Memories—

Author: Rin

Chapter: 1/2

Disclaimer: All casts is belong to theirselves.

Rated: T

Pair: YeRy (Yesung x Henry), slight KiHyun

Genre: Romance – Angst – Hurt/Comfort

.

Inspired by Memories in the Rain Arc (Bleach Manga)

.

Warning: AU, Shonen-ai, crack pair, OOC untuk keperluan cerita, dll.

.

.

Based on True Story—

.

Seorang namja berkulit putih menatap hujan yang turun di balik jendela kamarnya. Beberapa detik kemudian, ia mengalihkan pandangannya ke arah kalender yang berdiri tegak di atas meja. Bergantian, ia terus mengulang kegiatan itu hingga akhirnya ia merasa bosan sendiri. Helaan nafas berat terdengar dari mulutnya. Ia menatap frustasi ke arah pekarangan rumahnya. Hujan semakin deras, sementara orang yang sejak tadi ditunggunya tidak kunjung menampakkan diri.

"Kenapa di tanggal ini harus selalu hujan sih?" gerutunya, entah kepada siapa.

Ia beranjak dari tempatnya semula berada dan berjalan keluar kamarnya. Diseretnya kedua kaki mungilnya ke arah dapur, berniat untuk membuat secangkir coklat hangat—setidaknya ia tidak akan kedinginan menanti namja yang seharusnya tiba di rumahnya sejak tiga puluh menit yang lalu.

Lima menit berlalu, ia berjalan menuju ruang tengah dengan sebelah tangan yang memegang secangkir coklat hangat, sementara tangannya yang lain menatap layar ponselnya. Kedua matanya fokus menatap layar ponsel, sebelum kemudian jari-jarinya mulai menari lincah di atas layar touchscreen—membalas pesan yang baru saja diterimanya.

Ia menghela nafasnya—lagi. Didudukkannya tubuh kecilnya itu di atas sofa panjang dengan kedua kaki yang ia angkat hingga posisinya terlihat seperti berjongkok. Setiap tahun, selama tiga tahun terakhir ini, di tanggal yang selalu sama, semuanya tetap sama. Miris, seulas senyum—yang jelas terpaksa—terukir di wajahnya. Setitik air mata mengalir di pipi chubbynya yang putih. Ia menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya, membiarkan dirinya sendiri tenggelam dalam sebuah kenangan yang terlalu menyakitkan.

"Gege, kenapa kau harus pergi secepat itu?"

.

.

.

Bulan Desember, empat tahun yang lalu—

Salju di pertengahan musim dingin turun dengan sangat deras, membuat semua kegiatan manusia serta makhluk hidup lain menjadi terhambat. Siapa pula orang bodoh yang mau berkeliaran di tengah derasnya salju yang terus turun tanpa henti sejak tiga jam yang lalu? Bahkan para hewan yang katakanlah tidak memiliki pemikiran akan lebih memilih untuk diam di sarangnya hingga udara kembali menghangat.

Seorang namja berpipi chubby menatap lesu ke arah pekarangan kampusnya yang seluruhnya tertutup selimut putih tersebut. Tas yang ia gendong di bahu kanannya hampir tejatuh karena tangannya yang mendadak lesu. Dipeluknya tas berisi biola yang sejak tadi ia genggam di tangan kirinya.

"Tahu begini tadi aku tidak usah ke ruang musik..." keluhnya, sambil tanpa sadar mempoutkan bibirnya, membuatnya menjadi terlihat imut.

Salju memang sedikit mereda, namun tetap saja tidak lebih baik baginya. Memangnya siapa yang mau berjalan di luar kalau hanya dalam beberapa langkah saja tubuhnya akan langsung tertimbun tumpukan salju?

Ia menghela nafas—untuk yang kesekian kalinya di hari ini, menyesali kebodohannya yang tidak membawa payung saat ini. Setidaknya, itu bisa menahan agar dirinya tidak usah menjadi boneka salju.

"Mau ikut denganku?"

Ia tersentak ketika sebuah suara menginterupsinya. Seketika ia menoleh ke samping kanannya, dimana seorang namja yang sedikit lebih tinggi darinya sedang menatap ke arahnya dari kedua matanya yang sipit dan tajam namun berkesan ramah, sambil tersenyum ke arahnya.

Namja itu kini tengah sibuk membuka payung hitamnya, sebelum kemudian ia kembali mengalihkan pandangannya ke arah namja manis berpipi chubby tersebut. "Jadi... mau menumpang dengan payungku?"

"E-eh? Boleh?"

Namja berkepala besar itu menganggukkan kepalanya—dengan senyum yang belum hilang di wajahnya. "Tapi mungkin aku hanya bisa mengantarmu sampai halte di depan sana."

Namja manis tersebut hanya tersenyum lebar. "Gwaenchana... ng, gege... itu sudah cukup. Tujuanku memang mau ke sana..."

Ia terpaku beberapa detik. Gege? Dia bukan orang Korea ya?

Namun, sepersekian detik kemudian, ia kembali tersenyum. "Kajja, ayo pergi..."

Dan berikutnya, kedua namja itu menembus terjangan hujan salju di bawah naungan payung hitam milik namja berkepala besar itu.

.

"Ngomong-ngomong, namamu?"

"Ah, Liú Xiànhuá… tapi gege bisa memanggilku Henry…"

"Arraseo, namaku... Kim Jongwoon. Tapi orang-orang lebih mengenalku dengan nama Yesung..."

