Orang bilang 'kami' ini adalah orang aneh. Mendukung hal semacam itu dalam dunia, dan membuat banyak hal yang berkaitan dengan hal itu—bahkan terkadang selalu merasakan perasaan bahagia tersendiri akan itu.
.
Mereka bilang, tidak ada gunanya melakukan itu. Saat kau mendukung 'mereka', memang apa yang 'mereka' berikan?
Tidak ada, mungkin hanya lebih dari sebuah fanservis.
.
Tapi, 'kami' menyukai hal itu.
'Kami' tidak mempermasalahkan hal yang mereka anggap tabu itu. Toh, kami menyukainya. Kami senang akan hal yang sedang kami lakukan, lihat dan rasakan—memang kau merasakan apa? Kau bahkan tidak ikut dalam permainan mereka?
Ah, mungkin 'kami' merasakan sebuah kepuasan tersendiri saat 'menemukannya'.
.
.
"Sekali kau masuk, kau tidak akan bisa keluar lagi. Sekali kau menyukai hal itu, kau akan terus terbelenggu."
.
.
.
.
Shingeki no Kyojin Hajime Isayana
Genre: Romance
Rated: M (for Sexual content)
Warning: OOC, Yaoi, Typos and Miss Typos, RiRen, Fetist|Rivaille, Pedo|Rivaille, Fudan|Eren, explist sexual contens, Lemon—kalau masih di bawah umur hati-hati gak kuat iman, ntar kaya saya jadi fujo akut sebelum waktunya O.o
Jujur, baru sekarang ikutan challenge ini. Dipersambahkan untuk mbah Aphin untuk challenge'nya APHIN123 Rivaere/Erumin Fanfic Challenge 01, dari salah satu mahkluk tuhan yang baru bangun hibernasi dari sarang cintah YAOI. Semoga fic ini bisa menganukan duniamu, XD
.
.
.
.
Pernah kau bayangkan, menulis atau membaca sesuatu dalam hidupmu dalam bentuk karangan—atau mungkin cerita pendek bertemakan 'sexualitas'?
Eren Jeager. Dia bukan seorang penulis ataupun hal lainnya yang berhubungan dengan sastra. Dia tidak suka membaca, tidak suka terhadap buku yang penuh dengan huruf-huruf yang terangkai hingga membentuk kata-kata dan menjadi kalimat, tidak suka berada di toko buku atau tempat penuh buku lainnya, dan dia tidak suka pada hal lain yang berhubungan dengan bahasa yang benar. Dia itu seperti remaja tanggung lainnya—ok, bahkan umurnya belum mencapai kata remaja. Yang benar saja, dia masih berumur 12 tahun. Dia masih ABG, Anak Baru Gede, yang artinya anak yang baru saja dibuang dari kata 'anak kecil'—ingat kata gede'nya.
Eren lebih suka membaca komik, dia lebih suka bermain, dan Eren juga lebih suka pada hal yang berhubungan dengan hiburan.
—tapi hal itu berubah.
Kemarin, tepat saat sedang bermain di sebuah warnet di dekat rumahnya.
Niatnya hanya ingin bermain game online seperti biasa. Tapi, semuanya hancur saat dia mendapatkan tugas dari guru di sekolahnya. Sial sekali, baru masuk kembali dari liburan sekolahnya, SMP Sina, tapi dia malah mendapatkan tugas di hari pertama memulai pembelajaran. Harus mencari 'Cara pembuatan boneka kayu tradisional', Eren dengan sangat suntuk membuka-buka banyaknya situs blog disana.
Matanya terus berputar melihat banyaknya tulisan yang terpampang disana.
Tidak diperhitungkan, mata Eren beranjak pada salah satu judul blog berjudul 'Boneka' disana. Bukan itu sebenarnya yang menjadi perhatian Eren, tapi salah satu kata yang benar-benar asing—tidak pernah didengarnya sekali pun.
"YAOI?"
