Ketika kau menangis, selalu ada tangan-tangan kecil yang menggapai dan menghapuskan linangan air mata itu.
.
.
.
Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi
Tomodachi!
By Bakso Puyuh Kuriitama
Featured: Chibi!KnB chara, friendship x 21 genres, AU, bahasa sangat tidak baku.
Chapter 1
(Hurt / Comfort x Friendship)
That Moment When You Cry
.
.
.
Ketika Kuroko kecil merasa ingin menangis, ia akan menghilang.
Seiring dengan mata yang berkaca dan bibir yang digigit, Kuroko kecil akan memanfaatkan bakat misdirection-nya untuk menghilang pelan-pelan dari kerumunan orang-orang. Kemudian bocah biru muda itu akan mengendap pergi—masih dengan wajah tanpa ekspresi dan air mata yang ditahan sekuat tenaga—dan menyelinap ke tempat yang jauh secara sembunyi-sembunyi.
Sesudahnya, ia akan mencari tempat yang sepi seperti padang rumput di kolong jembatan atau pojokan sepi di taman kota. Yang ia lakukan? Tentu saja menangis—dan menumpahkan beban hatinya. Misalnya saja dengan cara berguling-guling gelindingan sendiri atau mulai sok antagonis dengan melakukan praktik jambak rumput di tanah terdekat.
Apa saja boleh, asalkan tidak ada satu nada pun yang lolos dari isakannya. Kuroko bukan bocah yang mudah terlihat, asal tak bersuara pasti tak akan ada yang tahu.
Toh tak akan ada seorang pun yang cukup peduli untuk mengejarnya. Dan Kuroko sendiri terbiasa, karena sejak bayi dia memang 'transparan'.
"Ketemu!"
Sepasang amber menatap lekat pada dua manik biru langit.
Di antara isak bisunya, Kuroko kecil terbelalak tak percaya. Di hadapannya kini seorang bocah, tersenyum lega dengan cengiran lebarnya dan mengulurkan tangan yang sama rusuhnya dengan sekujur tubuhnya yang lain.
"Kagami-kun…?" Astaga dia terlihat berantakan sekali!
Dan cengiran lebar itu bukan sembarang cengiran, setelahnya ada geplakan tangan yang menindih kepala Kuroko.
"Dasar kau ini, kalau lagi gondok jangan kabur diam-diam dong! Bikin semua orang khawatir saja!"
Bibir Kuroko makin manyun, air matanya tumpah lagi. Kenapa sih, lagi-lagi begini. Ketika Kuroko melarikan diri, Kagami selalu jadi orang tercepat yang menemukannya. Bahkan sejak balita sampai mereka kelas tiga SD, kemampuan Kagami itu tak tumpul juga.
Padahal Kuroko itu transparan, hawa keberadaannya tipis.
Kuroko sama sekali bukan anak yang penting—
"…."
Air mata kian meleleh, namun sepanjang isakan terdengar bisu.
"…Kuroko, jangan gitu kalau menangis—" Kagami menggaruk belakang kepalanya, lalu berlutut di hadapan Kuroko yang meringkuk. "—Maksudku, kalau kau mau menangis jangan kabur sendirian. Jangan menangis tanpa suara pula. Menangislah yang kencang, nanti kami semua akan menghentikan tangisanmu. Kau mengerti?"
Senyum Kagami di hari itu bagaikan kilauan permata di kedua pelupuk mata Kuroko.
"…Kagami-kun… uuh—hiks…" bocah biru itu pun makin terisak. Bukan bisu seperti sebelumnya, air matanya pun kian meleleh.
"Waduh, malah tambah nangis." Kagami menghela napas sambil mengacak rambut Kuroko. "Tapi sepertinya kau paham maksudku."
"—aaah! Kuroko-chan ketemu!"
