Little Piece of Heaven

Pairing: SasuSaku

Disclaimer: I do not own Naruto, nor the story.

Warning: This is an Indonesian translation of Leanne Ash's story with the same title. Done with permission.

Summary:

"Aku tidak melakukannya karena aku mengangapmu lemah! Aku melakukannya karena-! Karena... aku... Sudahlah." Bertahun- tahun kemudian, kejadian ini akhirnya terjadi. Sayangnya, Sakura sudah tidak peduli. Sebuah kisah tentang cinta dan ironi, dimana yang satu tidak sadar, dan yang lainnya adalah Sasuke.


Chapter 1

"Kau tahu… kau benar- benar menyebalkan."

kejadian itu rasanya sudah berlalu begitu lama.

Dia sudah delapan belas tahun sekarang. Keinginan balas dendam yang memenuhi masa kecilnya kini sudah padam. Kakaknya sudah meninggal, dan sekarang dia, Uchiha Sasuke, telah kembali ke Konoha.

Bagaimana bisa? Kisahnya cukup lucu. Pertarungan dengan kakaknya bisa dibilang hampir sia- sia. Mereka nyaris saling membinasakan, dan pada akhirnya, Uzumaki Naruto-lah yang menemukan tubuh sekarat milik teman baiknya, tergeletak di antah berantah, lalu memutuskan untuk membawanya pulang ke Konoha.

Sakura berdiri di atas ranting pohon dekat gerbang utama, angin musim semi bertiup melewati rambut merah muda indah yang panjangnya mencapai bahu hingga menyentuh kulit porselin pipinya. Dahi lebarnya yang dulu sudah hilang entah kemana. Mata hijau besar seperti kelinci miliknya berkilau memukau. Kunoichi tercerdas Konoha ini telah tumbuh, yang dulunya susah mengendalikan emosi, gadis kecil yang dimabuk cinta kini adalah gadis kesayangan desa. Penuh dengan pesona dan kecerdasan.

Seiring dengan mendekatnya Naruto yang menyangga berat badan Sasuke di pundaknya, Haruno Sakura menahan napas, dia sudah bersiap. Inilah saatnya. Saat dimana tahun- tahun penantiannya akan berakhir, dan saat untuknya benar- benar melupakan Sasuke.

Bagaimanapun juga, Sasuke sudah memperjelas berulang kali bahwa dia tidak tertarik kepada Sakura. Serangan Sasuke di kepalanya saat terakhir kali mereka bertemu sudah cukup menghempaskannya untuk melihat kenyataan. Sakura menawarkan hati dan jiwanya untuk Sasuke, namun Sasuke hanya memandangnya seperti irisan daging tusuk yang tidak menarik. Tentu saja Sakura sudah lelah menangis, memohon, dan meneriakan suaranya setinggi gunung. Menyebalkan. Itulah cara Sasuke memanggilnya.

Menyebalkan…

Tapi itu adalah masa lalu. Kini Sakura telah tumbuh dewasa. Prioritas utamanya telah berubah dan dia tidak akan lagi menyiksa dirinya hanya untuk mendapatkan perhatian dari seseorang yang bahkan tidak pernah peduli.

Jangan berteriak "Sasuke-kun," jangan berteriak "Sasuke-kun"…

"Kau seharusnya bisa sedikit membantu, tahu tidak?" Sakura mendengar Naruto mengeluh. "Patah di kedua kaki bukan alasan untuk tidak berjalan dan hanya menyeret kaki seperti itu."

"Diam, Dobe…" jawab pemuda yang satunya setangah hati.

Alunan suara itu mengalirkan getaran ringan di kedua kaki Sakura dan hampir menyentaknya jatuh dari atas ranting pohon. Sudah bertahun- tahun berlalu sejak terakhir kali dia mendengar suara itu. Suara dalam, halus dan nada monoton yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sosoknya, suara yang telah Sakura dengar berulang kali dalam mimpi- mimpi malamnya.

