-o-o0o-o-

Kali Terakhir

By Niero

Saint Seiya © Kurumada Masami

Saint Seiya Lost Canvas © Teshirogi Shiori

-o-o0o-o-

.

PART II

.

Entah berapa lama Minos duduk di dalam mobilnya, melipat tangannya di atas stir dan membenamkan wajah di sana. Tidak berniat menyalakan mesin, apalagi meninggalkan tempat itu. Sampai ketukan di jendela mengagetkannya, itu Aphrodite dan ia membukakan pintu untuk pemuda tersebut.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Minos, suaranya terdengar jauh seakan tidak diucapkan oleh dirinya sendiri.

"Dia tertidur, kehilangan kesadaran lebih tepatnya." Aphrodite tampak lelah, ia seperti ingin mengatakan sesuatu tapi kelihatan ragu, ia hanya tampak membuka dan menutup mulutnya lagi. "Tapi tidak apa-apa, sudah ada dokter yang memastikan keadaannya."

"Apa aku sudah melakukan sesuatu yang sangat dibenci Albafica?" Minos kembali bertanya.

Aphrodite masih tampak berpikir, "Bisa kita bicara di tempat lain?"

Café yang dipilih Minos tampak sepi, tiap couch dipisahkan sekat-sekat yang memberikan privasi untuk pengunjung. Keduanya diam untuk beberapa waktu, sampai denting gelas di kejauhan terdengar jelas. Mata Minos menatap lekat pada pohon di luar sana yang berdiri kokoh menantang salju dan angin dingin. Saat mengedarkan pandang ke sekeliling, hiasan Natal tampak terlihat di beberapa sudut, bahkan di depan-depan pertokoan. Ia memijit pangkal hidungnya, kemudian berganti menyentuh tepian cangkir black coffee-nya yang sudah dingin. Ucapan Aphrodite sebelum kebisuan ini menggulungnya ke tepian curam, membuatnya mengerti dan sekaligus merasa ikut terpuruk.

AIDS.

A, I, D, dan S, empat suka kata yang terngiang terus menerus itu membuat kepalanya sakit. Aquired Immunodeficiency Syndrome. Minos tahu virus macam apa itu, sekalipun dikalangan Dewa—darah mereka, ichor, tidak akan bisa diserang virus tersebut, juga dirinya pun memiliki kekebalan yang sama. Tapi virus itu adalah vonis mati untuk manusia.

Albafica sudah divonis mati bahkan sebelum bertemu dirinya. Takdir macam apa lagi ini?

"Kau lihat atap kaca di rumah," Aphrodite memulai kembali, setelah memastikan Minos mendengarkan. "Itu dibuat belum ada dua tahun yang lalu, dan pemasangannya terjadi kecelakaan, kaca-kaca di sana menimpa tubuh kakak. Saat tiba di rumah sakit—dia sudah kehilangan banyak darah. Sialnya, pihak rumah sakit kehabisan golongan darahnya, aku bahkan tidak begitu ingat bagaimana dokter itu kemudian mendapatkan darah. Darah yang ternyata membawa virus HIV positif,"

Sekuat tenaga Minos menahan diri untuk tidak menanyakan keberadaan dokter itu, karena jika ia tahu—sudah pasti kepala dokter itu akan terpisah dari badannya. "Bagaimana bisa, kenapa kelalaian seperti itu terjadi?"

Aphrodite kembali menggelengkan kepala. "Kami menuntut tentu saja, orang itu sudah diberhentikan—tidak bisa menjadi dokter lagi selamanya. Sayang hukum tidak bisa menyentuhnya lebih dari itu."

"Orang itu akan menerima balasannya," desis Minos, ia bersumpah kedalaman Tartarus saja tidak akan cukup. Saat dokter itu menghadapnya di penghakiman. Ia pastikan siksa dalam keabadian yang akan mendera.

Meski tidak mengerti dengan maksud perkataan Minos, Aphrodite mengangguk. "Kau pernah melihat Dégel—dokter yang kini menangani kakak. Dia berusaha melakukan pencegahan agar virus itu tidak berkembang, hanya saja ART yang diberikannya tidak lagi berguna, beberapa bulan ini kondisi tubuh kakak semakin lemah—dia mudah sekali sakit dan pingsan. Sikapnya juga semakin dingin—bersikap seperti itu, itu pertahanan dirinya. Bahkan denganku pun... Kadang aku tidak tahu harus menghadapinya bagaimana."

Minos paham, mengurung diri—jalan pikiran yang sangat Albafica sekali. "Terima kasih, Dite. Kau sudah menceritakan hal ini padaku. Setidaknya aku jadi tahu harus berbuat apa jika di depannya."

"Setelah ini kau tidak ingin menjauhinya?"

"Tentu saja tidak, aku tidak akan menyerah tentangnya. Justru aku berniat mencari apartemen di dekat rumah kalian. Aku ingin berada sedekat mungkin dengan Albafica. Memakan waktu jika tiap hari pulang-pergi dari Camden."

Setelah pembicaraan yang panjang Aphrodite akhirnya tersenyum. "Kau benar-benar mencintainya, ya?"

Selamanya. Dari kehidupan lampau, sampai yang akan datang perasaannya sama. Ia tidak bisa mencintai yang lain lagi. Namun semua itu tidak Minos ucapkan, ia menjawab Aphrodite hanya dengan anggukan kepalanya.

-o0o-

Langkah Minos tergesa, kemudian melompat ringan—kepak sayap Surplice membuatnya melayang untuk beberapa waktu, sebelum mendarat di lantai atas bangunan tinggi yang tampak seperti kastil. Ia kembali ke Underworld, belum mau tergesa mendekati Albafica, memberi waktu dua atau tiga hari mungkin cukup—ia tidak mau keberadaannya akan membuat Albafica tertekan. Maka disinilah ia berada, ia baru diutus Hades menangani pemberontak di dekat gerbang yang dijaga Cerberus. Dan di sela pekerjaan itu, disempatkannya terbang mencari sang Dewa Kematian. Meskipun yang dijumpainya hanya Hypnos yang bermain catur dengan salah satu anaknya.

"Dimana Thanatos?"

"Tidak sopan sekali kau, Minos." kata Hypnos, tangannya memindahkan bidak catur. "Sapalah tuan rumah dahulu sebelum menyampaikan maksud kedatanganmu,"

"Aku tidak punya banyak waktu untuk berbasa-basi," balasnya. "Aku perlu bicara dengan Thanatos,"

Jangankan melihat pada Minos, Hypnos masih fokus pada papan caturnya. "Dia ada di New York. Dan jangan tanya sedang apa, karena aku bukan ibunya—apa yang dilakukannya bukan urusanku."