.

Bulan pertama mereka mengenal adalah saat dimana benih bernama rasa ingin tahu berkembang hingga membuat interaksi mereka menjadi jauh lebih sering.

.

.

Bulan Januari, tiga tahun yang lalu—

Henry menatap pekarangan kampusnya yang ditutup salju. Sama seperti bulan lalu ketika ia bertemu dengan orang itu, namja berkepala besar yang mau memberinya tumpangan payung sampai ke halte di depan kampusnya. Kedua tangannya memeluk tas biola miliknya seolah tidak ingin ada siapapun—atau apapun—yang boleh merusaknya.

Deja vu memang melihat keadaannya saat ini yang mirip dengan kejadian beberapa minggu yang lalu, tepatnya ketika ia tengah meratapi nasibnya yang naas—tidak membawa payung sementara hujan salju dengan santainya malah turun semakin deras. Hampir mirip, namun kali ini tujuannya diam di sini berbeda dengan ketika ia melakukan hal yang sama beberapa minggu yang lalu.

Ia mengambil ponsel miliknya yang ia letakkan di saku jaketnya. Ditatapnya jam yang tertera di layar ponselnya. Ia menghela nafas ketika dilihatnya jam yang sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. Dimasukkannya kembali benda persegi itu ke dalam saku jaketnya dan ia pun kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat terhenti tadi.

Memandangi butiran-butiran salju yang turun semakin perlahan menuju tanah untuk segera bergabung dengan butiran lainnya yang telah lebih dulu menabrak bumi.

Ia memejamkan matanya dan menghirup nafas dalam-dalam. Dingin, itu kesan pertama yang didapatkannya, tapi selain itu juga terasa menenangkan. Baginya, mungkin musim dingin jauh lebih baik dari musim panas.

"Kau sedang tidak ada kerjaan ya, Henry-ah?"

Lagi, suara yang sama dengan yang pernah menginterupsinya dulu kembali ia dengar. Namun, ini bukan kali keduanya ia mendengar suara itu. Ini bahkan sudah entah yang keberapa kalinya ia mendengar suara baritone rendah itu menyapanya. Mungkin ratusan atau bahkan sudah ribuan.

Henry membuka matanya dan mendapati seorang namja berkepala besar dengan mata yang agak sipit tengah menatap ke arahnya sambil tersenyum lebar. Ia mempoutkan bibirnya ketika dilihatnya kalau senyum itu sebenarnya hanyalah sebuah seringai jahil yang memang sengaja ditujukan untuknya.

"YA! Gege, kau ini hobi ya menggangguku seperti ini!"

Ia hanya terkekeh pelan melihat dongsaengnya ini marah padanya—lagipula ia juga tahu kalau namja berpipi chubby di sebelahnya ini tidak benar-benar serius marah padanya.

"Haha, mian… Ngomong-ngomong, apa aku terlalu lama barusan?"

Henry menggelengkan kepalanya perlahan. "Tidak juga, setidaknya aku jadi bisa menikmati salju sampai akhirnya gege malah menggangguku."

"Haha, arraseo. Salahkan dosenku yang dengan gilanya malah menyuruhku untuk membawa tumpukan buku-buku partitur itu ke ruang musik." Kali ini giliran Yesung yang memasang wajah cemberut, yang otomatis menimbulkan kikik kecil dari namja yang jauh lebih muda darinya itu.

"Ya, gege. Kau mau merajuk padaku juga itu percuma. Harusnya kau katakan itu depan dosenmu."

Yesung memutar matanya. "Kulakukan itu dan berikutnya aku harus merelakan setengah nilaiku di semester ini."

Henry tidak dapat menahan tawanya, hingga akhirnya ia malah tertawa sambil memegangi perutnya. Dan tentu saja hal itu membuat Yesung agak tersinggung lalu—

PLAK.

—beberapa lembaran partitur musik dipukulkan oleh Yesung tepat ke kepala namja manis yang kini tengah memegangi kepalanya.

"Ya, gege. Appo..." kata Henry, lirih.

Namun Yesung memilih untuk segera berlalu dari tempat itu—pura-pura marah tentunya. Ia tidak akan pernah bisa merasa marah pada namja yang sejak awal sebenarnya sudah membuatnya tertarik itu.

.

Bulan kedua mereka mengenal adalah saat dimana rasa ingin tahu berubah menjadi sesuatu bernama ketertarikan.

.

.

Bulan Februari, tiga tahun yang lalu—

Penghujung musim dingin, dan sebentar lagi musim semi akan segera menjelang. Henry masih setia dengan kegiatannya yang tanpa disengaja justru menjadi sebuah kebiasaan rutin yang tidak perlu disepakati. Menunggu seorang Yesung keluar dari kelasnya sementara ia berdiri diam di teras depan kampusnya sambil mengamati salju yang kini semakin jarang turun.

Namun ada satu yang disadarinya selama dua bulan terakhir ini, ada satu hari dalam satu minggu dimana ia tidak bisa menemukan gegenya itu di universitas ini. Bukan karena ia tidak ada jadwal kuliah di hari itu, karena ia sendiri sejujurnya sudah hafal seluruh jadwal kuliahnya, bahkan termasuk jamnya sekalipun—YA! Jangan katakan kalau ia stalker atau sejenisnya, Yesung sendiri yang memberitahu semua jadwal padanya.

