Logika... ya?

Sejak Ulquiorra berkata begitu pada hari itu, gue jadi memikirkan banyak hal tentang sesuatu yang bernama logika.

Logika, secara harfiah, berarti sebuah penilaian subjektif kita untuk memisahkan hal yang 'masuk akal', dan 'tidak masuk akal'. Untuk memisahkan 'mana yang lebih baik'. Juga, untuk memisahkan antara 'keputusan pribadi' dan 'keputusan untuk orang banyak'.

Pepatah jaman dulu pernah berkata, 'Laki-laki mengandalkan logika, sedangkan perempuan mengandalkan perasaan'.

Secara logika, gue adalah perempuan. Secara logika juga, gue seharusnya lebih menggunakan perasaan. Logika dan perasaan adalah dua hal yang bersimpangan. Menggunakan perasaan, maka, gue berarti mengabaikan logika.

Sungguh paradoks yang menyebalkan.

Seharusnya gue nggak banyak berpikir, tapi langsung berbuat saja.


Hak Cipta: BLEACH © Tite Kubo.

Peringatan: OOC. AU. Galau. Penggunaan bahasa tidak baku pada sudut pandang orang pertama.

Ano Hi Mita Keitai no Namae wo Boku-tachi wa Mada Shiranai —
(Kita Masih Belum Tahu Nama Telepon Genggam yang Kita Lihat Waktu Itu) —

Episode #04: Logika Arwah Musim Dingin —


[Minggu, 22 Desember 2019. Pukul 09.00 WIB — Kamar Rukia]

Ulquiorra adalah sosok yang paling sulit gue mengerti. Meskipun kami sudah berteman selama tiga tahun di SMA, gue masih belum bisa menemukan sosoknya yang sebenarnya.

Di satu sisi, dia adalah pemuda dingin yang jarang berbicara. Di sisi lain, dia adalah pemuda sedikit bicara yang bisa dibilang, 'sejiwa' dengan Toushiro. Namun di sisi lain lagi, dia adalah...

... Sosok kedua yang melindungi gue setelah Toushiro.

Gue membaringkan tubuh gue di atas ranjang empuk di kamar kosan gue. Seperti biasa, pandangan mata gue lurus jauh ke depan. Menatap platform yang terbuat dari tripleks dengan kosong.

Ingatan gue melayang ke dua tahun yang lalu, ketika gue, Toushiro, dan Ulquiorra kelas sebelas.

Ketika itu, gue, lagi-lagi, diganggu oleh 'penggemar'-nya Toushiro. Biasanya gue bakal menghajar mereka sendiri, tapi, saat mereka ingin menghajar gue, Ulquiorra muncul disana.

Ulquiorra nggak kayak kebanyakan cowok di FTV atau sinetron-sinetron. Bukan juga kayak si Rapael di film Cinta Carut Marut, yang setelah keren-keren berkelahi malah pingsan dipukul dari belakang.

Saat itu, yang Ulquiorra lakukan hanya berkata 'pergi'. Para perempuan itu kemudian tentu saja menolak. Entah kenapa, tidak lama setelah itu, para perempuan itu langsung pergi dengan wajah ketakutan.

Mungkin, Ulquiorra menampakkan wajah menyeramkan atau semacamnya. Gue nggak tahu karena gue nggak melihatnya.

"Rukia, ngelamunin siapa? Ulquiorra, ya?"

Gue menoleh dengan cepat. Melihat sosok Toushiro yang memakai piyama putih polos itu sedang duduk di atas meja makan. Benar-benar meja makan. Dia duduk melipat kaki sambil menggaruk-garuk rambutnya.

Gue menggeleng.

Toushiro kembali berkata, "Elo nggak usah khawatir. Palingan kasusnya bakal sama kayak Ishida, kok. Elo tinggal ngomong-ngomong sama dia, terus nggak lama kemudian, dia bakal percaya kalo gue ada disini, dan dia juga bakal bisa melihat gue. Medetashi, medetashi."

"Seandainya semudah itu, gue juga udah ngelakuin itu dari kemarin," sewot gue sambil menuangkan air dari botol ke dalam gelas, kemudian meneguknya. Setelah beberapa tegukan, gue menaruh gelas di tempat cucian piring.

