"—Kau ingin aku melakukan apa?" Draco bergantian menatap ketiga orang di ruangan itu. "Membantu Potter? Hah! Jangan harap. Apa pun yang terjadi padanya bukanlah urusanku. Aku juga tidak mempunyai kepentingan apa pun sehingga mengharuskanku untuk melakukan hal itu."

"Tapi—"

Draco mendecak keras; memotong kata-kata yang Granger ingin ucapkan. "Kau mendengarku, Miss Granger. Hanya karena Potter berperilaku aneh seperti barusan, bukan berarti aku bisa membantunya untuk sembuh. Ini tidak masuk akal, kalian tahu?"

"Sejujurnya, sangat masuk akal bagiku, Mr. Malfoy," Penyembuh St. Mungo membuka suara setelah sebelumnya mendesah pelan. "Selama empat tahun terakhir, kami sudah mencoba berbagai cara agar bisa menyembuhkan Mr. Potter. Cara apa pun yang kami lakukan tidak menghasilkan apa-apa mengingat kami bahkan tidak tahu mantra apa yang sudah mengenainya. Dan barusan, setelah sekian lama, ini adalah reaksi yang pernah kami dapatkan dari Mr. Potter. Kami tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan seperti ini. Mungkin saja Mr. Potter akan sadar."

Draco tersenyum mengejek. "Ini semua seperti omong kosong. Kalian sepertinya sangat percaya aku bisa membantu Potter hanya karena pemikiran yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya? Maaf sekali, tapi aku tidak tertarik untuk membuang waktuku di sini, bersama dengan orang itu."

Draco baru saja berjalan ke arah pintu ruangan tersebut dan hendak pulang kembali ke Manor. Ia mendecakkan lidahnya saat berniat membuka pintu dan menyadari kalau seseorang tengah menahan pintu itu agar tidak bisa terbuka. Dengan cepat ia mengalihkan pandangan dan mendelik kesal ke arah Weasel.

"Kau tidak bisa pergi dengan cara seperti ini, Malfoy." Weasel mengeluarkan suara yang mirip geraman. "Kau harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah kaulakukan. Aku memang tidak menyetujui apa yang disarankan, tapi aku akan melakukan apa pun agar Harry sadar dari keadaannya sekarang. Kau dengar aku?"

"Kau tidak bisa membuatku melakukan hal seperti itu, Weasel."

"Kau—!"

Weasel tidak melanjutkan perkataannya. Draco bisa melihat rahang keturunan Pecinta Muggle itu mengeras dengan gigi yang mengeluarkan bunyi geretak pelan. Pemuda itu mengalihkan pandangan ke arah Granger lalu mendesah pelan; menarik kembali tangannya dari daun pintu.

"Mengapa kau tidak berhenti sekali saja bersikap brengsek, Malfoy?" kata Weasel yang sekarang sudah kembali menatapnya. "Kami membutuhkan bantuanmu. Bisakah untuk sekali ini saja kau mau membantu orang lain?"

Lewat sudut matanya, Draco melihat Granger mendekat. Ia tidak memedulikan raut cemas dan seperti ingin menangis di wajah gadis itu. "Malfoy...," panggil Granger. "Jujur saja, aku juga tidak terlalu menyetujui kalau kau membantu kami saat ini. Tapi kalau itu satu-satunya cara yang mungkin menyembuhkan Harry, akan kami lakukan. Kami... kami bahkan bisa memberi imbalan atas apa yang kaulakukan."

Draco hanya mendengus pelan. "Imbalan apa, Granger? Memberiku sekantung penuh Galleon? Tapi sayang sekali, keluargaku tidak merasa kekurangan apa pun. Kalian hanya menghabiskan waktuku di sini sementara banyak hal yang harus kulakukan. Sampai jumpa dan semoga kita tidak perlu bertemu."

Tidak memedulikan tatapan Granger—yang entah mengapa membuat perutnya terasa tidak nyaman—serta umpatan kasar yang dilayangkan Weasel kepadanya, Draco memilih untuk segera meninggalkan ruangan itu tanpa repot-repot untuk mengerling ke arah di mana Potter berada. Dengan langkah lebar, ia meninggalkan rumah sakit itu dan langsung ber-Apparate menuju rumahnya begitu berada di luar pintu St. Mungo—yang terlihat oleh Muggle sebagai bangunan pertokoan Purge and Dowse Ltd. yang terbengkalai.


"...Apa ada yang sedang kaupikirkan, Draco?"

Draco mengerjapkan mata beberapa kali sebelum mendongakkan kepala dari surat kabar Daily Prophet yang sedang dibacanya dan menggeleng pelan. "Apa yang membuatmu berpikir seperti itu, Mother?"

Narcissa Malfoy mendesah pelan. "Kau hanya terlihat sedikit bicara setelah kembali ke sini. Dan aku tidak buta untuk tidak bisa melihat luka di bibirmu. Apa ada sesuatu yang terjadi? Kau berkelahi? Dengan siapa?"

Kedua manik abu-abu Draco menatap sejenak ke arah Narcissa sebelum kembali menekuni barisan kalimat-kalimat yang tercetak di depannya. Pemuda itu berusaha untuk tidak memedulikan tatapan cemas ibunya. Ia tidak berniat untuk menceritakan apa pun yang terjadi ketika ia bertemu dengan Granger dan Weasel—yang sudah meninggalkan memar di sudut bibirnya. Memang benar jika sekembalinya Draco ke St. Mungo beberapa jam setelahnya, ia memang tampak tidak berniat untuk berbicara sedikit pun. Ia hanya ingin tidak menganggu ibunya dan membiarkan wanita itu untuk berisitirahat.