Hanya di hari itu, ia tidak akan melakukan kegiatan hariannya yang rutin ini. Khawatir mungkin saja, terutama ketika kali pertama ia mengalaminya. Hari ketika ia agak panik ketika tidak menemukan senyum yang senantiasa selalu ia dapatkan dari namja yang baru diketahuinya memiliki suara yang benar-benar luar biasa ketika bernyanyi.

Ia sudah pernah menanyakan hal tersebut padanya, namun Yesung hanya tersenyum tanpa ada niat untuk memberikannya jawaban. Hingga hari ketiga di minggu terakhir bulan Februari, ketika mereka bertemu—setelah hari sebelumnya mereka tidak bertemu sama sekali karena rutinitas yang di luar kebiasaan itu, ia tidak tahan lagi untuk tidak menanyakan perihal tersebut padanya.

"Gege..." panggil Henry pada Yesung yang telinga sebelah kirinya tertutup oleh sebuah earphone.

"Hm?" Yesung menoleh pada namja manis yang berjalan di sebelah kanannya.

Di luar kebiasaan dimana mereka selalu berjalan ke tempat pemberhentian bus, kali ini mereka lebih memilih untuk berjalan kaki hingga ke rumah mereka—walau bagi Yesung sebenarnya lebih tepat disebut apartment mengingat sejak awal ia kuliah, ia memutuskan untuk tinggal sendiri sekaligus juga mengawasi sepupunya yang tinggal tepat di sebelah apartmentnya, Cho Kyuhyun, namja jenius yang walau lebih muda dua tahun darinya, namun kini malah setingkat dengannya. Yah, walau kejeniusannya belum bisa menandingi namjachingunya sendiri yang lebih muda setahun dari Yesung tapi telah lulus lebih dulu dari fakultas kedokteran, Kim Kibum.

Entahlah, menurut mereka, hari ini akan sangat disayangkan kalau dihabiskan begitu saja di atas bus—walau sebenarnya udara yang masih agak dingin tidak membuat mereka menjadi nyaman berjalan di atas trotoar.

"Ng... boleh aku tanya sesuatu?" Tanya Henry, ragu.

Yesung diam menatap Henry, seolah ia sedang mencerna setiap kata yang baru saja diucapkan oleh dongsaengnya itu. "Wae? Kalau kau mau menanyakan sesuatu padaku tidak usah ragu seperti itu. Seperti bukan dirimu saja..."

Benar, seperti bukan dirinya saja, mengingat ia selalu tidak ragu atau gugup jika berhadapan dengan namja yang sudah ia anggap sebagai gegenya itu. Namun, mau tidak mau ia harus merasa ragu, karena pertanyaannya kini bisa saja membuat dirinya sendiri dianggap terlalu ikut campur urusan orang lain.

"Itu... aku hanya penasaran, kenapa kau selalu tidak ada setiap hari Selasa, padahal kau ada jadwal kuliah hari itu?"

Yesung menghentikan langkahnya membuat Henry secara otomatis ikut berhenti juga. Henry menatap bingung ke arah gegenya yang jujur saja baginya terlihat sangat menarik itu. Ia diam menanti jawaban, sementara Yesung masih diam. Kedua matanya menatap lurus ke depan. Beberapa saat kemudian, Yesung menoleh ke arah Henry dengan seulas senyuman terukir di wajahnya.

"Tidak ada apa-apa, hanya kebetulan di hari itu aku punya keperluan yang tidak bisa kutinggalkan—walau untuk kuliah sekalipun."

Namun Henry bukan namja bodoh yang tidak menyadari sesuatu dari gegenya ini. Sorot mata yang berubah kelam—walau senyum terukir di wajahnya dan ekspresi wajah yang berubah sendu, mengisyaratkan satu hal pada dirinya. Ada sesuatu yang disembunyikan oleh Yesung dan itu bukan sesuatu yang baik.

.

Bulan ketiga mereka saling mengenal, sang namja China mulai menyadari ada sesuatu yang disembunyikan olehnya dan ketertarikan... berubah menjadi sesuatu yang bernama penasaran.

.

.

Bulan Maret, tiga tahun yang lalu—

Musim semi akhirnya datang. Henry duduk di taman belakang gedung universitasnya. Ditemani oleh biola dan seorang namja yang tengah sibuk dengan PSPnya. Mereka harusnya berada dalam satu tingkat yang sama, namun salahkan kejeniusan namja berambut coklat ini hingga ia akhirnya ia bisa satu tingkat dengan hyungnya yang lebih tua dua tahun darinya.

Henry melengos pelan. Ingin rasanya ia segera pergi dari tempat ini, diabaikan oleh satu-satunya manusia yang berada di dekatnya ini rasanya membuat dirinya ingin melakukan headwall saat ini juga. Ayolah, siapa yang tidak akan kesal kalau diabaikan oleh seseorang yang pada awalnya memintanya untuk menemaninya di tempat ini?

"Kui Xian, kalau kau memintaku untuk menemanimu di sini dan berakhir dengan diabaikan olehmu, bukannya lebih baik kalau kau diam sendiri saja di sini?" Gumam Henry, tidak berharap kalau ucapannya itu akan didengar oleh namja yang ia panggil 'Kui Xian' itu. Yah, ia sudah terlalu hafal dengan kebiasaan namja ini yang kalau sudah menyentuh PSPnya ia akan lupa segalanya.

Dan benar saja, namja manis itu hanya diam tak menggubris sedikit pun ucapan Henry dan masih terus fokus pada game yang tengah ia mainkan.