"Gimana kalo kita main ke apartemennya Ulquiorra aja? Sekalian ngajak ngobrol. Kali aja—"

"—Toushiro, kalo elo ngomong pake kata 'kali aja' sekali lagi, gue akan pura-pura nggak bisa ngeliat elo," jawab gue sambil mencuci tumpukan piring kotor.

"Ah. Rukia jahaat~" ambek Toushiro dengan wajah dingin. Bisa-bisanya dia berkata dengan nada imut begitu tapi wajahnya datar. Toushiro lalu menarik nafas perlahan, kemudian menatap ke platfon langit-langit kamar kosan gue.

"Oi, Rukia."

Gue yang sedari tadi sibuk berjibaku dengan sabun dan piring, menjawab tanpa menoleh, "Hm? Apa?"

"Uoh. Elo ramah banget. Gue kira elo bakal ngejawab 'Hah?' atau semacamnya," ujar Toushiro dengan nada menyindir. "Gue mau nanya sesuatu."

Mengabaikan pernyataannya yang pertama, gue langsung balik bertanya. "Apa yang pengen elo tanyain?"

"Hitsugaya Toushiro 18 tahun... Bagaimana orangnya?"

Pertanyaan aneh. Jarang-jarang ada orang yang menanyakan kepada orang lain tentang dirinya sendiri. Yah, tapi dalam kasus Toushiro, ingatannya 'dihilangkan' sampai bulan Juli 2016, jadi gue dapat memakluminya.

"Elo... Jadi lebih banyak senyum."

Toushiro diam sebentar. "... Udah? Gitu aja?"

"Iya. Gitu aja."

Keheningan mengampiri kami. Yang dapat terdengar hanyalah suara air cucian yang mengalir, suara decitan saat gue mengelap piring, dan suara ketukan kecil ketika gue menumpuk piring-piring tersebut.

Tidak seberapa lama, Toushiro menanyakan sesuatu lagi.

"Rukia," dia memberi jeda sesaat untuk menarik nafas. "... Elo... Suka sama Ulquiorra?"

... Pertanyaan macam apa itu? Pertanyaan jebakan?! Tunggu, tunggu. Kalo dia nanyain hal semacam ini, bukankah artinya Toushiro cemburu gara-gara adegan pelukan gue sama Ulquiorra kemarin?! Nggak, nggak. Gue nggak boleh ge-er dulu... Ini bukan saatnya!

Jadi, gue harus jawab apa? Apa harus jawab 'iya', atau 'tidak'? Di tengah kebingungan yang melanda, gue akhirnya malah mengucapkan kalimat lain yang tiba-tiba terlintas di kepala gue.

"Kalo iya, kenapa? Kalo nggak, kenapa?"

Entah kenapa gue mau neriakin diri gue sendiri ababil. Tapi mau gimana lagi, gue emang nggak tau mau bilang apaan. Akhirnya, dengan wajah memerah yang tertunduk malu, gue bersiap mendengar jawaban Toushiro.

"Nggak kenapa-napa."

Seperti yang diduga dari sosok Hitsugaya Toushiro. Sepertinya di kepalanya sekarang dia sedang berpikir 'Rukia mau milih mana yang untung mana yang rugi' atau semacamnya. Gah, untuk pertama kalinya gue merasa diri gue adalah ababil yang terkutuk.

Setelah selesai mencuci piring, gue akhirnya duduk di kursi meja makan. Tepat di samping Toushiro yang duduk bersilah kaki di atas meja.

"FYI, Hitsugaya Toushiro 15 tahun suka sama Rukia 15 tahun."

...

Barusan, dia ngomong apa?

"Eh?" hanya itu kalimat yang muncul dari bibir gue.

"Cuma ngasih tahu aja. Gue sekarang, maksud gue, 'Toushiro 15 tahun' suka sama 'Rukia 15 tahun'. Tapi itu adalah versi ingatan gue, alias tahun 2016. Gue nggak tahu, apakah 'Toushiro 18 tahun' suka sama 'Rukia 18 tahun' atau nggak."

Gue mencoba melirik ke arah wajah Toushiro. Toushiro sedang membuang wajahnya ke arah yang berlawanan dengan gue.

Ehm, boleh gue nganggep ini sebagai 'nembak' nggak secara langsung?

Gue hanya tersenyum pelan. Gue merasa pipi gue menghangat, dengan sedikit getaran disana. Lalu, gue membalas pernyataan Toushiro barusan.

