Mereka bersahabat sejak kecil, ia, Naruto, juga Shion, sebenarnya mereka berempat, hanya saja Uchiha Sasuke, sepupunya juga sahabat dekat Naruto ada di Amerika bersekolah disana.

Sejak kecil mereka bertiga selalu menghabiskan waktu bersama, kemana pun, dimana pun, mereka tidak akan pernah berpisah. Hingga seiringnya bertambah usia ada banyak hal yang berubah, selain penampilan mereka, perasaan pun juga berubah terhadap satu sama lain.

Ia yang sejak kecil selalu bertengkar dengan Naruto, menghantam pemuda itu jika melakukan kekonyolan, malah jatuh cinta pada pemuda tersebut. Sahabat laki-lakinya yang sangat di sayanginya. Tapi sayang cintanya itu bertepuk sebelah tangan, Naruto memilih Shion dibandingkan dirinya.

Ia tahu, sejak awal Naruto tidak akan pernah melihatnya, pemuda itu hanya melihat dirinya sebagai adik yang disayangi dan dilindungi. Berbeda dengan Shion, sejak kecil keduanya memang sudah menunjukkan ketetarikan satu sama lain. Terlihat dari cara mereka bertatapan dan saling berbicara.

Trigernya, saat mereka kelas 2 sekolah menengah pertama, Naruto memberitahu bahwa pemuda itu telah berpacaran dengan Shion. Bagaikan gelas yang jatuh ke lantai, perasaannya hancur berkeping-keping, hatinya hancur dan itu sangat sakit. Tapi meskipun begitu, ia tetap menyungingkan senyum sebisanya dan memberikan ucapan selamat kepada mereka.

Ino Yamanaka tahu, saat memeluk Shion dan Naruto, perasaannya tak lagi sama terhadap keduanya.

.

.

You Are My destiny

Naruto © Masashi Khisimoto

Rate : M

Pairing : NaruSaku, SasuHinaGaa.

Fic abal yang sangat gaje, bikin muntah, pusing dan mual dll.

.

.

.

You Are My destiny 8

.

.

.

"Dia menciumku di depan banyak orang."

Ino mengerjapkan matanya sesaat, memastikan bahwa kupingnya memang tidak salah dengar, malam itu Shion datang ke rumahnya hanya untuk memberitahu apa yang dialaminya sore tadi bersama Naruto. Curhat lebih tepatnya.

Di depannya, sahabatnya —atau lebih tepatnya mantan sahabatnya— tampak memerah wajahnya seperti kepiting rebus. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa, tapi yang jelas sesuatu tak kasat mata telah mengiris hatinya ketika mendengar ucapan Shion barusan.

Ia dan Shion adalah sahabat baik sejak kecil sebelum mereka bertemu dengan Naruto. Rumah yang berdekatan membuat mereka selalu bersama, hingga orangtuamu adalah orangtuanya juga. Ino akan melakukan apa pun untuk sahabatnya. Namun semua itu telah berubah ketika Shion berpacaran dengan orang yang dicintainya, semuanya berubah, ia menjadi sedikit dingin dan acuh tak acuh pada perempuan itu. Tapi meski begitu Ino masih tetap berteman.

"Aku kira itu bukan yang pertama kalinya Naruto menciummu?"

Shion mengangguk gugup, wajahnya masih memerah, ia menatap sekelilingnya takut jika ada yang mendengarnya, padahal di dalam kamar hanya ada mereka berdua.

"Tapi tetap saja aku malu. Dia menciumku di depan pengunjung taman Inokashira." Jelasnya dengan suara bergetar, lalu segera menutupi kedua pipinya yang memanas. Ino tertawa pelan membodohi sikap polos atau munafik Shion. Ia meninju bahu gadis bersurai pirang yang sama dengannya itu pelan.

"Dasar. Berapa umurmu sekarang? Ciuman adalah hal yang biasa dilihat orang-orang zaman sekarang."

Shion mendengus masih dengan pipinya yang memerah. "Tapi tetap saja aku malu."

Ino mendecak. "Dasar idiot." Ia berdiri dari tempat duduknya dan pergi dari kamar tersebut.

Shion hanya bisa bisa tersenyum canggung. "Kau mau kemana, Ino-chan?" Panggil Shion pada Ino yang berjalan menjahuinya. "Aku belum selesai berbicara denganmu!"

Ino menatapnya, "ada yang mau kuambil di dapur," ucapnya sambil berlalu dari hadapan Shion tanpa menengok kebelakang lagi.

Shion tersenyum sedih memandang punggung teman sepermainan kecilnya itu. Ia tidak bodoh menyadari bahwa Ino menjauh dan dingin terhadapanya. Semenjak ia berpacaran dengan Naruto, sikap Ino berubah total.

Shion tahu, persaan Ino kepada Naruto. Ia tahu bahwa sahabatnya itu menyukai kekasihnya. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa, ia mencintai Naruto dan Naruto juga mencintainya. Kalau saja Naruto mencintai Ino, mudah saja ia merelakan cintanya itu untuk sahabatnya. Tapi, siapa sangka kalau Naruto ternyata juga menyukainya.