Merasa tidak aga gunanya, Minos membentangkan sayap surplicenya dan terbang turun, kembali ke tempat kerjanya sendiri. Rhadamanthys sudah berasa di sana, memeriksa tumpukan kertas yang menggunung di meja. Ia sendiri ingin segera kembali ke London, namun mengkonfrontasi Thanatos berada di urutan pertama hal yang harus dikerjakannya. Ia tidak akan meminta mengundur kematian, itu hal yang tentu tidak bisa dilakukan—setiap manusia sudah memiliki garis pasti tentang kematian itu sendiri. Minos hanya ingin tahu, berapa lama waktu yang dipunyainya, berapa lama Albafica akan bertahan. Tapi teralu lama menunggu di sini pun hanya buang-buang waktu.

"Kapan kau akan kembali ke Camden?" tanya Rhadamanthys. "Ada Kanon di rumahku, jika butuh sesuatu minta saja padanya."

"Besok, hanya untuk mengambil mobilku, setelahnya akan langsung ke Fulham. Aku sudah dapat apartemen di sana," ucapnya sambil melepas pelindung kepala.

"Baguslah kalau kau tidak sering merusuh ke rumahku, mengingat kau dulu saja mengusirku dan Sarpedon dari Crete."

"Oh, kau mau membicarakan asal usul entah ribuhan tahun yang lalu, bahkan sebelum bangkit untuk menjadi Hakim Neraka."

Rhadamanthys menyeringai, "Aku senang kau tidak lupa,"

"Aku sebenenarnya sudah lupa, jika tidak kau ingatkan aku pun lupa kalau kau adalah adikku." kata Minos tidak begitu peduli, lalu masuk ke sebauh ruangan, untuk menanggalkan surplicenya. Meninggalkan Rhadamanthys yang mungkin merutuk kesal. Hanya sebentar ia sudah kembali kemudian menekuni berkasnya sendiri.

"Kau," Rhadamanthys mengamati Minos dengan pandangan asing, "Usahamu untuk Albafica, tidakkah itu terlalu berlebihan? Itu nyaris bukan sepertimu."

"Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan," ucap Minos, tangannya cepat membalik satu laporan ke laporan yang lain. Semua sudah disortir Lune, perkerjaannya jadi lebih mudah.

"Sementara dia tidak akan pernah sembuh, tidak ada obat untuk penyakit seperti itu." kata Rhadamanthys lagi.

Minos menghentikan kegiatannya, ucapan Rhadamanthys seperti pencerahan—tidak sehiperbolis itu memang, tapi ia jadi terpikir sesuatu. "Benarkah tidak ada obatnya?"

"Jangan bilang kau akan—"

Apollo. Nama yang langsung terngiang di benak Minos. Lalu bagaimana caranya memanggil Dewa itu, Hades saja tidak bisa ke Olympus kecuali diundang. Tapi ia harus bisa menemui sang Dewa, ia merasa mempunyai harapan—meski tidak tahu apakah akan mendapat bantuan atau justru penolakan, setidaknya ia harus mencoba. Dan koin emas yang disimpannya di saku, terasa mengganjal—koin dari Hermes, benar, ia bisa minta tolong pada Dewa itu untuk menyampaikan pesan—dan ia tahu bagaimana memanggilnya.

-o0o-

Albafica kesakitan, terbaring di kamarnya yang beraroma mawar segar—sejak kemarin sistem pencernaanya tidak bekerja sama dengan baik, dan di malam hari demamnya sangat tinggi. Menurut Dégel itu baru permulaan, kadang tanda seperti itu bahkan tidak muncul pada beberapa orang yang mengidap AIDS, tapi kondisi psikis Albafica saat ini bisa memperparah kondisi tubuhnya—pemuda bernama Minos itu, yang tanpa sadar sudah menjadi mood barometer, meski tidak mau mengakui Albafica lebih bahagia jika ada Minos di sekitarnya.

Di sore kedua ini ia terlihat tidak seberantakan kemarin. Bosan dengan kamarnya, dan kondisinya yang membaik membuatnya berani keluar kamar. Hanya untuk duduk di sofa di rumah kaca, melihat ke jalanan, pada bawah pohon di mana Minos biasa memarkir mobil. Tempat itu kini kosong.

"Kau mau makan sesuatu, aku dan Shura akan keluar dulu berbelanja." kata Aphrodite. Ia duduk di depan Albafica, "Kau menunggu Minos?"

Albafica menggeleng cepat, "Tidak, kenapa aku harus menunggunya,"

"Hanya berpikir, kalau Minos tidak seperti pria lain yang pernah ke sini."

"Kau benar, Dite." kata Albafica, "Dia memang berbeda dari pria kebanyakan—lebih kurang ajar, lebih lancang, semaunya sendiri. Brengsek. Bagus kalau dia tidak pernah kembali lagi ke sini."

Aprhrodite tertawa, "Banyak sekali kau mendeskripsikannya. Kenapa tidak kau tambahkan kalau dia juga tampan, berkharisma, dan sexy..."

"Kau ini apa-apaan."

Suara tawa Aprhodite makin kencang, dan ia segera berlari menghampiri Shura. Lalu berangkat belanja.

Menyisakan Albafica yang kembali merenung, dan Angelo yang duduk di meja kasir florist di ruang sebelah. Saat sendiri baru ia merasa, apa yang dikatakan Aphrodite memang benar, ia ingin Minos berada disini—ia seperti melihat bayang pemuda berambut keperakan panjang itu mondar-mandir membantu membawa bunga yang baru dipotong. Tapi... Semakin ia menginginkan Minos, semakin besar pula kemauannya untuk menjauh. Bagaimana jika ia lengah, dan darahnya membuat Minos tertular. Tidak—keputusannya sudah benar, Minos sebaiknya tidak pernah kembali.

.

Pada pagi hari selanjutnya, Albafica bangun kesiangan. Ia tidak pernah tidur nyenyak—tapi semalam ia bisa pulas, energinya terasa penuh. Meski mimpi aneh-aneh terus mengganggu, pasti efek dari demannya. Setelah mengganti bajunya yang basah, karena keringat dari suhu tubuh berlebihnya—ia keluar dari kamar. Dan suara canda tawa berisik dari rumah kaca membuatnya menghentikan langkah.

Minos berada di sana, Minos yang itu. Dengan rambut keperakan yang sama—rambutnya diikat tinggi asal-asalan, kemeja merah marun yang lengannya lagi-lagi dilipat karena membantu Angelo memasukkan pupuk ke pot-pot berukuran sedang. Kenapa orang ini muncul lagi?