Henry menghela nafasnya. Ia tidak habis pikir, bagaimana seorang Kim Kibum bisa tahan berpacaran dengan orang di sebelahnya ini hingga mencapai angka tiga tahun? Ia bahkan akan langsung memutuskan orang ini di bulan pertama mereka berpacaran kalau misalnya ia ada di posisi Kibum.

PLAAKKK!

"Aww, appo…"

Kyuhyun langsung menghentikan jarinya yang tengah menari lincah di atas gamepad ketika ada seseorang yang memukul kepalanya—entah dengan apa. Matanya menatap horror pada layar PSPnya yang menunjukkan dua kata yang selalu jadi mimpi buruk seorang gamer, GAME OVER. Dengan raut wajah kesal,ia pun menoleh ke arah si pemukul dan langsung merengut ketika melihat siapa orang yang sudah memukulnya barusan.

"Yesung-hyung!"

Yesung yang muncul di belakang Kyuhyun sambil membawa sebuah map yang diyakini Henry berisikan lembaran-lembaran partitur musik miliknya, berjalan ke arah Henry—tak mempedulikan sedikit pun aksi protes dari Kyuhyun yang menurutnya tidak manis tapi menjijikkan itu. "Kalau kau mau membuat maniak game satu ini tidak mengabaikan ucapanmu, pukul saja kepalanya—kalau bisa sekalian saja kau buat ia geger otak."

Kyuhyun semakin merengut kesal mendengar itu. "Ya! Hyung, kuadukan kau sama Kibum-hyung nanti."

Yesung memilih untuk mengabaikan ucapan Kyuhyun—walau bibirnya tidak berhenti untuk membalas perkataannya. "Adukan saja, kurasa Kibum-ah juga akan setuju dengan ucapanku barusan."

Ingin rasanya Kyuhyun memukul kepala sepupunya itu, dan berharap semoga kepalanya menjadi lebih besar dari sekarang. Namun, karena satu hal sudah jelas ia tidak akan mau melakukannya—atau ia akan berhadapan dengan namjachingunya yang kini menjadi asisten dari dokter pribadi Yesung.

"Argh, terserahlah. Pacaran berdua saja sana!" Kyuhyun membereskan semua barang miliknya dan berlalu dari tempat itu, meninggalkan dua orang yang melongo menatapnya.

Kedua namja itu hanya bisa diam mendengar ucapan seenaknya dari Kyuhyun. Henry bahkan sudah menutup sebagian wajahnya yang sudah memerah dengan tas biolanya. Pacaran? Yang benar saja. Mereka kan tidak punya hubungan apapun selain hanya sebatas sunbae dan hoobae saja, kenapa setan kecil itu malah mengatakan hal itu.

Kyuhyun yang belum pergi terlalu jauh, menengokkan kepalanya melihat sepupunya dan sahabatnya yang masih diam seperti itu. Ia menghela nafas pelan. Ia bukan orang bodoh yang tidak mengetahui ada sesuatu di antara mereka berdua, namun cukup merasa kesal karena di antara keduanya tidak ada yang mau mengakuinya. Padahal… waktu orang itu hanya tinggal beberapa bulan lagi…

.

Bulan keempat mereka saling mengenal, ada sebuah rasa yang timbul, membuat mereka merasa nyaman namun di sisi lain menyakitkan.

.

.

Bulan April, tiga tahun yang lalu—

Yesung keluar dari rumah sakit dengan langkah gontai. Ia tahu suatu hari nanti, cepat atau lambat ia akan mengalaminya juga.

Kematian.

Dulu, ia selalu berpikir kalau hal itu datang lebih cepat semuanya akan jauh lebih baik. Dengan komplikasi jantung dan paru-paru juga ginjal yang dideritanya, ia bisa mati kapan saja—terutama kalau ia mengalami rasa lelah berlebihan.

Tidak ada seorang pun yang mengetahui penyakitnya ini selain kedua orang tuanya dan adik laki-lakinya yang tinggal di luar Seoul dan seorang sepupu beserta namjachingunya itu. Bukan ia yang memberitahukan hal itu pada Kyuhyun. Salahkan kejeniusan seorang Kim Kibum yang kuliah di jurusan kedokteran hingga ia bisa menyadari keanehan pada dirinya. Terutama ketika takdir Tuhan malah membuat namja berkulit putih itu melakukan magang di rumah sakit tempat ia biasa melakukan pemeriksaan rutin, yang otomatis membuatnya semakin menyadari penyakit yang ada dalam tubuhnya.

Frustasi, jujur saja. Dulu ia selalu berkata kalau dirinya mati lebih cepat dari perkiraan para dokter mungkin jauh lebih baik. Namun kini, ketika ia bertemu dengan orang itu, ia malah merasa takut pada penyakitnya. Takut kalau sewaktu-waktu penyakitnya ini bisa merenggut nyawanya kapan saja. Dan ia takut kalau hal itu terjadi sebelum ia bisa mengungkapkan apa yang dirasakannya pada bocah China itu.

Ya, walau orang-orang selalu mengatakan kalau dirinya itu babo, Yesung bukan orang bodoh yang tidak akan menyadari apa yang kini dirasakannya.

Cinta. Ya, ia mencintai seorang Henry Lau. Namja yang tidak sengaja ia temui ketika salju dengan derasnya menyiram Seoul, hingga akhirnya pertemuan itu berujung dengan semakin dekatnya hubungan mereka—sebagai seorang teman tentunya.