Ketika Naruto memintanya menjadi kekasihnya, tanpa pingkir panjang Shion langsung menerimanya. Ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Baginya bersama dengan Naruto adalah impiannya sejak ia masih sekolah dasar.

Shion menghela nafas pelan, ia melirik jam tangannya, sebentar lagi Naruto akan datang menjemputnya, malam ini mereka akan berkencan. Sebelum pergi dari kamar sahabatnya, Shion melirik sebentar meja kecil di samping tempat tidur Ino, bukan mejanya yang menarik perhatian Shion, melainkan bingkai photo yang menampilkan dirinya dan Ino kini dalam posisi tertutup, pastilah Ino yang membalikkannya.

Wajah Shion berubah sendu. Perasaan bersalah menghinggapinya.

"Maafkan aku Ino-chan."

.

Dari balkon kamarnya, Ino bisa melihat Shion yang baru keluar dari rumahnya tampak sangat bahagia ketika melihat siapa yang datang menjemputnya.

Ino mendengus, siapa lagi kalau bukan Naruto, pemuda yang disukainya. Tanpa sadar kedua tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. Perasan iri, marah, dan benci hadir begitu saja dalam hatinya. Ia iri melihat kedekatan Shion dengan Naruto, apalagi saat ini mereka berdua berpegangan tangan, tertawa bersama, Ingin sekali rasanya Ino kesana melabrak keduanya, menampar Shion yang berani-beraninya mengambil pemuda yang disayanginya. Tapi nyatanya ia tidak bisa, ia benci, benci dirinya yang lemah, ia benci kepada Shion, Ia ingin menghancurkan hubungan itu, memisahkan Shion dari Naruto, meski itu akan merusak pertemanannya, tak apa, toh sejak mereka memutuskan pacaran retakan itu sudah ada.

Yang diinginkannya hanya Naruto. Ia hanya ingin Naruto, bukan Shion.

.

"Kenapa kita disini?"

Shion melihat gedung pencakar langit di depannya dengan pandangan takjub. Gedung itu terlihat paling tinggi dari gedung disamping-sampingnya. Sangking tingginya gedung itu terlihat menyeramkan, apalagi dengan langit malam yang menghiasinya.

"Ini dimana? Katanya mau menunjukkan tempat yang indah."

Naruto nyengir. "Ya, tapi bukan disini. Tepatnya ada di lantai atas perusahaan Namikaze crop."

"Hah?"

"Kenapa mukamu kayak alien gitu sih. Biasa aja dong." Naruto terkekeh geli melihat ekpresi terkejut Shion yang menurutnya lucu.

Shion menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku hanya sedikit terkejut. Aku tidak menyangka bahwa seorang yakuza juga mempunyai sebuah perusahaan. Dimana-mana yakuza kan kaya, pendapatan mereka setiap bulan lebih dari apa yang dihasilkan oleh satu perusahaan yang maju sekalipun, jadi untuk apa mempunyai perusahaan kalau sudah punya banyak uang?"

Naruto tertawa pelan mendengar ucapan panjang Shion. "Keluarga kami berbeda dari grup yakuza-yakuza yang lain, Shion-chan. Keluarga kami bermain aman." Ia tersenyum lalu menggandeng tangan kekasihnya dan masuk ke dalam perusahaan Namikaze crop. "Setidaknya dalam pengamatan kacamataku seperti itu."

"Kau berhutang banyak cerita padaku, Tuan Namikaze."

Naruto mendengus. "Baiklah. Jadi aku harus mulai darimana?"

"Dari awal."

Naruto mengangguk. "Sebenarnya keluarga kami tidak ada yang berdarah yakuza sama sekali, baik pihak keluarga ibu atau ayah mereka hanya orang biasa, seperti orang pada umumnya. Ibu adalah seorang Ibu rumah tangga, sedangkan ayah hanya seorang pegawai biasa di perusahaan ternama di Tokyo."

Shion tersentak, gadis itu tampak terkejut, tapi tak mengatakan apa-apa dan Naruto kembali melanjutkan ceritanya.

"Ayah bekerja di Surotobi Crop, perusahaan milik sahabat ayahku yang bernama Kizahi Haruno, yang ternyata adalah cucu dari ketua grup yakuza yang sangat terkenal di jepang. Dan nama grup yakuza itu adalah Haruno Group."

"Haruno Group!" Shion menjerit kaget. "Astaga! Kalau tidak salah, itu kan nama grup yakuza yang mendominasi seluruh kota jepang."

Naruto meringis. "Ya. Itu benar." Para penjaga yang melihat kedatangan Naruto segera menunduk hormat dan membukakan pintu untuk sepasang kekasih itu masuk.

"Lalu... Kenapa bisa? Kamu? Keluargamu?"

