A/N : Akhirnyaaaaaa, fic pertama sayaaa. Jadi malu #digigit. Pertama-tama saya mau bilang bahwa saya sangaaat kagum dengan author-author berbakat di website ini, yang selalu menuangkan ide-ide cemerlang mereka tanpa kenal lelah, demi memenuhi hasrat kami, para readers, dalam menikmati cerita-cerita baru yang awesome! #melukGilbert #digigitGilbird. Terima kasih karna telah memotivasi saya untuk mencoba menulis he-he-he #ngelap keringat. Dan disamping itu, perjuangan untuk menulis fanfic memang nggak mudah. Nyari ide, ngecek typo, analisis jalan alur yang tepat, dan menyelesaikannya. Dan mungkin saya belum memenuhi semuanya #nunduk.

Dan akhirnya, inilah fic pertama saya.

JENG JENG JENG


Summary : Tiga pria berjiwa petualang, satu wanita abnormal, dan seorang pemuda Indonesia. Bersama, mereka mengitari globe terbesar sepanjang sejarah manusia, terkurung dalam aksi mencekam, mematikan, dan menantang demi mendapatkan sepotong berita untuk ditayangkan di layar kaca Saudara sekalian.

Dengan bangga mempersembahkan debut pertama dalam akun terbengkalai ini :


"The NEWS"

By:

RapuTopu

.

Hetalia: Axis Powers

Disclaimer : Himaruya Hidekaz


3 jam yang lalu.

Venice, Italia, 3 Januari 2013

Awal tahun baru yang cerah, penduduk-penduduk yang ramah, bangunan megah—oh! Dan jangan lupa dengan hilir air di tengah-tengah benteng perumahan kota paling indah sedunia. Sungai Venice.

Menikmati pemandangan pesona Italia yang memanjakan mata, sambil duduk menikmati bunyi desiran air di kanan-kiri benar-benar merilekskan pikiran dan jiwa.

Ini masih awal yang baru bagiku sekaligus keempat temanku ini. Lihatlah, mereka bahkan berenang-renang di sekitar sini. Bukankah ada rumor yang mengatakan air di sungai ini kotor? Ah, siapa yang peduli? Lucu sekali, mereka kini mulai berteriak-teriak.

Tunggu...

Apakah itu teriakan 'minta tolong'?

.

"AIRLANGGAAAAAAA!"

.

Oke, kelihatannya ini benar-benar keadaan darurat. Akan kulanjutkan nanti!

.

Airlangga Putra Brawijaya segera menutup laptopnya tanpa mematikan terlebih dahulu. Ditolehkan kepalanya ke belakang, dilihatnya kedua sahabatnya berenang sangat cepat saling mendahului dengan tatapan paling panik yang pernah mereka keluarkan sebelumnya.

"AIRLANGGAAAAA!"

Teriakan Francis Bonnefoy diiringi bunyi tembakan di belakang mereka membuat Natalia yang berenang di sebelahnya mempercepat gerakan tangannya seperti dinamo kapal selam bertenaga cheetah.

"Oh, Tuhan, apa yang terjadi pada kalian?" seru Airlangga panik dan meletakkan laptopnya ke sembarang tempat di perahu sempit ini. Sebenarnya ada apa ini? Bunyi tembakan. Teriakan minta tolong. Serta dua anggota yang belum kembali. Apa yang sebenarnya baru mereka lakukan?!

Airlangga menarik-narik celana pemandu gondola yang berdiri tak jauh darinya. "Sir, sir, hentikan perahu ini, temanku sedang dalam bahaya." Tetapi, pria kurus ceking di hadapannya tidak bergeming sebarang senti pun. "SIR!" bentak Airlangga tidak sabaran.

Dalam gerakan lambat, leher kurus itu menoleh. Airlangga tercekat. Selaras senjata berjenis sniper ditodongkan padanya.

Tanpa sadar, tubuh Airlangga merosot ke belakang. "A-a-apa yang—" kalimatnya tersekat paksa di tenggorakan sesaat setelah pria itu menarik pelatuknya.

"JANGAN SENTUH AIRLANGGA!"

