Warning : Abal, Gaje , OOC Parah!, Yaoi / Sho-Ai

Don't like, Don't read

Kaname, Zero


A/N : Yak baru bisa update lagi hhu *nangis*
Gomen kalo ceritanya jadi rada-rada

untuk yang sudah review maaf banget gabisa bales saat ini

tapi next pasti saya bales *sujud*


Jepang, Musim Dingin, 20 Januari

"Sedikit demi sedikit hatinya membeku. Tetapi…"

Zero menatap nisan yang kini berdiri kokoh itu dalam diam. Asap hio yang di letakkan tepat di tengah nisan kini melambung naik tertiup angin. Di sebelah hio tergeletak buket bunga. Sebuah buket bunga lily yang berhiaskan pita putih. Bunga favorit kedua orang tua Zero.

Kemarin Kaname menjelaskan pada Zero bahwa ia telah memakamkan kedua orang tua Zero di Jepang setelah mencaritahu tempat tinggal asal Zero melalui informan. Setelah menjelaskan berbagai macam perihal pemakaman, Kaname langsung menyeret Zero ke Jepang. Dan kini sampailah ia di depan kedua makam orang tuanya.

.

.

.

Salju kini berjatuhan, menutupi seluruh daratan dengan warna putih. Putih yang bersih tetapi begitu dingin dan menyesakkan. Atap-atap rumah terlihat seperti sebuah titik-titik hitam kecil diatas gumpalan putih. Ya, karena makam itu terletak diatas bukit kecil di tengah kota kecil yang berjarak cukup jauh dari Tokyo di bagian barat.

Dengan pakaian berkabungnya Zero dan juga Kaname - yang kini berdiri jauh di belakang Zero- tampak gelap di tengah hamparan salju. Zero mengulurkan tangan kanannya yang terbuka, berusaha meraih beberapa pecahan salju dengan jemarinya yang kini memerah.

.

.

Kenapa aku bisa berada disini?

Ini hanya mimpi, aku berharap ini sebuah mimpi

Mimpi buruk…

Dan jika seandainya ini mimpi, aku ingin segera bangun

Mendapati diriku terbangun di kamarku

Kemudian ketika aku berlari menuruni tangga

Aku akan melihat ibu dan ayah tersenyum menyambutku…

.

"Ze– "

.

.

"Zero?"

.

.

Hah? – Zero tersentak.

Kaname kemudian melangkah maju dan kini berdiri di sisi Zero, "Kau baik-baik saja?" Tanya Kaname pelan dan lembut.

Zero tak menyahut, ia tetap diam sembari memandang lekat kedua kakinya yang menginjak beberapa bunga kecil yang mencuat di tanah. Jemarinya yang sedari tadi meregang kini terkepal dan nampak gemetar.

.

.

Kenapa harus aku?

Aku selalu berdoa dan doaku hanya satu…

Agar aku bisa bersama ibu dan ayah selamanya

Melihat mereka menua

Dan mereka melihatku tumbuh dewasa

Hanya itu yang kuminta

Kami-Sama…

.

.

Kaname melirik keatas, kearah langit yang kini telah berubah warna menjadi jingga. Hari telah senja. Nyaris 3 jam ia dan Zero berdiri di tengah hujan salju. Ini tidak bagus tapi bukan bagi dirinya. Tetapi bagi Zero yang manusia dan masih kanak-kanak itu sangat tidak baik.

Sedari tadi Kaname sibuk memandangi Zero yang hanya menunduk dan beberapa waktu lalu mulai bergumam tanpa suara. Kini Kaname melihat tubuh anak itu gemetar, telinganya memerah. Wajah Kaname berubah, tangannya seketika terarah untuk menyentuh kulit Zero.

"Sepertinya kau demam, Zero. Lebih baik kita pergi sekarang."

Zero tetap tak bergeming. Tak menunjukkan tanda-tanda pergerakan dari posisinya semula. Kaname menghela nafas, memaklumi. Memang berat untuk diakui. Kaname yakin Zero sedang sibuk berspekulasi di dalam pikirannya hingga tak menyadari suhu yang menjalari kulitnya dan rasa dingin yang mulai memasuki pori-porinya.

Apa boleh buat. – Ucap Kaname dalam benaknya.

