HURT

Naruto © Masashi Khisimoto

Rate : T

Pairing : NaruSaku

Fic abal yang sangat gaje, bikin muntah, pusing dan mual dll.

.

Sebelum membaca fict ini saya saranin sebaiknya terlebih dulu membaca 1 hati 2 cinta. Entah kenapa saya ingin membuat sekuel dari fict 1 hati 2 cinta. Kali ini aku buat multhichapter.

.

So, Don't like don't read~!

.

Summary: Sakura memutuskan untuk berpisah dan bercerai dari Naruto setelah tahu bahwa Naruto mempunyai istri lain selain dirinya. Hinata yang sangat cantik, muda, dan mampu memberinya keturunan. Perpisahan itu membuat dirinya tersakiti secara fisik dan rohani begitupun juga yang dirasakan Naruto. bagaimana akhir kisah mereka?

.

Happy reading.

Chapter 4

.

Masih dalam usaha menumpulkan kesadarannya, Sakura mengerjapkan mataya beberapa kali, membiasakan diri dengan cahaya sinar matahari yang menerobos masuk ke ventilasi kamar yang di tempatinya.

Setelah membiasakan diri, Sakura bangkit perlahan dari tempat tidurnya menuju ke kamar mandi untuk menyegarkan diri dan setelah itu membantu Ino menyiapkan sarapan pagi. Tapi wanita bersurai pink itu mengeryit heran ketika tidak menemukan Ino di dapur, biasanya Ino lah yang paling cepat bangun karena wanita itu harus mengurus keperluan suaminya sebelum berangkat kerja.

'Mungkin dia bangun kesiangan karena semalam Kiseki cukup rewel karena demam.' Pikirnya. Menarik nafas pelan, Sakura bergegas untuk membuat sarapan.

.

"Kau sudah bangun rupanya." Sakura dengan cepat menoleh ketika mendengar suara berat yang dikenalinya betul.

Tersenyum, Sakura mengangguk pelan. "Mau berangkat kerja, Kakakku yang tampan?" Tanya Sakura.

Pria berjas hitam itu mengangguk dan tersenyum. Sai telah rapi dengan setelan kerjanya dan juga tasnya. Pria itu menghampiri konter dapur dan mengambil gelas kopi yang entah sejak kapan di buat. 'Mungkin Ino yang membuat' pikir Sakura. Ia tak terlalu memperhatikan tadi.

"Ino-chan belum bangun?" Tanyanya lagi.

Masih tersenyum Sai menjawab, "ah, Ino tadi pagi sudah pergi bersama ibu untuk mengantar Kiseki berobat," balasnya, membuat Sakura cukup sedikit terkejut mendengarnya. "Dan dia bilang mungkin sedikit telat pulangnya."

"Apa Kiseki demamnya semakin parah?" Tiba-tiba saja Sakura sangat mencemaskan keadaan bayi laki-laki Ino itu.

"Demamnya sudah turun tadi malam, tapi aku tetap memaksanya untuk membawa Kiseki hari ini ke dokter. Untuk berjaga-jaga saja kalau-kalau ada apa-apa."

Sakura mengangguk mengerti dan menghela nafas lega. Sai tersenyum melihat ekpresi Sakura yang sangat mengkhawatirkan anaknya. Pria bersurai hitam itu menyesap kopinya lagi beberapa teguk sambil membaca koran pagi sedangkan Sakura tengah menyiapkan sarapan pagi untuk mereka berdua.

"Naruto kemarin menelponku." Sai membuka pembicaraan. Memecahkan keheningan di antara mereka.

Tubuh Sakura menegang saat mendengar sebuah nama yang di ucapkan oleh bibir Sai. Sakura terdiam. Sai melanjutkannya lagi.

"...dia bertanya, apakah kau ada dirumah kami?" Sai memperhatikan Sakura dengan seksama. Ia mencoba membaca ekpresi wanita di depannya itu, melihat bagaimana reaksi Sakura ketika ia memberi tahu bahwa Naruto kemarin menelfonnya.

"Kau memberitahunya bahwa aku ada disini?"

"Ya. Aku memberitahuinya."

Sakura membulatkan matanya tak percaya. Piring yang dipegangnya meluncur begitu saja ke lantai. Pecah menjadi beberapa bagian. Sakura menatap tak percaya pada Sai.

"Dia ingin menemuimu. Tapi aku melarangnya. Aku bilang padanya, dia boleh bertemu denganmu asal kau sendiri yang mau menemuinya.''

Sakura masih terdiam. Wanita itu menundukkan wajahnya.

"Dia tampak putus asa Sakura. Dia menderita karena kepergianmu. Kembalilah, selesaikan masalah kalian dengan baik-baik. Jangan bersembunyi lagi."