Matanya melihat salah satu kata yang tidak pernah didengar atau dilihat sebelumnya. Jujur, walaupun Eren anak yang selalu suka bermain, Eren adalah anak baik dan tidak pernah terlalu liar seperti teman-temannya; membuat otaknya masih sangatlah polos. Dan sialnya, Eren juga anak yang kepo—selalu kepengen tau.
Eren membuka blog itu. Membaca sederetan kalimat yang terpajang apik di layar monitor. Semuanya berjalan normal sebagaimana semestinya. Merasa bosan, Eren mengscroll mouse. Melihat banyaknya kata yang terpajang disana, Eren membacanya dengan teliti. Isi blog itu terlihat seperti sebuah karangan pendek yang dibuat orang secara cuma-cuma untuk membuat hiburan bagi orang lain—tanpa harus membeli atau membayar.
Eren mengenyitkan dahinya.
'...kenapa ini?'
Matanya semakin intens memperhatikan layar monitor. Nafasnya memburu, matanya membulat dan perlahan tangannya bergerak untuk menutupi matanya—yang membulat itu. Eren memalingkan wajahnya dengan cepat.
"Ini karangan teraneh yang kulihat!" Pekiknya tinggi. Perlahan dipalingkannya lagi wajahnya, melihat sederetan kata yang berada disana. Eren menelang ludah perlahan, ini pengalaman pertamanya membaca hal seperti itu.
["Ahh... No, no more~..."
"Ta-tapi kau menyukai semua ini. Ah! Kau bahkan mendesah... bonekakuh... uh!"]
Eren melihat tulisan itu dengan sangat jelas terpampang disana. Dan, bukan itu yang menjadi permasalahannya. Tapi...
"Ke-kenapa tokohnya sama-sama laki-laki?! La-lagi pula, bukannya mereka boneka?"
Gila. Eren tidak tau harus berbuat apa. Dia merasa perutnya mulas, tapi dia masih ingin membaca karangan orang ini—yang bahkan tidak dia kenal—lebih lama lagi; ia masih penasaran dengan lanjutannya. Rasa keingintahuannya masih lebih besar dari rasa aneh yang dirasanya sekarang.
Eren melirik ke kanan dan kiri. Beruntung dia memilih salah satu warnet yang memang menjaga privasi pelanggannya, hingga tempat duduknya disekat menggunakan sebuah triplek untuk pembatas.
Menghela nafas pelan, Eren memulai lagi kegiatannya. Dia itu kepo, hingga rasa kuat keingintahuan membawanya seperti sekarang. Menyukai hal yang menantang, dan sekarang Eren menemukannya. Perutnya seperti dikocok saat membaca bagian yang sebenarnya belum boleh dibacanya. Eren tau ini pasti salah, tapi—hal ini juga tidak diketahui siapapun. Toh, lagipula dia cukup menyukai sensasinya.
"A-aku tidak tau kalau... se-sesama laki-laki melewati 'itu' untuk 'menganu'?" Lirihnya dengan mata terbelalak dan sesekali menelan ludah. Eren memang pintar, menyamarkan kata sebenarnya menjadi kata ambigu. Walau sebenarnya kata ambigunya malah mungkin akan menimbulkan tanda tanya besar—jika ada yang mendengarnya.
Tapi tak apa, karena ini... Ini menyenangkan! Merasakan seperti banyak kupu-kupu yang terbang dalam perutmu, dan membawa sesuatu hal yang tidak biasa. Eren mulai berfantasi lebih tinggi sambil membaca kembali tulisan disana.
"He-hebat!"
Sungguh, Eren tidak bisa lagi membuat matanya tidak terbelalak. Rasanya sungguh menakjubkan. Eren tidak tau ada hal seperti ini di dunianya. Dulu dia memang tidak mendukung—atau bahkan jijik—saat mendengar tentang tema hal yang sama dengan tulisan yang sedang dia baca, bahkan terkadang dia mencomooh berita yang menujukkan hal yang sedang dibacanya.
Tapi sekarang berbeda!
Eren malah merasa hal ini menyenangkan.