"Ceritanya panjang. Tapi intinya ketua dari grup yakuza itu mati karena dibunuh, dan disinilah awal masalahnya dimulai. Ketua itu memiliki dua cucu laki-laki dari anak tunggalnya yang juga sudah mati, Orichimaru Haruno, dan Kizashi Haruno. Sebelum mati, rupanya ketua itu sudah menulis surat wasiat, dimana nama calon penerusnya dan Kizashi lah yang dipilih."

Mereka berdua lalu masuk ke dalam lift, menuju lantai paling atas.

"Lalu?"

"Aku tidak begitu tahu ceritanya seperti apa, tapi kata ayah, Orichimaru marah besar. Dia tidak terima adiknya menjadi ketua karena menurutnya dialah yang lebih pantas mendapatkan posisi itu karena dia adalah cucu pertama. Jadi dia melakukan hal nekat, dia mencoba membunuh adiknya untuk mendapatkan posisi itu. Tapi usahanya digagalkan oleh ayahku dan Orichimaru pun diusir sekaligus dicopot marganya dari Haruno. Setelah pengusiran itu, ayah pun diangkat menjadi tangan kanannya ketua Kizashi. Hanya beberapa bulan, sahabat ayah itu mati karena sakit. Sesuai amanat beliau, ayah pun ditunjuk menjadi ketua yakuza dari Haruno Group yang sekarang menjadi Namikaze Group. Perusahaan ini juga sebenarnya milik Haruno, cuma namanya diganti menjadi Namikaze karena ayah yang menjabat sebagai ketuanya, dan selesai. "

"Hmm, hanya seperti itu?"

"Ya. Hanya seperti itu, cerita asal mula bagaimana keluargaku bisa menjadi yakuza. Saat

kejadian itu umurku juga masih sembilan tahun, jadi belum terlalu mengerti situasi saat itu."

Shion mengangguk, mencoba mengerti walau sebenarnya ia kurang puas dengan cerita Naruto. Ia merasa ada yang janggal, apalagi dengan kematian Kizashi. Entah kenapa Shion merasa pria itu mati bukan karena sakit, tapi... entahlah, ia tidak mau asal menebak.

"Lalu, apa ketua Kizashi ini tidak mempunyai keluarga lain selain kakaknya? Istri atau anak misalnya?"

"Tidak. Setahuku tidak ada. Aku tidak pernah melihatnya bersama wanita atau memiliki anak. Kenapa kau bertanya seperti itu? Kau mau pacaran dengan anaknya kalau dia punya anak?"

"APA!" Shion memelototi Naruto yang tertawa.

"Bercanda sayang."

"Dasar baka."

lift yang membawa mereka ke atas berhenti. Naruto langsung menarik tangan Shion keluar dari dalam kotak besi itu, menaiki tangga sebentar dan sampailah mereka dipuncak menara. Hempasan angin langsung menerpa tubuh keduanya ketika Naruto membuka pintu yang terbuat dari besi.

"Wow," Shion memandang takjub pada lapangan luas di depannya. Ditambah lagi penerangan lampu kota membuat pemandangan dari atas terasa luar biasa indah. Shion berlari kecil, menghampiri tembok pembatas yang tingginya hanya sebatas dadanya dan berpegangan disana. Matanya berbinar cerah ketika memandang ke bawah hamparan kota yang sangat menakjubkan.

"Kau menyukainya?" Naruto tiba-tiba sudah berada dibelakangnya, kedua lengannya melingkari disekitar tubuhnya.

"Aku suka?" Gadis itu menolehkan kepalanya, matanya berbinar cerah. "Aku sangat menyukainya." lalu sebuah kecupan kecil mendarat di bibir Naruto dan setelah itu Shion kembali menatap ke bawah.

Naruto tersenyum, kecupan kecil ia daratkan di pelipis Shion, pelukannya semakin erat. Sesaat keduanya terdiam, menikmati pemandang dibawahnya atau hanya Shion menikmatinya, karena sedari tadi Naruto tampak sedang berpikir.

"Ah... disini sangat menakjubkan sekali. Kenapa kau baru membawa ku kesini sih?" Keluh Shion, tak mengalihkan pandangannya sedikit pun.

Naruto tidak membalas ucapan Shion. Pemuda itu masih berpusat pada pikirannya.

"Naruto?"

"Shion?" Mereka memanggil bersamaan.

"Ya?" Barulah gadis itu menoleh kesamping, memandang Naruto dengan bingung. "Apa?"

"Aku akan bertunangan dengan pilihan orangtuaku."

Nafas Shion tertahan. Wajahnya tampak syok. "A-apa?!"

"Orangtuaku menjodohkanku."

"Ke... Kenapa? Kenapa bisa? Kamu menolaknya kan?" Suaranya tercekat, kini mereka berhadapan dengan tangan Shion menyentuh lengan Naruto, bahkan tanpa sadar ia sedikit mencengkram otot pemuda itu. Dadanya terasa sakit ketika mendengar berita itu.