"Rukia 15 tahun juga suka sama Toushiro 15 tahun."

Toushiro dengan cepat menoleh. "Lalu, elo yang sekarang?"

Gue mengangkat bahu.

Toushiro cuma tersenyum sinis sambil memukul pundak gue pelan dengan kepalan tangannya. "Elo jahat amat, sih."

Toushiro lalu berdiri. Melompat turun dari meja makan, kemudian mengulurkan tangan kecilnya ke arah gue. "Ayo."

"Kemana?"

"Ke apartemennya Ulquiorra."


"Toushiro, jangan tarik-tarik tangan gue!" ujar gue dengan suara kecil ketika Toushiro menarik tangan gue di trotoar jalanan di dekat apartemen Ulquiorra.

Dia mengabaikan perkataan gue, dan terus saja menarik.

"Elo ngebuat gue terlihat kayak orang gila, woi," bisik gue. Syukurnya, Toushiro berhenti berlari, dan berdiri menghadap gue. Dia lalu melihat ke sekitarnya. Gue juga ikutan melihat ke sekitar.

Orang-orang sedang melihat gue dengan pandangan seperti 'itu anak lagi ngapain?'. Gue cuma cengar-cengir sambil menggaruk rambut belakang gue, "Maaf. Saya punya penyakit tidak bisa membedakan kenyataan dan khayalan."

Orang-orang lalu langsung kembali ke aktivitas mereka masing-masing.

"Fuuuh," desah gue, menarik nafas. "Toushiro, lain kali jangan narik-narik gue kayak gitu. Bikin malu, woi."

Toushiro cuma mengangguk sambil menyengir. "Maaf, maaf."

Kami lalu berjalan masuk ke dalam gedung apartemen Ulquiorra. Sebelum masuk ke pintu masuk, Toushiro sempat-sempatnya melihat ke puncak gedung sambil bergumam, "Uooh. Tinggi banget. Kita udah pernah kesini belum?"

Gue mengangguk. "Udah pernah. Kalo nggak salah pas akhir tahun 2016."

"Cih. Kenapa, sih, ingatan gue harus pake acara dihilangkan segala. Bener-bener ngerepotin," gumamnya. Dia lalu berjalan lebih dulu masuk ke dalam gedung apartemen. Gue mengikutinya dari belakang.

Setelah bertegur sapa dengan pemilik apartemen, gue langsung meminta izin untuk bertemu dengan Ulquiorra. Kami lalu langsung menuju ke kamar Ulquiorra yang berada di lantai lima menggunakan lift.

"Setelah dipikir-pikir, kenapa, sih, Ulquiorra malah balik ke apartemen lamanya? Kenapa nggak nginep di hotel atau dimana, gitu?" tanya Toushiro dengan santai saat di dalam lift.

"Biaya hotel jauh lebih mahal daripada apartemen. Lagian, si Ulquiorra kesini juga 'kan buat liburan smester. Jadi wajarlah kalau dia lebih milih di apartemen lamanya," jawab gue menebak.

"Oh. Rukia ternyata tahu banyak tentang Ulquiorra, ya."

Apa itu? Dialog seorang yang sedang cemburu?

"Nggak juga. Itu cuma perasaan elo doang," jawab gue dengan pandangan males. Setelah lift berhenti, dan pintu lift terbuka, kami langsung menuju ke kamar Ulquiorra.

Mengetuk sekali, tidak ada suara.

Ketukan kedua, masih tidak ada jawaban.

Gue kemudian baru sadar, kalo disamping pintu kamar Ulquiorra ada interkom. Toushiro langsung saja menekan tombol interkom. Gue langsung mencak-mencak. "E-elu ngapain mencet-mencet?!"

"Emang kenapa? Elo juga mau mencetnya juga, 'kan?"

"Iya, tapi kalo ada orang yang lihat tombolnya mencet sendiri 'kan—"

"Rukia, lagi ngomong sama siapa?" suara Ulquiorra memotong kalimat gue. Pandangan gue beralih menuju ke interkom. Ada wajah Ulquiorra yang sepertinya baru bangun tidur tertampil di layarnya.

Gue haru bilang apa sekarang?

Pertama, langsung bilang "Gue barusan lagi ngomong sama Toushiro."
Dua, menggelengkan kepala, lalu bilang "Nggak ngomong sama siapa-siapa, kok," sambil cengar-cengir.