Mungkin ini akan menjadi hiburan kesukaannya mulai dari sekarang, pikirnya terus membaca sambil beberapa kali terkikik pelan.
.
.
2 minggu setelah mendapatkan 'sesuatu' yang menarik. Eren sekarang punya kebiasaan membawa kamera kemana-mana—bahkan sekolahnya. Alasannya tentu saja untuk mengabadikan 'moment menyenangkan'.
Dengan langkah riang, Eren berjalan ke arah gerbang sekolahnya yang terbuka lebar.
"Eren?"
Eren menengok ke belakang, melihat seorang pemuda dengan perawakan lumayan munggil, dan berambut pirang sedang berjalan ke arahnya sambil tersenyum dan melambaikan tangan. Eren balik tersenyum, "Hai, Armin," sapanya.
Armin Arlert, sahabat Eren dari SD dulu; mereka memang bersekolah di SD yang sama bahkan satu playgroup dari dulu. Armin yang memang rumahnya lumayan dekat dengan Eren pun membuat kedua anak itu begitu dekat. Armin dulu selalu diganggu oleh anak-anak nakal di sekolah, tapi berkat Eren yang terus membantunya, sedikit demi sedikit Armin sudah tidak diganggu lagi. Walau dalam catatan, yang membuat anak-anak itu tidak mengganggu mereka lagi adalah Mikasa—saudara angkat Eren yang sekarang sudah mahasiswa.
"Mikasa tidak mengantarmu?" tanya Armin berjalan beriringan dengan Eren.
Eren tertawa melihat Armin, "Tentu saja tidak. Aku bukan anak kecil lagi, Armin," jawabnya. Armin tersenyum mendengar jawaban Eren. "Hei,"
Armin melihat Eren, "Apa?"
"Apa kau masih dengan Jean?" tanya Eren.
Armin memiringkan kepalanya, melihat Eren dengan pandangan bingung. Sedangkan Eren melihat Armin dengan pandangan yang lumayan... aneh?
"Apa maksudmu, Eren?" tanya Armin.
Eren tertawa canggung sambil menggaruk belakang kepalanya. "Haha, kau tau yang kumaksud err... kalian pacaran bukan?"
"APA?!"
Mungkin saat itu juga, Eren baru tau kalau Armin bisa berteriak sambil menampilkan wajah mengerikan. Salahkan dirinya yang terlalu banyak menekuni hobinya yang sekarang. Sampai-sampai sahabatnya sendiri pun dia jodohkan dengan orang yang 'menurutnya' cukup cocok.
Armin memang tidak tau masalah 'hobi' baru Eren. Dia paling terkadang hanya melihat Eren selalu memperhatikan kedekatan setiap orang—atau kedekatan teman lelaki mereka—sambil tersenyum dan terkikik pelan. Armin hanya berpikir kalau Eren sedang senang, tapi pernyataan tadi membuat isi kepalanya langsung berputar dan menemukan jawaban yang tepat.
"Apa maksudmu, Eren? Kenapa kau bertanya seperti itu? Jadi karena ini kau selalu tersenyum sendiri saat kita sedang berkumpul dengan yang lainnya? Dan langsung terbahak saat Berthold dan Reiner berdekatan, atau Connie dan Jean terbahak bersama?"
Eren tertawa canggung dengan wajah memerah. "Armin, kau tau... itu pertanyaan terpanjang yang pernah kau tujukan padaku," kilahnya melihat ke arah lain masih dengan tawa hambarnya.
"Eren!" Armin melihat Eren dengan serius sambil menggenggam tangan Eren dengan cepat—membuat Eren menatap balik Armin. "...kau masih normal kan?"
Kedip
Eren dengan wajah super merah melihat Armin shock. "TENTU SAJA!"
Oh, Eren makanya jangan sampai keceplosan kau suka hal yang berbau 'seperti itu' jika tidak mau disangka aneh.
Tapi... baru saja, Armin tersenyum dengan indah saat melihat Eren merona, sekarang Armin yang cengo plus bermuka merah saat Eren melontarkan kata-kata absurdnya.
