Disclaimer : Masashi Kishimoto

Pairing : Naruto U. x Hinata H.

Rate : T

Genre : Romance, Fantasy

Warnings : AU, Gaje, OOC, Typo (pasti ada), dan masih banyak lagi…

.

.

.

Chapter 1 : Meet You!

"Ah, kau datang lagi. Masuklah!" Ucap gadis bercepol dua yang duduk sambil membaca buku dibelakang meja panjang pada seorang gadis yang baru masuk kedalam ruangan yang sama dengannya. Gadis dengan mata sewarna lavender itu tersenyum tipis membalas sapaan gadis bercepol dua itu.

"A-apa kabar, Tenten-san." Sapa gadis itu setelah berdiri tepat didepan meja Tenten.

"Kulihat akhir-akhir ini, kau semakin sering kemari Hinata-san." Tenten menutup buku kecil yang sedari tadi dibacanya, pandangannya diarahkannya pada lawan bicaranya.

"A-aku merasa le-lebih nyaman disini. A-aku ti-tidak ingin langsung pulang ke ru-rumah." Ucap Hinata dengan mengecilkan volume suaranya pada akhir kalimatnya.

Hinata mengedarkan pandangannya kesekeliling mengamati ruangan tenang yang penuh dengan buku yang tersusun rapi. Terlihat beberapa orang yang sedang duduk sambil membaca buku dimeja-meja yang telah disediakan diruangan itu, ada juga yang terlihat masih sibuk memilih buku. Cukup banyak orang yang ada dalam ruangan yang bisa dibilang besar itu, namun suasananya begitu nyaman dan menenangkan.

"Apa kau punya masalah dirumah?" tanya Tenten mengacaukan pikiran Hinata. Hinata kembali menatap Tenten yang masih duduk ditempatnya sambil memandang Hinata dengan khawatir.

"Te-tenang saja a-aku tidak apa-apa. A-apa Tenten-san ti-tidak lelah menjaga perpustakaan se-sebesar ini sendiri?" tanya Hinata mengalihkan pembicaraan.

Tenten menghela napas panjang, dia menopang dagunya dengan tangan kanan sambil melihat sekeliling perpustakaan yang menjadi tempatnya bekerja itu. "Tentu saja aku lelah. Tapi, mau bagaimana lagi pemilik tempat ini tidak berminat mencari pegawai lain." Dia menatap Hinata lagi, "Ah, tapi terkadang ada seseorang yang membantuku merapikan tempat ini." Tenten tersenyum kecil mengakhiri kalimatnya. Sedangkan Hinata hanya menganggukan kepalanya dan membentuk bibirnya seperti huruf 'o'.

*Recalling You*

Hinata sedang sibuk memilih beberapa buku saat matanya menangkap sosok yang begitu mencolok dimatanya. Dia melihat seorang pemuda yang sedang duduk membelakanginya, rambutnya yang berwarna kuning terang terlihat begitu kontras dengan kemeja dan celana panjang hitam miliknya.

Entah apa yang dipikirkan Hinata hingga dia terus menatap sosok yang menarik perhatiannya itu. Hinata bergerak beberapa langkah dari tempatnya tadi sehingga sekarang dia melihat pemuda itu dari samping. Hinata sudah menduga sebelumnya bahwa kemungkinan warna mata pemuda itu berbeda dari orang jepang kebanyakan, tapi saat melihatnya langsung seperti ini dia benar-benar terkejut dengan pemandangan yang dilihatnya. Birunya lautan terlihat sangat jelas dari dua iris pemuda tidak dikenal yang diamatinya.

Kalau diperhatikan secara seksama, ditangan pemuda itu tergenggam sebuah buku yang mirip agenda kecil berwarna putih dengan cover polos. Buku itu bahkan tidak punya judul didepannya, menurut ingatannya yang sangat sering mengunjungi perpustakaan dan toko buku, Hinata tidak pernah melihat buku seperti itu.

'Apa buku catatan biasa ya?' tanyanya dalam hati. Hinata memutuskan untuk duduk tidak jauh disamping pemuda itu. Sambil membuka beberapa buku yang telah dia pilih sebelumnya, Hinata melajutkan lagi aksi pengamatannya.

Sekitar sepuluh menit kemudian pemuda dengan kelereng emerald itu berdiri dari tempatnya duduk, anehnya setelah berdiri pemuda itu menarik kursi yang didudukinya tadi menjauhi meja. Hinata yang melihat itu mengerutkan alisnya, dia berdiri dari kursinya dan mencoba untuk memanggil sosok yang baru saja pergi.