Entah dari mana datangnya sebuah benda asing berkecepatan tinggi yang belakangan diketahui adalah salah satu sepatu hak tinggi milik Natalia, mendarat keras tepat di jidat si pemandu gondola dan membuat pria sekurus ranting itu menjerit keras dan melepaskan jari-jemarinya dari senjata miliknya. Pistol itu terlempar ke dalam sungai dan menghilang di balik layar bening air, sementara tangannya menutupi luka di jidatnya akibat serangan tiba-tiba Natalia.

Melihat kesempatan emas yang terpampang di depan mata, tanpa berpikir lagi Airlangga bangkit menerjang pria itu dengan dorongan tangan yang kuat. Walaupun ia sadar tinggi pria itu nyaris dua kali lipat dirinya, tangan petani milik Airlangga mampu membuat pria itu kehilangan keseimbangannya dan terperosok ke dalam air.

"Bagus Airlangga!" tangan Francis sudah menggenggam erat pinggiran perahu disertai Natalia yang muncul dari sisi lainnya dan langsung menerjang masuk ke dalam area tersebut. Layaknya seorang lelaki.

"Teman-teman, apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah tadi kalian sedang menyisir 'Museum Doge's Palace' sebelum aku membeli makanan?"

Francis yang sudah sepenuhnya berada dalam gondola berkata seraya mengeringkan pakaiannya, "Ya, itu dua puluh menit yang lalu, tepat sebelum pria-pria berpakaian hitam ini mengejar kita,"

Mendengar itu Natalia terkekeh. Ia memeras rambutnya sehingga tetes air terjun ke dasar gondola. "Ini hebat!" Matanya menatap Airlangga dengan senyuman lebar. "Ini benar-benar berita yang hebat!"

"Apa maksud kalian?"

Bunyi tembakan kembali terdengar dari kejauhan. Tak berapa lama teriakan-teriakan dua manusia yang diketahui sebagai suara Gilbert Beilschmidt dan Antonio Fernandez Carriedo, bergema di belakang.

"Ini dia mereka datang..." gumam Natalia manis.

Gilbert berlari kencang sembari membawa sebuah tas besar berwarna hitam yang isinya diperkirakan seberat 4 kilogram, sementara di sebelahnya, seseorang dengan kamera besar turut berlari di sebelah Gilbert, merekam segala kegiatan yang terjadi saat ini.

"Pemirsa!" seru Gilbert di tengah-tengah napasnya sambil tetap tersenyum awesome kearah kamera. "Di tangan saya ini terdapat koin-koin hasil peninggalan suku Maya yang diperkirkan ada sejak beberapa ratus tahun yang lalu—Hey! Arahkan kamerahnya ke arahku!" sungut Gilbert kesal karena Antonio terus-terusan menyorot wajah-wajah kesal puluhan pemuda berpakaian serba hitam di belakangnya.

"Hey! Gilbert mengambil bagianku!" seru Natalia marah.

Sementara Airlangga hanya bisa menatap kedua orang yang tengah berlarian di jalanan Venice itu dengan wajah yang dipenuhi pertanyaan.

"Disini aku reporternya! Jadi arahkan—Nah! Selamat siang, pemirsa. Kembali lagi bersama saya Gilbert Beilschmidt dalam Breaking News 'The World'. Bisa dilihat, di tangan saya ini ada koin-koin peninggalan suku Maya dalam jumlah puluhan, yang bila ditilik dari buku sejarah biasanya digunakan oleh Suku Maya ratusan tahun lalu untuk bertransaksi jual beli."

Bunyi tembakan keras dari belakang kembali terdengar. "Lalu, mengapa benda-benda ini ada di tangan saya? Hahahaha! Pertanyaan yang bagus sekali. Pertanyaan yang sama juga ini saya tanyakan pada orang-orang ini," Antonio kembali mengarahkan kameranya ke arah pria-pria di belakangnya. Kamera kembali mengarah ke wajah Gilbert dan Antonio sedikit memberikan efek zoom.

Gilbert mendekatkan wajahnya ke kamera dan berbisik. "Ini. Adalah. Transaksi. Gelap. Warga. . Museum. Doge's Palace..." katanya dengan nada datar seperti pembawa berita di infoteiment. Dia bahkan memberikan desisan misterius di akhir kalimat.

"Lihat! Itu mereka!" seru Antonio sambil menunjuk ketiga temannya yang sedang berada di dalam gondola. Dengan bersemangat ia melambai-lambaikan tangannnya ke arah mereka.