Dan kini ia hanya bisa mengutuk dirinya. Kalau saja waktu itu ia tidak tertarik padanya atau mereka tidak usah bertemu di hari itu, mungkin ia tidak perlu merasa seperti ini. Takut akan kematian. Dan ia bisa merasa tenang walau kematian sekalipun ada di depannya. Namun, seperti peribahasa yang selalu ia dengar penyesalan memang selalu datang terlambat.

Tidak ada yang salah sebenarnya dengan semua yang ia alami ini karena ini hanyalah sebuah benang takdir yang harus ia lalui, yang harus ia terima meski sepahit apapun hal yang akan menimpanya atau hal yang akan ia terima. Permainan takdir memang terlalu mengerikan.

Yesung kini melangkahkan kakinya memasuki pekarangan gereja yang berada di dekat rumah sakit. Ia bukan orang yang taat beragama seperti salah satu dongsaengnya di SMA, Choi Siwon. Tapi bukan berarti ia melupakan Tuhan. Dan kedatangannya ke gereja ini semata-mata adalah untuk menenangkan dirinya. Agar ia tidak usah merasa frustasi seperti ini.

Bulan Juni nanti, ia sudah harus meninggalkan apartmentnya dan pindah ke rumah sakit, mengingat penyakitnya yang bisa dibilang sudah sangat parah hingga dokter memutuskan untuk menyuruhnya menjadi penghuni tetap rumah sakit agar keadaannya bisa lebih terkontrol. Lalu… bagaimana ia akan mengatakan hal ini padanya? Ketika ia tidak kuliah di hari Selasa saja sudah membuat anak itu agak khawatir padanya. Bagaimana jika ia mengatakan kalau ia harus tinggal di rumah sakit kerena penyakitnya?

Yesung mendudukkan dirinya di deretan ketiga bangku panjang. Ia menenggelamkan wajahnya di antara kedua tangannya. Tidak ada siapapun di gereja ini, kecuali seorang pastor yang berdiri agak jauh dari tempatnya duduk. Namun melihat keadaan Yesung, pastor itu memilih untuk tidak menghampirinya. Lagipula itu yang diinginkan oleh Yesung. Ia hanya ingin sendiri di tempat ini.

Lama ia diam di posisi seperti itu, tak disadarinya setitik air mata mengalir dari kedua sudut matanya. Ia menangis, tanpa suara. Tapi itu cukup untuk menunjukkan betapa ia benar-benar frustasi dengan posisinya saat ini.

Tuhan, kalau Kau memang membuatku lahir ke dunia ini hanya untuk pergi dengan menyedihkan, kenapa tidak Kau cabut saja nyawaku ketika aku baru terlahir ke dunia ini?

Dari setitik, tak disadarinya air mata mulai mengalir deras di kedua pipinya, bersamaan dengan derasnya hujan di luar sana yang jatuh ke bumi.

.

Bulan kelima mereka mengenal, salah satunya mulai merasakan cinta dan kepedihan.

.

.

Bulan Mei, tiga tahun yang lalu—

Henry memandangi pemandangan di pekarangan belakang universitasnya lewat salah satu jendela ruang musik yang terbuka. Bukan pemandangan mengenai interior taman belakang yang sebenarnya memang menakjubkan, lagipula ia sudah terlalu biasa melihatnya—jelas karena hampir setiap hari ia melihatnya mengingat jendela ruang musik menghadap tepat ke arah tempat itu.

Yang ia lihat hanyalah, seorang namja yang selama enam bulan terakhir ini mengisi hidupnya—selain Kyuhyun tentunya. Namja yang selalu sukses membuatnya merona ketika ia melihatnya tersenyum. Namja yang selalu bisa membuatnya terpesona dengan keindahan suaranya. Dan di saat yang sama pula namja yang selalu membuatnya khawatir karena begitu banyak hal yang disembunyikan olehnya—menurut dirinya.

Yah, ia tidak bodoh untuk tidak menyadari perasaan apa yang sedang melanda dirinya ini. Cinta, tentu saja. Bahkan mungkin orang bodoh sekalipun bisa menyadarinya. Entah sejak kapan ia mulai merasakan ini, karena terlalu biasanya rutinitas pertemuan mereka hingga tak disadarinya benih-benih cinta mulai tumbuh, namun ia benar-benar tidak bisa memungkiri perasaannya ini. Karena namja itu sudah benar-benar membuatnya terperangkap oleh senyum lembut yang selalu ia tunjukkan.

Pertanyaannya kali ini adalah, apa orang itu juga punya perasaan yang sama dengannya?

Ia bingung, sebenarnya. Selain karena ia sulit menebak jalan pikiran gegenya itu, cinta yang ia rasakan itu sebenarnya juga sangat terlarang. Ayolah, di dunia ini hanya segelintir kalangan yang mau menerima hubungan antar sesama namja. Yah, rasanya ia jadi salut pada Kyuhyun yang bisa menjalin hubungan dengan Kim Kibum sampai bertahan hingga lebih dari tiga tahun. Lagipula kalaupun ia menyatakan perasaannya lalu mengetahui kalau gegenya itu straight, bukan tidak mungkin justru ia akan dibenci olehnya. Yah, walau sebenarnya ia tidak pernah melihat Yesung punya kekasih atau dekat dengan yeoja.