Sakura tidak bisa jika tidak menyadari betapa Sasuke menjadi semakin menakjubkan. Dia tumbuh semakin tinggi, semakin gagah. Rambutnya masih sama: hitam dan mencuat tak beraturan… poni liar membingkai wajah pucat kakunya. Matanya, tentu saja obsidian dingin yang sama, memancarkan kekuatan yang menakutkan.

Sasuke yang ada dalam ingatannya sekarang adalah seorang lelaki dewasa.

Terlepas dari sebersit kekecewaan karena kehilangan sosoknya yang dulu, Sakura merasa sangat jauh dari pemuda berambut gelap itu. Sakura sudah berhasil melupakan Sasuke.

Kejadian di depannya ini adalah sebuah tes bagi Sakura.

Saat dimana Sakura melihat kembalinya Sasuke setelah bertahun- tahun penantiannya, dia tidak berlari menyambut nya. Tidak merangkulkan lengannya pada Sasuke, tidak jatuh di kedua lututnya sambil terisak, dan tetap di sana – di atas ranting pohon dekat gerbang utama- terdiam sendiri. Bahkan setelah berjam- jam berlalunya Sasuke dan Naruto.

Mereka telah berjalan menuju ke rumah sakit sekarang.

Tes untuk Sakura sudah berakhir.

Dia berhasil. Dia tidak menggerakan satupun otot sama sekali.


"Hey, Sakura-chan…"

"Apa?" tanya Sakura, mendongak dari buku besar yang tengah dia pelajari di kantor gurunya.

"Kalau kau ingin tahu, Sasuke sudah mulai baikan…" Naruto memberitahu dengan hati- hati.

"Benarkah?" tanya Sakura dengan sebuah senyuman, matanya kembali singgah di lembaran perkamen sederhana yang berada di depannya. "Senang mendengarnya."

"Kau masih belum menengoknya, Sakura- chan."

Naruto memperhatikan perubahan ekspresi Sakura menjadi dingin saat mendengar perkataannya, yang tak lama kemudian digantikan senyum hangat berkarisma yang biasa.

"Aku sedang sibuk," bohongnya, "tapi aku akan usahakan mampir hari ini."

Ekpresi agak muram di wajah Naruto lenyap seiring tawa kecilnya yang aneh terdengar. "Baguslah, Sakura-chan. Kau membuat aku cemas, tahu tidak? Karena Sasuke sudah kembali selama dua minggu dan aku pikir kau yang akan merawatnya. Haha! Teme sudah menggerutu tanpa henti karena dia kini dalam masa percobaan dan harus menempel bersamaku sepanjang hari."

"Apakah dia…" Sakura menampar dirinya sendiri secara imajiner karena mengizinkan keingin tahuan dirinya mengambil alih dirinya, "…pernah bertanya tentang aku?"

Naruto menyilangkan lengannya di belakang kepala dan mengerutkan alis sambil berpikir. "Tidak, aku rasa tidak… tapi aku sudah menceritakan semua tentangmu dan betapa cantiknya dirimu sekarang!"

Sakura menyender maju ke atas meja dan meninju lengan Naruto main- main. "Baka…" geramnya.

Naruto tertawa dan meletakan sebelah tangannya di pintu. "Aku izinkan kau meneruskan belajarmu," Naruto berbalik ragu- ragu sebelum benar- benar pergi, "jangan lupa singgah padanya, ya?"

Sakura melambaikan tangan setengah hati. "Iya… iya…"

Pintu tertutup di belakang teman pirangnya dengan sebuah suara klik lembut.

Sakura menyandar di kursinya dan menghela napas. Memikirkan kembali keputusannya. Dia sudah memutuskan untuk berhenti menyukai Sasuke, bukannya berhenti untuk menjadi temannya. Jika seorang teman tengah dirawat di rumah sakit, teman yang satunya harus datang berkunjung.

Sambil mengangkut buku medis raksasa milik gurunya dan meraih sebuket bunga, Sakura menemukan dirinya sudah berdiri penuh keraguan di luar kamar rawat Sasuke. Dia sempat kaget dengan pertanyaannya tadi yang menanyakan nomor kamar 'Sasuke' dan bukannya 'Sasuke-kun' di meja resepsionis. Bertahun- tahun silam, menambah suffix pada nama Sasuke adalah reflek alami yang mengalir dari lidahnya.