Tanpa aba-aba dan pemberitahuan Kaname langsung meraup tubuh Zero. Zero terbelalak kemudian berbalik menatap marah diikuti alisnya yang melengkung naik.

"Apa yang kau lakukan?!" Pekik Zero.

"Kita harus kembali. Suhu disini sudah menurun drastis dan aku tidak mungkin membiarkanmu tinggal lebih lama."

Zero tak menghiraukan Kaname, ia memalingkan wajahnya ke sisi yang lain dan mulai meronta. "Turunkan aku! Aku ingin tetap disini!"

"Jika kau ingin kemari , aku akan mengantarmu lagi besok."

"Apa pedulimu?! Biarkan aku disini!"

Zero yang memberikan perlawanan sama sekali tidak memberikan efek pada Kaname. Tentu saja karena kekuatan Kaname berbeda dengan manusia. Perlawanan Zero sama saja seperti nyamuk yang berusaha menggigit kulit Kaname.

Kaname hanya tersenyum, "Suka atau tidak kita kembali."


Kaname meneguk cairan berwarna merah pekat itu dari sebuah gelas kaca. Suplay darah harian walaupun itu bukan berasal dari darah manusia melainkan hewan. Sesekali ia harus menegak darah asli untuk menahan hasratnya menggigit leher seseorang. Terkadang lidahnya muak akan tablet darah. Itu wajar, sangat wajar malah. Bagaimana kau bisa menahan hasratmu ketika manusia tinggal begitu dekat denganmu tanpa pertahanan. Bukan tanpa pertahanan, rasa benci anak itu sebuah pertahanan. Pertahanan yang cukup membuat hasratnya sirna…

Kaname menghela nafas kemudian memutar-mutar gelasnya, Aku harus mencari cara untuk membuatnya memaafkanku. – batinnya.

Atau lebih dari sekedar memaafkanku…

.

.


Zero menatap lampu tidur yang remang itu dalam diam. Sesekali tubuhnya bergerak di dalam selimut untuk mencari posisi yang nyaman. Zero menutup matanya tetapi kemudian terbuka kembali. Ia tak bisa tidur. Dalam benaknya rasa kantuk tak terbesit sedikit pun. Di kepalanya masih sibuk memutar kembali memori kenangan di depan makam kedua orang tuanya. Begitu pilu hatinya menyaksikan nisan yang berdiri kokoh dimana ayah beserta ibunya terkubur dalam keheningan abadi.

Mata Zero kini memancarkan kemarahan. Kemarahan yang dalam. Dan itu pasti ditunjukkan pada Kaname yang telah mengakui segalanya. Perihal orang tuanya dan musuhnya yang menjadi penyebab ini semua. Sangat mudah dimengerti apabila Zero menyimpan kemarahan pada Kaname. Mengingat usianya dan harus menanggung kepedihan seperti ini. Bagaimana dia harus menyalurkan rasa frustasinya dengan membenci seseorang. Akan sangat mudah untuknya membiarkan amarahnya tersalurkan pada Kaname. Sangat mudah.

.

.

Tapi…

Apakah baik begini?

Membenci sesorang karena takdir buruk yang menimpamu?

.

Sebuah suara tiba-tiba terdengar dalam pikirannya. Suara yang dingin dan misterius.

.

Segalanya akan menjadi baik apabila kau membencinya

Membenci Kaname Kuran…

.

.

Zero kini sepenuhnya menegakkan tubuhnya. Suara itu, sebuah suara aneh mengusik pikirannya, "Siapa itu? Itu bukan suaraku."

.

.

Bencilah dia…

Limpahkan semua amarahmu padanya

Itu akan menjadi jalan yang terbaik…

.

.

" –Tidak! Ibu tak pernah mengajarkanku untuk mendendam!"

.

.

—Menjadi jalan terbaik…

Bagimu…

Zero

.

.

"Tidak!" Pekiknya.

Sekeliling Zero hanya merespon dalam kesunyian dan dentang seirama jam yang berdiri kokoh di sisi kanannya. Jam antik itu menunjukkan pukul 12 tepat. Zero mengerjapkan matanya beberapa kali, "Sebuah mimpikah?"

Tetapi terasa begitu nyata…

Terlalu nyata.


"Bagaimana? Tidurmu nyenyak, Zero?" Ucap Kaname sebagai pembuka percakapan pagi itu.