"He-hei, kau ti-tidak boleh me-membiarkan kursi seperti itu, se-seorang bisa terjatuh. He-hei—"

"AAAHH!" BRUUKKK…

Panggilan Hinata terhenti saat mendengar teriakan seseorang diikuti suara benda jatuh yang cukup besar, saat menoleh kebelakang Hinata melihat seorang perempuan yang mungkin seumuran dengannnya sedang terduduk di lantai dan banyak buku yang berserakan disekitarnya. Perempuan dengan rambut seperti permen kapas itu dengan panik merapikan buku-buku yang berserakan di lantai, baru saja Hinata mau menolongnya datang seorang pemuda dengan rambut raven ikut berjongkok disamping gadis permen kapas tadi dan mulai membantunya mengumpulkan buku yang cukup banyak itu.

"Maaf, aku sama sekali tidak melihat jalan." Ucap si gadis permen kapas saat mereka telah selesai memungut semua buku yang berserakan. "Dan terima kasih sudah mau membantuku, ano…."

"Sasuke. Sasuke Uchiha" Balas pemuda tadi tanpa menampilkan ekspresi apapun.

"Ah. Sekali lagi terima kasih banyak Sasuke-san. Aku Haruno Sakura." Gadis yang bernama Sakura itu pun membungkuk sedikit sebagai tanda terima kasihnya.

"Hn. Aku sudah tahu." Jawab Sasuke singkat sambil meninggalkan Sakura yang masih berdiri dengan tanda tanya besar di kepalanya.

Hinata yang melihat kejadian didepannya hanya bisa terdiam setelah dia sadar bahwa yang membuat gadis itu terjatuh adalah kursi yang ditarik oleh pemuda bersurai emas yang tadi dikejarnya. Dia merasa seakan-akan pemuda itu tahu apa yang akan terjadi jika dia menarik kursi itu, tapi bagaimana bisa? Apa mungkin dia seorang peramal atau sejenisnya?

"Aaahhh~… untuk hari ini sudah selesai." Terdengar suara yang sedikit serak dari sampingnya membuat Hinata menoleh tiba-tiba. Matanya membulat mendapati pemuda yang dikejarnya tadi sudah berada disampingnya tanpa dia sadari.

Hinata yang sudah dipenuhi dengan rasa penasaran tanpa sadar langsung menarik ujung kemeja orang yang ada disampingnya, "Ka-kau sudah tahu kan?, ma-maksudku ka-kau sudah ta-tahu ka-kalau akan a-ada orang ya-yang akan ter-tersandung ku-kursi itu?" entah kenapa gagap Hinata semakin menjadi-jadi dihadapan orang yang bahkan belum dikenalnya itu dan dari mana ia mendapatkan keberanian untuk bicara pada mahkluk yang disebut laki-laki seperti sekarang ini. Bahkan dalam ingatannya, Hinata tidak pernah berbicara pada laki-laki kecuali pada ayah atau kakak sepupunya. Sekolahpun Hinata memutuskan untuk masuk sekolah khusus perempuan karena ketakutannya itu, tapi sekarang dia malah menggenggam pakaian pria tak dikenal.

Bukannya melepaskan genggaman Hinata pada bajunya atau bertanya siapa Hinata, pemuda itu lebih memilih diam. Terlihat jelas sekali alis pemuda itu bertautan, menampakan wajah keheranan.

Hinata tidak yakin apa yang terjadi, sudah sekitar tiga menit ia menunggu jawaban dari orang yang ditahannya, tapi tidak ada sedikitpun tanda dari pemuda yang sekarang ada didepannya itu. Memberanikan diri Hinata mengangkat kepalanya untuk melihat langsung wajah pemuda itu, betepa terkejutnya Hinata saat mata lavendernya bertemu secara langsung dengan sapphire biru milik pemuda itu. Melihat alis pemuda itu yang saling bertautan membuat Hinata sadar bahwa dari tadi dia belum melepas genggamannya pada kemeja hitam yang sedari tadi dipegangnya—lebih tepatnya diremas—itu.

"Waaa… Ma-maafkan a-aku!" Ucap Hinata gugup sambil melepaskan pegangannya tiba-tiba.

"Kau… Kau bisa melihatku?" tanya pemuda itu akhirnya membuat Hinata mendapat serangan bingung tiba-tiba.

"Apa ma-maksudmu? Me-melihatmu? Tentu saja aku me-mellihatmu" bukannya menjawab Hinata malah menjawab pertanyaan pemuda itu dengan balik bertanya.