"Tidurmu nyenyak, Albafica?" tanya Minos, suaranya ringan disertai senyum, seperti teman lama—seperti tidak pernah terjadi sesuatu. "Kenapa diam saja, mau bergabung menanam bunga?"

Aphrodite muncul membawa sebuket bunga yang baru dipotong, "Kakak belum sarapan, Minos. Jangan mengajaknya menanam bunga dulu,"

Minos kembali memberikan senyum, meski rasanya semakin getir. Ia tahan dirinya untuk tidak menghambur memeluk Albafica, kenapa sosok seindah itu harus menerima jalan hidup yang begitu sulit. Dan usahanya mendatangi Apollo pun tidak membuahkan hasil.

"Dewa tidak tidak bisa mengulurkan tangannya pada manusia secara langsung, Minos. Aku tidak bisa menyelamatkan Albafica—manusia harus menerima konsekuensi dari tindakan mereka sendiri. Perpanjangan tanganku sudah banyak di dunia, para dokter—mereka yang seharusnya menolong sesamanya.

Dan jangan bicara tentang kehilangan di hadapanku. Aku lebih banyak kehilangan, kekasih manusiaku, Hyachinthus... Yang sampai saat ini tidak ada yang bisa menandingi ketampanannya, lehernya terpenggal di hadapanku.

Banyak hal yang tidak bisa diperbaiki dan tidak bisa diubah meskipun oleh Dewa sekalipun. Jika kematian mendatangi Albafica—terimalah fakta itu."

Omong kosong. Minos hampir berteriak kalau saja tidak ingat sedang berada di rumah kaca, sedang berada di hadapan Albafica, ia tidak boleh menunjukkan eskpresi sedih, marah, atau semacam itu. Ia harus rileks, harus senang—dan ia memang senang berada di dekat Albafica.

Albafica tidak mengerti, sejenak ia memikirkan cara untuk mengusir Minos. Tapi rasanya percuma, jadi ia tidak mau mengambil pusing keberadaan pemuda itu. Tanpa mengucakpan sepatah kata pun ia berbalik masuk, mencari sarapannya, dan juga meminum obat yang ia tahu tidak begitu membantu. Ia malas kembali ke depan, tapi hanya rumah kaca yang tidak membuatnya bosan.

Tapi jika harus mendengar obrolan empat orang itu, ini lebih membuatnya malas. Bisa-bisanya mereka mengobrol sambil mencampur tanah dengan pupuk.

"Kau tinggal di Bishop Avenue?" tanya Angelo, ia baru lewat kawasan itu sekali—daerah mansion-mansion paling elit di London.

Minos megangguk. "Saat ke London, ya, aku ke sana. Itu rumah adikku."

Shura melanjutkan pertanyaan. "Rumahmu sendiri di mana?"

"Oslo," Minos menjawab santai, "Norwegia."

"Jauh sekali," kali ini Aphrodite yang berkata, "Dan kau sedang ada pekerjaan di London?"

Minos sedikit terkekeh, tidak mungkin juga ia menjawab untuk mencari Albafica. Mencari pujaan hatinya sejak ratusan tahun yang lalu, bisa-bisa mereka menelpon rumah sakit jiwa. "Sedang liburan tepatnya, dan tidak kusangka bertemu dengan dia, akhirnya aku membeli apartemen di dekat sini." ia memandang sofa dimana Albafica duduk membaca majalah.

Ketiganya tertawa, sedikit kagum juga pada Minos yang berusaha mendapatkan hati Albafica.

"Albafica, bergabunglah kesini..." seru Angelo, entah kenapa ia ingin menggoda mawar berduri itu.

"Tidak tertarik," ucap Albafica, ia tetap membaca majalahnya. Namun sebenarnya ia mendengarkan percakapan yang bergulir, majalahnya bahkan berhenti di halaman yang sama sejak tadi. Sampai kemudian majalah itu ditarik paksa dari tangannya.

"Jangan menyendiri seperti ini, apa kau tidak ingin berbincang bersama kami?" Minos mengambil tempat duduk di sofa lain, tidak terlalu dekat. Lalu mengamati majalah Albafica, "Majalah fashion, aku pikir kau membaca majalah tentang tanaman hias."

Albafica tidak bergeming.

Menghela napas, Minos meletakkan majalah itu di meja. "Aku minta maaf jika kemarin menyakitimu, aku hanya ingin membantumu." ucapnya sungguh-sungguh, "Tapi jika kau ingin aku pergi, aku tidak akan melakukan itu. Aku ingin ada untukmu,"

Masih tidak ingin menjawab, Albafica justru berdiri dan menuju deretan rak-rak berisi bibit-bibit bunga. Ia berjongkok di lantai dan mulai memilih-milih mana yang akan ditanam. Mengabaikan sepenuhnya pada apa yang diucapkan Minos.

Tak lama, derai tawa kembali terdengar. Entah kali ini apa yang dibicarakan ia tidak begitu memperhatikan, hanya saja—ia merasa seperti ditinggalkan, bukan, tapi justru dirinya sendirilah yang membuat situasi jadi seperti ini. Dulu, ia dan Aphrodite selalu bercanda, sempat dengan bodohnya saling melempar tanah. Dulu, ia juga sebahagia itu. Dulu, ia bisa merangkul adiknya setiap hari. Dulu, jika ia tidak… Pandangan mata Albafica terasa mengabur—air mata menggenang disana. Dan tempat benih yang baru diambilnya dari rak tergelincir jatuh.

Bunyi benturannya terdengar nyaring, menyaingi canda yang ramai sedari tadi.

Suara botol kaca pecah itu membuat semua orang di sana menoleh. Dan Albafica bahkan tidak sadar telapak tangannya berdarah terkena pecahan botol tersebut. Darah—merah di telapak tangannya adalah darahnya.

"Albafica!" Minos pertama yang mendekat, kedua kalinya ia lupa apakah berjalan dengan kecepatan manusia normal, atau kecepatan rata-rata setengah Dewa. Ia bahkan sempat menyambar kotak tisu yang ada di meja.

"Jangan membantuku," kata Albafica, gamang. Gemetar ia mengambil tisu yang disodorkan Minos, tapi justru tidak bisa mengelap darahnya sendiri dengan benar.

"Kalau seperti ini, bagaimana bisa kau akan bertahan dengan keegoisanmu." Minos menghentikan Albafica, memegang pergelangan tangannya, tidak begitu erat tapi tetap susah untuk melepasnya. Entah pandangan ala Hakim yang ia gunakan, sampai membuat Albafica ciut dan tidak memberontak.