Sakura menggelengkan kepalanya cepat. "Tidak Sai. Aku tidak bisa menemuinya." Ucap Sakura serak. Wanita bersurai pink itu mengkat wajahnya dan menatap Sai yang juga menatapnya, "aku tidak bisa." Entah sejak kapan cairan bening itu telah mengalir di kedua pipi Sakura. "Aku tidak bisa, Sai."

Lalu yang terdengar selanjutnya adalah suara isakan tangis Sakura yang membuat hati Sai pilu seketika. Pria beranak satu itu memutuskan bangkit dari duduknya, menghampiri Sakura, lalu memeluknya hangat. Pelukan sebagai seorang saudara laki-laki kepada adiknya.

"A-aku... Aku..."

"Sttt... Aku tahu kau takut Sakura. Aku tahu kau takut bertemu Naruto. Takut berpisah dengannya. Kau sangat mencintai Naruto." Ucapnya ketika merasakan Sakura makin terisak sambil menggenggam erat kemejanya yang basah oleh air mata wanita itu.

Sai membelai belakang kepala Sakura lembut. "Tapi tolong jangan seperti ini. Kau bisa menyelesaikan masalahmu dengan baik-baik bukannya lari seperti ini. Kau tahu, kau bukan hanya menyakitimu sendiri tapi juga Naruto dan orang-orang terdekatmu. Aku, Ino, dan juga yang lainnya juga merasakan sakit seperti yang kau rasakan Sakura."

Sai sudah menganggap Sakura sebagai adiknya kandungnya sendiri. Maka dari itu ketika melihat Sakura seperti ini membuat hati Sai berdenyut sakit. Wanita itu kehilangan sinarnya semenjak memutuskan pergi dari Naruto. Sai masih ingat dengan jelas, bagaimana marahnya dirinya ketika mendengar dari Ino-Istrinya yang mengatakan bahwa Sakura datang malam itu dan memutuskan tinggal ditempat mereka untuk sementara waktu karena ada masalah dengan Naruto dan memutuskan bercerai. Sai yang mendengar hal itu segera masuk ke dalam kamar tamu untuk mendengar cerita itu langsung dari mulut Sakura. Dan betapa marahnya Sai saat melihat kondisi Sakura saat itu, mata bengkak, menangis dalam tidur, dan mengigau nama Naruto. Hampir saja dia membangunkan Sakura kalau saja Istrinya tak menahannya. Karena Ino bilang Sakura baru saja tertidur beberapa jam yang lalu karena imsomnianya yang kambuh.

"Temuilah Naruto, Sakura. Keadaan Naruto saat ini sangat tidak baik."

Sakura melepaskan peluknya, menatap Sai dengan segugukan. Sai menghela nafas, pria itu menghapus air mata Sakura pelan.

"Naruto dan wanita itu sudah berpisah beberapa hari yang lalu."

Dan Sakura kaku dibuatnya.

.

Siang itu juga, di antar oleh Sai akhirnya Sakura memutuskan untuk pulang ke konoha. Sebelum berangkat, Sakura menyempatkan menelfon kakaknya, Haruno Sasori. Tangisannya langsung pecah begitu saja ketika mendengar suara sang kakak untuk pertama kali setelah hampir tiga bulan ia tidak pernah bertemu ataupun sekedar menelfon kakaknya, menanyakan kabarnya. Sakura sangat merindukan saudara kandung satu-satunya itu.

Setelah setengah jam lamanya ia menelfon Sasori, akhirnya ia mematikan panggilan tersebut setelah sebelumnya mengatakan bahwa dia akan pulang hari ini di antar Sai dan ditanggapi suka cita oleh kakaknya. Sebelum telfon itu benar-benar tertutup Sakura berpesan pada kakaknya, untuk tidak memberitahu kepulangannya pada Naruto karena ia sendiri yang akan bertemu dengan Naruto, menyelesaikan urusan mereka yang belum selesai dan kakaknya pun mengiyakan.

Sakura cukup syok, sewaktu Sai memberitahunya tentang perpisahan Naruto dengan Hinata, setelah mengorbankan perasaannya, melepaskan Naruto, pada akhirnya Naruto tidak sama siapa-siapa.

Setelah cukup tenang, ia diajak Sai untuk menemui Naruto untuk menyelesaikan masalah mereka yang belum selesai. Mempertahankan pernikahannya atau mengakhirinya. Tapi bukankah Naruto sudah berpisah, seharusnya ia mengambil kesempatan ini untuk kembali bersama Naruto. Ia mencintai Naruto. Naruto pun juga mencintainya. Semuanya sudah jelas.

Tapi...

"Sudah siap?"

Sakura tersadar dari pemikirannya ketika mendengar suara Sai. Menarik nafasnya sejenak lalu menatap Sai yang duduk di kursi pengemudi.

"Aku siap." Ucapnya mantap. Sai mengangguk lalu menghidupkan mesin mobil. Meninggalkan perkarangan rumah Ino.