"Haahhh… bagaimana ini?" ucap pemuda itu pada dirinya sendiri. Setelah menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal itu, ia mengeluarkan sebuah benda oranye berbentu kotak yang diketahui Hinata sebagai ponsel genggam. Setelah mengetikan beberapa nomor pemuda itu menempelkan ponsel genggamnya ditelinga kiri, setelah menunggu beberapa detik dia akhirnya mendapatkan respon dari orang yang dihubunginya.

"Halo, Senpai. Maaf mengganggumu. Tapi, aku punya masalah disini. Iya… Baiklah… Aku mengerti." Pemuda itu mengakhiri penggilannya hambil menghela napas berat. Setelah menyimpan kembali ponselnya, ia menatap Hinata, hanya tatapan biasa memang tapi sanggup membuat jantung Hinata berdetak dua kali lebih cepat daripada biasanya.

"Maaf nona, boleh aku tahu siapa namamu?" tanya pemuda pirang itu pada Hinata.

"Hi–nata. Hyuuga Hinata" jawab Hinata singkat tidak lupa dengan cara bicarnya yang terbata-bata.

Pemuda itu tersenyum singkat, memamerkan deretan giginya yang putih, "Baiklah. Hyuuga-san. Ayo ikut aku!" ucapnya singkat sambil menarik pelan tangan Hinata untuk mengikutinya. "Oh iya, namaku Naruto. Salam kenal." Lanjutnya tanpa berbalik kebelakang sambil terus menggenggam tangan Hinata.

Hinata yang masih belum sadar dengan posisinya hanya bisa terdiam saat tangannya ditarik oleh orang yang dia kenal bernama Naruto itu, ah- jangan lupa dengan wajahnya yang sudah seperti kepiting rebus, rasanya dia bisa pingsan kapan saja.

Mereka berjalan menuju pintu yang berada dibelakang perpustakaan. Hinata yang kesadarannya mulai kembali, menarik pelan tangan Naruto untuk menghentikannya.

"A-apa yang akan kau la-lakukan? I-inikan pintu gu-gudang per-perpustakaan dan kenapa kau mem-membawaku" ucap Hinata yang masih belum berani menatap Naruto.

"Aku harus bertemu dengan senior ku. Dan kau adalah masalah yang harus diselesaikan, Hyuuga-san."

"A-apa ma-masalah? A-aku? Tapi, apa se-seniormu a-ada di-gudang pe-perpustakaan?"

Kebingungan Hinata semakin menjadi-jadi saat melihat Naruto memegang sebuah kunci berwarna emas dengan ukiran yang menurutnya cukup rumit dibagian pangkal kuncinya. Naruto memasukan kunci—yang menurut Hinata tidak pas— itu dan memutarnya.

CKLEK

"Ayo, ikut aku!" ucap Naruto riang saat pintu didepannya sudah terbuka.

Betapa terkejutnya Hinata saat masuk kedalam ruangan yang diketahuinya sebagai gudang perpustakaan itu. Mereka tidak masuk kedalam sebuah tempat yang dibatasi oleh dinding-dinding tembok dan dipenuhi oleh buku melainkan sebuah lorong panjang dengan karpet merah disepanjang jalan. Hinata berjalan kedepan karena dorongan Naruto pada punggungnya, saat mereka sudah melewati pintu Naruto mencabut kunci dan menutup kembali pintunya.

"Ki–kita berada di–dimana?" tanya Hinata tanpa menyembunyikan raut kebingungan dari wajahnya, dia masih mengedarkan pandangannya pada tempat yang baru saja dimasukinya.

Tempat dengan lorong yang panjang itu mempunyai pintu-pintu yang bertuliskan nomor berbeda disetiap pintunya. Hinata juga menyadari kalau tempat itu sedikit bergoyang-goyang, apa mungkin terjadi gempa? Begitulah pemikirannya.

"Hm, dari kelihatannya kita ada didalam kapal pesiar."

Hinata menatap orang disampinya dengan tatapan bingung plus horor, bagaimana mungkin mereka yang berada diperpustakaan sekarang bisa ada didalam kapal pesiar hanya dengan melewati sebuah pintu, itu tidak mungkin.

Tanpa menunggu respon dari Hinata, Naruto langsung menarik tangan Hinata—lagi— dan berjalan menuju bagian depan tempat itu. Hinata mebelalakan matanya saat mencapai tempat yang mereka tuju, benar saja yang dikatakan Naruto, mereka berada disebuah kapal pesiar yang cukup besar. Lautan luas yang terbentang didepan didepan mereka membuat Hinata hampir pingsan.