Naruto tak kuasa melihatnya, tapi Shion harus tahu dengan rencana kedua orangtuanya yang berniat menjodohkannya dengan gadis lain. "Aku belum tahu. Aku belum memutuskannya."

"Kenapa belum? Kamu pasti menolaknya kan? Kau mencintaiku Naruto." Suaranya berubah serak, setetes air mata jatuh turun membasahi pipinya yang pucat.

"Aku mencintaimu. Tapi aku juga tidak bisa membantah uca..." Naruto tak menyelesaikan ucapannya ketika melihat Shion menangis sekarang. Ada tikaman tajam pemuda itu rasakan. Sungguh ia tidak tega harus jujur, ia tidak ingin menyakiti kekasih hatinya itu.

"Sama siapa Naruto? Sama siapa? Kenapa kau tidak menolaknya?" Shion sesegukan, ia tak bahagia mendengar rencana tunangan itu. Bukankah pemuda itu mencintainya? lalu kenapa tidak menolak? kenapa? Kecemasan hebat melandanya, ia tak suka Naruto bertunangan dengan gadis lain selain dirinya. Mimpi-mimpinya untuk membangun rumah tangga bersama Naruto perlahan memudar.

Naruto menghela nafas berat, jantung Shion berdetak kencang, Mereka saling bertatapan, mata Shion berkilauan oleh air mata, menatap Naruto dengan kesedihan yang tak terbendung.

"Aku tidak tahu, tapi yang jelas beberapa hari lagi aku akan bertemu dengannya."

"Jadi aku ini siapamu, Naruto?"

"Kau gadisku. Kau akan menjadi ibu dari anak-anakku."

"Lalu kenapa kau bertunangan dengan orang lain kalau kau mencintaiku?" Tangis Shion semakin menjadi, ia tak siap harus berpisah dengan Naruto.

Naruto tak menjawab pertanyaan Shion, ia membiarkan gadis itu menyelesaikan tangisnya. Sebenarnya ia tak tega harus jujur, tapi Shion harus tahu semuanya, jika pertunangannya benar-benar tidak bisa dibatalkan, ia mau gadis itu sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari agar tidak terlalu sakit hati nantinya.

"Maafkan aku."

.

Desah nafas kelelahan berpacu dari mulut keduanya yang masih berpelukan dalam ketelanjangan. Keringat deras membanjiri seluruh tubuh mereka. Untuk beberapa saat lamanya, mereka berdua hanya terdiam, membiarkan waktu berlalu dan mencoba memperoleh kembali nafas mereka yang menipis.

Hinata harus akui, malam ini Sasuke cukup ganas menyentuhnya. Dimulai dari ia membukakan pintu apartement, tahu-tahu pemuda itu langsung memeluknya erat, menciumnya dengan tiba-tiba, mendorongnya ke arah dinding ruang tamu, selanjutnya yang terdengar ditelinganya adalah suara robekan kain dan lenguhan kenikmatan yang keluar dari bibirnya dan geraman Sasuke.

Hinata tahu ada yang salah pada Sasuke malam ini. Meskipun mereka bercinta pikiran kekasihnya itu berada di tempat lain. Dan Hinata tahu apa yang tengah dipikirkan kekasihnya itu.

"Kau baik-baik saja?"

Hinata tersentak ketika merasakan sentuhan lembut di punggungnya yang terbuka, tubuhnya merinding sesaat. "S-Sasuke-kun..." Suara Hinata tampak bergetar.

"Mmm?" Dari belakang Sasuke mengecup lembut leher Hinata, membuat si empunya semakin bergetar karenanya.

"Ada apa denganmu malam ini?" Tanya Hinata pelan. Berusaha mencoba untuk tidak melenguh keras saat Sasuke semakin kuat mencium lehernya. Menancapkan gigi kuatnya disana, memberi banyak tanda merah.

Sasuke terdiam. Pemuda itu memeluk Hinata erat dari belakang. Menyembunyikan wajahnya di leher sang kekasih. Menghirup aroma kekasihnya yang memabukkan. "Tidak ada apa-apa." Lirihnya.

"Kau bohong!" Tuding Hinata. Sasuke diam tak menjawab, Hinata menarik napas dalam-dalam. Mengabaikan rasa sakit ditubuhnya terutama pinggangnya yang terasa amat sakit, Hinata bangkit dari tempat tidur dan meringkuk ke dalam dada Sasuke yang bidang. "Kau tidak pandai berbohong, Sasuke-kun."

Sasuke menghela napas, menggerakkan tangannya untuk memeluk pinggang Hinata, membawa tubuh polos di depannya semakin rapat padanya. "Aku hanya tak ingin kau khawatir."

"Tapi, justru kamu yang seperti ini membuatku khawatir. Ada apa sebenarnya, Sasuke-kun?"

Sasuke tak segera menjawabnya, ia punya banyak alasan di kepalanya.

"Kau, Nana."

Hinata menautkan alisnya dan mendongak, menatap Sasuke bingung.