"Hey! Hey! Antonio! Fokus ke arah berita!" tegur Gilbert kesal.

Antonio seketika tersadar. "Oh-oh ya! Baik!" serunya patuh.

Disaat Gilbert hendak mengeluarkan sepatah kata-kata awesome -nya lagi, serentetan bunyi peluru menggema di udara, mengundang kepala-kepala dari balik perumahan Venice perlahan-lahan melongok keluar untuk melihat sumber keributan yang terjadi.

"Eng... Gil, sebaiknya kita lanjutkan ini disana saja..." lirih Antonio, karena di samping kelelehan akibat berlari dari Museum, tangannya juga sudah tidak mampu terus-terusan menenteng kamera seberat 2 kilogram ini.

"...Yah, baiklah... Kelihatannya mereka juga sudah tidak sabaran untuk membunuh kita."

Natalia menggunakan dayung yang tersisa di dalam gondola untuk merapatkan benda ini agar lebih dekat dengan pinggir jalan.

"Cepat naik!" seru Francis.

Dengan semangat, mereka berlari mengejar gondola lalu melompat bersamaan ke dalamnya. Mendapat tambahan beban, perahu kecil ini oleng tak terkendali.

"Kita harus segera pergi dari tempat ini!" seruan Francis menyadarkan keempat temannya untuk mendayung perahu ini menggunakan benda apa saja agar terhindar dari kejaran manusia-manusia serba hitam di belakang mereka.


.

"The NEWS"

Chapter I

Natalia Arlovskaya : Reporter of 'The NEWS'

Gilbert Beilschmidt : Leader of 'The NEWS'

Antonio Fernandez Carriedo : Camera-man of 'The NEWS'

Francis Bonnefoy : Driver of 'The NEWS'

Airlangga Putra Brawijaya : Observator of 'The NEWS'

.


"Bagaimana mungkin benda-benda itu bisa hilang?" Gilbert terus-terusan mengobrak-abrik tas hitam besarnya yang awalnya terisi oleh koin-koin Maya yang super langka itu. Tetapi sekarang, semuanya lenyap.

"Oh ya? Coba aku tanya padamu mengapa bisa ada lubang besar di bawah tas itu?" sahut Natalia santai seolah-olah perkara ini bukanlah masalah besar.

Mata Gilbert terbelalak kala dilihatnya lubang besar itu ketika tas tersebut di angkat tinggi-tinggi ke udara. Dari balik lubang besar tersebut, wajah kesal Gilbert terpampang. "Shi-..."

"Lain kali, biarkan aku yang meliput dan kau hanya perlu duduk di mobil sambil memantau sekitar!" sahut Natalia otoriter.

"Oh? Dan membiarkan kami tertembak terlebih dahulu lalu kau mewawancari mayat kami, begitu maksudmu?" seru Gilbert tidak mau kalah.

Kini giliran Francis yang berkomentar. "Hey, hey, sudahlah. Berita itu sudah pasaran, orang-orang tidak akan percaya bila kita tidak punya bukti. Walaupun pada kenyataannya kita memang menemukannya..."


Venice, Italia, 3 Januari 2013

Perjalanan menuju Jerman

Oke, ini cukup mengerikan. Kami baru saja mendapatkan berita baru dari museum terkenal Italia sebelum kami diserang sekelompok pria berbaju hitam yang misterius.

Beruntung kami sempat menyelamatkan diri.

Sekarang kami sedang dalam perjalanan kembali ke Jerman untuk bertemu dengan Ludwig dan melaporkan hasil reportasi kami. Tapi,mengingat nasib satu-satunya barang bukti kami yang hilang dalam sabotase tas hitam milik Pak Satpam penjaga museum, kelihatannya kami akan mendapat bahaya besar nantinya.

PS: Kelihatannya rumor tentang keberadaan mafia Italia itu benar.


Di dalam mobil van besar yang mirip seperti milik Fred, Scooby-Doo dan kawan-kawannya, lima orang ini duduk gundah dan diam dalam kesibukkan masing-masing.