.

Mereka semua menunggunya di depan rumah.

Ino ada disana. Kakaknya, Karin, Sasuke, Shikamaru, dokter kepercayaan keluarganya, Uchiha Itachi kakak dari Uchiha Sasuke, serta orang yang terakhir yang selalu menjadi keresahan Sakura setiap hari, setiap waktu, setiap jam, setiap menit, setiap detik, selain Naruto, Ibu. Ibunya yang telah melahirkannya. Ibunya yang kini duduk di kursi roda menantikan kehadirannya.

Sakura tak bisa menahannya lagi untuk tidak menangis. Melihat wajah sang Ibu, membuat wanita bersurai pink itu langsung keluar dalam mobil, berlari, menghampiri sang ibu yang merentangkan ke dua tangannya untuk segera dipeluk.

Sakura mendekap tubuh wanita tua itu dengan erat. Wanita yang telah melahirkannya ke dunia. Wanita yang telah membesarkannya tanpa pamrih.

Sakura menangis, tersedak, meminta maaf pada sang ibu karena telah membuatnya khawatir karena kepergiannya bahkan juga membuat wanita itu sempat jatuh sakit.

"Maafin Sakura, Ma. Maafin Sakura."

"Jangan pergi lagi, Sakura. Jangan pergi lagi. Jangan tinggalin Mama dan kakakmu. Kau tidak tahu betapa khawatirnya Mama karena kau menghilang berbulan-bulan lamanya. Mama sangat khawatir padamu nak. Cukup Mama kehilangan Ayahmu, jangan lagi kamu. Mama akan mati kalau kau pergi lagi."

Sakura meraung.

"Maafkan aku. Maafkan tidak akan meninggalkan Mama. Tidak lagi. Aku akan selalu bersama Mama dan juga kakak."

Sakura semakin menangis keras. Tersedak beberapa kali hingga membuat tenggorokannya sakit.

"Maafkan aku, Ma."

.

Tiga bulan sudah berlalu sejak perpisahannya dengan Hinata, membuat seorang Namikaze Naruto gila bekerja. Tak memperdulikan waktu, selalu berkutat dengan dokument-dokument di atas meja kerjanya. Menghabiskan waktu dengan memaksakan diri bekerja dari pagi hingga larut malam bahkan tak jarang sampai menginap dikantor. Jarang berbicara dan minim ekspresi.

Badannya terlihat lebih kurus. Wajahnya pucat. Dan terlihat menyedihkan.

Pria itu benar-benar berubah.

Melihat itu, Kushina berusaha untuk berbicara pada Naruto. Tapi Naruto menutup bibirnya rapat dan memberikan alasan bahwa dia sedang banyak pekerjaan di kantor. Kushina tahu putranya itu berbohong tapi dia tidak mau memaksakan Naruto untuk bercerita. Tapi kalau dibiarkan berlarut-larut seperti ini, perlahan tapi pasti kondisi anaknya itu akan semakin bertambah parah. Bagaimana pun Kushina turut andil atas perubahan sikap putranya. Naruto berubah karena perpisahannya dengan Hinata. Hinata berpisah karena Kushina yang memintanya.

Tapi Naruto tidak berpikir seperti yang dipikirkan Kushina. Ia menjadi gila kerja hanya karena ingin membuat dirinya tetap sibuk hingga bisa melupakan masalahnya yang cukup pelik. Membuatnya untuk tetap waras. Pria bermanik biru laut itu di buat frustasi oleh sahabat-sahabatnya yang tak kunjung mengijinkan untuk bertemu Sakura, sebelum Sakura sendiri yang menginginkannya untuk bertemu dengannya.

Naruto putus asa. Dia hampir gila.

Belum lagi perpisahannya dengan Hinata 3 minggu yang lalu masih meninggalkan kesedihan yang mendalam untuknya.

Awalnya Naruto marah dengan keputusan sepihak Hinata yang memintanya untuk berpisah. Sudah cukup ia dibuat pusing dengan urusan Sakura dan kini malah ditambah lagi dengan Hinata yang meminta berpisah. Ia menyanyangi wanita itu. Tapi bibirnya langsung terkatup rapat ketika Hinata meminta memilihnya antara dia dan Sakura. Naruto tidak bisa menjawab. Ia mencintai Sakura begitu pun juga Hinata. Ia tidak bisa memilih salah satu di antaranya. Ia egois? Ya. Ia serakah? Ya.

Dia tidak ingin bercerai dengan Hinata.

Tapi wanita yang telah memberikannya satu orang anak itu sudah membulatkan tekadnya untuk berpisah dari Naruto dan Naruto tahu, ia tidak bisa mencegahnya. Mungkin ini yang terbaik untuk mereka berdua. Tidak akan membuat Hinata sakit hati lagi karena sikapnya yang plinlan dan serakah.