Yesung? Ya, kalian tidak salah dengar, atau dalam kasus ini, tidak salah baca. Namja yang sudah berhasil membuat seorang Henry Lau jatuh cinta adalah namja yang ia temui di penghujung Desember tahun lalu di depan kampusnya. Seorang bernama Kim Jongwoon atau Yesung.

Henry mengacak rambutnya dengan cukup keras. Hari ini ia sudah melakukan berkali-kali kesalahan dalam permainan biolanya. Beruntung seharian ini ia tidak memiliki jadwal kuliah yang berhubungan dengan praktek, hanya teori saja. Yah, walau sebenarnya ia justru sangat tidak berkonsentrasi mendengarkan sang dosen berceramah mengenai sejarah musik—dan berakibat ia hampir saja dikeluarkan dari kelas. Ia tidak tahu kalau mencintai seseorang bisa membuatnya sefrustasi ini. Apa kalau ia mencintai seorang yeoja ia tidak akan merasa galau seperti ini? Entahlah, mengingat ini adalah cinta pertamanya, sudah jelas ia jadi tidak tahu apa-apa.

Setelah berkutat cukup lama dengan biolanya dimana ia berkali-kali melakukan kesalahan di bagian yang sama, padahal ia sudah berkali-kali memainkan lagu itu, ia memutuskan untuk berhenti. Diletakkannya kembali biola putih miliknya ke dalam tasnya, kini perhatiannya tertuju pada selembar kertas—atau selebaran tepatnya. Selebaran yang berisikan informasi mengenai kompetisi musik.

Ia sudah diminta untuk mengikutinya, namun dengan keadaannya yang sedang agak galau ini, ia tidak yakin akan bisa mengikutinya dengan baik. Karena itulah, ia masih belum bisa untuk mengiyakan permintaan itu. Ia tidak mau kalau nantinya ia dipaksa, ia malah akan memalukan universitas tempatnya menuntut ilmu ini.

Henry bergegas keluar dari ruang musik ketika dilihatnya Yesung kini tengah duduk di bawah pohon yang paling besar di taman belakang—sambil membaca buku tentunya. Dibawanya semua barang miliknya, termasuk brosur mengenai kompetisi musik itu.

"Gege!"

Henry agak berlari menuju tempat Yesung, sementara Yesung yang merasa dipanggil menoleh ke asal suara dimana dilihatnya namja berpipi chubby itu tengah berlari ke arahnya.

Yesung masih diam menatap Henry yang kini tengah berusaha untuk mengais udara sebanyak-banyaknya mengingat kelihatannya ia berlari dari tempat yang cukup jauh menuju tempat ini. Setelah perbuatannya yang membutuhkan waktu sekitar lima menit itu, Henry langsung mendudukkan dirinya di atas rerumputan, tepat di sebelah Yesung.

"Wae, Henry-ah? Kau kelihatan buru-buru sekali?"

"Itu... boleh aku minta saran gege?"

"Ne, tentu saja. Sejak kapan aku melarangmu untuk melakukan itu?"

Henry tidak menjawab pertanyaan Yesung, tapi ia menyerahkan brosur mengenai kompetisi musik itu pada Yesung. Yesung memandangi brosur itu dengan seksama sebelum kemudian ia tersenyum lebar.

"Huwaa. Ini hebat, Henry-ah. Kau diminta untuk ikut kompetisi ini? Lalu yang jadi masalahnya?"

"Itu... apa aku harus mengikutinya?" tanya Henry, ragu.

Yesung memukulkan brosur itu ke kepala Henry. "Pabbo, kau ini bicara apa sih? Sudah jelas kau harus mengikutinya. Ini salah satu jalanmu untuk jadi pemusik hebat, kenapa masih harus tanya aku juga?"

"Masalahnya, gege. Kalau aku ikut, aku harus memainkan lagu apa? Walau kompetisinya dua bulan lagi, aku malah tidak yakin bisa melakukannya dengan baik."

"Ayolah, kau ini kan jenius di bidang ini, kenapa masih bingung juga? Ngomong-ngomong, tema kompetisinya?"

Henry diam, sambil mendesah pelan ia bergumam, "Hal yang tak boleh dilupakan."

Yesung menatap Henry dengan tatapan sendu seolah sadar akan satu hal. Sayangnya hal tersebut tidak dilihat oleh Henry. Diam sejenak, sebelum kemudian ia tersenyum lebar—yang kelihatan sekali seperti terpaksa. "Bagaimana kalau kau mainkan... La Chanson de l'adieu karya Chopin?"

"Mwo? Gege, itu kan hanya bisa dimainkan piano?"

Yesung tidak mendengarkan ucapan Henry. Kini ia malah sibuk mengobrak-abrik isi tasnya mencari sesuatu. Beberapa saat kemudian, setelah ia menemukan apa yang dicarinya, ia menyerahkan beberapa lembar kertas pada Henry. "Kau bodoh atau bagaimana? Sekarang ini sudah banyak lagu Chopin yang digubah agar bisa dimainkan menggunakan biola. Kupinjamkan ini, dan pastikan kau bisa memenangkan kompetisi ini, ne?"

Henry hanya bisa menganggukkan kepalanya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kini ia memperhatikan lembaran-lembaran partitur di tangannya. Kedua alisnya berkerut ketika dilihatnya makna lagu tersebut. "Gege, kenapa kau... menyuruhku untuk memainkan lagu perpisahan?"