"Aku mengkhawatirkanmu, setiap waktu aku mencemaskanmu, aku tidak ingin kau terluka karena bersamaku, aku hanya ingin kau menjalani hidupmu dengan normal tanpa harus dibanyangi ancaman dari kakekku, aku... Aku tak mau kehilanganmu."

"Stttt... Kau tidak akan kehilanganku, Sasuke-kun. Aku janji."

"Siapa yang tahu, Nana. Diluar sana, ada mata-mata kakekku sedang mengawasimu, menunggu waktu yang tepat unttuk mencelakaimu dan memisahkanmu dariku. Kau tahu kan, kau adalah segalanya bagiku. Kau nafasku. Aku takut..."

"Hentikan! Tidak ada yang akan memisahkan kita, Sasuke-kun. Tidak ada. Hanya Kami Sama yang bisa memisahkan kita, bukan kakekmu atau orang-orang suruhannya. Jadi jangan pikirkan hal itu."

Lalu sebuah ciuman Hinata daratkan di bibir Sasuke, menghisap bibir bawah pemuda itu dan mengigitnya kecil-kecil. Dan berlanjut dengan lumatan-lumatan pelan yang di dominasi Hinata atas pemudanya.

Sasuke melepaskan pagutan mereka, lalu menangkup wajah Hinata, menatap langsung ke manik amesty indah milik kekasihnya tersebut.

"Kau tahu, memilikimu adalah hal yang paling kuinginkan selama ini. Aku ingin memilikimu secara utuh, disisiku sampai aku mati. Aku tak bisa membayangkan jika nanti ada yang memisahkan kita."

Hinata mengangguk pelan, diciumnya telapak tangan Sasuke dipipinya dan menempelkan tangannya ditangan Sasuke. "Aku tahu. Aku pun sama sepertimu. Aku tidak perduli apapun yang terjadi kedepannya nanti, Sasuke-kun. Yang terpenting sekarang adalah kau bersamaku, begitu terus dan selamanya. Asal kau terus bersamaku, aku tidak akan pernah takut menghadapi ancaman kakekmu, Sasuke-kun."

Setelah mengatakan hal itu, Hinata langsung manarik tengkuk Sasuke dan mencium pemuda itu rakus. Membalik posisi mereka hingga kini Hinata berada diatas tubuh Sasuke.

"Lupakan semuanya, Sasuke-kun! Lupakan ancaman kakekmu! Hilangkan semua kekhawatiranmu! Aku ada disini, Aku akan ada selalu bersamamu!"

Ucapan Hinata yang berbisik dimulutnya itu membuat Sasuke hilang kendali. Semakin dirapatkannya tubuh Hinata ketubuhnya, mencium perempuan itu dengan rakus dan keras.

Meskipun baru saja selesai bercinta, tak menyurutkan gairah Sasuke untuk menyentuh Hinata kembali, gairahnya seakan tak pernah habis jika berdekatan dengan gadisnya. Dengan tidak adanya sehelai benangpun ditubuh, Sasuke langsung menyatukan tubuh mereka hingga semua terasa semakin lengkap. Malam itu di apartement Hinata, yang terdengar dari kamar, hanya rintihan dan desahan. Bunyi alat kelamin yang saling bertabrakan, konstan seiring dengan tubuh Hinata yang naik turun.

Dalam keremangan cahaya, Sasuke dapat melihat keindahan payudara Hinata yang bergoyang menggodanya. Sasuke mengangkat tubuhnya, berubah menjadi duduk, tangannya yang besar menahan punggung basah Hinata saat ia menghisap payudara gadis itu yang entah kenapa terasa makin besar terakhir kali ia berkunjung.

Hinata menggelinjang kegelian saat lidah Sasuke bergerak berputar membasahi putingnya yang sensitif lalu menghisap payudaranya rakus secara bergantian, dan pada saat bersamaan juga ereksi pemuda itu mulai bergerak keluar, menyisakan ujungnya sedikit lalu masukkannya kembali ke dalam vagina Hinata dengan kuat. Hinata mengerang, ia merasa nyaman saat Sasuke beraada di dalam tubuhnya, semuanya terasa pas.

Hinata memandang Sasuke yang merangsang payudaranya, kedua tangannya menarik gemas rambut Sasuke, sedangkan gerakan dibawah sana semakin lama semakin cepat. Erangan demi erangan semakin sering terdengar keluar dari bibirnya. Sasuke melepaskan mulutnya dari payudara Hinata dan rebah kembali ke atas ranjang, kedua tangannya memegang pantat Hinata, meremasnya sambil membantu tubuh gadis itu naik turun semakin keras. Hentakan tubuh meraka kini semakin tidak beraturan, terlihat bulir-bulir keringat keluar dari pori-pori Hinata, tubuhnya yang basah kuyup oleh keringat, tampak berkilauan ditimpa cahaya lampu tidur. Pemandangan itu semakin membuat Sasuke terbakar gairahnya.