Naruto mencoba menghargai keputusan Hinata.

Ketika tanda tangan digoreskan dalam kertas dan stempel telah di capkan, semuanya telah usai.

Mereka berpisah secara baik-baik.

Naruto masih dapat menemui putranya. Berteman baik pada Hinata.

Kini hanya tinggal urusannya dengan Sakura yang belum selesai. Naruto berharap Sakura masih mau kembali bersamanya. Masih mau menerima pria bajingan sepertinya. Walau kemungkinannya kecil, tapi ia sangat berharap.

.

"Masih belum bisa bertemu dengannya, ya?" Tanya Karin saat mereka berada di dalam lift menuju lantai empat dimana mereka akan mengadakan rapat. Siang itu Karin menemani Sasori ke perusahaan Namikaze untuk rapat disana dan tanpa sengaja bertemu dengan Naruto di dalam lift. Karin kira Naruto sendiri sudah berada di ruang rapat, mengingat Naruto adalah CEO di perusahaan Namikaze.

"Kalian yang melarangku bukan."

Karin meringis mendengar ucapan datar Naruto tanpa ada emosi di dalamnya. "Maaf," ucapnya.

Naruto menghela nafas sejenak. Lalu kembali sibuk dengan pikirannya sendiri. Sedangkan Karin hanya bisa menatap prihatin pada Naruto. Adik ipar calon tuangannya itu terlihat sangat muram dan menyedihkan.

Tidak dapat menemui Sakura rupanya memberikan dampak untuk pria itu. Menyiksanya secara fisik dan juga mental.

Ya memang benar apa yang dikatakan Naruto tadi. Mereka semua memang melarang Naruto bertemu dengan Sakura, karena tak ada jaminan jika mereka bertemu, Sakura akan baik-baik saja. Sakura masih takut bertemu dengan Naruto. Karena itu mereka menyuruh Naruto untuk menunggu sampai Sakura sendiri yang mau menemuinya.

Keadaan Sakura sendiri tak jauh berbeda dengan Naruto, meskipun terlihat kurus tapi setidak wanita bertubuh kecil itu sehat. Sakura tidak pernah terlihat lagi murung dan kini terlihat kembali ceria. Tapi mereka semua tahu dibalik keceriaan itu tersimpan duka yang dalam.

Sebenarnya Ingin sekali Karin memberitahu Naruto bahwa Sakura sudah pulang ke konoha. Setidaknya kabar itu sedikit membuat Naruto sedikit terlihat cerah, tapi niat itu diurungkannya mengingat Sakura memintanya untuk tak memberitahu Naruto. Lagi pula ia tidak ingin ikut campur lebih jauh lagi dalam masalah calon adik iparnya. Biarlah mereka yang menyelesaikannya sendiri. Karin hanya bisa berharap apapun keputusan yang mereka ambil adalah yang terbaik buat mereka berdua.

.

"Apa kabar?"

"Baik. Bagaimana denganmu dan juga si kecil?

"Aku tak pernah sebaik ini. Dan si kecil... Yeah, seperti yang kau lihat dia sehat."

Sakura mengangguk pelan lalu menyesap kopi expressonya yang dia taruh di samping tempat duduknya dengan beberapa kali teguk. Sedangkan tangan satunya menahan agar balita dipangkuannya tidak merosot turun. Balita berusia satu tahun itu bergerak-gerak lincah saat tangan mungilnya yang gemuk mengapai-gapai meminta gelas kopi Sakura. Sakura tersenyum gemas. Diciumnya puncak kepala balita itu. Kou memandang Sakura yang cantik dengan sepasang mata biru bulatnya. Mata yang menurun dari sang ayah.

Sore itu, Sakura memutuskan untuk ke taman kota konoha karena bosan di rumah. Semenjak ia pulang, belum pernah sekali pun ia keluar dari rumah. Sasuke yang saat itu berkunjung ke rumahnya, menawarkan diri untuk mengantar Sakura. Tapi Sakura langsung menolaknya halus, dia bilang dia ingin jalan sendiri ke taman. Lagi pula letak taman dengan rumahnya tidak terlalu jauh. Sasuke pun mengiyakan.

Dan siapa sangka, ditaman itu tanpa sengaja mempertemukannya dengan Hinata yang sedang membawa anaknya ke taman. Dan disinilah mereka berdua. Duduk di salah satu bangku taman berdua. Sakura tak tahan ingin menggendong Koumi saat balita menggemaskan itu menggapai-gapai ke arahnya meminta di gendong.

"Aku sudah berpisah dari Naruto, dan kau pasti sudah mengetahuinya bukan?" Tanya Hinata, mengalihkan tatapan Sakura dari bayi wanita di sampingnya itu.

Sakura mengangguk pelan. "Ya. Aku mengetahuinya beberapa hari yang lalu dan aku sedikit terkejut. Kenapa? Bukankah kau ingin bersamanya" Tanya Sakura balik. Memandang Hinata dengan tatapan penasarannya.