Akhirnya, pilihan gue jatuh pada yang pertama.

"Boleh gue masuk?" tanya gue kepada Ulquiorra melalui interkom. Ulquiorra mengangguk, lalu wajahnya menghilang dari layar interkom, tanda dia meninggalkan tempat itu. Tidak lama kemudian, bunyi kunci yang dibuka terdengar, dan pintu ruangan Ulquiorra terbuka.

"Ada apa datang kemari?"

Uoh, Ulquiorra. Bahasa Indonesia elu bagus banget.

Gue menjawab sambil tersenyum kecil, "A-anu. Cuma mau berkunjung doang, kok."

Ulquiorra cuma ber-oh ria. Dia lalu mempersilahkan gue untuk memasuki kamarnya.

"Maaf agak kacau. Belum sempat disusun," ujarnya singkat, tetap dengan wajah datarnya. "Rukia mau minum apa?"

Rukia mau minum apa?
Rukia mau minum apa?

Kenapa Bahasa Indonesianya jadi seolah kayak gue dan Ulquiorra pasangan bocah SMP yang baru pacaran gini?! Gue menahan diri gue untuk nggak membuat perempatan di jidat. "Apa aja yang ada?"

Ulquiorra terlihat berpikir sebentar. "Semuanya ada di kantin bawah. Tapi jangan mesen yang mahal-mahal, ya. Duit gue nggak terlalu banyak."

"Yaudah, gue es jeruk aja," jawab gue dengan cepat. Ulquiorra lalu pergi menuju interkomnya yang tertempel di dinding di dekat televisi, kemudian menekan beberapa tombol, dan memesan jus jeruk dua buah.

Gue lalu duduk di sofa berwarna hijau yang penuh dengan kaos-kaosnya Ulquiorra. Gue melihat ke sekeliling. Ada banyak poster game-game yang keren dan yang ifyouknowwhatimean bertebaran di dindingnya.

Gue melirik ke televisinya. Televisinya kayaknya emang ada di tiap kamar. Tapi yang anehnya adalah beberapa konsol game bertuliskan PS4, Xbox 480, dan Nintendo Zii berjejer dengan rapi, lengkap dengan stik-stiknya yang menjalar. Bukan cuma itu, di samping konsol-konsol itu terdapat PSP dan HPnya yang sedang di-charge.

Oke, gue tahu Ulquiorra adalah seorang gamer akut dan juga anak orang kaya. Gue juga udah pernah lihat konsol-konsol gamenya, tapi setelah dilihat lagi, itu emang bikin kagum.

Eh. Tunggu. Gue melupakan sesuatu.

Toushiro dimana?!

Mata gue menjelajahi setiap sudut kamar, mencari sosok bocah yang memakai piyama putih polos. Dan gue menemukannya sedang duduk berjongkok di depan sebuah pigura. Gue berjalan ke arahnya, mencoba melihat apa yang dia lihat.

Foto yang sama dengan foto yang ada di kosan gue. Tapi foto milik Ulquiorra dibingkai menggunakan bingkai kayu dengan ukiran rumit. Tanpa debu sedikitpun yang menempel di kacanya. Tanda dia selalu membersihkannya.

Tapi, ada yang aneh dengan foto itu. Wajah Toushiro dilubangi. Terlihat sedikit kehitaman di sekitar lubang tersebut. Dibakar? Atau disundut menggunakan rokok? Tunggu, sejak kapan Ulquiorra merokok? Gue nggak menemukan asbak atau apapun yang berhubungan di kamarnya, berarti itu mungkin dibakar menggunakan korek api atau semacamnya.

"Apa keberadaan gue mengganggu, ya?"

Suara Toushiro itu. Terdengar datar. Tanpa nada. Tanpa semangat. Gue menjawabnya dengan nada sendu, "Nggak. Keberadaan elo adalah sesuatu yang menciptakan foto itu ada."

"Heh, apa itu? Filosofi?" tanya Toushiro dengan pandangan mengejek. Gue cuma nyengir tanpa sebab.

"Elo nggak harus sedih, Toushiro. Meskipun semua orang nggak bisa ngeliat elo... Gue akan jadi satu-satunya orang yang bakal selalu ngeliat elo."