Francis masih menyetir sambil menyenandungkan lagu tradisional Perancis "Douce France" yang tingkat ke-romantis-annya melewati angka normal dan membiarkan angin semilir perbatasan Austria-Italia menggulung rambut indahnya. Antonio duduk di sebelah Francis, duduk menyilang dengan kain lap putih di tangannya, ia mengelap hati-hati lensa kameranya dengan penuh cinta. Gilbert duduk di belakang jok Francis, masih cemberut dan memaki-maki orang yang tega merusak tas penuh barang bukti itu dengan bahasa Jerman yang sulit dimengerti. Natalia yang duduk di sebelah Gilbert, yang duduk diam dengan raut wajah sulit diterka, hanya mengasah pisau belatinya yang makin hari terlihat kian tajam itu. Sementara, satu-satunya warga Asia Tenggara di mobil itu masih asik menulis sesuatu di laptopnya.

"Apa ada yang mau pisang goreng?"

Pertanyaan lugu yang meluncur mulus dari mulut Airlangga itu spontan disambut dengan tatapan membunuh dari Gilbert dan Natalia.


3 hari kemudian. Di penginapan Kota Inssbruck, Austria.

"Yak! Disini kita bisa melihat puluhan koin emas Suku Maya yang hilang, pemirsa! Bukan hanya puluhan bahkan ratusan! Dan koin-koin emas ini ditemukan secara tidak sengaja oleh SAYA di sepanjang tepi sungai Venice yang tenang. HAHAHAHA! SAYA MEMANG HERO! Lalu, apa istimewanya koin-koin ini? Jangan salah, Pemirsa! Koin-koin ini adalah media transaksi gelap mafia Al Pacino di Italia yang belakangan ini menjadi masalah di Eropa Barat. Dengan ditemukannya bukti di tangan saya, polisi Italia akan segera menindaklanjuti kasus ini secepatnya dan mengondusifkan negara mereka. Dengan bukti ini tentunya Italia akan tenang seperti dulu. Jangan terlalu berterima kasih pada saya! Saya memang HERO! HAHAHAH! Saya Alfred. F. Jones dan kru yang terlibat, mengucapkan sampai jumpa dan selamat menikmati weekend!"

"APA-APAAN INI?!"

Gilbert menendang kursi hotel di depannya.

"Hei, kawan." Francis dan Antonio spontan menarik kembali tangan sahabatnya dan menenangkan pemuda itu. "Sudahlah. Merusak barang seperti itu tidak ada gunanya, Gil. Lebih baik kita langsung remukkan saja televisinya. Bagaimana, Francis?" Tanpa jawaban, dengan kompak kedua orang itu mengangkat meja hendak melempar televisi, namun sebelum meja itu sempat terangkat, Airlangga keburu panik dan menarik tangan keduanya.

"Hei! Apa kalian gila?!"

Merasa putus ata, akhirnya ketiga orang itu hanya terduduk pasrah di sofa dengan wajah tertunduk digeluti aura hitam yang pekat.

Airlangga menghembuskan napas berat melihat ketiga temannya yang selalu heboh itu mendadak murung. "Bagaimana mereka bisa mendapatkannya?" tanyanya putus asa.

Natalia sejak tadi hanya duduk di sudut ruangan kamar hotel mengasah pisau belatinya dalam diam. Kini gadis Belarus itu ikut berkomentar. Datar tanpa menoleh. "Aku tidak tahu dia siapa, tapi aku akan menemukannya dan membunuhnya."

Airlangga tidak bisa berbicara banyak mengingat keempat temannya itu sudah dibutakan rasa kecewa yang berat. Dia juga sama kecewanya dan merasa terpukul.

Bahan berita ini bukan sekedar topik hangat pagi hari yang menimbulkan sensasi tegang pada pemirsa di rumah. Tapi berita ini adalah penentu masa depan pekerjaan mereka sebagai reporter.

Padahal mereka baru saja mendapatkan berita hebat kala berada di ujung karir yang terancam putus. Berita yang selama ini menjadi bahan perbincangan di belahan Eropa Barat, yang kerap menjadi misteri yang tak kunjung terpecahkan dan tetap terpendam di bawah tanah. Seandainya saja mereka menjaga barang itu dengan baik dan melaporkannya pada Ludwig atau polisi setempat bila mereka kebetulan dipergoki membawa koin emas Maya, setidaknya mereka bisa mendapatkan kesempatan lagi untuk melanjutkan pekerjaan di kantor Ludwig. Menjadi reporter yang selalu mengeliling dunia dalam berburu berita.