Hinata tidak memandang Sakura balik. Wanita bersurai hitam itu justru menatap anaknya yang ada di pangkuan Sakura. Balita itu tengah menarik-narik rambut pink Sakura. Sepertinya Koumi sangat menyukai Sakura. Buktinya ketika mereka bertemu tadi, Koumi langsung berontak di pelukannya, meminta sang ibu agar menyerahkannya pada Sakura.

"Aku memutuskan berpisah dengannya bukan karena aku tidak mencintainya. Aku mencintainya. Sungguh. Aku ingin memilikinya dengan utuh tanpa bayang-bayangmu. Tapi semua itu tidak mungkin, sampai kapanpun bayanganmu itu tetap akan ada. Naruto akan terus mencintaimu. Dia tidak akan bisa melepaskanmu atau pun meninggalkanmu."

"Tapi dia juga mencintaimu, Hinata."

"Memang benar." Hinata menatap Sakura yang juga menatapnya. "Dia mencintaiku tapi tak sebesar rasa cintanya kepadamu."

Keduanya terdiam sesaat menyisakan keheningan di antara mereka. Hanya terdengar suara pengunjung di taman dan suara kecil Kou yang terdengar seperti, uuuu...aaa...uuu... Tak lama berselang Hinata lalu mulai tertawa pelan. "Sekuat apapun aku berusaha untuk memiliki Naruto, Naruto tidak akan pernah melihatku. Di hatinya hanya ada kamu Sakura. Hanya kamu. Walau pun aku juga ada disana, kemungkinan itu hanya kecil. Dan aku tidak ingin menjadi wanita yang egois, mempertahankan Naruto di sisiku sedangkan dia tangah kesakitan karena kehilanganmu. Aku tidak bisa menyakitinya lebih dari itu. Dengan semua keegoisanku, aku tidak pantas bersamanya."

"Hinata..."

"Kembalilah bersama Naruto, Sakura." Potong Hinata cepat sebelum wanita bersurai pink itu menyelesaikan ucapannya. "Dia membutuhkanmu Sakura. Hidupnya tak berarti tanpamu. Hidupnya kacau setelah kau meninggalkannya."

Sakura terdiam. Wanita itu menggigit bibir bawahnya, tak tahu harus menjawab apa ucapan Hinata barusan. Sakura memang ingin sekali kembali pada Naruto. Tapi setelah apa yang dilakukan Naruto padanya, membuat hatinya tersakiti begitu dalam karena menduakannya, apa ia bisa kembali bersama pria itu. Jujur Sakura takut. Ia takut jika kembali bersama Naruto, pria itu akan menyakitinya lagi, kembali pada Hinata karena Naruto masih mencintainya ditambah lagi ada anaknya bersama wanita itu. Sakura takut. Dia tidak siap untuk disakiti lagi.

Melihat diamnya Sakura, Hinata tahu apa yang dirasakan wanita di sampingnya itu. Ragu. Sakura ragu untuk kembali bersama Naruto. Tapi entah kenapa mengetahui hal itu membuat Hinata merasa lega. Wanita beranak satu itu menggenggam salah satu tangan Sakura yang mengepal erat.

Sakura memandang tangannya yang digenggam Hinata lalu memandang manik amesty wanita tersebut. Dilihatnya Hinata tersenyum lembut kepadanya. "Kembalilah. Dia tidak akan menyakitimu lagi. Pegang ucapanku. Kalau sampai dia menyakitimu lagi, ada aku dan anakku, ahh, tidak anak kita bersama, yang akan menghajar ayahnya kalau menyakiti ibunya yang cantik ini."

Sakura kemudian membekap mulutnya dan mulai terisak pelan. Mata emeraldnya semakin banyak mengeluarkan cairan bening. Sakura menundukkan kepalanya dan tubuhnya bergetar hebat. Wanita itu tak bisa menahan tangisnya lagi.

Hinata tertawa pelan lalu mengelus kepala Sakura lembut. Tak ada rasa sakit di hati Hinata saat menyuruh Sakura kembali kepada Naruto. Yang ada justru perasaan lega dan bebas. Hinata tidak menyesali keputusannya untuk berpisah dengan Naruto.

Karena Ini yang terbaik untuk jalan mereka semua.

Hinata tak kuasa menahan ketawanya saat melihat putra kesayangannya itu tengah menepuk-nepuk kepala Sakura dengan tangan montoknya, seakan menyemangati Sakura. Sakura mengadah, memandang takjub pada Kou. Kou langsung terpekik senang saat Sakura langsung memeluk tubuh balita itu dan sedikit menggelitiknya gemas.

Suara tawa ketiga manusia di bangku taman itu seketika menjadi pusat perhatian mata pengunjung ditaman tersebut.

.