"Minos, lepaskan." ada tekanan di tiap kata yang diucapkan Albafica, tapi ia tidak berani melihat Minos, ia terintimidasi.

"Apa darahmu bahkan mengenai tanganku?" ucapan Minos terdengar tegas, "Albafica, jangan seperti ini. Jangan membuat dirimu seolah tidak memiliki siapa-siapa. Kau menghindar, kau menjauh—apa kau bahkan peduli pada perasaan adikmu, perasaan kami semua di sini yang menyayangimu. Bukan darahmu, tapi keogisanmu yang menyakiti mereka."

"Tapi aku tidak mau jika mereka—"

"Tapi bagaimana dengan mereka, kau tidak percaya dengan adikmu sendiri? Jangan anggap kami semua di sini hanya patung hiasan rumah kacamu, jangan terlalu keras pada dirimu, Albafica. Kami, adikmu selalu ingin memelukmu, menguatkanmu. Tapi apa yang kau lakukan?

"Aku—"

Milos melepaskan tangannya, "Katakan jika kau ingin sesuatu,"

Albafica mengangkat wajahnya, melihat Minos—dan pandangan mengintimidasi yang tadi dilihatnya sudah berganti kelembutan. "Kantong plastik," ucapnya.

Rasanya Minos ingin menangis sekaligus tertawa gemas, suara Albafica barusan benar-benar terdengar polos di telinganya. Ia berdiri, dan Aphrodite sudah mengambil kantong plastik yang dimaksud dari laci meja, lalu memberikannya pada Minos. Saat tangan Albafica yang tidak terluka mencoba merebut plastik itu, Minos berkelit.

"Sudah aku bilang, jangan lakukan semuanya sendirian."

Menurut, Albafica membiarkan Minos tetap memegang plastik itu, dan ia memasukkan bekas-bekas tisu yang ternoda darahnya ke sana. Diam-diam ia senang Minos tidak melakukan hal lain selain berjongkok menungguinya membersihkan luka. Minos membiarkannya mengobati lukanya sendiri, cuma membantu mengambil kotak obat tadi—setelah lukanya terbebat rapi, dan bersih dari darah, pecahan kaca pun sudah masuk plastik, Minos mengikat plastik itu, untuk dibakar kemudian.

"Begini lebih baik bukan," kata Minos lagi, ia menjulurkan tangannya—mengacak rambut Albafica. Terasa halus, Minos suka sensasinya.

Tatapan tajam Albafica sudah kembali, dan ia menepis tangan Minos. "Jangan perlakukan aku seperti anak kecil."

"Oh, sudah kembali menjadi Albafica yang galak." Minos tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tersenyum. Namun ia bisa melihat meski Albafica membuang mukanya, mata itu masih menyimpan rasa takut. "Biarkan aku menyentuhmu,"

Minos harus melakukan itu, namun tidak membuat gerakan tiba-tiba—Albafica terlalu terbiasa dengan reflek menghindar, ia harus tahu bahwa akan disentuh. Minos harus membiasakan Albafica jika itu akan terasa nyaman.

"Jangan—" tolak Albafica, tertahan, namun ia juga tidak ingin kehangatan tangan Minos yang membelai pipinya itu pergi.

Minos meraih tengkuk Albafica kemudian, dan membawa pemuda itu dalam pelukannya. Ia mendapat penolakan berupa dorongan kecil, tapi saat tubuh Albafica sempurna berada dalam rengkuhannya, membenamkan wajah di dadanya—ia ingin Albafica merasa tenang dan aman. Ia biarkan Albafica meluapkan perasaannya, sekalipun ia merasa bajunya mulai basah. Ia senang, karena di situlah Albafica menumpahkan air matanya, karena ia memang ingin Albafica bersandar padanya.

"Tidak apa-apa, kau tidak sendiri, Albafica..." bisik Minos, tanganya mengusap-usap punggung pemuda mawar itu.

Ruangan hening, entah kemana perginya Aphrodite, Shura, dan Angelo. Tidak lama Albafica melepas pelukan, ia sedikit mundur saat tangan Minos akan menghapus sisa air matanya.

"AIDS tidak menular lewat air matamu, Albafica." ucap Minos, ia menelusurkan jemarinya ke pelipis pemuda itu kemudian. "Dan tidak menular melalui keringat," ia tersenyum, memajukan wajahnya. "Tidak menular melalui saliva juga," cepat Minos menyapa bibir Albafica dengan bibirnya—bertemu dalam kecupan singkat.

Reaksi yang sungguh menyenangkan. Wajah Albafica memerah, serta tangan membekap mulutnya sendiri, "Apa yang kau lakukan?!" jeritnya histeris.

"Menciummu, apalagi?" kata Minos, ia terkekeh mengingat betapa menggemaskannya Albafica. "Aku bisa mengulanginya jika kau masih belum paham,"

"Tapi... Kau... Kenapa kau..."

Minos tampak berpikir, "Apakah aku belum mengatakan kalau aku jatuh cinta padamu, Albafica?"

Albafica sudah menduga akan begini jadinya, "Kau bodoh, ya? Kau tahu kalau aku… terinfeksi AIDS. Bisa-bisanya kau menciumku. Seharusnya kau menjauhi aku."

"Albafica, kau mengataiku bodoh, tapi yang bodoh sebenarnya kau sendiri atau bagaimana?"

"Aku tidak bodoh!" balasnya cepat.

"Aku yakin kau paham bagaimana penularan virus itu, aku paham, adikmu, teman-teman adikmu itu. Atau temanmu yang lain, yang peduli padamu—yang mungkin sudah kau jauhi. Kau bisa melewati harimu dengan normal, kau tahu bagaimana menjaga dirimu—kau mandiri, dan kami disini percaya padamu."

"Aku tidak percaya pada diriku sendiri," gumam Albafica, hanya seperti desir lirih yang nyaris tak terdengar.

"Jadi mulai sekarang, Albafica..." kata Minos sabar, tangannya meraih kedua lengan Albafica. "Buat keberaadan kami berarti. Adikmu sangat menyayangimu, dan aku begitu mencintaimu."

"Kenapa? Banyak gadis atau pemuda lain di luar sana yang lebih layak, tapi kenapa kau begitu bersikeras tentangku?"

"Karena itu adalah kau, kau adalah Albafica bagiku, tidak peduli kau sakit apa—hatiku yang menuntunku. Dan perasaan disini," ia menunjuk dadanya sendiri, "Hanya berpihak padamu."