"Atau kau lebih suka yang sudah matang seperti Erwin-sensei?"
"EREN! JANGAN LAGI!"
Oh, biarkan saja kedua anak-anak bertampang manis merona itu saling mengejar. Lebih baik kita mencari pasangan mereka.
.
.
.
.
.
...
Di sudut lain dunia, bersebelahan dengan tingkah 'ajaib' Eren; seorang laki-laki dengan tampang datar yang terpajang begitu manis di wajah tampannya, bertubuh cukup membentuk dengan bagus sehingga pakaian yang sedang dipakainya membentuk otot tubuhnya yang lumayan kekar. Semua itu memang sempurna berbalutkan kemeja formal, kecuali... tinggi badanya. Betul, laki-laki memang lumayan terlihat berumur—walau masih saja banyak perkiraan melenceng jauh dari umurnya yang sebenarnya—itu memang memiliki tinggi badan yang kurang menunjang penampilannya. Tapi, walau begitu, masih banyak orang yang menggandrunginya; entah itu dari kaum hawa maupun kaum adam sekalipun. Entah apa yang dilihat para penggemarnya itu, apa mungkin wajah kucing sangarnya? Siapa yang tau.
Namun sayang, bukan itu yang diinginkannya.
Percaya atau tidak, laki-laki bernama lengkap Rivaille Levi ini memiliki kecenderungan yang aneh. Rivaille—kita sebut saja begitu—lebih suka pada sosok yang bahkan belum pernah dia temui. Entah bagaimana cara dia menyukai sosok fiksi dalam pikirannya itu, tapi hanya sosok itu yang mampu membuatnya terbangun tengah malam karena mimpi dan harus pergi ke kamar mandi setelah itu.
Bukan sosok wanita dengan dada besar, dan tubuh semok nan bohay; atau laki-laki dengan tampang begitu imut hingga menyerupai wanita pada umumnya. Bukan itu yang diinginkannya. Rivaille bahkan tidak bisa tergoda sedikit pun dengan hal biasa macam itu. Rivaille baru bisa tergoda jika sosok sang pujaan hati baru keluar dalam bayangannya.
Sosok pemuda berwajah manis—walau tidak terlalu seperti perempuan, bermata hijau seperti batu mulia, dengan rambut coklat halus dan kulit sawo matang.
Pemuda? Apakah dia seorang gay? Rivaille pun tidak dapat memastikan hal itu. Karena pada kenyataannya, dia tidak tertarik sama sekali dengan laki-laki lain.
Rivaille juga sedikit bingung datang dari mana semua gambaran itu. Rivaille yakin dia tidak pernah melihat sosok itu sebelumnya. Yakin, tapi kenapa sosok itu selalu hadir dalam pikirannya? Rivaille sendiri belum menemukan jawabannya.
Dan, dari semua hal yang terdapat dalam sosok pemuda itu, satu hal yang paling menarik.
Mata'nya'. Mata hijau jernih yang benar-benar memancarkan kepolosan.
Dari semua hal yang pernah Rivaille bayangkan. Hanya mata'nya' yang mampu membuat Rivaille langsung mengalami 'high' tertingginya. Hanya dengan membayangkan dia mencium mata berkelopak kulit berwarna sawo matang, Rivaille dapat langsung menyelesaikan semuanya.
Uh—bisakah sekarang dia dianggap sebagai penderita fetish tingkat menengah?
.
.
"Hei, Rivaille!"
Rivaille meruntuki makhluk yang selalu saja membuat keributan di ruangannya. Makhluk paling nista yang pernah dia temui semasa hidupnya sekarang. Dengan semua percobaan aneh—yang sialnya selalu saja diberikan padanya—Rivaille berjanji akan membuat makhluk bernama lengkap Hanji Zoe itu tidak akan bisa membuat percobaan lagi.