Sakura memandang pintu apartement di depannya ragu. Jemarinya yang kurus berulang kali maju-mundur tak jadi menekan bel apartement di depannya. Sudah lima belas menit lamanya ia seperti itu, cuma berdiri di depan pintu seperti orang idiot dan tangan yang selalu bergerak maju-mundur tak jelas.

Sakura menggigit bibir bawahnya gelisah. Apakah keputusannya ke apartement Naruto sudah tepat. Ia sendiri juga tidak tahu. Yang jelas niatnya malam itu adalah menemui Naruto untuk menyelesaikan urusan mereka yang belum selesai.

Setelah pembicaraannya dengan Hinata empat hari yang lalu dan sedikit mempertimbangkannya, akhirnya Sakura memutuskan untuk menemui Naruto. Tapi ketika sampai di depan apartement suaminya itu, Sakura hanya bisa terpaku dan bingung. Entah kenapa tiba-tiba saja ia tidak siap bertemu dengan Naruto.

Baru saja Sakura melangkahkan kakinya, memutuskan untuk menunda bertemu dengan Naruto tiba-tiba saja, dari dalam apartement terdengar suara ribut yang cukup keras dan juga pecahan kaca.

Panik. Itu yang Sakura rasakan. Dengan cepat wanita bertubuh kurus itu mengedor-gedor pintu apartement Naruto.

Dok. Dok. Dok.

"Naruto, buka pintunya. Apa yang terjadi denganmu? Buka pintunya, Naruto. Apa kau baik-baik saja? NARUTO, JAWAB AKU!" Sakura berteriak lantang.

Tak ada jawaban. Sakura panik. Wanita itu semakin keras menggedor pintu apartement Naruto beberapa saat. Tapi, lagi-lagi tak ada jawaban. Panik. Takut. Tubuhnya bergetar hebat. Air mata telah membasahi pipinya yang pucat. Dengan tangan gemetar, wanita itu mengambil ponselnya dalam tas dan menekan tombol spedd dial.

Sasori langsung menjawab pada dering pertama.

"Halo?" Suara disebrang sana.

"Sasori-nii, tolong aku. Naruto... Naruto... Tolong aku, Sasori-nii."

.

Tiga puluh menit berlalu bagaikan neraka bagi seorang Namikaze Sakura. Wanita itu tak henti-hentinya mondar-mandir di depan ruangan, dimana di dalam sana ada suaminya yang sedang diperiksa oleh dokter.

Masih segar dalam pikiran Sakura, bagaimana ia menangis panik saat menelfon kakaknya, Sasori, meminta pria itu datang ke apartement Naruto segera karena Sakura merasakan firasat yang buruk. Dan benar saja, ketika kakaknya membuka pintu dengan terburu-buru dengan kunci cadangan yang dimintanya pada resepsionis dibawah, Sakura langsung menjerit tertahan. Wanita itu langsung merasakan pukulan keras dalam hatinya saat melihat Naruto terbujur lemah tak sadarkan diri di ruang tamu serta gelas kaca pecah berserakan dan benda kaca yang lainnya.

Selama perjalanan ke rumah sakit, tak henti-hentinya Sakura meminta maaf pada suaminya yang terbaring tak sadarkan diri di pangkuannya dan juga menyuruhnya untuk membuka mata. Sakura sangat takut. Melihat bagaimana kurus dan pucatnya Naruto, membuat wanita bersurai pink itu berpikiran yang tidak-tidak. Sakura takut Naruto pergi meninggalkannya, sedangkan dia belum memberitahu Naruto tentang keinginannya untuk kembali pada pria tersebut. Pria yang dicintainya sekaligus yang menyakitinya.

"Tenanglah Sakura. Naruto akan baik-baik saja," ucap Sasori, mencoba menenangkan adik kesayangannya yang sedari tadi mondar-mandir dengan wajah gelisah. Sesekali wajah adiknya itu melihat melalui jendela yang ada di pintu ruangan Naruto.

"Aku tidak bisa tenang, Sasori-nii. Belum tenang kalau dokter itu belum keluar dan bilang bahwa Naruto baik-baik saja."

Sasori menghela napas sebentar lalu mengangguk pelan. Mencoba mengerti kekhawatiran adiknya dengan kondisi Naruto.

"Apa Sasori-nii sudah menelfon Mama Kushina, memberitahu bahwa Naruto masuk rumah sakit?" Tanya Sakura setelah beberapa saat terdiam.

Sasori mengangguk. "Sudah. Mungkin sebentar lagi akan sampai kesini." Tak lama setelah Sasori mengatakan hal itu, seorang dokter dan dua orang suster ke luar dari ruangan Naruto. Baik Sakura mau pun Sasori segera menghampiri dokter tersebut.

"Bagaimana dengan keadaan suami saya, dok?" Tanya Sakura cepat.