Dari jalanan di sebelah sungai, teman-teman yang lain datang dipimpin oleh Takao dan hawk eyes-nya. Ability abuse, sungguh. Dan lagi, keadaan mereka semua sama sekali jauh dari kata rapi. Habis mencari dari mana saja sih mereka? Sampai berantakan begitu…
"Nah, lihat itu. Mereka semua datang menjemput, tuh."
Semuanya peduli.
Hari itu, Kuroko diantar pulang oleh sejumlah besar bocah kumuh yang entah habis main-main di pelosok mana.
.
.
.
Ketika Takao ingin menangis, hanya satu orang yang akan sadar.
Bukan berarti Takao pandai menghilang atau pintar mencari tempat untuk menangis sendirian—ia hanya pandai bermain ekspresi.
Andai ada sesuatu yang terjadi, Takao akan tetap berangkat sekolah seperti biasa, bercanda dengan teman-temannya seperti biasa, menggodai Midorima seperti biasa—bahkan bertatap pandang dengan mata merah darah Akashi seperti biasa pula.
Bagai tak ada satu pun hal yang salah, Takao masih tetap tertawa.
Termasuk ketika bocah berambut hitam itu mendadak undur diri dari acara menginap bertiga mingguan antara dirinya, Akashi, dan Midorima. Ia menarik diri—melakukannya dengan begitu natural seolah ajakan dari Akashi bukanlah suatu yang absolut dan seolah keabsenan dirinya itu bukanlah sesuatu yang janggal.
Dengan senyumannya, Takao menutup pintu dirinya pada semua orang.
Namun sebuah topeng bukanlah wajah sungguhan. Sebuah tawa bukan berarti ia baik-baik saja.
Bukan Akashi namanya bila ia tak menyadari antara mana tawa Takao yang asli dan mana yang bukan.
Ketika Takao merasa ingin menangis dalam kerahasiaan, selalu ada satu orang yang berhasil menyadari.
Oleh karena itu, sebelum ada yang bertanya—sebelum air matanya tumpah tak terkendali—Takao melesat pergi.
Tentu saja Akashi tak akan membiarkan sahabatnya itu kabur seenak jidatnya. Namun bukan berarti ia akan berlari dan mengejar Takao—itu buang-buang tenaga.
Karena ada satu cara yang lebih efisien.
(Telapak tangannya mendorong pelan punggung si hijau, memberi perintah untuk mengejar tanpa mengatakan sebab apapun—dan ia melepas dua orang yang sedang berkejaran itu dengan tatapan lembut.)
Sementara Midorima tidak tahu apa-apa. Ia tidak mengerti sama sekali pada perintah dadakan Akashi, tidak memahami mengapa lari Takao malah tambah kencang ketika ia mengejarnya, dan ia makin tidak paham lagi pada dirinya sendiri yang mengejar sahabatnya itu sambil meneriakkan namanya di ujung desperasi.
Satu-satunya hal yang akhirnya ia sadari adalah air mata Takao saat ia berhasil meraih pergelangan tangan si bocah beriris kelabu.
…ini kenapa lagi Takao pakai nangis?
Demi Dewa Oha-asa, Midorima tidak pernah menganggap diri sendiri sebagai orang dungu yang tak bisa menganalisa situasi. Tidak—kecuali ketika ia berhadapan dengan Akashi yang sedang frustasi dan yang satu ini, ketika Takao menangis.
Karena tahu bahwa tak akan ada rumus kimia yang berguna dalam situasi ini, yang bisa dilakukan bocah hijau itu hanyalah memeluk sambil menggumamkan berbagai kata dan gestur isyarat—
Bukan 'semuanya akan baik-baik saja' atau 'berhentilah menangis'—
—melainkan 'Aku ada di sini, untukmu'.
Karena si bocah bersurai malam itu hanyalah seorang anak manusia kelas tiga SD yang sama sekali jauh dari kata dewasa, maka runtuhah topeng senyum itu. Pecahah tangisan pilu itu.