Hanji adalah sahabat—atau mungkin anggap saja seperti itu—sedari kecil dengan Rivaille. Tingkah polahnya memang begitu 'menakjubkan' walau kecerdasannya memang tidak bisa juga diragukan. Hanji selalu memegang juara pertama dalam urusan sains, ataupun hal lainnya yang berhubungan dengan percobaan dan karya ilmiah. Bahkan Rivaille yang memang jenius pun masih kalah dengan hal semacam itu oleh Hanji.
Dari dulu Rivaille memang tidak dapat berkomunikasi dengan baik pada orang-orang didekatnya, hingga sekarang dia baru mendapatkan teman paling tidak bisa dihitung dengan jari—dan yang lainnya hanya sebatas rekan kerjanya. Berbeda dengan Hanji, dia memang memiliki banyak teman—atau sebut saja kenalan—yang lumayan dekat.
Selain Hanji yang dari dulu selalu mengikutinya; karena menurut Hanji, Rivaille orang yang cukup unik dan bisa dia jadikan bahan pengamatan sehingga menjadikan orang super nista itu temannya, Rivaille juga memiliki satu lagi teman.
Erwin Smith.
Laki-laki berparawakan gagah, berambut pirang, dengan kulit yang cukup memesona tapi tidak putih. Erwin adalah anak dari teman ibu Rivaille, Rivaille tadinya hanya biasa saja saat pertama kali berkenalan dengan Erwin—bersikap cuek sebagaimana dia biasanya lakukan. Tapi Erwin berbeda, Erwin anak yang ramah sedari dulu. Selalu mencari pokok pembicaraan yang menurutnya disukai Rivaille, dan terus mencoba berteman hingga akhirnya mereka bisa dekat hingga sekarang.
Tadinya, Rivaille pikir Erwin punya kelainan seksual dan tertarik padanya hingga dulu—pernah satu kali—Rivaille berusaha menjauh dari Erwin. Tapi ternyata tidak. Erwin hanya menganggapnya teman. Erwin bilang berteman dengan Rivaille itu menyenangkan, tidak terlalu banyak bicara tapi memiliki kepribadian yang menarik. Membingungkan memang, tapi dari saat itulah, Rivaille menganggap Erwin teman yang cukup menyenangkan dan memahaminya.
"Rivaille~"
"Apa?!"
Rivaille melihat Hanji dengan cengirannya berjalan mendekat sambil membawa kardus berukuran besar berwarna putih.
"Apa itu?" tanyanya tajam. Mereka sedang berada di universitas tempat Hanji bekerja, dan alasan Rivaille ada disini dengan pakaian formal adalah dia akan membawakan sebuah seminar dengan tajuk, 'Meraih impian dengan harapan'. Ih, muluk sekali memang temanya. Semua orang juga tau jika ada harapan, tinggal berusaha dan semuanya pasti biasa teraih. Tapi, menurut Rivaille berbeda. Hanya dengan seperti itu tidak akan mungkin meraih semuanya. Semua hal itu membutuhkan kiat-kiat khusus, sehingga dapat tercapai.
Ya, setidaknya pandangan orang memang berbeda-beda bukan?
Kembali ke Hanji yang sedang membawa kardus. Wanita—err, pria? entahlah, itu hanya cengengesan saja mendengar pertanyaan Rivaille. "Tentu saja ini bahan untuk percobaan di kelasku sekarang, Rivaille~. Aku akan mengajarkan eksperimen yang baru saja kutemukan pada anak-anakku itu," jawab Hanji dengan mata berbinar.
Oh, yang benar saja. Hanji memang dosen jurusan sains disana, tapi... mengajarkan eksperimennya—yang belum tentu aman—pada anak didiknya membuat Rivaille hanya menghela nafas saja.
"Ya, terserah. Semoga mereka tidak mati disana,"
"Oh, teganya~" Hanji memang memasang nada sedih tapi wajahnya sama sekali tidak terlihat sedih. Toh, Rivaille memang selalu berkata tajam seperti itu, pikirnya. "Ah, bukannya seharusnya seminarmu dimulai sekarang?" tanya Hanji tiba-tiba.