Hinata mempercepat goyangannya pada kejantanan Sasuke, menghentakkan dengan liar seiring orgasmenya datang menghadang. Hinata tak bisa menahannya lebih lama lagi, pandangannya mulai berkabut, otot vaginanya berkontraksi dengan hebat, mulutnya memekik melepaskan himpitan yang menyumbat saluran pernafasannya. Melihat pemadangan itu membuat gairah Sasuke semakin memuncak, dengan kasar dibalikkannya tubuh Hinata lalu dihempaskan ke ranjang dengan kuat. Hinata memekik kesakitan sekaligus kenikmatan, Sasuke memasukan kejantanannya tak sabar, Hinata langsung membelitkan tungkainya ke pinggang Sasuke saat pemuda itu menggoyangnya dengar keras.

"Ohhh... Ahhhh.."

Sasuke terus bekerja dibawah. Kedua tangannya memegang pinggang Hinata agar ereksinya semakin masuk kedalam tanpa menyisakan ruang sedikitpun, membuat Hinata semakin menggila. Tanpa sadar gadis itu berteriak sangat nyaring, menyebut nama laki-laki yang dicintainya saat orgasme datang menghadangnya.

Semua jauh dari kata selesai. Sasuke belum keluar. Ia akan terus memasuki kekasihnya hingga ia mendapatkan kepuasannya. Ia ingin selalu bersama Hinata, menempelkan tubuh mereka, tidak ada yang boleh memisahkannya, sekalipun itu kakeknya.

'Tetap selalu bersamaku Nana.'

.

"Masuklah. Sudah malam, nanti kau masuk angin."

Mereka berdua berdiri berhadapan di depan pagar rumah Shion. Mata gadis itu bengkak akibat terlalu lama menangis.

"Kau tidak masuk?" ia mencoba menawarkan.

"Tidak. Masuklah."

Shion mengigit bibir bawahnya resah, sejak pengakuan jujurnya, Naruto terlihat tak banyak bicara, bahkan pemuda itu tak menjelaskan tentang status hubungan mereka sekarang.

"Masuklah." Naruto berkata dengan dingin, mata Shion berkaca-kaca bahkan bibirnya bergetar. Tapi ia menganggukkan kepalanya, menuruti perkataan Naruto. Baru satu kali melangkah, lengannya sudah lebih dulu ditarik oleh pemuda itu dan bibir mereka pun bertemu.

Satu persatu air mata jatuh di pipi Shion, ia menangis lagi, entah kenapa ciuman kali ini terasa berbeda, ia merasa Naruto akan pergi meninggalkannya.

"Tunggu aku. Aku akan menyelesaikan semuanya. Setelah itu kita akan bersama-sama selamanya. I love you Shion Senju." Naruto mengucapkannya setelah melepaskan ciuman mereka, tanpa menunggu balasan dari Shion, pemuda itu pergi dari hadapannya dan meng-gas motornya laju.

Ino yang saat itu keluar dari rumah untuk membeli cemilan malam, berdiri mematung. Ino terkejut dan juga sakit hati ketika tadi melihat Naruto dan Shion sedang berciuman. Dengan cepat gadis bersurai blonde itu masuk kembali ke dalam rumahnya dengan air mata berlinang.

Ino bersandar di dinding, menutup matanya dan tenggelam dalam sakit hati yang teramat sangat. Banyangan Shion dan Naruto yang berciuman membuat hatinya terasa sakit luar biasa.

Ino tertawa pedih. Sepuluh tahun lamanya ia menunggu, tapi tak ada sedikitpun tanda-tanda Naruto akan melihatnya. Pemuda itu hanya akan selalu melihat Shion dan tidak akan pernah melihat dirinya yang selalu menunggunya di belakang pemuda tersebut.

"Ino?"

Ino mendongak, dilihatnya sepupunya, anak angkat dari pamannya itu turun dari tangga, menghampirinya. Pemuda itu terlihat kebingungan ketika melihat keadaan ino yang sekarang. Mata sembab dan air mata yang mengalir. Bukannya tadi perempuan itu bilang ingin belanja cemilan di toko terdekat rumahnya. Kenapa sekarang... Pemuda itu bergegas menghampiri Ino.

''Ino? Hei, kenapa menangis?"

"Sai." Ino berucap lirih, dan menghambur kepelukan Sai, mengadu segala perasaannya pada lelaki itu, apa yang dilihatnya barusan."

"Kenapa? Kenapa sesakit ini, Sai? Kenapa?" Tanya ino, sesekali memukul dadanya agar rasa sakit disana berkurang. Tapi percuma, sekuat apapun ia memukul dadanya sakit itu tetap akan disana, membekas dengan jelas, menyakitinya secara nyata.

"Hentikan! Jangan menyakiti dirimu sendiri." Sai menangkap pergelangan tangan Ino yang masih saja terus memukul dadanya. Ia tidak ingin melihat gadis dicintainya itu menyakiti dirinya sendiri.