Saat sekali lagi Minos memagut bibir Albafica dalam ciuman lembut yang tidak singkat—namun tidak menuntut, tidak ada penolakan. Tangan Albafica dengan canggung naik ke punggung Minos, mencengkeram kemeja pemuda itu erat. Memeluk Minos erat.

-o0o-

Spring, 2014.

Musim dingin yang membekukan London berakhir, tahun sudah berganti. Dan pohon-pohon di luar yang mulanya tertutup salju mulai bersemi, matahari sering menyapa—kalau tidak ada mendung yang sesekali lewat. Rasanya terlalu lama jika disebut hitungan tahun, padahal baru beberapa bulan saja Minos berada di London. Keadaan Albafica terkadang bagus, tapi beberapa bulan lalu, saat pemuda itu nekat memaksa Minos untuk membawanya berjalan-jalan di bawah salju—hanya membuat Albafica demam parah, dan terkapar berminggu-minggu. Seharusnya Minos tidak mengabulkannya, tapi apa yang diucapkan Albafica bahwa ia ingin menyentuh salju saat itu juga—takut jika tidak bisa merasakannya lagi tahun depan, jadi terpaksa Minos menuruti kemauan itu.

Ada kalanya lagi, dimana Minos harus kembali ke Underworld—ia membuat dalih mengurus pekerjaan di Oslo. Ia tidak bisa meninggalkan seluruh tugasnya pada Lune, ada beberapa hal penting yang harus diurus tangannya sendiri. Dan meninggalkan Albafica tiga hari saja sudah membuatnya stress.

Untungnya saat ia kembali, semua masih sama seperti saat ia pergi. Shura di belakang kasir florist, Aphrodite memilihkan bunga-bunga pada pelanggan yang datang, dan Angelo berada di rumah kaca memotong rumput yang memanjang. Lalu Albaficanya, tampak cantik di antara anggrek yang baru mekar.

"Hei," Minos memeluk Albafica dari belakang, dan mengecup pipinya. "Rasanya kangen sekali,"

Albafica berbalik, memandang pemuda berambut perak itu. "Uh, Minos, bisakah kau melepasku? Aku sedang sibuk."

"Jahat sekali, aku baru datang—dan kau lebih memilih bunga-entah-apa-itu daripada aku," kata Minos. Ia tidak merajuk, jari tangannya saja masih menelusuri pipi Albafica.

"Well, bunga ini lebih indah darimu," balas Albafica, meskipun begitu ia memberi kecupan singkat di bibir Minos. Cara yang paling tepat untuk membuat Minos menuruti apa maunya.

Senang, Minos melepaskan Albafica, membiarkan pemuda berambut biru muda itu meneruskan kegiatan dengan para bunga. Ia sendiri membaringkan tubuhnya di sofa panjang, oh demi Hades—tiga hari tiga malam ia lembur di Dunia Bawah sana—sama sekali tidak tidur dan istirahat, pekerjaan dua minggu diselesaikan hanya tiga hari, sisanya tinggal diurus Lune. Dan baru terasa lelahnya sekarang, tidak lama kemudian ia terlelap di sofa.

"Aku iri sekali," suara Aphrodite terdengar pelan, tidak mau membangunkan Minos. "Pacarmu itu, kakakku sayang, bahkan rela pulang pergi London-Oslo. So sweet sekali, bukan?"

"Dia hanya terlalu bodoh saja," kata Albafica, yang sedari tadi berjongkok di depan sofa, mengamati Minos—ia tahu ini kurang kerjaan, tapi melihat Minos ketiduran bahkan tidak memiliki kesiagaan seperti ini terasa langka. Ia tahu Minos lebih sering terjaga saat menungguinya di malam hari, mengompresnya atau apa kalau ia deman. "Dan jangan serakah, Dite. Kau sudah punya dua orang itu, kenapa masih merasa iri?"

Mendengar hal tersebut Shura yang sedang memakan camilannya tersedak, sedangkan Angelo menyemburkan kopi yang diminumnya, "Jangan menggoda kami, Albafica."

Tapi Aphrodite justru tertawa senang. Sejak Minos berhasil menyentuh hati Albafica, kakaknya jauh lebih baik, jauh lebih terbuka—rasanya ia menemukan Albafica yang dulu sebelum terinfeksi AIDS.

.

Semakin siang, cuaca di luar benar-benar cerah, angin bertiup sejuk menggelitik terasa nyaman. Minos yang baru bangun, setelah tidur singkat yang sangat nyenyak itu, mempunyai ide cemerlang—menurutnya. Ia membawa selimut tebal ke halaman belakang rumah—mengelarnya di bawah pohon rindang. Dan meletakkan sekeranjang makanan juga botol-botol jus di sana. Dirasa-rasa tidak begitu romantis, tapi rasanya menyenangkan. Apa sih yang tidak membuat Minos senang jika sudah berdua saja dengan Albafica.

Terlebih saat sang mawar juga menikmati waktunya. Berbaring di sana, menggunakan kaki Minos sebagai bantal. Melihat langit biru melalui sela-sela jemarinya yang diangkat ke atas, dan buku yang dibawanya tergeletak sia-sia, halamannya beberapa kali terbalik sendiri karena angin.

"Jika aku memiliki waktu hidup lebih lama, aku ingin berkeliling ke tempat-tempat menarik di seluruh dunia." kata Albafica.

Minos yang duduk bersandar pada pohon, meraih tangan Albafica, mengecupnya. Entah sudah berapa banyak ia melakukan itu, "Jika kau mau, kita bisa pergi sekarang. Ke negara manapun yang kau suka, Albafica."

"Tidak mau," ia memejamkan mata sejenak, merasakan tangan Minos yang membelai rambutnya. "Aku tahu kau punya banyak uang, kau bisa menyewa atau bahkan membeli jet pribadi untuk mengajakku keliling dunia, dan sampai di tempat tujuan sekejap mata. Tapi apa menariknya... Aku ingin berusaha sendiri, berangkat dari rumah, naik bis, kereta api, pesawat, kapal—aku ingin menikmati perjalanan panjang itu."

Bagi Minos, itu bukan hal yang sulit. Tapi mengingat kondisi tubuh Albafica, yang terlalu rentan, dan bisa memburuk sewaktu-waktu tentu saja bukan hal mudah. "Negara mana yang ingin kau kunjungi, Albaficaku yang cantik?"

"Um... Rio de Janeiro, Venesia, Jepang, Roma." kata Albafica, menyebut tempat-tempat itu secara acak. "Dan terutama Yunani,"

Minos penasaran, "Kenapa Yunani?"

"Entahlah, rasanya ingin sekali ke sana." nada suara Albafica seperti menyiratkan kerinduan, yang ia sendiri tidak mengerti. "Minos,"

"Hm?"