Hinata melihat Naruto sedang melambai-lambaikan tangannya pada seorang pria berambut nanas lalu menghampiri pria itu yang sepertinya sedang bersantai pinggir kapal.

"SENPAI!" Teriak Naruto dengan cengiran lebarnya, sedangkan orang yang dipanggil hanya menggumamkan sesuatu, "Senpai, ini orang yang kumaksudkan." Ucapnya sambil menunjuk Hinata yang berada disampingnya.

Hinata sedikit takut dengan tatapan malas yang dikeluarkan orang didepannya. Orang itu memperhatikan Hinata dari ujung kepala sampai ujung kaki dan menyadari sesuatu.

"Kau dari klan Hyuuga kan?" ucapnya datar.

"I–iya. Tapi, da–dari mana kau ta–tahu?" jawab Hinata sambil mundur sedikit.

"Wah, senpai memang hebat!." Timpal Naruto.

Orang yang dipanggil senpai oleh Naruto itu mengalihkan pandangannya pada Naruto, "Kau sungguh sial." Ucapan yang singkat dan datar tapi kedua orang yang berada didepannya serasa ditampar dengan keras.

"Aku dibilang sial."

"Ma–maksudnya aku pembawa sial" bisik dalam hati mereka secara bersamaan

"Senpai apa maksudmu?" tanya Naruto menanggapi kalimat terakhir seniornya itu.

"Aah, merepotkan! Biar kujelaskan… manusia dan kita mempunyai frekuensi yang berbeda walaupun sebenarnya hampir sama, pada dasarnya frekuensi yang ditimbulkan tubuh kita lebih tinggi daripada manusia itu sebabnya kita bisa 'berkeliaran' didunia manusia sedangkan manusia tidak bisa menyadari keberadaan kita, namun dalam beberapa kasus ada beberapa orang yang mampu merekayasa penglihatannya sehingga mereka bisa menangkap frekuensi yang lebih tinggi dari manusia…." Pemuda itu berhenti sebentar untuk menarik napas dan mengeluarkannya sebagai helaan napas berat.

"… dan salah satunya adalah gadis ini." Pemuda itu menunjuk Hinata yang masih berdiri didepannya.

"Ta–tapi dari mana kau tahu kalau aku dari klan Hyuuga?" Tanya Hinata penasaran.

"Itu karena matamu. Bisa dibilang matamu itu tidaklah normal jika dibandingkan dengan orang lain. Mata dengan kemampuan spesial yang hanya diturunkan dari generasi ke generasi keluarga Hyuuga. Itulah sebabnya aku mengenalimu." Jawab pemuda nanas lalu kembali melihat Naruto.

"Ohhh… begitu, jadi apa yang harus aku lakukan selanjutnya?" Tanya Naruto yang sedari tadi hanya mematung mendengar penjelasan seniornya itu.

Mendengar pertanyaan juniornnya pemuda nanas itu mengalihkan pandangannya pada Hinata, "Bisakah kau tinggalkan kami berdua? Hyuuga-san?" ucapnya sesopan mungkin.

"Ba–baiklah." Setelah berkata begitu Hinata menjauhi kedua orang itu yang terlihat mulai berbincang.

Setelah memastikan bahwa Hinata mulai menjauh, pemuda dengan tampang malas-malasan itu melanjutkan perkataannya, "Hanya ada satu cara dan itu cukup gampang, kau harus membuatnya lupa kejadian hari ini." Jawab pemuda nanas itu santai sambil membakar rokoknya.

"Menghapus ingatannya? Tapi bagaimana caranya?" Tanya Naruto lagi.

"Ada benda yang biasa digunakan dalam kasus seperti ini. Kita meyebutnya 'Memory lost', bentuknya berupa bubuk tanpa warna." Ucapnya sambil menghembuskan asap rokok.

"Tanpa warna? Maksudnya warna putih?" tanya Naruto dengan wajah polos yang ingin sekali dipukul oleh seniornya itu.

"Haah… Putih itu juga termasuk warna, Naruto. Tanpa warna itu artinya bening—" ucapan malas yang keluar terpotong oleh pertanyaan Naruto yang lain.

"Lalu bagaimana cara mendapatkannya?" Tanya Naruto tanpa memperhatikan raut wajah seniornya yang tadinya malas berubah menjadi jengkel.