Rivaille mendengus, "Tidak jadi. Mereka bilang, ada kesalahan pemberian informasi hingga acaranya diundur bulan besok." Jawabnya malas yang dibalas hanya dengan suara bulat dengan mulut berbentuk huruf O dari Hanji.
"Lalu Erwin? Bukannya dia juga sama denganmu?" tanya Hanji melihat kesana-kemari.
Rivaille mendengus melihat kelakukan Hanji. "Sudah pergi dari tadi," jawabnya dan Hanji lagi-lagi membalas dengan gumaman huruf O'nya.
Rivaille terlihat berbalik, berniat untuk meninggalkan Hanji dengan bibirnya yang masih membentuk bulatan besar. Tapi, apa itu? Matanya menangkap pemandangan aneh yang berada di depannya. Seorang anak yang mungkin tingginya hampir sama dengannya—atau mungkin lebih tinggi?—membawa kamera kecil di tangannya sambil menengok ke kanan dan kiri.
Kelakukan yang cukup mencolok untuk anak yang terlihat masih SMP itu untuk berada di sebuah kampus terkenal seperti sekarang.
Anak itu makin dekat dengan Rivaille yang masih memperhatikannya. Rivaille mengenyit melihat anak itu mengambil kameranya, mengarahkan kameranya pada salah satu ruangan di depan anak itu. Terlihat disana, anak dengan rambut coklat itu terkikik pelan melihat hasil fotonya.
"Ada apa dengan anak itu?" gumam Rivaille tertarik tapi berusaha dia tutupi dengan wajah super datar dengan dahi mengenyit.
Hanji melihat Rivaille yang tadi bergumam; bohong kalau dia tidak mendengar gumaman orang di sebelahnya karena jelas dia mempunyai kuping yang sangat sensitive. Menelusuri dimana arah pandang Rivaille, dan Hanji melihat Eren dengan masih menggunakan seragam berjalan di koridor kampusnya. Hanji melihat Rivaille lagi, dan melihat Eren lagi. Beberapa kali melakukan hal itu, dan Hanji tersenyum penuh arti.
"Eren! Hei, Eren! Eren~"
Rivaille maupun Eren tersentak bersamaan namun berbeda alasan.
Rivaille tersentak karena mendengar suara yang kelewat kencang di samping telinganya—pas. Sedangkan Eren tersentak karena mendengar namanya dipanggil saat mengamati 'sesuatu'. Tapi disisi lain, Rivaille tersentak karena melihat hal lain,
Sial—dia hard di saat seperti ini!
...mata hijau dalam bayangan sosok yang ada dipikirannya.
.
.
.
Rivaille merasa semuanya berhenti. Melihat mata hijau itu membuat mata silvernya langsung berkilap, dan entah kenapa tenggorokannya haus sekarang. Rivaille sadar, anak di depan sana—yang sedang berjalan ke arahnya sekarang ini adalah sosok asli dalam bayangannya selama ini.
Sosok itu nyata! Bukan lagi hanya bayangan, bukan lagi sebuah halusinasinya, bukan lagi hanya sekedar dalam pikirannya. Sosok itu nyata, berdiri disana dan... astaga, pasti nanti bocah itu melihat tonjolan bawahnya jika sudah dekat!
Rivaille hampir saja lupa jika dia akan langsung hard jika melihat mata hijau itu. Apalagi sekarang, semuanya lengkap berada dalam sosok bocah berseragam SMP itu; rambut coklat beserta kulit sawo matang. Dia akan terlihat sangat memalukan karena ketahuan seperti 'ini' oleh bocah yang baru saja ditemuinya—dan pastinya akan terus bertemu dengannya itu.
"Eren~"
Terkutuk Hanji yang dari tadi memanggil nama bocah itu. Rivaille memandang tajam Hanji yang sekarang sedang melambaikkan tangan pada bocah bernama Eren itu. Rivaille ingin sekali menggerakan kakinya untuk pergi dari sana, tapi sial, semuanya tidak berjalan sesuai keinginannya. Dia tidak bisa bergerak dan...