"Makasih," ujarnya dengan suara yang nyaris nggak bisa gue dengar.

Tanpa gue sadari, Ulquiorra memperhatikan dialog gue dengan Toushiro barusan. Gue langsung menjadi berantakan, "Itu, Ulquiorra, jadi alesan gue kesini sebenarnya—"

"Meyakinkan gue tentang keberadaan 'Ketua'?" potongnya dengan penekanan di kata 'Ketua'. Dia lalu menaruh dua gelas berisi Es Jeruk di meja di dekat kasurnya, kemudian melanjutkan perkataannya. "Yang gue lihat barusan adalah monolog seorang yang menjadi gila karena kehilangan orang yang paling disayanginya."

"Toushiro itu ada!" teriak gue, menegaskan.

"Dia tidak ada!" bantah Ulquiorra dengan nada membentak. Entah kenapa gue menjadi ketakutan. Gue nggak pernah melihat Ulquiorra marah sebelumnya. "Manusia biasa tidak bisa melihat sesuatu yang seharusnya tidak bisa mereka lihat. Yang namanya hantu atau roh itu hanyalah imajinasi saja."

"Kalau begitu, jelaskan ke gue kenapa gue bisa melihat Toushiro disini?!" teriak gue sambil menarik tangan piyama Toushiro. Toushiro agak terkejut, tapi dia memilih untuk diam. Mungkin karena di kepalanya, setiap perkataannya nggak akan dapat didengar oleh Ulquiorra.

"Toushiro yang kau lihat adalah imajinasi yang kau ciptakan sendiri."

"Bagaimana mungkin gue dapat menyentuh imajinasi gue sendiri?!" teriak gue membantah. Gue lalu berjalan ke arahnya. Emosi memuncak di kepala gue. Seperti kejadian Ishida kemarin, gue merasa ingin menonjok cowok yang ada di depan gue ini.

"Meskipun dia ada..." Ulquiorra berkata dengan nada lirih, "Gue nggak akan pernah menerimanya, karena dia udah ngebuat Rukia menangis."

Gue diam sesaat. Langkah gue terhenti. Gue memegangi kepala gue yang terasa pusing. "Elo kira ini sinetron?! Terus, elo bakal ngapain?! Ngebuat gue melupakan Toushiro? Lalu akhirnya kita akan bahagia selamanya?! Jangan mimpi! Toushiro masih seratus kali lebih baik dari elo!"

Ulquiorra nggak dapat membalas ucapan gue. Wajahnya menampilkan ekspresi terkejut. Dengan sebuah nada yang terdengar jahat, gue langsung berkata,

"Denger, Ulquiorra! Gue mencintai Toushiro seratus kali lebih banyak daripada gue mencintai elo!"

Kalimat itu melintas begitu saja di kepala gue. Awalnya itu seharusnya hanya sebuah kalimat argumen antara pikiran gue, tapi entah kenapa bisa lolos begitu saja melalui mulut gue.

Ulquiorra tambah memasang ekspresi terkejut. Begitu juga dengan Toushiro yang ada di samping gue.

"... Apa yang bisa gue lakukan, agar Rukia mau melupakannya?"

Pertanyaan konyol. Gue menunduk, kemudian menjawab dengan suara kecil, "Tidak ada."

Ulquiorra terdiam. Mulutnya tidak bergerak. Matanya hanya menatap lantai kamar apartemennya dengan tatapan kosong. Wajahnya memang selalu berekspresi kosong, tapi kali ini jauh lebih kosong dari sebelumnya.

Gue melirik ke sebelah gue. Toushiro sedang menatap gue dengan pandangan khawatir. Kenapa? Elo nggak harus khawatir sama gue, karena keadaan elo jauh lebih mengkhawatirkan.

Gue merasakan tubuh gue didorong.

"RUKIA!"

Teriakan itu terdengar serak. Itu suara Toushiro, tidak salah lagi. Kenapa dia berteriak memanggil gue? Lagipula, apa yang barusan mendorong gue?

Ah, gue sadar. Ulquiorra, rupanya. Dia mendorong gue ke kasurnya. Kakinya menjepit kedua kaki gue agar nggak bergerak, sedangkan kedua tangannya berada di sisi kiri dan kanan kepala gue.