Dokter berjenis kelamin laki-laki tersebut tersenyum, "dia akan segera sembuh. Hanya kelelahan, dehidrasi, serta makan yang tidak teratur dan juga imsomnia. Setelah istirahat total beberapa hari dia akan sehat kembali."

Mendengar penjelasan dokter membuat Sakura menghela napas lega. "Syukurlah. Thanks, God. Apakah aku bisa menemuinya sekarang, dok?"

"Masuklah. Tapi jangan ribut karena saat ini Tuan Naruto sedang istirahat." Sakura mengangguk mengerti.

"Terimakasih dok," ucap Sasori. Dokter itu hanya tersenyum lalu menepuk bahu Sasori sebentar lalu berlalu dari sana.

"Kau ingin masuk?" Tanya Sakura sebelum masuk ke dalam ruangan Naruto.

Sasori menggelengkan kepalanya. "Tidak. Kau saja. Aku akan menunggu bibi Kushina disini."

Sakura mengangguk lalu memasuki ruangan Naruto. Dengan langkah memburu Sakura mendekati Naruto, duduk di pinggir ranjang pria itu. Meraih pelan-pelan tangan Naruto yang kurus dan menggenggamnya dengan kedua tangannya. Menciumnya lembut disana.

"Kenapa kau seperti ini, Naruto?" Sakura berbisik pelan. Salah satu tangannya membelai pipi Naruto selembut mungkin. Wajah Naruto pucat, pipinya mencekung, badannya yang kurus, dan tulang-tulangnya kelihatan. Melihat Naruto yang mengerikan seperti ini membuat hati Sakura berdenyut sakit. Benarkah. Benarkah Naruto seperti ini karenanya. Karena kepergiannya. Seperti yang dikatakan orang-orang sekelilingnya bahwa keadaan Naruto tidak pernah baik semenjak ia memutuskan pergi dari kehidupan pria tersebut.

Sakura terisak pelan. Air matanya turun membasahi wajahnya lalu ke tangan Naruto yang dia genggam dan taruh di pipinya.

"Kenapa Naruto? Kenapa? Seharusnya kau bahagia bersama Hinata. Bersama anakmu. Bukannya menyiksa dirimu seperti ini." Bisik Sakura lagi.

Sakura sakit melihat Naruto seperti ini. Melihat suaminya menderita sama saja minta dirinya bunuh diri.

Seandainya saja Sakura tahu akan seperti ini, ia pasti memilih bersama Naruto. Ia akan tetap tinggal di sisi suaminya meski itu akan membuatnya sakit hati karena di duakan. Tidak apa ia sakit, tidak apa ia menderita, asalkan suaminya bahagia itu sudah cukup baginya. Kebahagian suaminya adalah segalanya untuknya.

"Naruto, kumohon bangun." Sakura menempelkan pipinya ke wajah Naruto. Sakura tidak tahan lagi. Ia ingin melihat suaminya bangun, melihat mata biru kesukaannya. Tidak perduli dengan ucapan dokter yang menyuruhnya untuk tidak berisik. Sakura hanya ingin Naruto membuka matanya. Melihatnya bahwa dia ada disini. Di dekat suaminya. "Kumohon bangun. Aku ada disini, Naruto." Sakura meneteskan air matanya ke wajah Naruto. Tanpa Sakura sadari mata Naruto tampak berkedut meresponnya.

"Komohon buka matamu, Naruto..."

"..."

"..."

"..."

"Sa-Sakura..."

Sakura mengerjapkan matanya sesaat. Mengangkat tubuhnya cepat saat mendengar suara lirih Naruto yang memanggilnya.

"Na-Naruto..." Sakura menangis. Senang melihat Naruto akhirnya membuka matanya.

"Sa-Sa..."

"Ya, ini aku Naruto..." Sakura mencium kening Naruto. "Ini aku."

"Sakura, Sakura, Sakura..."

"Ya, Naruto..."

"Kau datang. Kau kembali padaku. Aku kira aku sudah kehilanganmu."

Sakura menggelengkan kepalanya. Air matanya tak henti-hentinya keluar. "Kau tidak kehilanganku. Aku disini bersamamu. Aku di dekatmu."

"Oh, Sakura." Naruto menarik tangan Sakura yang menggenggamnya. Memeluk wanita yang sangat dirindukannya itu dengan erat. Sakuranya. Istrinya yang dicintainya sampai mati. "Jangan tinggalkan aku, Sakura. Jangan tinggalkan aku lagi. Kau tidak tahu betapa menderitanya aku tanpamu."

"Aku disini. Aku disini Naruto. Aku tidak akan meninggalkanmu lagi. Aku akan selalu bersamamu."

"Kalau ini hanya mimpi. Aku mohon jangan bangunkan aku. Biarkan aku bersamamu Sakura. Bersamamu disini."