Gadis dicintainya? Ya. Gadis yang sudah dicintainya beberapa tahun belakangan ini. Gadis yang sudah menolak cintanya karena hanya mencintai Namikaze Naruto. Sakit? Sangat teramat sakit menerima kenyataan itu, tapi meski begitu sai tidak menyerah. Ia terus menunjukkan cintanya pada ino, menunjukkan bahwa cintanya lebih besar dari pada cinta ino ke Naruto, tapi percuma Ino tetap tidak akan pernah mau melihatnya. Ironis memang. Tapi itulah yang dipilih Sai. Ia tetap akan berada dibelakang gadis itu, menunggu sampai Ino mau melihatnya kebelakang bahwa ia selalu menunggu cinta Ino.

'Kenapa kau menyakitiku dengan kejam, Ino. Lihatlah aku disini yang lebih mencintaimu, berkali-kali lipat dari pada lelaki itu. Hah... Tapi meski kau menyakitiku, tak membuat cintaku hilang begitu saja, malah membuatnya semakin bertambah setiap harinya.' Ucap Sai dalam hatinya, ia memeluk Ino lebih erat lagi, membelai kepala gadis itu pelan, Ino sedikit mulai terlihat tenang. Gadis itu bersyukur malam ini Sai ada dirumahnya. Rasa sakit dihatinya karena kejadian yang dilihatnya tadi sedikit pudar karena ada Sai disampingnya disaat ia butuh. Tapi disaat bersamaan ia juga merasa bersalah pada pemuda tersebut, karena lagi-lagi ia menyakiti hati pemuda itu. Ia tahu bahwa Sai mencintainya.

'Maaf Sai.'

.

.

Sudah sebulan sejak pertemuannya yang terakhir dengan Naruto, Shion tak pernah lagi bertemu dengan pemuda itu, baik disekolah, maupun ketika ia berkunjung ke rumahnya, pemuda itu menghilang. Hampir setiap hari Shion meneteskan air mata karena tak mendapatkan kabar sedikitpun dari sang kekasih, sampai-sampai ia sendiri jatuh sakit. Belum lagi ditambah dengan perubahan sikapnya Ino, Shion merasa gadis itu mengabaikannya, baik disekolah, dirumah, atau tak sengaja bertemu, Ino melewatinya begitu saja, mengabaikan panggilannya. Ia tak tahan, ia butuh sahabatnya.

Besoknya Shion mencegat Ino yang hendak masuk ke dalam rumahnya. Mereka berdua berdiri di depan pagar rumah Ino, hari sudah sore.

"Apa maumu?" Tanya Ino tanpa basa-basi lagi. Suaranya terdengar dingin dan tidak suka. Shion kaget.

"Ada apa denganmu? Kau menghindariku beberapa hari ini."

Ino hanya mendengus sinis mendengar pertanyaan Shion, ia beranjak dari sana, ingin masuk ke dalam rumahnya tapi lagi-lagi dihalangin Shion. Ino menggeram.

"Kamu kenapa?"

Plak.

Ino menepis keras tangan Shion yang menarik lengannya. Rasa benci di dalam dadanya semakin besar ketika melihat wajah Shion, apalagi mengingat kejadian beberapa malam yang lalu, membuatnya ingin mengacak wajah gadis di depannya. Ia sakit hati.

"Aku membencimu," ucap Ino tajam dan pedas.

Mata Shion berkabut, siap meneteskan air matanya. "Kenapa? Apa karena Naruto?"

"Ya."

Shion terdiam cukup lama. Ia tidak tahu harus berbicara apa. Sudah ia duga semua perubahan sikap Ino karena hubungannya dengan Naruto.

"Ino... Aku dan Naruto..."

"Cukup." Ino memotong ucapan Shion. Ia sudah muak, ia tidak tahan berdekatan dengan orang yang sangat dibencinya itu. "Pergi dan jangan pernah muncul lagi dihadapanku. Aku membencimu.'

Sudah. Selesai. Shion tak lagi menghentikan Ino, ia membiarkan sahabat pirangnya itu masuk ke dalam rumahnya. Ia terlalu syok sehingga tak sempat menghentikan langkah gadis itu.

Air matanya turun, Shion menangis lagi. Setelah kehilangan Naruto apa ia akan kehilangan sahabatnya juga.

Tak jauh dari rumah Ino, sebuah mobil bewarna hitam, dimana didalamnya ada seorang laki-laki yang memakai kaca mata sedang tersenyum misterius, ia mengambil handphonenya dan menelfon seseorang. Ia menunggu beberapa saat dan telfonnya pun diangkat.

"Hiks... Sai?"

"Shion? Kau kenapa menangis?"

.

Setelah sebulan lamanya pergi dari manshion, ini pertama kalinya Naruto memutuskan untuk pulang, itu pun kalau bukan karena Kushina yang memohon-mohon, ia tak mau pulang. Ia tak berniat kembali lagi hidup bersama kedua orangtuanya jika masih saja dijodohkan dengan perempuan lain. Ia lebih memilih tinggal bersama Kakashi, ayah baptisnya yang tinggal di UK dari pada harus menuruti keinginan orangtuanya.

