepertimu."
"Well—Teme, aku tidak punya ayah, yang ku punya hanya seorang ibu." Jawab Naruto lagi, tanpa melihat ekspresi terkejut dari sang onyx.
"Sorry." Kata Sasuke akhirnya.
"Heh!—Tidak perlu terlihat sedih begitu. Lagipula aku tidak tahu bagaimana rupa ayahku." Ucap pemuda pirang itu lagi.
Sasuke meneguk air putihnya, "Kau ditinggal ayahmu?—Apakah dia—kau tahu—meninggal?"
Naruto mengedikkan bahu, tidak tahu, "—Entahlah, sejak kecil aku sudah diasuh oleh ibuku. Setiap kali membicarakan tentang ayah, ibu selalu terlihat sedih, jadi aku memilih untuk tidak bertanya lagi."
"Oh—" Sahutan singkat Sasuke membuat suasana itu menjadi sedikit canggung. Ia berdehem sebentar untuk mencairkan atmosfir diantara mereka, "—Aku rasa, setiap orang punya masa lalu kelam."
Naruto mengangkat satu alisnya, heran, "Apa maksudmu?"
"Sejujurnya—masa lalu ku juga tidak bisa dibilang bahagia." Sergah Sasuke cepat, ia menunduk sambil menangkupkan kedua tangannya diatas paha, "—Di umur 18 tahun, aku harus jatuh cinta pada gadis yang salah."
"Apa maksudmu dengan 'jatuh cinta pada gadis yang salah'?" Tanya Naruto penasaran.
Sasuke menggenggam kedua tangannya lebih erat, "—Bisa dibilang, gadis itu bukanlah takdirku." Jawab sang onyx ambigu, membuat Naruto mengerang kesal.
"Ayolah, Teme—ceritakan semuanya, jangan membuatku penasaran." Tukas Naruto dengan geraman kecil.
Sasuke menarik sudut bibirnya menjadi senyum tipis, "Akan kuceritakan, asalkan setelah ini, kau harus pulang oke?"
Naruto menekukkan wajahnya kesal, "Baiklah, aku janji. Jadi cepat ceritakan!" Tuntutnya lagi.
Sasuke mengeluarkan rokoknya dari saku, membakar ujungnya, dan menghisapnya dalam-dalam, "Dia sangat cantik. Baik wajah maupun tingkah lakunya sangat menawan, aku jatuh cinta padanya—" Ada jeda sebentar sebelum sang onyx melanjutkan ceritanya, "—Sayangnya, ia sudah mencintai orang lain dan memilih menikah dengan orang itu."
Naruto menyamankan posisi duduknya, "Siapa?—Siapa yang dicintai wanita itu?"
Sasuke tertawa dengan dengusan getir, "Bukan siapa yang dicintainya, melainkan siapa yang aku cintai."
Pemuda pirang itu memiringkan kepalanya, bingung, "Apa maksu—"
"Aku mencintai kakak iparku sendiri." Potong Sasuke cepat bahkan sebelum Naruto bertanya.
Sang Uzumaki terdiam, mata birunya melebar, "Kau—Apa?"
Sang Uchiha lagi-lagi menghembuskan asap rokoknya, pelan, "—Mencintai istri kakak sendiri merupakan dosa yang besar, bukan?"
Naruto menggaruk rambut pirangnya, "Entahlah, aku bingung. Maksudku—semua orang berhak mencintai siapa saja, bukan?"
"Hmph—" Sasuke mendengus kecil, "—Kau masih bocah, kau tidak mengerti apapun, Dobe." Ucapnya lagi seraya mengacak surai pirang pemuda itu.
"Berhenti memperlakukanku seperti anak kecil, Teme!" Naruto menepis usapan Sasuke dari kepalanya dengan cepat, "—Jadi katakan, siapa wanita yang kau cintai itu?"
Sasuke terlihat berpikir sebentar, kemudian melirik jam tangannya, "Well—waktu habis, kau harus pulang."
"Hei!—Kau belum memberitahuku siapa nama gadis itu!" Protes sang Uzumaki.
Pria raven itu memutar bola matanya, kesal, "Dengar dobe—aku sudah menceritakan yang perlu kau tahu, tidak termasuk nama maupun ciri-ciri gadis itu."
"Berarti kau membohongiku!"