Mereka duduk berseberangan di meja makan dengan taplak putih. Piring-piring putih yang berkesan mewah tertata rapi di depan keduanya. Beberapa sendok, garpu, dan pisau ikut berjajar mendampingi sajian steak di sisi kanannya. Seorang pelayan wanita kini sibuk menyeberangi meja untuk mengisi kedua gelas kaca dengan air yang begitu bening.

Zero menusuk steaknya dan mengunyahnya dalam diam. Tak menyambut topik pembicaraan yang dimulai Kaname sama sekali. Kaname tak begitu memikirkannya dan ikut memakan makanannya dalam diam.

Gerakan Zero tiba-tiba terhenti yang sontak menarik mata Kaname untuk menatap sang pemilik surai perak itu. Mulutnya terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu. Tetapi niat itu diurungkan Zero sehingga kembali membawa kesunyian.

Kaname mendorong mundur kursinya," Aku sudah selesai. Jika ingin menemuiku, aku ada di ruanganku. Shiro akan menemanimu."

Setelah mengatakan itu Kaname langsung berlalu tanpa menunggu jawaban Zero. Walaupun sudah diketahui sebelumnya bahwa Zero tak akan membalasnya.


London, 25 Januari pukul 9 pagi

Pagi itu langit dihiasi dengan warna kelabu pekat tanpa sedikit celah yang membiarkan cahaya mentari masuk menerangi dataran. Diiringi butiran salju yang sedikit demi sedikit kini berjatuhan, Kaname dan Zero melangkah menyusuri jalanan setapak berbekal sebuah payung hitam. Suasana begitu sunyi.

Kejadian ini bermula saat sarapan pagi tadi.

.

.

.

"Zero." Ucap Kaname dari seberang meja makan.

Zero menghentikan tangannya yang sedari tadi sibuk menusuk daging sirloin yang begitu menggiurkan. Tapi matanya tetap tenggelam dalam bayangan surai peraknya.

"Karena pagi ini tidak ada cahaya, aku akan menemanimu jalan-jalan." Lanjut Kaname diiringi sedikit senyuman.

Zero menegakkan tubuhnya sembari kembali menusukkan garpu perak ke potongan sirloin yang sudah terpotong, "Kenapa?"

"Eh?" Kaname menatap Zero dengan pandangan bingung.

"Kenapa kau mengajakku jalan-jalan?"

"Karena cuaca mendukung untuk menemanimu berjalan-jalan. Dan kau tahu aku itu…vampire." Ucap Kaname dengan sedikit jeda kemudian beralih menggaruk sebelah pipinya yang tak gatal.

"Huh? Alasan yang klise. Berusaha menebus kesalahan, hah?" Balas Zero dingin.

.

.

Kata-kata Zero begitu dingin. Dan ia bisa mengucapkannya tanpa rasa risih dan bersalah. Kaname menyadarinya, pribadi Zero berubah dingin semenjak pulang dari makam orang tuanya. Kaname tidak mempermasalahkannya tapi terkadang ia merasa sakit juga.

Semenjak kenyataan itu terkuak, Kaname berusaha keras untuk mencurahkan perhatiannya kepada Zero. Selalu ikut ketika sarapan dan makan malam walaupun sejatinya ia tidak memerlukan makanan seperti itu sebegitu rutinnya.

Tetapi Zero tetap memenuhi ajakannya pagi ini. Itu menandakan ia cukup peduli pada perasaannya. Walaupun ditanggapi dengan dingin. Dan sekarang apapun yang ia katakan tak digubris sedikit pun.

Kaname melirik Zero di sisi kanannya, Walau begitu ia mau menerima ajakanku...sedikit menerimaku. Ucapnya dalam hati.

.

.

Hatinya yang beku

Dirinya yang dingin

Bagaimana pun caranya…

Itu akan kubuat sehangat musim panas


To be continue

A/N : yak masih datar banget cerita ini dan entah bakal jadi berapa chapt. Dan untuk reader yang sudah review dan yang sudah berkenan untuk membaca fic ini gomen baru bisa update. RL menuntut lebih jadi untuk chapt selanjutnya akan –lebih– lama baru bisa di update. Ini juga alurmya ngalur ngidul ya *tawa hambar* next chapt entah bahas apa masih bingung huahua.

Arigatou minna, review please ~