"Beberap tahun yang lalu kejadian seperti ini kadang terjadi, jadi bubuk seperti itu sering diproduksi dibagian industri jiwa. Tapi masalahnya adalah aku tidak tahu mereka masih membuatnya atau tidak." Pemuda berambut nanas itu mengepulkan asap dari mulut diakhir kalimatnya sambil mengehela napas ringan.

"Mungkin aku masih bisa mendapatkannya, kapan terakhir kali mereka membuat memory lost?" tanya Naruto penasaran dengan antusiasme tinggi

"Hm, seingatku itu sekitar zaman sebelum masehi…." Jawab pemuda itu dengan santai.

Mendengar itu, rasanya dagu Naruto akan terlepas dari tempatnnya dan jatuh menggelinding dilantai kapal kemudian jatuh dilautan biru dan hilang terbawa gelombang.

"AARGHHH…! itu namanya bukan beberapa tahun yang lalu tapi, BERIBU-RIBU TAHUN YANG LALU!" Teriak Naruto sambil meremas kedua sisi rambutnya.

Saking kerasnya suara Naruto, Hinata yang berada sekitar duapuluh meter dari mereka dapat mendengar suara Naruto dengan sangat jelas. Tapi anehnya, dari sekian banyak orang ditempat itu tidak ada yang merasa terganggu oleh aksi Naruto, mungkin mereka hanya tidak ingin memperdulikannya atau malah mereka tidak mendengarnya sama sekali. Hinata hanya bisa menebak-nebak.

Hinata melihat kembali Naruto yang sedang melanjutkan percakapnnya dengan si pemuda nanas, mereka terlihat berbicara sedikit dan setelahnya Naruto berjalan menuju Hinata sambil menggaruk-garuk kepalanya.

"A–ano… kau ti–tidak apa-apa kan Naruto-san?" Tanya Hinata begitu Naruto sampai ditempatnya dan hanya dibalas dengan anggukan lemas dari orang yang berada didepannya itu.

"Hm, jadi—" Kata-kata Hinata terhenti saat melihat wajah murung Naruto. Entah kenapa dia merasakan sesuatu yang aneh melihat ekspresi yang ditunjukan Naruto sekarang. "Ma–maaf…." Kata Hinata sambil tertunduk.

Melihat Hinata yang berubah murung, Naruto jadi serba salah, "Hahaha, tenang saja ini bukan karena Hinata-san kok! Aku hanya habis dimarahi habis-habisan oleh seniorku." Kata Naruto seakan tahu bahwa Hinata menyalahkan dirinya karena membawa masalah bagi Naruto.

"Baiklah, untuk sekarang akan ku antar kau pulang dulu." Sambung Naruto lagi dan hanya ditanggapi dengan anggukan oleh Hinata.

Baru beberapa langkah dari tempatnya berdiri, Hinata berhenti diikuti Naruto dibelakangnya, "Ada apa?" tanya Naruto heran karena Hinata berhenti tiba-tiba.

"A–ano… bagaimana caaranya kita pulang?" Tanya Hinata tanpa menyembunyikan raut wajah panik dari wajahnya. Jelas saja bagaimana mungkin mereka pulang, sedangkan mereka sedang berada diatas kapal yang sedang berlayar ditengah lautan, apa mungkin menggunakan cara yang sama saat mereka datang? tapi bagaimana? Dia bahkan tidak tahu bagaiman mereka bisa sampai ditempat ini.

Naruto tertawa mendengar pertanyaan Hinata, Hinata yang merasa ditertawai oleh Naruto tidak bisa menyembunyikan rona merah diwajahnya, tapi ada sedikit rasa lega dalam hatinya melihat tawa Naruto yang begitu lepas seperti itu.

Menghentikan tawanya, tangan kiri Naruto menarik pelan tangan Hinata menuju sebuah pintu berwarna merah dengan tiga angka berwarna perak yang tertempel diatas pintu itu. Setahu Hinata itu adalah pintu menuju kamar yang disediakan bagi pengunjung kapal pesiar yang sedang menampung mereka itu.

Tanpa banyak bicara tangan kanan Naruto mengeluarkan kunci berwarna emas yang dilihat Hinata sebelumnya, diputarnya dua kali kunci itu sampai terdengar bunyi kecil yang berasal dari pintu didepan mereka.

CEKLEK.