"Ceritakan tentangmu," kata Albafica, ia melihat ke atas, ke arah Minos yang juga tengah memandangnya. "Keluargamu, pekerjaanmu, apapun…"

Apa yang harus diceritakan, Minos tampak berpikir sebentar. Keluarga, siapa keluarga yang harus diceritakannya, adik kandungnya Rhadamanthys dan Sarpedon, atau adik tirinya yang seprofesi dengannya—Aiacos. Ayahnya, ia tidak mau mengingat siapa ayahnya. "Aku memiliki adik, tapi mereka sudah memiliki hidupnya sendiri-sendiri. Begitupun denganku yang sudah mandiri dari kecil."

"Rasanya kau lebih terlihat seperti anak manja semaunya sendiri yang akhirnya mewarisi perusahaan dari ayahmu," kata Albafica, ada sedikit senyum mengejek di bibir pemuda itu.

"Albaficaaa," desisnya, gemas. Tapi meskipun dalam konteks yang berbeda, tebakan Albafica itu benar, bukan. Coba siapa yang memberinya tugas sebagai Hakim Neraka, bukan Hades—tapi seorang Dewa yang berkuasa di Olympus sana, yang secara biologis adalah ayahnya. "Menurutmu apa pekerjaanku?"

"CEO perusahaan entah apa di Oslo sana,"

Minos tertawa, "Aku seorang Hakim, Albafica. Aku bekerja dibidang hukum,"

"Mustahil," sangkal Albafica, ia bangkit dari posisi tidurannya, menatap Minos dengan sangsi. "Bagaimana bisa kau seorang Hakim. Hakim itu… Harus bijaksana, tidak memihak, dan adil dalam memberi keputusan—dalam memutuskan benar dan salah. Sedangkan kau," ia mengamati wajah Minos, "Tidak ada tampang bijaksana sama sekali,"

Minos mengerjapkan matanya dua kali, apa barusan tadi—ia ingin tertawa sekaligus ingin menindih Albafica, melakukan hal yang menyenangkan. Menarik sekali kekasihnya itu, "Kau ini, awas saja, ya... Kau membuatku jatuh cinta lagi, kau tahu itu, hm?"

Dan Minos benar-benar mendorong pelan Albafica, mencium keningnya, matanya, hidung, pipi, dan ciuman yang lebih lama untuk bibir Albafica.

.

Rasanya percuma Minos membeli apartemen di Fulham. Karena pada kenyataanya, ia jarang mampir kesana—dan lebih sering menginap di rumah Albafica. Menemani Albafica tidur setiap malamnya—hanya menjaganya, sekali pun mereka tidak pernah melakukan hubungan seks. Bukannya Minos tidak ingin, tapi Albafica sudah mencoret hal itu dengan tinta merah yang tebal. Cairan semen Albafica menularkan AIDS dengan sempurna, melakukan anal pun mengandung bahaya yang sama—sekalipun memakai pelindung, tidak menjamin apa-apa.

Tidur Albafica di sampingnya tampak gelisah, pemuda itu kembali demam—lebih tinggi dari biasanya. Selain itu, perbedaan semakin terlihat—pipi Albafica semakin tirus, pemuda itu sudah kehilangan berat badannya. Dan saat Minos menganti kompres, Albafica terbangun.

"Minos,"

"Aku di sini, tidurlah lagi..." ia ikut berbaring, membenarkan selimut—yang hanya didorong lagi. Dan dari baju tidur Albafica yang sedikit terbuka di bagian dada atasnya, meskipun keadaan remang, Minos bisa melihat bercak-bercak merah kebiruan di sana. "Rashes," gumamnya lirih.

"Aku tidak bisa tidur,"

"Kau ingin aku menyanyikan lullaby dan membacakan dongeng,"

Albafica tertawa kecil, "Yang benar saja..." rutuknya, "Minos, besok kita pergi ke London Eye, ya?"

"Senang sekali kau mengajakku kencan," goda Minos.

"Katakan saja kalau kau mau,"

Sebelum menjawab ia mencium kening Albafica, "Jika kau sekarang tidur, dan besok kondisi tubuhmu bagus. Kita akan pergi ke sana."

Tidak seberapa lama, Albafica kembali terlelap. Terkadang Minos kesal sekali dengan siatuasinya, ia tidak bisa melakukan apa-apa untuk Albafica, ia hanya bisa menemani dan memeluk, tidak bisa mengurangi sakit yang dirasakan kekasihnya. Melakukan hal itu, antara cukup dan tidak cukup—andai ia bisa melakukan lebih, tapi yang dilakukannya sekarang sudah merupakan hal terbaik yang ia bisa. Ia terus terjaga, memikirkan semua itu—membuat malam bahkan terasa singkat. Tiba-tiba saja matahari dengan sombongnya memamerkan cahaya di ufuk timur, mengusir kekuasaan malam dan kegelapannya.

Minos bangun terlebih dahulu, biasanya untuk melihat Aphrodite yang menyiapkan sarapan. Atau mencari kuncup bunga baru yang sudah mekar. Tapi, sampai matahari naik agak tinggi, Albafica belum keluar dari kamarnya.

"Ada apa?" tanya Minos, ia tadi khawatir lalu mencari Albafica, dan menemukan pemuda itu terdiam di depan wastafel di kamarnya. "Albafica?"

"Maaf, Minos. Kau tidak bisa mencium bibirku lagi," jelasnya, menunjukkan sikat giginya yang ternoda darah.

"Kenapa kau bahkan mencemaskan itu," kata Minos, meraih pinggang Albafica, membawanya menghadap padanya. "Coba lihat," lanjutnya, menyentuh dagu mawarnya—meminta membuka sedikit mulut, ada beberapa bercak putih dan merah yang sangat parah di sana. "Stomatitis, ya... Ini akan sembuh, meski mungkin akan lama."

"Seberapa lama... Kita tidak bisa melakukan seks, lalu kau tidak bisa menciumku, lalu pada akhirnya kau tidak akan bisa menyentuhku sama sekali. Aku akan terkurung di ruang karantina, kan?"

"Hentikan, Albafica." seru Minos, "Jangan pernah berpikir pesimis seperti itu."

Albafica diam, memegang bibirnya. Dan Minos menyesal telah berteriak.

"Apakah sakit?" lanjutnya, "Kita batalkan saja rencana ke London Eye,"

"Tidak, aku mau kesana." ucap Albafica yakin. "Dan ini tidak seberapa sakit, aku bisa menahannya. Hanya agak susah untuk dipakai berbicara."