Dengan dua jari tangannya, Sakura mengetuk pintu dalam diam. Mungkin sedikit terlalu lirih karena Sakura tidak mendengar tanggapan dari dalam.

Dengan ragu Sakura menggeser pintu terbuka, dia mengintip dari celah yang sempit dan menemukan bahwa pemuda berambut hitam penghuninya tengah tertidur.

Puas karena dia hanya perlu meninggalkan buket bunganya tanpa harus membangunkannya, Sakura berjinjit menuju ambang jendela di sisi lain tempat tidur Sasuke. Tanpa sadar , dia menolak untuk benar- benar menatap Sasuke saat meraih vas kosong di nakas. Sakura menaruh vas di ambang jendela, dia mulai meletakan setiap tangkai bunga ke dalam vas dengan hati- hati dengan membiarkan punggungnya menghadap Sasuke.

"Kalau kau datang untuk menyuapi aku apel dengan paksa, tidak usah saja."

Sakura membeku di tempat, tapi kemudian kembali menata bunganya. Bertahun silam, dalam kejadian lain saat Sasuke tengah dirawat di rumah sakit, Sakura bersamanya sepanjang waktu. Bahkan setelah Sasuke menepis kasar irisan apel yang telah dia siapkan ke dinding, semua itu tidak cukup untuk membuatnya tersadar. Membayangkan tingkah lakunya di masa lalu cukup membuat Sakura malu. Berapa banyak perlakuan kasar Sasuke yang dia abaikan?

"Kau harus istirahat," akhirnya Sakura berbicara.

Sasuke mengangkat sebelah alisnya, mencibir secara tak langsung tapi diabaikan oleh Sakura. Beberapa waktu dalam keheningan sebelum Sasuke kembali berbicara.

"Sudah lama ya… Sakura."

Sakura berbalik, Sasuke akhirnya dapat bertatap muka dengan teman merah mudanya setelah bertahun- tahun.

Keterkejutan berkelip di kedua mata sepekat malam itu saat melihat Sakura. Tercengang, lebih tepatnya. Benarkah dia telah berubah demikian banyak sejak terakhir kali Sasuke melihatnya? Selain perbedaan penjang rambutnya, Sakura tidak tahu hal apa saja yang berubah darinya. Sesuatu yang dia rasakan bertambah dalam dirinya mungkin hanyalah kerendahan hatinya.

Dia bisa merasakan mata Sasuke memeriksanya saat Sakura mendudukan diri di tepi tempat tidurnya.

"Duduklah." perintahnya.

Sasuke menyipitkan matanya bingung. "Untuk apa?"

"Perban di lengan kirimu perlu diganti."

Sasuke hampir memperlihatkan keraguannya tapi kemudian dia mengingat ucapan Naruto bahwa Sakura kini adalah ninja medis hebat yang berada di bawah bimbingan Hokage langsung.

Tanpa menunjukan perlawanan, Sasuke bangkit dengan sedikit kepayahan sambil memegangi tangannya yang diperban.

"Kuharap kau benar- benar mengerti apa yang akan kamu lakukan."

"Terimakasih kembali, Sasuke." Sakura tersenyum sambil membuka perban dengan hati- hati.

Sakura mengira Sasuke akan mencibir atau melisankan ciri khasnya diiringi ejekan.

Sakura cukup terkejut karena Sasuke tetap diam setelah kalimat terakhirnya.

Dia mencatat mungkin itu karena Sasuke tidak memiliki cukup tenaga. Lagipula Sasuke bukanlah orang yang suka bercakap. Bicara dengannya sama saja seperti berbicara pada gumpalan kotoran kering.

Setelah perbannya terlepas, Sakura memeriksa luka Sasuke dengan cermat.

"Kau sanggup menggunakan chidori lebih dari dua kali…?"

"Hn." jawabnya, "aku menggunakannya 9 kali." Sasuke memberitahunya dengan nada sedikit terpaksa. "Saat bertarung dengan kakakku. Tulang lenganku mencuat dan kulitku mengeluarkan darah tanpa henti."