Naruto yang pertama melewati pintu berwarna merah itu, sambil menarik Hinata yang berjalan sedikit dibelakangnya. Saat memasuki ruangan itu lagi-lagi Hinata terkejut dengan pemandangan didepannya, itu bukanlah ruangan yang tidak dikenalnya, dia tahu betul ruangan apa yang berada didepannya sekarang. Ruangan yang bisa dikatakan luas dengan jendela yang mengarah kebalkon, gordennya yang berwarna putih berkibar-kibar tertiup angin akibat jendela yang tidak ditutup. Disebelah sisi yang lain terdapat tempat tidur dengan ukuran kingsize yang berselimut tebal berwarna putih dengan motif bunga lavender disekelilingnya. Tidak hanya itu, dia mengenali semua perabotan yang berada diruangan itu mulai dari meja rias, meja belajar, lemari, bahkan pintu yang diketahui Hinata sebagai pintu menuju kamar mandi. Tidak salah lagi ini adalah KAMAR PRIBADINYA.

"Hm… jadi seperti ini kamarmu, cukup rapi." Suara yang keluar dari pemuda didepannya itu membuyarkan pikiran-pikiran Hinata.

Diperhatikannya pemuda didepannya yang sedang memegang dagu dan memasang wajah mengamati yang dibuat-buat. Dia menoleh kebelakang dan melihat pintunya yang berwarna cokelat tertutup, dengan rasa ingin tahunya yang besar Hinata membuka pintu itu dan mengeluarkan kepalanya dari pintu. Hinata tekejut –lagi– mengetahui dibalik pintu itu bukanlah sebuah lorong panajng yang dilihatnya diatas kapal tadi melainkan ruangan yang sehari-hari dilihatnya yaitu rumahnya sendiri.

"AH! Hinata-sama, sejak kapan anda pulang?" tanya seorang gadis dengan rambut cokelat sebahu yang mungkin lebih muda darinya.

"A–… Ba-baru saja Matsuri-chan." Ucap Hinata pada gadis yang berada didepan pintu.

"Tapi, saya tidak melihat anda masuk" ucap Matsuri kebingungan mendapati majikannya sudah berada didalam kamar padahal sedari tadi dia menemani majikannya yang bernama Hanabi yang sedang minum teh diteras depan.

"Oh… Oh– itu, aku lewat pintu be-belakang. Su-sudah ya Matsuri-chan" setelah mengucapkan itu, Hinata menutup pintu dan meninggalkan salah satu pelayannya itu dan masuk kedalam. Dia melirik Naruto yang masih melihat-lihat kamarnya sambil menghela napas 'huuft, untung saja tidak ketahuan' ucapnya dalam hati.

"Na–Naruto-san? Ta-tapi bagaimana kau…." kata Hinata terhenti sambil menunjuk pintu kemudian menunjuk Naruto dan menunjuk pintu lagi kemudian menunjuk Naruto lagi dan terulang hingga beberapa kali, sampai akhirnya Naruto mengeluarkan suaranya.

"Itu semua terjadi karena ini." Kata Naruto sambil menunjukan kunci berwarna emas yang berada ditangan kanannya. "Kunci ini disebut Entrance, kunci ini bisa membuka semua pintu didunia dan menghubungkan satu ruangan dengan ruangan lain yang ingin kau tuju." Sambungnya.

"Kau lihatkan yang kulakukan tadi?" Tanya Naruto dan ditanggapi dengan anggukan kecil dari Hinata, "Hanya dengan menggunakan kunci ini di pintu manapun, maka pintu itu akan terhubung dengan tempat yang ingin kau datangi. Bahkan jika tempat itu belum pernah kau lihat." Lanjut Naruto

"Ja –jadi semua orang bisa menggunakan kunci itu?" Tunjuk Hinata pada benda yang sedang dipegang oleh lawan bicaranya itu.

Naruto mengangkat jari telunjuk tangan kirinya dan menggoyangkannya kekiri dan kekanan, "Tidak. Hanya kami para reader yang bisa menggunakan kunci ini." Jelas Naruto sambil memasukan kunci emas yang ada ditangannya kedalam saku celana diikuti anggukan dari Hinata.

"Re–reader?" ucap Hinata dengan suara kecil yang seperinya bisa didengar oleh orang yang masih berada didepannya itu.

"Ah… itu adalah sebutan ku untuk pekerjaan ini, sebenarnya aku juga tidak tahu apa sebutan dari pekerjaan yang kulakukan ini. Aku menyebutnya seperti itu karena semua orang seperti ku menggunakan buku seperti ini untuk melihat jalur yang sudah ditentukan." Jelas Naruto sambil memperlihatkan sebuah buku kecil ditangannya.