"SHUIIN-CHUAAAANN! HUWAAAAH!" Tangisan yang sejak pagi tertahan pun berubah menjadi rajukan lebay.
Pilu dari mananya coba.
"Tsk, kalau nangis biasa aja kenapa sih? Malu kan kalau dilihat ora—aaah! Jangan lap ingus di bajuku Bakaoooo!" Dan yang satu ini, walau marah-marah nyatanya tangannya tetap setia membelai kepala sang sahabat.
Dan tuntas sudah satu masalah—tanpa ada yang tahu akar penyebabnya.
Ketika Akashi menjadi satu-satunya orang yang menyadari—Midorima akan menjadi satu-satunya orang yang bisa menangani.
.
.
.
Sebagai seorang teman, Aomine nyaris tak pernah memperlakukan Momoi seperti anak perempuan. Tak ubahnya seperti ketika berhadapan dengan orang lain, Aomine tetap saja bicara kasar pada Momoi—termasuk bertingkah jorok dan tidak elit.
Termasuk ketika gadis kecil itu menangis.
Bukannya menghibur atau menenangkan dengan cara yang 'ganteng', Aomine malah mengupil sambil mangap, lalu mengatakan kata-kata tidak peka seperti 'Oi Satsuki, mau nangis sampai kapan?' atau 'Hei, mukamu jadi jelek abis kalau nangis.' Dan semacamnya.
Kurang ajar? Iya, itu memang sudah mendarah daging bagi Aomine Daiki.
Namun bukan berarti si bocah remang jahat atau apa. Bukan berarti pula ia tidak peka pada perasaan orang. Aomine hanyalah seorang bocah tumpul yang susah memberi tanggapan pada situasi. Kehidupan bocahnya yang terlalu simpel (bangun pagi, sekolah, main basket, cari udang dan serangga) itu membuatnya tumbuh menjadi anak kecil yang pola pikirnya serupa dengan Tarzan. Bayangakan saja: Aomine dengan cawat dan lolongan buas yang salah nada. Pas sekali, kan?
Dan walau ia tak sepintar itu, Aomine tetaplah peduli. Bagaimanapun Momoi adalah teman seperjuangan sepenanggungannya bahkan sejak mereka masih bayi. Berbagai suka-duka sudah banyak yang mereka lalui bersama. Suka? Dikit doang sih. Duka? Sebenarnya mendominasi. Paling sakit itu ketika ia harus makan masakan gagal si merah muda itu demi menyenangkan hatinya. Untung dia tahan racun—bersyukurlah dia karena bekulit remang, entah apa hubungannya.
Kembali pada masalah besar ini, Momoi masih menangis.
Sungguh, ia tidak ingat kalau ia baru melakukan kesalahan atau apa. Itu artinya Momoi menangis bukan karena salahnya—mungkin. Namun tetap saja tidak keren namanya kalau membiarkan anak perempuan menangis di hadapanmu. Bisa hilang total harga diri Aomine yang sudah sangat sedikit itu.
Niat merogoh saku demi mencari sapu tangan atau tissu, yang ia dapati malah kumbang yang ukurannya luar biasa. Uhh, sebenarnya apa saja sih yang pernah dia lakukan? Kok bisa ada serangga nista yang nangkring di dalam sakunya?
Tapi kalau dipikir-pikir, serangga (yang entah sudah mati atau masih hidup) ini keren juga. Ukurannya sangat tidak biasa.
Kalau ia memperlihatkan benda sebesar itu pada Momoi, gadis itu pasti girang. (?)
Tunggu dulu, kalimat tadi ambigu—ah, sudahlah. Tahu apa bocah-bocah kelas tiga SD itu.
Sekarang atau tidak sama sekali, Aomine mempertaruhkannya pada benda yang ada di sakunya tersebut.
"Satsuki!"
Si bocah merah muda memberi jeda pada isakannya dan mendongak—
—terus di depan wajahnya ada serangga hitam mirip kecoa yang gede banget gitu deh.