Tapi Airlangga dan keempat temannya tak bisa berharap banyak. Ludwig pasti marah besar terlebih jika mengetahui berita yang awalnya mereka temui, sekarang sudah berada di tangan Alfred beserta timnya. Sungguh ironis.

Mereka terlalu tidak becus dalam mencari berita. Entah tersesat di tempat kejadian, ditipu oleh narasumber, merusak tempat orang lain, dan menghilangkan bahan berita dalam perjalanan. Hal ini sudah kelewat sering dan tak bisa dianulir lagi oleh Ludwig yang kerap bersabar dengan hasil pekerjaan mereka. Mereka bahkan tidak pantas dipanggil reporter.


Hotel Tautermann, Inssbruck, Austria, 5 Januari 2013

Musim dingin semakin mengerikan. Aku tidak menyangka Austria jauh lebih dingin daripada Italia.

Oke. Biar aku luruskan. Tadi aku bilang barang bukti berita kami sudah cukup mengerikan.

Dan coba tebak.

Berita itu sekarang berada di tangan kru Alfred dan mereka sudah menayangkannya di TV.

Kali ini mereka sudah benar-benar keterlaluan. Apakah mengganggu kami dalam mencari berita tidak cukup buruk? Oh, ayolah. Kami baru menayangkansebuah berita tiga minggu yang lalu, dan itu adalah tentang kematian banteng Antonio. Kami baru saja mendapatkan berita hangat kemarin. Berita spektakuler malah!

Dan itu tidak berlangsung lama karena kami kehilangannya. Bahkan sekarang berita kami baru saja ditayangkan di TV.

Mereka benar-benar membuatku gerah.

Beri mereka pelajaran, Tuhan. Apapun itu. Entah fisika atau sastra Irlandia. Apapun asalkan mereka tidak terus-terusan berbuat curang pada kami dan merusak karir kami sebagai reporter.

PS: Oh. Dan satu hal lagi, Tuhan:

"Jangan buat Ludwig menonton beritanya."


11.00 pm

Kamar nomor 321.

Airlangga menyimpan laptopnya di bawah tempat tidur.

Ketika ditolehkan kepalanya ke sebelah, dilihatnya ketiga pemuda itu sudah terlelap dan mungkin tanpa mereka sadari, saling berpelukan. Dilayangkan pandangannya ke sudut ruangan dan dilihatnya Natalia terkapar di lantai dengan guratan-guratan di karpet, kelihatannya hasil tarian belatinya.

Airlangga menghela napas, kelihatannya itu juga waktu bagi dirinya untuk tidur. Tubuhnya menggeliat mencari sisi nyaman. Diputar badannya agar membelakangi ketiga orang itu. Bunyi-bunyi kendaraan yang samar di luar sana begitu memanjakan telinganya.

Kasur hotel ini nyaman sekali. Ia tidak yakin besok bisa bangun pagi-pagi untuk kembali ke Jerman.

Perlahan matanya terpejam.

KREKK!

Matanya terbuka. Apa itu?

Ia membalikkan tubuhnya cepat dan menoleh ke arah pintu. Suaranya dari arah sana.

BUG.

Kali ini terdengar bunyi barang jatuh. Airlangga menegakkan punggungnya. Keningnya berkerenyit. Bunyi-bunyi itu terdengar asing dan tidak wajar. Bagaimana kalau... ia mencoba memastikannya?

Perlahan, Airlangga menurunkan kaki-kakinya. Tanpa berusaha membangunkan yang lain, ia berjalan berjingkat-jingkat, melewati rambut Natalia yang tergerai di lantai, dan melintas di samping tempat tidur ketiga orang hiperaktif itu.

Berdiri di depan pintu membuat potongan kayu ulin itu terlihat begitu menggoda dari sini untuk dibuka.

Dengan hati-hati jemarinya membuka kunci dan memutar gagang.

Airlangga melongokkan kepalanya sedikit dan melihat ke luar, dimana pemandangan warna karpet yang teduh dan lampu yang menempel di seberang dinding menjadi panorama pertama yang menyambut dirinya. Merasa semakin penasaran, perlahan satu kakinya keluar dari kamar dan menapak pelan di permukaan beludru di luar kamar.

"Kita bereskan pria ini segera."

Airlangga menolehkan kepalanya cepat.