Dan mendengar itu, Yesung hanya bisa tersenyum kecil. Lembut namun terasa sedih, yang tentu saja membuat rasa penasaran Henry semakin bertambah besar. Sebenarnya apa yang sedang disembunyikan oleh gegenya itu?

.

Bulan keenam mereka mengenal, kata perpisahan perlahan mulai terucap.

.

.

Bulan Juni, tiga tahun yang lalu—

Kembali sesuatu di luar kebiasaan terjadi lagi. Kali ini dilakukan oleh Henry. Kini ia hampir tidak pernah pulang dengan Yesung lagi. Yah, walau ia masih sering bertemu dengan gegenya itu, terutama ketika Yesung ditunjuk untuk menjadi pembimbingnya dalam latihan untuk kompetisi itu.

Hal yang sebenarnya sangat disyukuri oleh Yesung. Setidaknya Henry tidak tahu kemana ia pulang kuliah. Yah, sejak awal Juni kemarin, tepatnya hari ketiga di bulan penghujung musim semi itu, ia sudah pindah ke rumah sakit. Dokter sudah menyarankan agar ia berhenti kuliah saja, namun jelas ia menolaknya. Setidaknya, ia ingin tetap berada di sini sampai kompetisi yang diikuti oleh Henry selesai. Setelahnya, terserah para dokter itu mau melakukan atau menyarankan apa padanya. Dan yang jelas, tepat di saat itu, ia akan mengatakan perasaannya pada namja China itu, tak peduli dengan apa jawaban yang akan diterimanya.

Yesung berjalan agak terhuyung menuju ke arah pintu gerbang universitasnya. Wajahnya agak pucat, wajar mengingat seharusnya ia sudah tidak diizinkan untuk berkeliaran seperti ini. Langkahnya kadang terhenti untuk mengistirahatkan paru-parunya yang selalu terasa sesak. Kalau seperti ini, ia benar-benar harus segera pulang ke rumah sakit sebelum ia ambruk di tengah jalan.

Dan yang sangat disesalinya kini adalah, jarak universitasnya dan rumah sakit sangat jauh ditambah tak adanya Kyuhyun yang biasanya mengantarnya ke rumah sakit karena ia sedang ada kuliah tambahan saat ini.

Kelopak matanya terasa semakin berat ditambah dengan keringat dingin yang mengalir deras di sekujur tubuhnya dan perut bagian kanannya yang terasa sangat sakit, padahal ia masih belum keluar dari area kampusnya. Ia memutuskan untuk berdiri di salah satu tembok pagar dan bersandar padanya. Ia akui, akhir-akhir ini ia memang terlalu lelah hingga ia agak lalai dalam menjaga kesehatannya. Namun ini semua ia lakukan karena rasa cintanya pada namja itu. Setidaknya, di penghujung usianya ini, ada sesuatu yang berkesan yang sudah ia lakukan pada Henry sehingga ia akan selalu diingat olehnya.

Yesung masih berdiri di tempatnya. Tak disadarinya namja yang selama ini selalu ada di pikirannya kini tengah berjalan ke arahnya.

"Gege!" Henry berteriak memanggil Yesung.

Yesung membalikkan badannya untuk melihat siapa yang memanggilnya. Namun, belum sempat ia menjawab panggilan itu—

BRUKK!

—kegelapan telah lebih dulu menyergapnya.

Dan satu-satunya hal yang ia lihat sebelum ia benar-benar pingsan adalah wajah panik dan khawatir dari seorang Henry Lau.

Mian, Henry-ah. Apa kali ini aku sudah membuatmu khawatir?

.

.

Henry masih duduk di atas kursi yang diletakkan di samping ranjang yang kini ditempati oleh Yesung. Ia terus dalam posisinya sejak tiga jam yang lalu. Tepatnya ketika Yesung dibawa ke dalam ruangan yang baru diketahuinya, kini adalah tempat tinggal baru yang ditempati gegenya itu sejak awal Juni lalu.

Ia benar-benar panik ketika didapatinya Yesung yang ambruk di depan universitasnya. Beruntung di saat yang hampir bersamaan Kyuhyun baru saja keluar dari kelasnya hingga mereka bisa segera membawanya ke rumah sakit.

Kyuhyun sudah pulang sejak satu jam yang lalu. Ia juga tadinya sudah diajak pulang, namun ia bersikeras untuk tetap tinggal di sini—setidaknya sampai Yesung sadar dari pingsannya. Ia menenggelamkan wajahnya di atas tempat tidur Yesung sambil menggenggam tangan kanan Yesung, berharap jika ia melakukan itu gegenya itu akan segera sadar.

Pikirannya kembali melayang pada pembicaraannya dengan Kim Kibum, namjachingu Kyuhyun sekaligus juga asisten dokter yang menangani Yesung.

...

"Namamu... Henry Lau kan?"

Seorang namja berkulit putih dengan rambut hitam legam berdiri di hadapannya. Iris gelapnya yang dibingkai kacamata persegi kini menatapnya dengan intens. Henry yang diperhatikan seperti itu hanya bisa merasa risih. Ia pun menganggukkan kepalanya perlahan.

"Tidak usah segugup itu. Aku bukan orang yang berbahaya kok, setidaknya belum sih..." Namja itu kini hanya tersenyum kecil, walau raut dingin masih tetap melekat dalam imagenya itu. "Namaku Kim Kibum."

"Ng... Dokter Kim?"