Dan tentu saja sebagai teman yang baik dan gadis yang unyu, reaksi Momoi adalah—
"KYAAAAA! DAI-CHAN GEBLEEEKK!"
Teriakan membahana. Tendangan maut.
Aomine Daiki has been fainted—kalau kata game P*kemon KagaRed.
(Ada gitu ya?)
Yah, yang penting sekarang Momoi sudah tidak menangis—walau entah situasi di mana ia marah-marah dengan seramnya ini bisa dibilang lebih baik dari yang tadi atau tidak.
.
.
.
Sakurai Ryou selalu diajarkan untuk meminta maaf oleh kedua orang tuanya—walau sepertinya ia salah kaprah sehingga tiap bicara yang keluar malah kata maaf melulu.
Namun ketika ia beradaptasi di lingkunagn sekitar rumahnya, Sakurai diajarkan untuk tidak menangis apapun yang terjadi. Pokoknya jangan menangis. Jangan sampai kau menangis kalau tidak ingin mati.
Ya. Di sini, bila kau menangis kau malah akan dibuli habis-habisan.
Begitulah kata Imayoshi padanya ketika untuk pertama kalinya Ryou melakukan debut lingkungan tetangganya. Belum lagi ketika seringai nista Imayoshi itu ditambah dengan keseraman wajah Hanamiya yang entah saat itu nongol darimana, lengkap sudah rasa takut Sakurai.
Pokoknya Sakurai tidak akan pernah berani menangis lagi, titik!
.
.
.
Satu kata yang dapat menggambarkan keadaan ketika Murasakibara Atsushi menangis adalah 'neraka'.
Karena tangisan si bocah ungu itu bukan sekedar tangisan biasa. Ia merajuk, meradang, menerjang, lalu jadi puisi—bukan. Maksudnya ia merajuk, memukul ke segala arah, melempari segala benda termasuk unit komputer dan televisi terdekat serta barbel yang entah bagaimana bisa pas sekali ada di dekatnya ketika ia ngambek. Kurang lebih keadaannya mirip dengan animasi Tatakae on Titans atau Susume apalah itu. Seram sekali pokoknya.
(Eh? Judulnya bukan itu?)
Dan kalau Murasakibara sudah begitu, maka tidak ada yang bisa menghentikannya.
yang bisa menghentikannya hanyalah 'tidak ada', ya.
Tidak kecuali keluarganya dan satu orang temannya.
Masih ingat seorang bocah tampan nan aduhai dengan poni belah samping bak boyband dan tahi lalat di bawah mata kanannya? Kalau belum, silakan berkenalan dengan Himuro Tatsuya.
Karena ketika Murasakibara menangis dan merajuk, hanya Himurolah yang bisa tetap tersenyum dengan santainya, mendekat sambil menghindari serangan acak Murasakibara dengan gerakan indahnya, lalu menepuk kepala si bocah ungu sembari memberi permen (atau jajanan apapun yang saat itu ia miliki) padanya.
Kemudian Murasakibara berhenti menangis, terisak pelan sembari memakan jajannya dengan tenang.
Hanya begitu.
Begitu saja.
Gitu doang, pemirsa.
Untuk mendiamkan Murasakibara yang menangis, hanya dibutuhkan Himuro dan jajan.
.
.
.
Kalau boleh jujur, Hyuuga paling benci pada saat-saat ketika ia menangis.
Bukan berarti ia sedang merasa lemah atau kurang ganteng ketika menangis atau bagaimana. Sebagai bocah, tentunya ia merasa kalau yang namanya menangis itu dihalalkan bagi laki-laki pula apalagi bila kau masih bocah.
Hanya saja yang bikin malas itu teman-temannya. Ya itu, Izuki dan Hyuuga.