Dari balik pintu, ia mengintip. Tak jauh dari kamarnya, terhitung dua kamar dari pintu ini, pintu kamar di seberangnya terbuka. Airlangga menyipitkan matanya waspada.

Seorang pemuda berpakaian serba hitam berjalan mundur keluar dari pintu kamar itu.

Tidak. Dia bukan berjalan mundur. Melainkan tengah menarik sesuatu.

Astaga. Itu kaki seseorang!

Penuh dengan darah…

Tak lama kemudian terlihat seorang lagi turut membantu pekerjaan pria itu dalam menyeret manusia yang kelihatannya sudah tak bernyawa. Kedua orang tersebut mengeluarkan tubuh itu dengan hati-hati kemudian membawanya keluar tanpa terlihat peduli bila sewaktu-waktu penjaga akan memergok mereka.

Airlangga menutup mulutnya tak percaya.

Ada pembunuhan di hotel ini!

Dia harus memberitahukan teman-temannya!

Matanya melirik sebentar ke dalam kamar dan melihat keadaan teman-temannya. Mereka masih tertidur pulas. Mungkin karena kelelahan dijejali oleh makian sepanjang hari.

Airlangga berpikir sebentar, lalu wajahnya terlihat mantap dan yakin. Kelihatannya dia harus menjadi orang pertama yang mengecek perkara ini.

Merasa yakin bahwa kedua orang itu sudah pergi, tanpa membuat suara berisik, ia berjalan keluar dari kamar.

Ia berjingkat-jingkat menuju kamar yang masih terang dan terbuka itu. Entah ia harus memuji si pembunuh yang berhasil menuntaskan pekerjaan tanpa ketahuan penjaga atau mengatakan mereka bodoh karena terlalu nekat melakukan aksi kriminal di tempat umum seperti ini.

Ia sudah dekat dengan pintu kamar tersebut. Dan keadaan masih sangat sepi.

Tanpa merasa ragu, ia melongokkan kepalanya ke dalam kamar.

Dia cukup terpukau karena keadaan kamar tidak berantakan sama sekali seperti yang dia pikirkan. Oh, mungkin ia melewatkan noda darah di karpet itu.

Merasa semakin tertarik dengan kasus ini, ia masuk ke dalam ruangan tersebut.

Penjahat-penjahat itu sungguh telaten dalam membunuh seseorang, tergolong bersih. Entah siapa yang dibunuh kali ini. Barang-barang si korban bahkan masih berada di tempat tidur dan awet terbalut koper.

Sungguh ini berita yang hebat!

Pembunuhan di hotel dan pelakunya keluar bahkan menampakan dirinnya langsung. Ini benar-benar hebat!

Sekarang tinggal menyelediki siapa dua misterius itu dan tamu yang baru tiba di kamar ini. Ini tentu akan menjadi hal yang menyenangkan bagi keempat temannya.

Mungkin Tuhan tak benar-benar ingin mereka keluar dari dunia reporter ini.

Airlangga terlalu senang dan tak sabar untuk memberi tahu teman-temannya.

Namun ketika ia berbalik, warna di wajahnya mendadak pucat. Urat-uratnya menegang kuat, tubuhnya seketika membatu.

Di hadapannya, dua orang berpakaian hitam, kedua pembunuh itu, sudah berdiri tepat di depannya dan membentengi jalan keluar di ruangan ini dengan wajah datar.

Airlangga tercekat dan tak sadar melangkah mundur.

Klik.

Bunyi pelatuk terdengar. Tengkuk Airlangga merinding. Sesuatu telah menempel di belakang kepalanya.

Dan Airlangga sudah bisa menebak tanpa harus melihat, bahwa benda itu jelas adalah pistol.

Detik berikutnya, sebuah hantaman keras mendarat di lehernya. Cahaya tak terbias lagi dimatanya.


Natalia terbangun karena merasakan panas di sekujur tubuhnya. Kelihatannya cuaca dingin benar-benar tidak mendukung bila ia berbaring di karpet. Pandangannya terpaku pada pintu kamar yang terbuka, dan menjadi semakin terjaga ketika dilihatnya Airlangga sudah tidak berada di tempat tidur.

"Ggr. Ini pasti ulah Airlangga."

Dengan ogah-ogahan ia bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu.