"Ulquiorra, elo mau ngapa—"

"Diamlah," suara datar yang begitu dalam terdengar dari Ulquiorra. Itu adalah suara yang entah kenapa terdengar sangat mengerikan. Perlahan, Ulquiorra mendekatkan wajahnya ke gue.

Tunggu dulu, dia mau memperkosa gue?!

Gue nggak dapat ngebiarin itu. Gue mencoba menggerakkan kaki gue, mencoba menendang selangkangannya. Namun percuma, dia langsung menekan kedua kaki gue menggunakan lututnya. Saat gue mencoba menggerakkan tangan untuk mendorongnya, pergelangan tangan gue langsung dipegang erat olehnya. Menahan gerakan gue.

Tubuh gue terkunci. Gue nggak bisa ngapa-ngapain. Gue menolehkan kepala gue ke arah lain selain ke arah Ulquiorra. Gue menatap Toushiro yang sedang melihat Ulquiorra dengan pandangan penuh kebencian.

Tapi, Toushiro bisa apa? Dia seharusnya nggak bisa nyentuh Ulquiorra.

Gue memanggil namanya dengan suara serak, "T-Toushiro..."

"Kenapa namanya yang kau sebut di saat seperti ini?"

Suara Ulquiorra terdengar begitu dekat dengan gue. Jelas saja, karena mulutnya tepat berada di depan telinga gue. Gue nggak bisa menjawab. Entah kenapa gue menangis.

"Dia sudah mati," ujar Ulquiorra dengan nada datar. Gue merasakan sebuah sentuhan di dagu gue. Itu adalah jari tangan kanan Ulquiorra. Dia memaksa mata gue untuk menatap matanya. "Dan, gue masih hidup."

"Ulquiorra... Lepasin... Gue..." suara gue terdengar parau. Tenggorokan gue terasa sakit.

Ulquiorra mendekatkan bibirnya ke bibir gue. Wajahnya semakin dekat. Gue memejamkan mata ketakutan.

—Apa keperawanan gue bakal hilang disini?
Di tangan orang yang termasuk salah satu orang yang paling gue percaya?
Di depan hadapan orang yang benar-benar gue cintai?

Nggak, gue nggak mau. Tapi gue nggak bisa apa-apa. Gue juga tahu, Toushiro juga nggak akan bisa apa-apa. Karena itu, gue pasrah—

—Tapi tiba-tiba, beban yang menindih tubuh gue hilang. Bersamaan dengan itu, terdengar suara benturan dan pukulan yang cukup keras.

Gue membuka mata gue secara perlahan, lalu mendudukkan pantat gue di kasur Ulquiorra. Menatap ke sisi samping. Gue melihat Ulquiorra yang bergulingan di tanah, dan... Toushiro yang sedang memukuli wajahnya.

Toushiro mencengkram kerah baju Ulquiorra, duduk di atas perutnya, dan memukuli wajah Ulquiorra dengan begitu kerasnya. Pipi kanan, pipi kiri. Ia terus saja memukuli kedua pipi Ulquiorra.

Toushiro akhirnya berhenti. Dia menarik kerah baju Ulquiorra, berteriak tepat di depan wajahnya, "Apa yang elo lakukan, brengsek?!"

Ulquiorra menatap nanar ke arah lain. Kedua pipinya terlihat membengkak, dan bibirnya mengeluarkan darah dari ujungnya.

"... Aneh... Gue merasa dipukuli, padahal gue nggak melihat sesuatu yang memukuli gue..."

Tunggu.

Tunggu!

"ULQUIORRA! Elo bisa ngeliat gue, 'kan?!" teriak Toushiro lagi. Suaranya yang memang serak dari sananya makin menjadi parau. "Elo bisa melihat gue, 'kan?!"

"Aneh sekali. Tadinya kukira sosok Hitsugaya—ah, salah, maksudku 'Ketua' adalah imajinasiku saja. Tapi baru kali ini aku menemukan imajinasi yang dapat memberikan rasa sakit yang nyata."

Sebuah tonjokan dari Toushiro lagi-lagi melayang ke pipi kiri Ulquiorra. "Elo... Bisa ngeliat gue..."

"Jadi, kenapa?" tanya Ulquiorra dengan nada datar. "Gue bisa ngeliat elo, terus, apa?"

Toushiro terdiam. Mulutnya sama sekali tidak bergerak. Tangan kirinya masih menggenggam kerah baju Ulquiorra, sedangkan di tangan kanannya yang bergetar terlihat bercak darah.