Ia hanya tertawa kecil. "Jangan seformal itu. Lagipula aku baru asisten saja, belum jadi dokter sebenarnya. Ditambah... aku yakin usia kita juga tidak berbeda begitu jauh."

Henry agak ragu. "Ng... Gege?"

"Hmph, kurasa itu jauh lebih baik." Kibum kini mendudukkan dirinya di sebelah Henry.

"Jadi... apa yang mau gege bicarakan denganku?"

"Soal Yesung-hyung..."

"Eh? Gege kenal dengannya?" Henry membelalakkan matanya, kaget.

"Ayolah, aku kan namjachingu sepupunya, sudah jelas aku kenal dengannya. Memangnya Kyu tidak pernah menceritakan soal itu padamu?"

Henry tersentak. "Ah! Jadi gege itu orang yang selalu dibicarakan oleh Kui Xian!"

Kibum mengibaskan tangannya, mengisyaratkan kalau mereka harus menghentikan ini sebelum melenceng jauh. "Baiklah cukup soal aku... sekarang dengarkan baik-baik apa yang kukatakan padamu..."

Henry menganggukkan kepalanya.

"Apa kau sadar ada sesuatu yang aneh pada Yesung-hyung sejak pertama kau bertemu dengannya?"

"Maksud, gege?"

"Maksudku... keadaan kesehatannya..."

Henry sedikit diam. "Ani... hanya saja aku merasa kalau ia menyembunyikan sesuatu dariku dan itu bukan sesuatu yang baik."

Kibum tersenyum miris mendengar itu.

"Gege, sebenarnya... apa yang terjadi pada Yi Sheng-gege?"

Kibum menghela nafas perlahan, bingung. Ia tidak punya hak untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Namun, melihat namja di hadapannya ini yang benar-benar tidak tahu apa-apa, ia memutuskan untuk melanggar janjinya sendiri untuk tidak mengatakan ini padanya—jikalau mereka pada akhirnya bertemu.

"Kau mau berjanji padaku kalau kau mengetahui ini kau tidak akan marah pada Yesung-hyung?"

"Eh?"

"Mau atau tidak?"

"A-ah, baiklah..."

"Yesung-hyung itu... sejak lahir... kondisi jantungnya agak lemah. Ditambah dengan kelainan paru-paru dan ginjal yang dideritanya sejak berusia tujuh tahun, ia tak ubahnya seseorang yang rapuh yang bisa mati kapan saja..."

Henry terbelalak mendengar itu. "MWO? Maksud gege?"

Kibum kembali menghela nafasnya. "Yesung-hyung itu menderita komplikasi jantung, paru-paru dan ginjal yang sudah sangat parah. Dan hanya tinggal menunggu waktu saja sampai ia... meninggal..."

Dan mendengar ini, Henry tidak dapat mengeluarkan suaranya. Ia terlalu shock mendengar hal itu. Ia tidak tahu kalau gegenya yang kadang terlihat konyol namun benar-benar hebat di bidang musik itu menderita penyakit yang sebenarnya sangat parah. Kenapa hal seburuk itu harus menimpa orang sebaik dia?

"Kau tahu, Yesung-hyung itu selalu bercerita soal dirimu padaku dan dokter lain di tempat ini. Kupikir siapa orang yang bisa membuat Yesung-hyung bisa setertarik itu pada seseorang hingga ia selalu bercerita soal orang itu pada kami. Namun... melihat dirimu dan tatapan milikmu yang sama dengannya, kurasa aku bisa mengerti bagaimana perasaannya."

Henry tersentak mendengar itu. "Eh?"

"Baiklah, aku harus segera kembali pada pekerjaanku. Semoga… kau bisa bahagia…"

Dan detik berikutnya, Kibum meninggalkan Henry yang masih duduk diam dengan berbagai hal yang berkecamuk dalam pikirannya.

Henry masih diam dalam posisinya menggenggam tangan Yesung. Tak disadarinya air mata mulai mengalir dari sudut matanya. Terisak perlahan, ia semakin mempererat genggamannya seolah tidak ingin melepaskannya.

"Gege, kenapa kau tidak katakan soal itu padaku? Apa kau tidak mempercayaiku hingga kau tidak mau menceritakan masalahmu padaku? Padahal... aku benar-benar mencintaimu..."

.

To Be Continued—

.

a/n: Tolong timpuk saya deh. -_-" Saya malah bikin fic gaje begini, bukannya update fic yang lain. Niatnya ini mau oneshot, tapi berhubung buat oneshot bakal kepanjangan jadinya dicut aja sampai sini. =.= Dan kayaknya ending fic ini udah gampang ketebak deh. ._.

Chapter terakhirnya bakal saya publish minggu depan. XD

Lalu di atas tertulis 'based on true story', itu beneran. =o= Ini kejadian yang saya alami tahun lalu… dan fic ini terinspirasi pas saya lagi liat foto-foto almarhum ex-pacar saya. ._. Entah deh, rasanya pengen aja bikin ini, biarpun sebenernya nyesek setengah mati tiap kali inget kejadian ini.

Daaaaaaaannnnnnnnnn…. Demi apa itu KiHyun malah muncul lagi di sini? Hadeuh… =_="

Terus, buat yang sempet request sama saya, mian soalnya saya lagi sibuk sama banyaknya tugas kuliah dan kerjaan di tempat kerja jadi belum sempet ngetik. DX

Ya sudahlah, sebelum a/n bakal lebih panjang dari ficnya, RnR? :D