Rasa penasaran dikepala Hinata semakin bertumpuk, banyak yang ingin ditanyakan oleh Hinata tapi ia bingung harus memulainya dari mana. Tapi, apa boleh Hinata bertanya banyak hal pada orang yang bahkan belum genap sehari ditemuinya itu. Tapi jika menyimpan pertanyaannya lebih lama lagi , bisa-bisa dia tidak akan tidur malam ini dan malah memikirkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya. Akhirnya Hinata memberanikan dirinya untuk mengajukan beberapa pertanyaan pada pemuda yang sedang membuka-buka buku kecil ditangannya.

"Em… Ano– Naruto-san, apa orang-orang seperti kalian ada diseluruh dunia? Apa isi buku itu? Lalu dari mana kalian mendapatkan buku itu? Siapa yang membuat buku itu?" Keluar sudah sebagian dari isi pemikirannya, sebenarnya masih banyak yang ingin ditanyakannya tapi napasnya tidak mencukupi karena ia bertanya tanpa sempat untuk bernapas. Beginilah akhirnya dia, mengatur napasnya yang terengah-engah sambil menunggu jawaban dari pemuda pirang yang sedang terdiam mendengar pertanyaan beruntun yang ditujukan untuknya.

"Eh… Eh… Hinata-chan bisa kau ulang semua pertanyaanmu? Aku tidak bisa mengingat semuanya jika kau bertanya secepat itu." Kata Naruto kebingungan mendengarkan pertanyaan-pertanyaan Hinata. Alisnya berkerut mencoba mengingat pertanyaan yang tadi diluncurkan oleh gadis manis berambut biru tua itu.

"Ah… se–sebenarnya itu hanya sebagian dari pe–pertanyaanku." Ucap Hinata tertunduk malu, ia takut membuat Naruto kerepotan.

"He? Sebagian? Hmm. Ya, sudahlah akan kujawab jika memungkinkan. Lagipula untuk beberapa hal aku punya kewajiban untuk menjelaskan keadaan sekarang ini padamu. Nah, silahkan pertanyaan pertama." Kata Naruto sambil melipat tangannya didepan dada.

Mendengar itu senyum Hinata mengembang, "Te–terima kasih, ba–baagiman kalau Naruto-san duduk disana dulu." Pinta Hinata pada Naruto sambil menunjuk kursi didekat meja rias. Naruto hanya mengikuti perkataan Hinata dan duduk ditempat yang ditunjukan Hinata sadangkan Hinata sendiri duduk diatas tempat tidurnya.

*Recalling You*

Hampir dua jam mereka bertanya jawab dikamar Hinata. Tidak terasa matahari yang terlihat dari balkon kamar HInata sudah mulai menyembunyikan wujudnya. Hinata bertanya dan Naruto menjelaskan dengan jelas agar Hinata mengerti. Dari pertanyaan HInata yang terjawab, ia tahu bahwa orang-orang seperti Naruto berada diseluruh belahan dunia. Mereka bertugas untuk memastikan hal yang sudah di takdirkan berjalan seperti seharusnya. Mereka semua diberikan satu buku kecil seperti milik Naruto dan didalamnya tercantum ratusan bahkan ribuan nama berbeda dalam satu buku dan mereka harus mengawasi semuanya. Hinata juga tahu bahwa orang-orang seperti Naruto tidak bisa mati atau bisa dibilang 'abadi'.

Hinata juga tahu jika Naruto diciptakan sekitar enam ratus tahun yang lalu, para reader –begitu sebutan Naruto– akan tercipta jika ada reader lain yang melakukan kesalahan dan akhirnya harus 'dibuang'. Berdasarkan penjelasan singkat Naruto reader diciptakan dengan beberapa emosi dasar manusia, perasaan senang dan sedih bahkan marah bisa mereka rasakan. Tapi, ada emosi yang tidak bisa dirasakan para reader, itu adalah emosi terpenting manusia. Ya, itu adalah perasaan rumit yang disebut 'cinta'.

"Jadi apa isi dari buku itu?" Tanya Hinata untuk kesekian kalinya. Sebenarnya entah sejak kapan Naruto merasa sangat nyaman berada bersama Hinata, melihat antusiasme Hinata membuat Naruto tersenyum tipis.

Menanggapi pertanyaan Hinata, Naruto membuka buku kecilnya pada halaman tertentu dan memperlihatkannya pada Hinata. Di dalam buku itu terlihat garis-garis dengan warna yang berbeda satu sama lain, juga terdapat simbol-simbol yang tidak dimengerti oleh Hinata. Jika diperhatikan dengan sekilas itu terlihat seperti sebuah peta.