"Aku tidak membohongimu, aku sudah menceritakan kisahku, tapi kau tidak mengatakan ingin tahu tentang gadis itu, jadi—ya—kau idiot." Balas Sasuke lagi.
Naruto semakin menekuk wajahnya, kesal dan marah, "Fine!—Aku pulang. Tapi besok aku akan kembali lagi!" Serunya kesal seraya bangkit dari kursi.
Sasuke hanya menarik sudut bibirnya, sambil melambai pelan, "Bye—Dobe—"
Naruto berbalik, kemudian mengacungi jari tengahnya pada pria onyx itu, "Awas kau—" ancamnya lagi sebelum benar-benar menjauh dari klub. Meninggalkan Sasuke yang hanya bisa terkekeh kecil.
.
.
.
_Kediaman Naruto, Pukul 21.00 Malam_
.
Makan malam merupakan hal yang ditunggu-tunggu oleh Naruto. Bukan hanya karena masakan Hinata yang menggugah selera namun juga percakapan hangat mereka saat makan malam. Sayangnya, hari itu, Hinata sibuk mempelototi Naruto dengan galak. Jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan kesal, sedangkan dihadapan mereka, beberapa hidangan yang lezat sudah dingin sejak beberapa menit yang lalu.
"Tsunade-san memberitahuku kalau kau bolos sekolah—" Hinata membuka suara, membuat Naruto yang duduk dihadapannya hanya bergerak gelisah di kursi. "—Kemana saja kau seharian ini?" Tanya sang ibu penuh penekanan.
Naruto menggaruk rambut hitamnya. Ia sudah mencuci warna cat pirang dari surainya itu, serta tidak lupa melepas contact lens nya, "Uhm—Aku hanya—uhm—"
Hinata mendesah, "Ibu harap kau tidak mencari masalah diluar sana."
"Tentu saja tidak, Bu—Aku tidak mencari gara-gara."—Kecuali sempat membuat Queen bee kesal—but hey—itu tidak termasuk dalam mencari masalah, kan?
Hinata tersenyum kecil, "Baiklah, ibu percaya. Tapi tolong, lain kali jangan membolos lagi, oke?"
Naruto menampilkan senyum lebarnya, "Yup!—Janji!" Ucapnya seraya membentuk tanda 'V' dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. "Jadi—bisakah kita langsung makan? Aku kelaparan." Lanjutnya lagi dengan tatapan memohon.
Hinata tertawa kecil seraya mengusap rambut Naruto penuh sayang, "Tentu, makanlah. Ibu sudah memasak beberapa sayuran yang kau suka. Dan oh—ramen, tentunya." Ia menyodorkan semangkuk ramen yang masih mengepul panas ke depan meja sang anak.
"Wow—Nice!" Balas Naruto yang langsung mengambil sumpit dan memakan ramennya dengan rakus.
.
.
.
Rutinitas pagi hari Naruto sangatlah sibuk dibandingkan Hinata. Pemuda pirang itu harus mengecat rambutnya—lagi. Serta memakai lensa matanya dengan cepat. Setiap kali ibunya mengatakan untuk tampil apa adanya, Naruto selalu bersikeras kalau mewarnai rambut dan memakai lensa adalah trend anak muda jaman sekarang. Yang tentu saja, membuat Hinata memutar bola matanya malas. Namun sekarang, kegiatan pagi Naruto itu sudah menjadi hal yang biasa bagi wanita indigo itu, ia bahkan tidak melarang, saat sang anak menindik lidah, telinga, perut, bahkan mewarnai rambutnya. Entah karena Hinata termasuk ibu yang baik, atau terlalu lembek pada anak satu-satunya itu, tetapi kelakuan Naruto selalu membuat sang ibu pasrah, dan tidak bisa berbuat apa-apa selain mengijinkan permintaan pemuda pirang itu.
"Aku berangkat!" Seru Naruto seraya menuruni tangga dan menyambar roti panggang di atas meja.
Hinata yang berada di dapur hanya melirik sekilas, "Hati-hati dijalan, dan jangan lupa kancing seragammu dengan benar, Naruto!"
Pemuda pirang itu menampilkan cengirannya, kemudian merapikan kancing kemejanya yang masih berantakan.
.
.
Kereta lagi-lagi transportasi yang diidolakan oleh pemuda pirang itu. Selain murah, ia juga beruntung kalau bisa berdesakkan dengan seorang wanita kantoran maupun gadis remaja.