Naruto masuk kedalam gerbang , melintasi taman di depan Manshionnya dengan motor besarnya. Saat ia akan masuk ke dalam manshion sebuah suara menghentikan langkahnya.

"Sakit..."

Pemuda berusia enam belas tahun itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling taman mencari asal suara itu, samar-samar ia bisa mendengar suara tangisan dan ia pun mendekati asal suara itu. Tak jauh dari sesemakan mawar yang sudah bermekaran, seorang bocah memakai topi rubah tampak terisak pelan sambil meniup luka dilututnya yang tergores. Serta merta Naruto pun menjulurkan tangannya ke depan untuk membantu bocah perempuan yang diperkirakan berusia sembilan atau sepuluh tahun itu.

"Kenapa bisa terjatuh?"

Melihat ada tangan yang terjulur ke arahnya, Sakura pun mendongak dan melihat seorang pemuda bertopi hitam sedang tersenyum hangat kepadanya dan sepasang mata secerah langit yang memandangnya dengan penuh kelembutan. Sakura pun langsung terpesona dibuatnya.

Dengan lembut Naruto membantu gadis kecil itu berdiri, membersihkan kotoran yang menempel di pakaiannya, berhati-hati agar tidak menyentuh lututnya yang berdarah lalu berdiri dan menggendongnya saat Sakura mulai menangis lagi.

"Kenapa bisa terjatuh?" Tanya Naruto lagi sambil membawa gadis itu ke dalam manshion.

Sakura tak langsung menjawabnya. Ia hanya terdiam mendengar kata-kata pemuda itu. Kenapa ia bisa terjatuh? Entahlah, ia hanya ingin melihat mawar yang bermekaran di taman depan manshion. Tanaman indah milik teman ibunya itu sudah menarik perhatiannya di dalam mobil ketika melintasi di taman tadi. Lagi pula kedua lututnya terasa perih sehingga ia tidak menjawabnya dan hanya bisa menangis.

Tak kunjung mendapat jawaban Naruto hanya bisa diam dan tangannya tak berhenti mengusap pelan punggung di dekapannya yang berguncang.

"Sstttt, berhentihlah menangis. Lututmu akan baik-baik saja, aku janji akan mengobatinya nanti."

Ajaib, tangis Sakura pun langsung berhenti mendengar ucapan pemuda itu. Detik itu juga ia merasa tubuhnya diturunkan dan melihat pemuda itu berjongkok di depannya.

"Siapa namamu?"

"Sakura."

Wajah pemuda itu menoleh ke samping lalu mengulurkan tangannya untuk memetik sekuntum mawar bewarna pink. Naruto berbalik dan menatap kembali Sakura sambil melepaskan topinya, membuat surai pirangnya berantakan tapi tak mengurangi ketampanannya.

Naruto tersenyum, memamerkan senyuman yang mengalahkan hangatnya sinar mentari pagi. "Nama yang cantik sama cantiknya seperti mawar ini. My Flower."

Sakura menerima mawar itu dengan jantung berdebar keras dan pipi merona. Ia ingat, pemuda di depannya adalah oji-san yang ditabraknya ditaman Inokashira beberapa minggu yang lalu. Dan hari itu, untuk pertama kalinya Sakura jatuh cinta pada pandangan pertama.

.

.

.

.

.

Tbc.

I am backkkkkkkk...

Hehehehehehehe, berpa lama aku abaikan fict ini? Kayaknya setahun lebih hihihi. Maaf, maaf, maaf. Bukan maksud untuk mengabaikan tapi memang untuk YAMD aku sudah gak da feelnya lagi. Because aku buat fict ini sebelum komik Naruto tamat, dan pas tahu endingnya bagaimana langsung makjleb banget di hati T.T dan yeahhh... YAMD pun jadi kena imbasnya. Sempat ada niat mau hapus ini fict tapi sayang banyak yang nunggu, banyak yg PM, BBM suruh lanjutkan cerita ini #terharu

Terimakasih sebanyak-banyaknya bagi yang sabar menunggu fict ini. Tanpa senpai-senpai apalah Fict ini. #peluksatu-satu. Gak bisa berkata apa-apa lagi, but aku harap chap ini gak mengecewakan. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menemukan feel untuk cerita ini, tapi dasar sudah gak da feel jadi ya maaf jika chap ini jelek banget, makin gak jelas(seperti yang banyak dibilang orang).

Makasih juga buat yg sering PM aku Ringohanazono6, PM kamu yang paling banyak masuk ke kotak suratku. ;)

Sooo... jangan lupa riviewnya, saran dan masukan sangat diperlukan untuk kelayakan dan kelanjutan fict ini.

Maaf jika next chap ngaret banget. ^^

P.s: makasih buat Riela- Nacan udah bantu updatekan. Makasih sayangku #peluk-peluk

Salam hangat

Cherry Uzumaki.