Minos menghela napas, "Kau mau puding untuk sarapanmu?" tanyanya, dan setelah melihat Albafica mengangguk, ia meneruskan. "Akan aku siapkan. Setelah ganti baju, cepat ke ruang makan, aku menunggu di sana.

.

London Eye, bianglala raksasa yang berdiri megah—seperti mengapung di atas sungai Thames. Mungkin kali terakhir juga Albafica bisa menaiki Millenium Wheel luar biasa ini, dan ia tidak tahu bagaimana cara Minos mendapatkan tiket untuk naik salah satu dari 32 kapsul di kincir itu, tahu-tahu saja seseorang—yang menunduk hormat dan memanggil Minos 'Tuan', sudah memberikan tiket tanpa perlu mengantri. Di dalam kapsul, sekalipun dindingnya dari kaca, rasanya tetap seperti tempat privasi, telebih jika hanya dipakai berdua—saat bergerak naik perlahan, pemandangan kota London menyingsing dengan indah.

Melihat Albafica yang tampak bahagia, ekspresi senang yang jarang sekali muncul di wajah mempesona itu. Minos tidak tahan untuk tidak memeluknya, dan menikmati pemandangan yang terbentang dengan cara sempurna.

"Kau suka sekali memelukku," ucap Albafica.

"Karena rasanya menyenangkan, kau hangat, dan pas sekali di lenganku."

Albafica mendesah, setengah tertawa juga, "Minos, sebelum virus ini menginfeksi otakku. Dan berbagai penyakit menyerangku lebih dari sekarang, atau kanker dan dan sejenisnya menghilangkan kesadaranku, mematikan fungsi tubuhku. Aku ingin kau tahu… kalau aku pun mencintaimu."

Minos tidak menjawab, hanya membalik posisi Albafica untuk menghadapnya—mengeratkan pelukan dan mengecup pucuk kepalanya.

"Aku bahagia bersamamu, dan aku sangat berterimakasih kau sudah mencintaiku sebesar ini." lanjut Albafica. Ia membenamkan wajah di dada Minos, menghirup aroma maskulinnya. Memejamkan mata, hanya ingin merasakan Minos sepenuhnya, tidak peduli pada pemandangan luar yang begitu menggoda.

Waktu 30 menit memutari bianglala sudah habis. Setelah menghabiskan waktu berkeliling London sejenak—permintaan Albafica tentu saja, mereka akhirnya dalam perjalanan pulang sekarang. Albafica tertidur di kursi penumpang, dan Minos menyetir dengan perasaan kacau—ia senang bisa membahagiakan Albafica, hanya saja rasanya—kenapa jadi ia yang susah sekali menerima fakta. Padahal Albafica saja dengan begitu kuatnya bisa bertahan dalam menghadapi sakitnya.

Albafica lebih banyak tersenyum setelah sampai di rumah, lebih banyak berkumpul—dan ikut mengobrol bersama meski tetap tidak mau duduk terlalu berdekatan, mungkin sudah bawaannya. Sampai Dégel pun agak heran, sayangnya itu tidak bertahan lama, saat menjelang malam yang seharusnya ia sudah mengistirahatkan tubuhnya di tempat tidur. Minos menemukannya tergeletak di lantai.

"Albafica!" panggil Minos, sama sekali tidak mendapat balasan reaksi sekecil apapun. "Dégel, Dite!" ia kemudian berteriak memanggil orang-orang yang masih bersantai di ruang kaca.

Dégel yang muncul lebih dahulu, ikut berlutut, memeriksa kondisi Albafica—menemukan ruam-ruam yang semakin banyak di kulit yang selalu tertutup baju lengan panjang. "Sejak kapan rashes ini muncul—dan ini lebih parah."

"Aku baru menyadarinya semalam," ucap Minos, mengangkat tubuh Albafica dan membaringkannya di ranjang. "Mulutnya pun terkena stomatitis."

"Kita pindahkan dia ke Rumah Sakit," kata Dégel kemudian.

"Tapi... Aku tidak mau kalau kakak—" Aphrodite sudah ingin menangis, menggenggam tangan Angelo erat—mencari kekuatan dari sana.

"Dite, dia tidak bisa lagi di sini, akan terlalu berbahaya." jelas Dégel. "Sudah termasuk luar biasa Albafica bisa bertahan selama ini, padahal aku pikir beberapa bulan yang lalu dia akan mengalami infeksi oportunistik."

Shura merangkul pundak Aphrodite, "Dégel benar, Dite... Di Rumah Sakit, Albafica akan mendapat perawatan yang lebih baik."

Dégel melihat Albafica lagi, mengecek beberapa tanda infeksi di kulitnya lebih saksama. "Kekebalan tubuh Albafica tidak bisa bertahan lagi, sudah hancur, dia bisa mengalami pendarahan hebat sewaktu-waktu. Dan dari rashes-nya, aku khawatir kanker kulit—dan bahkan kelenjar getah beningnya pun aku yakin sebentar lagi akan terserang juga."

"Lakukan saja yang terbaik, Dégel." kata Minos, entah sudah sekacau apa suaranya saat mengatakan itu. Kecemasannya terbukti, Albafica bahkan seperti sudah berpamitan padanya.

.

Untuk ketiga kalinya, untuk yang terakhir kalinya—fakta kehilangan dihadapkan di depan mata Minos. Setidaknya ia memiliki waktu lebih banyak daripada dua masa sebelumnya, yang hanya berisi kematian sebelum sempat menjadikan Albafica miliknya. Tapi saat Albafica sudah berada dalam rengkuhannya—rasanya tidak lebih baik, rasanya lebih menyakitkan kehilangan sesuatu yang seharusnya bisa dimiliki lebih lama. Kalau pun Albafica bertahan, umur akan menggerogoti juga. Seperti itulah manusia, waktu akan memusnahkan kehidupan mereka pada akhirnya.

Tiap kali Minos berada di Rumah Sakit—ia bahkan tidak meninggalkan Rumah Sakit sama sekali, meski sesekali keluar—untuk berganti pakaian atau makan yang hanya dilakukan secepatnya. Ia tidak bisa meninggalkan Albafica di ruangan penuh peralatan yang ia tidak peduli apa namanya—yang itu tidak berguna, karena Albafica tetap saja semakin kehilangan kesadaran. Dari pemeriksaan dokter-dokter yang mengawasi di sini, sel-sel otak Albafica sedikit demi sedikit mulai mati. Lalu apa gunanya alat-alat tersebut? Yang dimatanya itu justru tampak membuat Albafica semakin menderita, kalau menuruti maunya, ia ingin merenggut semua alat yang melingkupi tubuh kekasihnya.