"Kau lihat garis-garis ini kan?" tanya Naruto yang dibalas anggukan oleh Hinata. "masing-masing garis mewakili hal tertentu. Misalnya jodoh, kematian, dan beberapa hal lainnya." Lanjutnya.

"Lalu simbol-simbol apa itu" tanya Hinata yang gagapnya sudah melayang entah kemana, sepertinya dengan Naruto dia bisa menyesuaikan diri lebih cepat.

"Ah. Ini? Ini event-event yang akan terjadi dalam hidupmu. Karena kehidupan manusia dikatakan seperti sebuah roda yang bergerak, kadang berada di atas dan kadang berada di bawah dan inilah kejadian yang membuat hidup kalian—manusia—jadi lebih menarik." Jawab Naruto dengan cengiran khasnya.

Setelah tahu banyak hal tentang Naruto, Hinata merasa jauh lebih mengenal pemuda yang baru ditemuinya itu. Sepertinya karena merasa senang Hinata melupakan sesuatu pertanyaan yang penting. Setelah menyadari apa yang terlupakan membuat Hinata sedikit tersentak.

"Tapi, apakah tidak apa-apa Naruto-san memberitahukan semua ini kepadaku? Bukankah hal seperti ini biasanya rahasia?" Tanya Hinata ragu-ragu sambil melihat ekspresi Naruto yang tidak berubah.

"Hahaha, tenang saja tidak apa-apa kok. Sebenarnya ini memang hal yang tidak boleh diketahui manusia, tapi tenang saja karena Hinata-chan juga akan melupakannya. Jadi, tidak apa-apa aku memberitahu semua ini." Jawab Naruto masih tetap tersenyum tanpa memperhatikan perubahan ekspresi pada Hinata, "lagi pula sampai saatnya tiba, aku percaya Hinata-chan bukan orang yang suka membuka rahasian orang lain" lanjutnya.

"O–oh, Be-begitu ya…" ucap Hinata, tubuhnya mendadak terasa lemas. Ditundukan kepalanya yang terasa berat. Ada yang aneh dengannya setelah mendengar perkataan Naruto. Apakah dia memang harus melupakan semua hal yang membuatnya merasa dekat dengan pemuda pirang di depannya ini? Itu berarti dia juga harus melupakan pemuda itu, pemuda yang pertama kali berbicang akrab dengannya. Apakah harus seperti itu? Ada sesuatu yang mengganjal perasaan Hinata. Ini adalah pertama kalinya dia merasakan ini, dia bahkan tidak tahu perasaan macam apa itu. Rasanya tidak menyenangkan.

"Kau tidak apa-apa Hinata-chan?" tanya Naruto menyadari Hinata berubah pasif.

"Ah… Aku tidak apa-apa. Hanya sedikit kelelahan." Ucapnya berbohong. Membohongi Naruto dan dirinya sendiri.

"Begitu ya, baiklah kalau begitu kau istirahat saja sekarang. Aku pulang dulu yah. Jaa Hinata-chan!" pamit Naruto sambil berjalan kearah kamar mandi yang terletak didalam kamar tidak jauh dari tempat tidur HInata.

Melihat kemana arah yang dituju Naruto membuat Hinata bingung, "Kau mau kemana Naruto-san?" tanyanya penasaran.

"Pulang. Kau sudah lupa kemampuanku ya?" ucap Naruto sambil melambaikan kunci berwarna emas di tangannya yang langsung membuat ingatan tentang fungsi kunci spesial milik Naruto muncul dikepalanya yang terasa berat.

"Ah… Aku lupa. Ha ha ha…" ucap Hinata sambil tertawa yang dipaksakan.

"Istirahatlah yang banyak, karena besok aku akan kesini lagi. Jaa!" pamit Naruto dengan melambaikan tangannya dan dibalas dengan lambaian tangan yang terlihat lemah oleh Hinata, sampai akhirnya Naruto menghilang dibalik pintu.

Tangan Hinata terkulai lemas diatas kasurnya sendiri, kepalanya tertunduk menatap lantai berkeramik putih.

"Setelah aku berpikir akhirnya aku bisa mendapatkan hal yang kurang pada kehidupanku, pada akhirnya aku harus melupakan semuanya? Tidak adil!"

TBC

Huwaahhh... akhirnya jadi juga chapter pertama. Mudah-mudahan ceritanya nggak membosankan #guling-guling. Walaupun ini adalah hal gaje lainnya yang saya tulis tolong tinggalkan jejak kalian. #sujudtidakjelas

Review Pleaseeeeeee!