Bayangkan saat ketika kau menangis tersedu-sedu, lalu salah seorang temanmu mencoba menghibur dengan cara yang sangat salah. Misalnya saja seperti bikin plesetan dan banyolan super-garing-banget-nggak-lucu-sama-sekali. Ya, siapa lagi kalau bukan Izuki.
Bayangkan saja betapa ilfeelnya Hyuuga yang saat itu sedang menangis namun harus menghadapi banyolan nista Izuki. Jijay banget kan?
Belum lagi si Kiyoshi itu. Kita semua tahu kalau dia anak yang sabar nan baik hati, oke. Dan tentu saja ketika sahabatnya menangis, Kiyoshi akan menghibur semampunya. Dan tentu saja, ia berusaha keras.
Cuma ngehiburnya nggak usah pakai nada bicara santai dan senyuman cerah gitu kenapa? Yang gitu itu ngece dan bikin males banget tahu!
Pokoknya bawaannya itu males banget kalau harus nangis di depan dua orang tidak waras itu. Bisa-bisa Hyuuga yang gila sendiri karena reaksi tak wajar yang diberikan teman-temannya itu.
Jadi yaaa—mending tidak usah pakai acara nangis sekalian. Problem solved.
.
.
.
Sebagai seorang bocah, Kise tergolong sebagai yang paling sering menangis—
—tujuh puluh persennya air mata buaya, sih.
Dan karena semua orang sudah terlalu terbiasa dengan air mata buaya Kise, mereka menjadi terlalu malas untuk membedakan mana yang airmata buaya dan mana yang sungguhan. "Halah, paling juga cuma pura-pura nangis kayak biasanya." Begituah doktrinasi yang diberikan oleh para penghuni SD Teikou. Hal beginilah yang selalu disebut si Hanamiya sebagai rasisme kota ini atau apalah—itu diceritakan di kisah lain.
Melihat reaksi dingin dari teman-temannya itu, tentu saja Kise merasa terbuli.
Belum lagi ketika ia dihadapkan dengan satu fakta nista: satu-satunya orang yang bisa membedakan tangis asli dan tangis buayanya hanyalah Haizaki.
Lah, kok bisa?
Hanya Tuhan dan Haizaki yang tahu.
Yang jelas, sikap Haizaki ketika Kise menangis sungguhan akan benar-benar berubah seratus delapan pluh derajat dengan gagapnya. Yang tadinya teriakan jadi bungkam seketika. Yang tadinya jejambakan dilepas seketika. Yang tadinya saling pukul berhenti seketika.
Mungkin ini cuma teori ngawur Kise, tapi sepertinya Haizaki bisa membedakan mana yang tangis sungguhan dan mana yang air mata buaya karena Haizaki sendiri adalah tukang kibul.
Namun senista-nistanya Haizaki, paling tidak Kise masih menganggapnya sebagai orang yang cukup gentleboy dibanding teman-temannya yang lain. Paling tidak ia tidak seperti mereka yang malah menatap datar dan langsung melengos pergi tatkala ia menangis.
"Ugh, Kise beneran nangis tuh…"
"Entah kenapa rasanya agak susah menghadapi Kise-chan yang lagi nangis sungguhan."
"Aku juga bingung mau berbuat apa ketika Ki-chan menangis…"
"…jadinya tanpa sadar malah angkat kaki deh."
Walau sebenarnya teman-temannya itu tahu situasi, dan hanya kurang antisipasi saja.
.
.
.
Satu kali saja, seorang Akashi Seijuurou pernah menangis.
Hal itu terjadi ketika ia masih duduk di bangku TK nol kecil. Hari itu adalah upacara pemakaman Ibunya yang kala itu meninggal akibat penyakit yang beliau derita. Di usia yang masih sangat kecil, Akashi ditinggalkan oleh orang yang ia sayangi.
Kala itu Akashi hanyalah seorang bocah TK, tentu saja ia tak bisa memahami akan arti di balik kematian seseorang.