Tetapi lagi-lagi, dewi keberuntungan tidak pernah berpihak padanya.
Ketika Naruto ingin masuk ke gerbong kereta, mata birunya teralihkan pada sesosok pria berambut raven yang sedang ditarik oleh dua orang pria berandalan. Sang Uzumaki mengerang kecil.
—Oh jangan si langganan pelecehan seksual itu lagi. Batinnya dalam hati.
Sayangnya, tebakan Naruto benar. Pria raven itu atau dikenal sebagai Uchiha Sasuke, sedang digoda oleh dua orang pria yang menarik lengannya dengan tidak sabaran. Mereka sedang terlibat adu argumentasi yang membuat dua pria asing itu marah dan mengepalkan tangannya, bersiap menghajar wajah Sasuke.
DUAGH!—Pukulan itu datang tiba-tiba dari tinju Naruto ke arah pria asing yang menarik lengan Sasuke. Membuat sang Uchiha dan pria tidak dikenal itu kaget, terlebih lagi menatap seorang remaja berambut pirang yang mengepalkan tangannya penuh emosi.
Sang Uzumaki menggeram marah, "Fuck off, you asshole!" Ancamnya.
Dua pria tadi terlihat ketakutan, dan memilih menjauh daripada dihajar oleh berandalan seperti Naruto.
Sang sapphire melirik Sasuke, "Jadi—" Ia melipat kedua tangannya angkuh, "—Kegiatan pagimu adalah menggoda pria, huh?—Entah kenapa aku tidak terkejut lagi." Ucapnya sarkastik.
Sasuke mendengus, kemudian mendorong tubuh Naruto untuk menyingkir, "Aku tidak pernah menggoda pria, mereka selalu datang untuk menggodaku." Tukas pria onyx itu cepat.
Naruto memutar bola matanya, malas, "Yeah—tentu saja." Ucapnya lagi, seraya mengekor Sasuke di belakang, memasuki gerbong kereta.
.
"Jadi—kau ingin sekolah atau membuntutiku lagi?" Tanya Sasuke ketika mereka sudah memasuki kereta.
Naruto menggaruk tengkuk lehernya, "Sejujurnya, Sasuke, aku ingin membuntutimu ke tempat kerja, sayangnya, aku sudah berjanji pada ibuku untuk sekolah. Jadi aku rasa, setelah pulang sekolah, aku akan ke tempatmu."
Sasuke mengangguk, "Cukup adil." Ucapnya lagi, kemudian menatap Naruto dengan wajah heran,"—ngomong-ngomong, kenapa kau ingin ke tempat kerjaku?"
Naruto berpikir sebentar, kemudian menyentuh pipi pria raven itu, "Tentu saja untuk menemuimu, Baby—" Godanya sambil menggerakkan kedua alisnya dengan jahil.
Sasuke mendengus, kemudian menepis tangan Naruto dari wajahnya "Idiot—berhenti bercanda dengan orang yang lebih tua."
Pemuda pirang itu tertawa keras, "Jangan terlalu serius, old man. Santailah sedikit."
"I'm not old man, you dumbass—" Delik Sasuke galak, "—Dan berhenti menggangguku." Perintahnya lagi seraya menepis tangan Naruto yang menyentuh dagunya. Membuat sang remaja kembali tertawa untuk kedua kalinya.
.
.
.
_Host Club, Pukul 09.00 Pagi_
.
"Kau telat." Dua kata dari Queen bee membuat Sasuke menunduk dalam. Wanita tua itu duduk dengan angkuh di tengah ruangan dengan sofa merah berhias ukiran emas seraya menghisap rokoknya, "—Darimana saja kau?"
Pemuda onyx itu hanya diam tidak bergerak, wajahnya tidak menampilkan ekspresi apapun, "Ada sedikit masalah." Jawabnya singkat.
Sang nenek kembali menghisap rokoknya, "Masalah seperti apa?" Tanya dengan suara serak.
Sasuke mendengus kecil, tidak menjawab. Sejujurnya—ia tidak sudi untuk menceritakan hal yang sebenarnya. Bagaimana mungkin ia mengatakan kalau dirinya baru saja dilecehkan oleh dua pria asing, dan digoda oleh Naruto di kereta, hingga terpaksa mengantarkan bocah ababil itu ke sekolah.