"Hai, Hanji-san,"
...bocah Eren itu sudah ada di depannya.
"Hai, Eren~" Hanji membalas sapaan Eren dengan senyum yang mengembang begitu lebar. Mendekat ke arah Eren, dengan cepat Hanji merangkul leher Eren. "Kau membolos lagi ya?" tanyanya.
Eren tersentak, "Te-tentu saja tidak! Tadi karena ada rapat guru, sekolah di pulangkan dengan cepat. Lagipula mana berani aku kesini jika membolos, bisa-bisa aku dimarahi Mikasa," alasan Eren dengan wajah memerah.
Hanji terkikik mendengar alasan yang Eren berikan. Mikasa, saudara angkat Eren adalah salah satu mahasiswi yang diajar oleh Hanji, dan oleh karena itu Hanji cukup tau sikap Mikasa. Dan menurut Hanji, yang dikatakan Eren memang ada benarnya juga. Bisa-bisa mahkluk setengah laki-laki yang berada dalam diri Mikasa keluar jika melihat saudara angkatnya membolos sekolah dan datang kemari.
"Oh ya? Untuk apa kau kesini?" tanya Hanji.
Eren tersenyum dengan manis—tidak sadar jika di depannya ada yang sedang mati-matian menahan sesuatu agar tidak keluar. Eren mengangkat kameranya, "Tadi kebetulan aku sedang ada tugas wawancara, karena menurutku akan lebih baik mencari narasumber disini sekaligus memfoto mereka, jadinya aku kesini." Jelas Eren. Melihat Hanji yang mendengarkannya dengan wajah bersinar, Eren sepertinya mengerti arti pandangan itu. "Aku pikir, aku bisa mewawancarai Hanji-san!"
Dan, Hanji langsung memeluk Eren karena tau arti senyuman yang diberikannya.
Hanji dan Eren masih bercakap melupakan Rivaille dengan 'masalahnya' di depan mereka.
Rivaille berdiri dengan tampang yang super menyeramkan. Jika sekarang mereka ada dalam acara animasi, pasti sekarang di sekeliling tubuh Rivaille terlihat banyak warna hitam yang begitu gelap dengan tambahan mahkluk yang menyeramkan di belakang tubuhnya.
"Hanji,"
Hanji yang merasa dipanggil menengok ke arah Rivaille. Memang tampang 'ada—apa?' yang dibalas dengan tampang 'kenalkan—aku—dengannya!' sambil melirik ke arah Eren.
Hanji ikut melirik Eren yang melihat Rivaille penasaran. Dengan senyum yang super cerah, Hanji beranjak ke samping Rivaille. Menepuk dengan keras—sangat keras—punggung Rivaille sambil berkata, "Perkenalkan Eren, ini Rivaille, sahabatku."
"Dia tampan, bukan?" lanjutnya pada Eren sambil terkikik.
"E-eh?!" Eren merasa wajahnya memerah mendengar pertanyaan di akhir itu.
Melihat Rivaille yang masih menatap Eren penasaran Hanji akhirnya melanjutkan sesi perkenalan itu. "Dan, Rivaille, ini Eren Jaeger, saudara angkat Mikasa Ackerman. Kau ingat, salah satu mahasiswiku yang pernah kau ajak debat itu? Nah, ini dia saudaranya yang imut-imut," jelasnya.
Rivaille jelas tidak mendengarkan penjelasan Hanji selain nama Eren yang terus berdengung di telinganya.
'Eren Jager'
Ah~ nama yang indah, seindah sosoknya.
.
.
.
.
Tbc~
Satu lagi fic absurd super nganu dari aku. Karena ini berated M jadi kemungkinan besar next chapter akan ada bagian nganu-menganu yang agak absurd lagi hehe..
Ada yang bersedia kasih aku kritik dan saran? Konkrit juga kalau bisa XDD *ngarep*
Arigato udah mau membaca, sampai jumpa di next chap^^
Salam hangat, dari mahkhluk pencinta humu XD
Review?