Ketika hendak ditutupnya pintu itu, ia mendengar percakapan seseorang diluar.

"Cih. Seenaknya saja mengintip pekerjaan orang. Mau diapakan orang ini? Dibunuh saja atau-"

"Bawa saja ke markas. Aku rasa ia bisa dimanfaatkan."

Natalia mengintip keluar. Matanya terbuka lebar. Tiga orang tengah berdiri di depan jendela besar di ujung lorong dengan seorang pemuda yang tak sadarkan diri digendongan mereka.

"Ugh, baiklah bila itu memang maumu."

Walaupun masih setengah sadar, ia sangat yakin orang yang digotong dua pemuda itu adalah Airlangga!

Ia langsung berlari mengejar orang-orang berpakaian gelap itu. "BERHENTI!"

Ketiga orang itu menoleh dan mendapati seorang wanita berwajah garang yang menggenggam pisau di tangan kanannya sedang berlari penuh semangat menuju mereka.

"Cepat pergi dari sini!" seorang yang terlihat sebagai pemimpin memerintahkan kedua anak buahnya agar cepat pergi dari tempat ini.

"BERHENTI!"

Dengan penuh rasa kesal, Natalia menggenggam pisau dengan erat dan melambungkannya dengan cepat menuju kawanan tersebut. Nyaris mengenai satu orang, pisau itu malah menancap di lis jendela.

Satu persatu mereka melompat turun.

Natalia tiba di depan jendela beberapa saat kemudian, tepat setelah orang terakhir melompat. Ia mencabut kembali pisaunya dan langsung melihat ke luar. Ketiga kawanan ini terlihat berlari menuju sebuah mobil hitam di seberang jalan.

Tanpa membuang waktu, Natalia melempar pisau kearah kaca film mobil tersebut dan membuatnya retak. Namun lagi-lagi tak kena siapapun. Natalia menggeram kesal.

Tatapan matanya mengikuti gerakan mobil yang melaju di jalanan bersalju itu lalu menghilang di tikungan.

Mata Natalia menyipit.

"CD_S970"

Aneh. Plat orang yang berstatus diplomat. Dan terlebih lagi itu plat khusus Negara Belgia.

Natalia memukul dinding. Sekarang dia kehilangan jejak orang itu dan kehilangan Airlangga! Sial sekali! Yah, tapi setidaknya orang bodoh itu meninggalkan bukti dan petunjuk yang cukup jelas.

Lusa, mereka harus sudah berada di Jerman dan melaporkan hasil liputan gagal mereka pada Ludwig. Tapi mengingat mereka kehilangan satu anggota, kelihatannya mereka mendapatkan tugas baru.

Natalia berlari kembali ke kamar dan membangunkan Trio yang masih tertidur.

"Hei! Bangun! Airlangga diculik!"

Gilbert menggeliat gelisah dan memutar badannya menghadap Francis. "Elizaveta, jangan sekarang…"

"Aku bukan Elizaveta bodoh!"

Natalia menendang kasur king size itu dengan sekuat tenaga dan membuat ketiga orang itu terjungkang ke lantai.

Francis jatuh pertama kali, lalu dulu diikuti Gilbert, dan yang terakhir Antonio.

"Argh. Sakit sekali." desis Francis.

"Bangun pemalas!" Natalia menghampiri mereka dan menendang kaki masing-masing orang. "Cepat bangun! Aku punya berita penting!"

Antonio terguling ke lantai masih dalam keadaan mengantuk. Sementara Gilbert dengan malas-malasan menurunkan dirinya dari dada Francis. Ia terduduk di sebelah pria berbulu dada itu. Matanya dikucek-kucek malas. Perlahan didongakkan kepalanya. "Ada apa, sih?"

"Airlangga diculik!"

Gilbert mengerutkan keningnya. Dilayangkan pandangannya ke tempat tidur dan sosok Airlangga yang memang memiliki kulit eksotis sendiri itu sudah lenyap. "Kemana dia?"

"Diculik, bodoh. Ayo cepat! Aku mau menunjukkan sesuatu padamu!"

Natalia menuntun Gilbert menuju pintu kamar tempat Airlangga dibawa keluar oleh dua pemuda misterius beserta satu pria lagi, yang entah kenapa menggendong Airlangga yang sedang dalam keadaan tidak sadar.