Tidak!—Ia tidak mau mempermalukan dirinya.
.
Queen bee menghembuskan rokoknya dengan bosan, kemudian mengibaskan tangannya, "Baiklah, tidak perlu menjelaskannya. Sekarang ganti bajumu dengan seragam. Dan mulai lah bekerja." Perintah nenek tadi.
Sasuke membungkuk hormat dan bergegas ke ruang ganti. Menyimpan bajunya dan memakai setelan butler.
"Pagi yang buruk, huh?" Suara Sai menggelitik sensor pendengaran Sasuke, membuat pemuda Uchiha itu mendeliknya galak.
"Apa maumu?" Tanya Sasuke ketus.
Sai menampilkan senyum palsunya, "Ayolah—kau tidak perlu sinis denganku, Sasuke. Apa begitu caramu memperlakukan 'kakak'mu ini?"
BRAK!—Sasuke menutup pintu lokernya dengan keras, kemudian mendelik Sai dengan tajam, "Aku tidak peduli kau kakakku atau bukan, aku sangat membencimu!—Jadi menjauh dariku!"
Tepat ketika Sasuke ingin keluar dari ruang ganti, suara Sai kembali membuat gerakannya terhenti, "—Kau menjadi host disini hanya untuk bertemu dengan wanita itu, bukan?"
"Sai-niisan!—" Sasuke membentak dengan galak, kemudian menggeram marah, "—Apa maksudmu itu?!"
Sai tersenyum dingin, "Dulu wanita itu suka ke tempat host club, bukan?—Hingga dia bertemu dengan kakak kita yang menjadi host, dan menikahinya." Ada jeda singkat sebelum pria penyuka senyum itu kembali berbicara, "—Sayangnya, aku menjadi host juga ingin bertemu dengan wanita itu. Kau juga tahu kan, kalau aku mencintai istri kakak kita."
"Mencintai istri Itachi-niisan adalah keadaan yang salah." Lirih Sasuke lagi. Ia menggigit bibir bawahnya dengan kuat, "—Lagipula wanita itu pergi dengan keadaan hamil saat Itachi meninggal."
Sai melipat kedua tangannya di depan dada, "Ya, kecelakaan lalu lintas itu merenggut nyawa Itachi." Ia berdecak kecil, "—Harusnya wanita itu tetap di rumah kita, aku bisa bertanggung jawab atas anak yang dikandungnya."
Sasuke terbelalak, dan menoleh cepat ke arah kakaknya itu, "A—Apa maksudmu?"
Sai mengangkat satu alisnya, kemudian kembali menampilkan ekspresi senyuman, "Ah—aku tidak memberitahumu, rupanya. Well—dulu aku berselingkuh dengan wanita itu dibelakang Itachi-niisan."
"SAI!—" Sasuke merenggut kerah baju pria dihadapannya dengan emosi, "—Jangan katakan kalau—"
Sai tidak lagi tersenyum, ia menampilkan ekspresi stoic khas keluarga Uchiha, "Benar, bisa saja anak yang berada dikandungan wanita itu adalah anakku, dan bukan anak Itachi-niisan." Katanya lagi. "—Makanya, aku ingin bertemu dengan wanita itu dan bertanggung jawab atas anakku." Lanjutnya, seraya melepaskan pegangan Sasuke dari kerah seragamnya.
"Jadi Sasuke—" Sai menggantung kalimatnya, wajahnya tiba-tiba mengeras, "—Aku harap kau berhenti untuk mencari wanita itu. Sebab bagaimana pun juga, wanita itu akan menjadi milikku." Ucapnya ketus. Kemudian beranjak keluar dari ruang loker, meninggalkan Sasuke yang masih terdiam menahan gemetar emosinya.
.
—Itu—tidak mungkin terjadi, kan? Wanita itu tidak mungkin hamil anak dari Sai, iya kan?
.
.
.
TBC
.
Yuhuuuuu~~ CrowCakes kembali membawa fic baru bernuansa incest, tentu saja masih NaruSasu.
Mungkin chapternya tidak terlalu panjang, jadi akan cepat tamat... hehehe XD
Btw, Chap selanjutnya masih dalam proses pengerjaan.
Semoga suka dengan ceritanya ya guys/girls...
.
RnR please! ^^