"Kau tidak bermimpi Naruto." Sakura menangkup wajah Naruto dengan kedua tangannya. "Aku disni nyata bersamamu. Aku mencintaimu."

Naruto menangis keras. Kedua tangan kurusnya langsung menarik, memeluk erat tubuh Sakura, seakan tak ada hari esok. "Jangan. Jangan tinggalkan aku lagi, Sakura. Jangan lagi. Jangan meminta bercerai dariku. Kalau kita berpisah lagi, aku akan mati Sakura."

"Tidak. Aku tidak akan menceraikanmu. Aku akan selalu bersamamu. Aku mencintaimu Naruto."

"Aku juga sangat mencintaimu Sakura. Tetaplah bersamaku. Aku tidak akan menyakitimu lagi. Aku tidak akan menduakanmu lagi."

"Aku tahu. Aku tahu."

.

Kushina menangis sengugukan dalam dekapan suaminya. Begitu pun juga halnya dengan Karin yang sekarang sedang ditenangin oleh tunangannya, Sasori.

Menyaksikan kedua manusia di dalam ruangan putih itu membuat siapapun melihatnya menangis. Bahkan Sasori yang notabennya jarang menangis, kini ikut-ikutan menangis walau ia menangis tak bersuara. Pria bersurai merah itu tak kuasa menahan kesedihannya ketika mendengar pembicaraan adiknya dan adik iparnya yang sangat menyedihkan itu.

Sasori tahu, malam ini mereka semua memang menangis. Tapi hanya malam ini. Karena besok tak akan ada lagi yang namanya air mata. Yang ada hanya kelegaan dan kebahagian yang luar biasa.

Kebahagian untuk dua orang yang saling mencintai kini bersatu kembali.

Namikaze Naruto dan Namikaze Sakura.

.

Fin.

A/N : akhirnya tamat juga, horeeeeeee #teriak pakai toak. Cepetkan aku update chap 4nya hehehe. Tumben-tumben Authornya ni, biasanya juga molor. Ya mumpung idenya lagi cair lah. Hehehehe

Akhirnya NS bersatu, yeayyyyy. #lap ingus. Yang mengharapkan NH bersatu, maaf. Dari awal aku nulis fict ini pair yang ku inginkan hanya NS. Ada yg review bilang bahwa NS tidak mungkin bersatu karena Naruto sangat mencintai Hinata dan sudah mempunyai anak. Oke aku tegaskan disini, sebelum Hurt, fictku yang berjudul 1 hati 2 cinta, disitu aja Naruto sudah sangat terpukul karena kepergian Sakura. Sakura adalah wanita yang sangat dicintai Naruto. Makanya pas tahu Sakura pergi Naruto berusaha mati-matian mencari Sakura dan tidak ingin bercerai.

Dan Hinata, Naruto menyanyangi Hinata karena wanita itu melahirkan anaknya yang telah lama di impikannya. Mungkin ada cinta tapi itu tidak sebesar cintanya ke Sakura. Ingat yang membuat Naruto menatap Hinata karena gadis itu yang memaksakan Naruto untuk melihatnya, memberi perhatian khusus pada Naruto. Hinata sangat mencintai Naruto. Hinata sangat iri melihat bagaimana kelembutan Naruto pada istrinya(Sakura) dan membuat wanita itu sangat ambisius memiliki Naruto walaupun dia tahu Naruto sudah mempunyai istri. Hinata hanya ingin merasakan bagaimana diperhatikan oleh orang yang dicintainya(seperti Naruto yang sangat perhatian kepada Sakura)

Dari awal, aku tidak berniat ngebash Hinata, karena dari awal peran Hinata memang harus seperti itu. Kalau aku memang mau ngebash, sudah ku buat Hinata seperti wanita yang kurang ajar, tidak tahu malu merebut suami orang dll sebagainya.

Tapi pada akhirnya semuanya happy endingkan. Oke Chap depan adalah Epilognya. Aku harap para senpai yang cantik dan juga tampan yang baik hati dan budiman mau meninggalkan riviewnya di kotak surat(?) Jangan pelit-pelit. Kalau pelit entar masuk surga(?) Nah loh?

Auhornya mulai lapar pemirsa. Wwwwww

Seperti biasa aku tidak bisa membalas reviewnya satu persatu. Bukan Authornya sombong ya, tapi memang gak bisa. Koneksi jaringan dikampung suami benar-benar payah (sepayah author yang tidak bisa mendayung perahu kecil yang sering dipakai nelayan itu loh.) ini aja yang updatekan si Riela nacan (Author NS yang sangat tergila-gila pada suamiku Kim jaejoong) hehehehe Ayo terimakasih padanya. Wwwwwww makasih ya sayang.

Ok. Sampai jumpa di Epilog. Bye, Bye.

Ps: jangan lupa reviewnya ya senpai.

See u

Salam hangat Cherry Uzumaki ^^