Ulquiorra mendorong Toushiro, membuat tubuh Toushiro terdorong ke belakang. Ulquiorra lalu balik menindih tubuh kecil Toushiro. Seperti meniru Toushiro, tangan kiri Ulquiorra mencengkram kerah piyama putih Toushiro, sedangkan tangan kanannya mengepal, siap memukul.

Gue segera bangkit dari kasur Ulquiorra, berniat menghentikannya—

"Diam saja disana."

Sebuah suara datar yang bergabung dengan suara serak. Toushiro dan Ulquiorra mengatakan kalimat tersebut dengan bersamaan. Toushiro lalu menatap gue, "Ini urusan gue dan Ulquiorra. Elo nggak perlu ikut campur."

"Tapi—"

"Ada beberapa hal di dunia ini yang hanya dapat diselesaikan dengan pukulan, Rukia," potong Ulquiorra. Dia lalu memukul pipi kiri Toushiro. Gue mensipitkan mata melihatnya. Terlihat begitu menyakitkan.

"Itu, untuk balasan elo mukul gue tadi."

Ulquiorra kemudian memukul pipi kanan Toushiro. Bunyi benturan antar tulang terdengar lagi. "Itu, untuk balasan karena elo udah ninggalin kita semua dengan tiba-tiba."

Toushiro melebarkan bola matanya mendengar itu. Tapi, sebelum sempat Toushiro berbicara, Ulquiorra memukul pipi kiri Toushiro lagi. Dari suaranya, itu adalah pukulan yang paling keras.

"—Dan itu, karena elo udah ngebuat Rukia menangis."

.

.

.

Keheningan melanda.

"Elo pikir... Gue mau ngebuat dia nangis?"

Suara Toushiro. Terdengar bergetar. Dia balas menatap Ulquiorra yang menduduki tubuhnya.

"Orang bodoh macam apa yang mau ngebuat perempuan yang paling dicintainya nangis? Gue bukan orang sebodoh itu!" teriak Toushiro. Dia bangkit, mendorong Ulquiorra. Mereka berdua berdiri dari duduk, dan saling menatap.

"Asal elo tahu, ingatan gue cuma sampe tahun 2016. Cuma sekitar sebulan setelah elo bergabung. Gue sama sekali nggak punya ingatan tentang dua tahun setelahnya."

"Itu tidak mengubah fakta kalau elo ngebuat dia nangis."

"Udah gue bilang, gue nggak ada niat untuk ngebuat dia nangis! Kenapa elo nggak ngerti?!" teriak Toushiro dengan wajah yang sulit dijelaskan. Seolah berbagai ekspresi bergabung menjadi satu disana.

Toushiro berjalan ke arah Ulquiorra, kemudian menarik kerah bajunya. Bibir Toushiro berada dekat dengan telinga Ulquiorra. Toushiro sepertinya membicarakan sesuatu, tapi gue nggak dapat mendengarnya dengan jelas.

Yang gue tahu, setelah itu Ulquiorra mengangguk. Mereka berdua kemudian berpelukan. Sebuah pelukan yang hanya dilakukan oleh dua sahabat yang sudah lama nggak bertemu.

Gue hanya menatap mereka berdua sambil tersenyum.


"Denger, Ulquiorra. Keberadaan gue disini itu nggak tetap. Cepet atau lambat, gue akan segera menghilang, kembali ke dunia gue yang seharusnya. Karena itu—"

"—Setelah gue benar-benar menghilang dari dunia ini, tolong jaga Rukia. Untuk gue. Bukan, tapi untuk kita."

"... Baik."


Bersambung —


Catatan Penulis:

Wasshoi. Ketemu lagi sama saya. Lagi-lagi, saya lama ngapdet fanfik ini. Udah makan waktu berapa lama, ini? Dua minggu? Kayaknya ini fanfik lama-kelamaan bakal jadi diapdet sebulan sekali, dah. =,=

Kalian mau romance? Oke, udah saya kasih romance. Kurang baek apa coba saya ini. Ah. Yang mau minta tanda tangan baris dulu, ya.

Terima kasih sudah mau membaca sampai habis~
Silahkan kirimkan pendapat anda tentang chapter ini melalui kotak review di bawah ini. Review kalian adalah penyemangat bagi saya.