Demi Zeus... Apakah tidak ada yang bisa ia lakukan? Baru sekarang Minos sefrustasi ini, bahkan sampai berdoa menyebut nama ayahnya—yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya.

"Kau harus pulang dan istirahat, Minos." kata Aphrodite, ia baru datang dan langsung melihat kakaknya yang terlindung dari udara luar—di dalam ruang karantina berlapis kaca.

Minos tidak membuka mulutnya, lidahnya terasa begitu kelu untuk sekedar berbicara. Matanya pun tak pernah lepas dari tempat Albafica terbaring. Semakin lama ia tidak tahan, terkadang Albafica sedikit membuat gerakan dan mengerang menahan seluruh penyakit yang mendera tubuhnya.

'Thanatos!'

Teriak Minos di dalam benaknya, seolah Dewa itu akan mendengar saja. Ia lalu keluar, menutup pintu ruangan khusus itu dan menekuk lututnya lalu duduk di lantai, menyandarkan punggung ke dinding yang dingin. Ia tidak peduli seberantakan apa penampilannya, atau sekusut apa rambutnya. Beberapa kali ia menyisirkan jemarinya ke rambut keperakannya itu—bukan untuk merapikan, tapi mencengkeramnya beberapa saat.

"Thanatos! Berapa lama lagi?!" rasanya ia kembali berteriak, tapi suaranya tertahan hanya seperti geraman yang memantul di koridor kosong.

"Tidak lama lagi,"

Suara itu tidak membuat Minos mendongakkan kepala, ia mengenalinya—tanpa perlu dilihat pun yang berdiri di hadapannya pasti sang pemuda berambut hitam dengan bintang hitam di kening. Seorang Dewa Kematian.

"Dia menderita, Thanatos. Aku tidak tahan lagi melihatnya begitu kesakitan seperti itu." kata Minos merana, "Hentikan penderitaannya, hentikan sekarang."

"Kau merelakannya, sekalipun setelah ini kau tidak bisa lagi bertemu dengannya—selamanya?" tanya Thanatos, sambil melangkah ke arah pintu "Kau sudah memperkirakan berat kebaikan, atau keburukan sifatnya yang terkikis habis karena sakitnya—Rhadamanthys memutuskan Elysium, bukan?"

"Karena di sanalah dia akan bahagia, dia tidak akan memiliki kenangan buruk—dia akan mendapat kehidupan yang begitu indah." kata Minos, "Aku merelakannya,"

Sebelum Thanatos benar-benar masuk, dan mengambil kehidupan Albafica. Ia menoleh ke arah Minos satu kali lagi, "Tapi Minos, kau pun berhasil membuatnya bahagia kali ini,"

Dan yang Minos dengar kemudian adalah suara kepanikan Aphrodite, juga beberapa dokter yang melangkah tergesa, lirih alat-alat medis yang berbunyi panjang. Semua yang terjadi di sekitarnya tampak mengabur—langkah kaki seperti dipercepat, ucapan-ucapan pembicaraan juga seperti dengung. Minos sendiri tidak bergerak dari posisinya, memeluk lututnya, dan menyembunyikan wajahnya di sana—kali pertama dari beberapa masa hidupnya, ia menangis.

'Selamat jalan, Albafica. Selamat jalan, Kekasihku. Selamat jalan menuju tempat di mana kau akan menemukan kebahagiaan sejati.'

-o-o0o-o-

FIN

-o-o0o-o-

Rio de Janeiro. Minos berdiri di sana, di bawah patung Christ The Redeemer. Keindahan alam terbentang di sepanjang mata memandang, di sini—Albafica dulu ingin berdiri di tempat ini. Dan setangkai mawar merah Minos letakkan, hanya sebuah tanda kecil untuk mewujudkan impian Albafica.

Selanjutnya adalah Venesia yang menjadi tujuan Minos. Berdiri di sebuah jembatan, terlalu banyak jembatan karena kota itu sebagian besar berupa perairan, sungai tidak ada habisnya. Dengan perahu-perahu kecil melintas, membawa pasangan yang bersenang-senang, atau menikmati waktu berbulan madu. Ia memutar-mutar setangkai mawar merah yang dibawanya, wangi bunga itu seperti wangi Albafica. Dan ia menjatuhkan bunga itu ke sungai.

"Venesia, Albafica..." gumam lirih Minos.

Masih banyak yang akan dikunjungi Minos, termasuk Jepang, Roma. Mungkin juga akan ke Prancis. Tapi sekarang ia berdiri Yunani. Di tanah dimana semua bermula.

Sanctuary. Masih sama seperti beratus tahun yang lalu—reruntuhan yang sama, kuil-kuil berjajar menuju ke atas bukit yang lebih tinggi. Tempat terdekat dengan kekuasaan para Dewa, tempat dimana kekuatan Dewa bukan hanya disebut mitos belaka. Di sinilah para prajurit Athena ditempa. Minos berdiri di mana dulu terdapat lautan bunga mawar, mawar beracun yang membunuh beberapa anak buahnya. Meneruskan langkahnya, ia sampai pada undakan-undakan pertama menuju kuil Aries.

Seorang pemuda menggunakan Gold Cloth Aries yang menunggu Minos di ujung tangga. "Suatu kehormatan, seorang Hakim Neraka berkunjung ke Sanctuary." ucapnya, "Saya Aries Kiki, jika ada urusan dengan Pope—mari, saya antar."

"Bukan, aku hanya ingin mengunjungi kuil Pisces."

"Dengan Pisces Amour kalau begitu?"

"Bukan juga, bukan untuk bertemu siapapun, hanya untuk mengenang salah satu Pisces pendahunya."

Sang Aries muda memimpin jalan. Membiarkan Hakim Neraka itu mengikutinya, melihat Minos yang tidak begitu tertarik bercakap-cakap ia pun diam. Dan sampai pada kuil Pisces, dimana Amour sedang bermalas-malasan di depan kuilnya—mereka hanya berbasa-basi singkat, kemudian membiarkan Minos masuk ke kuil itu. Meletakkan setangkai mawar putih di lantainya.

'Ini adalah rumahmu, Albafica... Aku sudah membawamu pulang ke Yunani.'


DONE!

Fic pertama di fandom Saint Seiya. Ada perasaan lega, karena untuk tahun ini—fandom ini yang akan menjadi destinasi saya—semoga. Selain waktu yang saya obrak-abrik, saya juga mencampur unsur Mitologi untuk asal usul tiga Hakim Neraka, bahwa mereka adalah anak-anak Zeus. Termasuk kekuasaan sebagai Hakim juga dari Zeus.

Terima kasih sudah membaca.