"Aku bisa lihat… apa sekarang kau menyesal?"

Sasuke melemparkan tatapan yang seolah mengatakan bahwa Sakura baru saja menanyakan pertanyaan paling bodoh sedunia.

"Dia mati, kan?"

Mengabaikan tatapan mematikan dan pertanyaan Sasuke, Sakura mulai membungkuskan perban baru. "Orochimaru bagaimana?"

"Aku meninggalkannya dua tahun lalu saat aku pergi mencari Itachi."

Sakura menatap Sasuke dengan pandangan heran. "Semudah itu?"

Sasuke menyeringai sebelum berpaling. "Begitulah…"

Kembali menekuni perban di tangannya, Sakura mengakhiri lilitannya dengan lembut, kemudian bangkit dan memberitahu bahwa dia akan langsung pergi.

Sasuke mengangguk kecil… entah berterimakasih, atau hanya basa- basi walau dalam hatinya mungkin berkata 'bagus, menghilang saja sana'. Sakura tidak tahu… tapi dia cukup bangga pada dirinya sendiri saat menyadari bahwa dia sudah tidak peduli pada apa yang Sasuke pikirkan.

Sakura menggeser pintu sebelum gerakannya terhenti oleh suara Sasuke.

"Sakura…"

"Apa?"

Sambil menunggu Sasuke meneruskan, dia melihat jam yang terpatri di dinding, mulai memikirkan jadwalnya hari ini.

Hmm… baru menjelang tengah hari…

"Kamu..."

Aku harus menyelesaikan belajarku, bertemu Tsunade-sama… apa lagi yang perlu aku lakukan hari ini? Makan siang bersama Ino.. Aku harus latihan juga…

Suara Sasuke terdengar lirih. Sakura sekilas memandang kebelakang, menunggu Sasuke meneruskan.

"Sasuke?"

Sakura melihat mata Sasuke mengamatinya dengan ekpresi khas tak terdefinisi miliknya. Bukan hal baru. Sakura kembali tenggelam dalam pikirannya; Sasuke mungkin akan mengira bahwa dia begitu senang melamun sekarang.

"Tidak jadi." gumam Sasuke akhirnya. "Lupakan saja."

"Baiklah," Sakura mengangguk. "Sampai jumpa, Sasuke! Selamat datang kembali di Konoha."

"Ah."

Menutup pintu di belakangnya, Sakura tersenyum dengan percaya diri pada dirinya. Ini adalah awal dari hidup barunya. Dimulai tadi saat dia duduk di tepi ranjang Sasuke tanpa menerjangnya dengan lengan terbuka, dia tahu bahwa obsesinya pada Sasuke sudah menjadi bagian dari masa lalu. Ya, tentu. Kini Sakura adalah kunoichi cerdas dan percaya diri dengan sebuah jalan pemikiran baru.

Semua hal terlihat menjadi baik.

Tapi tidak pada satu orang di sisi yang lainnya. Setelah Sakura menghilang dari pandangannya, Sasuke tetap duduk terdiam di ranjangnya, menatap perban baru yang membungkus lengannya dengan pandangan tidak mengerti.


A/N: This story is not mine. Eve hanya menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia (dengan beberapa penyesuaian agar lebih nyaman dibaca), karena Eve berpikir cerita ini terlalu menakjubkan untuk tidak dibagi. Untuk yang ingin membaca versi asli berbahasa inggris, silahkan ikuti link di profil saya.

Cerita ini mulai ditulis tahun 2006, jadi ada beberapa kejadian yang tidak sesuai dengan fersi canon yang sekarang. Saya bingung menentukan apakah ini canon atau fanon atau AU? Mohon bantuannya untuk yang tahu.

Eve akan usahakan mengupdate ini seminggu sekali ( atau dua kali). Sebelum ada yang tanya apakah saya sudah dapat izin untuk menerjemahkan ini, ya. Saya sudah dapat izin kok, jangan khawatir. #wink

Anyway, Terimakasih sudah membaca.

Kritik, saran dan pendapat silahkan sampaikan lewat review.

-with cherry on top-

.the autumn evening.