"Jangan-jangan dia melewatkan malam bersama pria-pria itu."

"Tidak mungkin! Jangan main-main, Gil. Fokus." Natalia memenjarakan wajah Gilbert dengan dua telapak tangannya dan memaksa pria albino itu menerima sugestinya. "Lagipula satu jam itu waktu yang kurang, kau tahu."

Gilbert meringis.

"Aku sudah mengejar mereka tapi tidak berhasil. Mereka berlari lalu keluar melalui jendela itu," Natalia menarik tangan Gilbert menuju jendela besar di ujung lorong, tempat ketiga pria tadi melompat. "Disini, mereka melompat turun dan berlari menuju mobil yang berada di sebelah lampu jalan di seberang sana."

Gilbert mengikuti gerakan tangan Natalia yang berhenti di ruang kosong, daerah yang disinari cahaya lampu, kontras dengan warna jalanan yang gelap.

Gilbert terlihat berpikir. Ia kembali menolehkan kepalanya ke belakang, melihat pintu kamar yang masih terbuka itu, lalu seolah-olah mengikuti bayangan ketiga orang tadi, pandangannya perlahan berallih menuju tempat mobil tadi diparkirkan. Keningnya bertaut, terlihat seperti orang yang berpikir keras.

"Natalia."

"Apa?"

"Kau yakin Airlangga benar-benar diculik? Oleh tiga orang misterius? Di hotel seperti ini?"

Natalia menautkan alisnya bingung karena mengira Gilbert masih meragukan kesaksiannya. "Tentu saja! Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri! Aku masih mengingat plat nomornya dan pisauku masih tertancap di kaca mobil itu,"

Gilbert menyunggikan seringainya. Dia terkekeh pelan dan semakin terdengar mengerikan. Pandangannya sama sekali tak teralih dari tempat mobil itu terparkir. Mata rubinya berkilat dan jari-jarinya menggenggam bingkai jendela erat sekali, sehingga urat-uratnya kelihatan.

"Kau tahu apa yang aku pikirkan?" tanyanya pelan tanpa menoleh. Tanpa menghapus seringainya.

Natalia tercenung sebentar melihat perilaku Gilbert yang mendadak aneh. "…apa?"

Seumur hidup, baru kali ini Natalia melihat sunggingan senyum Gilbert yang terlihat lain dari biasanya. Dan entah mengapa suasana sekitar menjadi semakin dingin.

Dan untuk pertama kali juga, Natalia melihat kilatan bara api penuh semangat dari mata rubi itu ketika pria di sebelahnya ini menoleh kearahnya dan menatap intens.

.

"Ini akan menjadi bahan berita yang AWESOME."

.

.

.

To be Continued


A/N : Terima kasih, kawan-kawan, yang masih setia membaca sampai pada bagian A/N. Sungguh, membuat fic ini bener-bener penuh perjuangan, putus asa, dan peluh keringat #halah. Padahal jadinya juga nggak seberapa. Yah, dan karena ini adalah karya pertama saya, mohon kritikannya.

Dan untuk beberapa istilah dan nama tempat yang terasa asing, berikut penjelasannya!

-Douce France : Lagu tradisional Perancis yang diciptakan Charles Trenet pada tahun 1943. Saya coba-coba denger lagunya dan kerasa banget suasana romantis ala Perancis-nya! Coba deh didenger juga.

-Museum Doge's Palace : Salah satu museum di Italia yang terletak nggak jauh dari Sungai Venice.

-Kota Inssbruck : Biasanya kalau warga Jerman mau ke Italia atau sebaliknya, mereka akan bermalam di kota ini, tepatnya di kota Austria.

-Hotel Tautermann : Hotel yang terbilang cukup murah di kota Austria dan dekat dengan pusat kota.

-CD_S970 : Ini plat khusus negara Belgia, khusus diciptakan bagi orang berstatus diplomat. Lah, terus kenapa bisa ada di Austria yang jelas-jelas jauhnya bermil-mil? Masalah ini akan saya jelaskan di chapter mendatang. Huehehe.

Apakah sudah ada yang bisa menebak siapa ketiga orang berbaju hitam itu?

Sign, Rapuh.

PS : SELAMAT UNTUK DINOBATKANNYA RAJA BELANDA YANG BARU, WILLEM ALEXANDER!