Yang ia ingat hanyalah ketika ada orang yang berkata bahwa Ibunya tak akan pernah kembali, ia berteriak keras sembari lari dari tempat berkabung itu. Tentu saja air matanya berlinangan.
Mulai hari ini, Akashi tidak punya Ibu.
Ketika mengingat kenyataan pahit itu, sang bocah ceri kembali menangis kencang.
"—eeh!? Ada anak nangis! Anoo, ada apa denganmu? Kau baik-baik saja?"
Tahu-tahu malah ada seorang bocah yang nyasar di sebelah Akashi. Tsk, tidak bisa baca situasi banget sih.
Terlalu larut dalam kesedihan, tentu saja Akashi tidak menggubris omongan bocah antah-berantah itu. Masa bodoh, mending nangis lebih keras biar tambah greget.
"Uwaaaaaaaa!"
Si bocah tanpa dosa itu cengo. Lho, kok malah makin keras nangisnya?
"K-kau kenapa? Mana yang sakit—hiks—huu… huweeee…!"
Sekarang ganti Akashi yang cengo. Lho, kenapa ini anak malah ikutan nangis?
"…hei kau, ngapain ikut nangis?" tanya si bocah merah. Setengah terisak, setengah sweatdrop.
"Ha-habisnya—hiks—kau tidak berhenti menangis… huuu…"
Astaga, sekarang Akashi baru saja membuat anak orang menangis. Dengan alasan yang apa-banget-ini pula.
Ugh, tidak. Akashi, di sini kau harus bersikap jantan. Kau buat anak orang nangis, maka kau lah yang harus tanggung jawab.
"Hei, kau. Berhenti menangis." Mulai deh, nada bicara sok absolut. "Mulai sekarang, aku tidak akan pernah menangis lagi. Jadi berhentilah menangis."
Melihat sosok beriris merah terang yang mendadak wibawa di hadapannya, si bocah tak dikenal itu menghentikan air matanya.
"…benarkah?"
"Aku janji."
Wajah cengeng itu membalas dengan senyuman manis. Tanpa Akashi sadari, dua kelingking mereka bertautan begitu saja.
Maka sejak hari itu, Akashi seijuurou tidak pernah menangis lagi.
.
[SD Teikou, awal penerimaan murid baru.]
"…sekelas denganku, rupanya."
"Hm? Kau bilang apa tadi, Akashi?"
"Bukan apa-apa."
"Sei-chan, Shin-chan! Sini, sini!"
Dengan senyuman simpul, Akashi berjalan memunggungi sosok bocah tak dikenal yang dulu telah mengubah prinsip hidupnya.
'Akan kutunjukkan kalau sekarang aku telah menjadi pria ganteng!'
—begitulah tekad Akashi yang akan memulai debut di kehidupan SDnya. Entah kenapa rasanya terdengar tak wajar.
.
.
.
To be Continued
.
.
.
A/N: Apa ini? Ini mah bukan hurt/comfort woi. #plak Entahlah, rasanya kok malah jatuh ke banyol lagi ya hahaha. #gelindingan
Terima kasih untuk review dan dukungan yang kalian berikan. Saya belum bisa bales reviewnya satu-satu karena berbagai kendala hahahaha #nangesdarah Tapi yang jelas, fanfic ini akan selalu mematok friendship sebagai genre utama. Jadi untuk masalah ada yaoi apa enggak ya hahaha silahkan implikasikan sendiri. #woi
Terus itu, mulai sekarang status saya bakalan semi hiatus—paling tidak sampai bulan Juni. Circle saya (namanya Cadence) berencana mengisi event AniCult di Surabaya nanti (masih rencana dan belum bener-bener pasti sih), jadi saya mau levelling up some skill gambar hahaha. #nanges
Tapi bukan berarti saya ga bakal update sama sekali kok. Saya bakal tetep apdet fic, cuma nggak akan sesering biasanya. #bows
Regards,
Ratu bulu
Bakso Puyuh Kuriitama