"Boleh aku bertanya satu hal padamu, Mother?" Draco mencoba mengalihkan pembicaraan. Narcissa yang ketika itu menyandarkan tubuh di kepala tempat tidur sedikit mengernyitkan alis. Draco tahu kalau ibunya tidak suka saat ia mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Apa yang ingin kautanyakan?"

Draco terlihat ragu sejenak. Ia melipat surat kabar di tangannya dan meletakkan benda itu di ujung tempat tidur Narcissa.

"Kalau boleh kutahu, apa yang sedang menjadi pikiranmu, Mother—dan jangan mencoba untuk mengelak. Aku tahu kalau kau sedang memikirkan sesuatu sampai membuat kesehatanmu terganggu. Kau tidak sedang memikirkan tentang bagaimana kehidupanku, bukan?"

Terlihat jelas sorot mata Narcissa yang tiba-tiba berubah sendu. Sejak perang berakhir, penampilan wanita itu memang sudah banyak berubah. Narcissa yang dulu selalu terlihat anggun dan berwibawa selayaknya istri seorang aristokrat kini tidak lagi terlihat seperti itu. Gurat kelelahan terlihat jelas di wajah cantik Narcissa. Wanita pirang itu memang masih memancarkan aura sebagai seorang penyihir wanita dari kalangan bangsawan, namun hal itu tidak seperti itu. Semakin lama, semakin meredup.

Draco tentu saja menyadari hal itu. Ia menyadari kalau keluarga Malfoy tidak lagi seperti dulu. Masa kejayaan keluarganya sudah runtuh bahkan sejak kembalinya Voldemort delapan tahun yang lalu.

Terdengar Narcissa menghela napas pelan. "Ini mengenai ayahmu, Anakku."

Pembicaraan mengenai Lucius Malfoy yang tidak lain adalah ayah Draco sendiri selalu membuat suasana di antara ia dan ibunya berubah dengan sangat cepat. Draco merasakan sendiri bagaimana tubuhnya sedikit menegang. Ia mengalihkan pandangan ke arah dinding terdekat dengan tangan yang tersilang di depan dada.

"Aku mencemaskan ayahmu," kata Narcissa lagi. "Setelah melihat bagaimana keadaannya setelah sekian lama, aku hampir tidak mengenalinya lagi. Aku tahu kalau kau masih marah kepada Lucius. Tapi dia tetap adalah ayahmu, Draco, dan aku tidak suka jika melihatnya seperti itu."

"Kau terlalu bersikap baik, Mother."

Narcissa menyunggingkan senyum tipis. "Tentu saja. Bagaimanapun juga, dia adalah suamiku. Ayah dari anakku."

"Dan apa kau sudah lupa karena pria itu jugalah hidup kita selama tiga setengah tahun ini menderita? Diasingkan dari negeri kita sendiri dan terpaksa harus tinggal di lingkungan Muggle? Kau masih mengingat hal itu 'kan, Mother?"

"Benarkah? Bukankah seingatku kau lumayan suka tinggal di sana?"

Draco mendesis pelan. "Tapi hal itu tidak meredakan amarahku padanya. Aku masih menyalahkannya atas semua yang terjadi."

Draco tahu kalau Narcissa tidak akan menanggapi dengan cepat apa yang dikatakannya. Sampai sekarang, ia masih sering berpikir apa yang menimpa ia dan ibunya karena kesalahan Lucius. Kalau saja pria itu tidak bergabung dengan Pelahap Maut dan sampai dijebloskan ke Azkaban, mereka tidak perlu dihukum untuk meninggalkan Inggris oleh Wizengamot. Mereka tidak perlu harus meninggalkan Manor dan hidup di lingkungan Muggle.

Tiga setengah tahun meninggalkan Inggris dan bahkan Eropa adalah hukuman dari Kementerian Sihir bagi keluarga yang terlibat dengan para Pelahap Maut. Orang-orang seperti dirinya harus meninggalkan negeri ini hanya karena pihak Kementerian ingin membersihkan semua sisa-sisa pengikut Voldemort setelah kekalahan pria itu.

Tentu saja baik Draco dan ibunya tidak punya pilihan lain selain mengikuti keputusan itu jika tidak ingin dimasukkan ke Azkaban. Mereka harus meninggalkan semua yang dimilikinya di sini untuk pergi ke luar negeri. Dan Amerika adalah satu-satunya tempat yang bisa ia kunjungi mengingat keluarganya mempunyai tempat peristirahatan yang tidak tersentuh masyarakat dunia sihir.

Alasan lainnya karena di sekitar tempat itu tidak satu pun ada keluarga dari kalangan penyihir yang tinggal. Draco dan ibunya adalah satu-satunya penyihir di tempat itu; membuat mereka tidak perlu khawatir kalau ada orang yang mengenali siapa mereka. Draco hanya ingin mencari tempat yang tenang untuk melupakan peristiwa-peristiwa yang tidak mengenakkan selama ini.

Berbeda halnya dengan Draco dan Narcissa, Lucius tidak bisa menjalani hukuman seperti itu. Ayahnya telah jelas-jelas terlibat sangat jauh ketika Voldemort masih berkuasa. Walau di akhir Perang Besar pria itu tidak terlibat—dan memilih untuk pergi bersama keluarganya—Wizengamot tidak membiarkan Lucius pergi begitu saja. Sepuluh tahun mendekam di Azkaban adalah hukuman yang harus dijalani pria itu.

Draco tidak keberatan. Ia peduli dengan pria itu. Ia bahkan berniat untuk tidak melihat Lucius di Azkaban kalau Narcissa tidak mendesaknya untuk sekali saja mengunjungi ayahnya setelah hukuman yang mereka berdua jalani berakhir enam bulan yang lalu; membuat Draco dan ibunya diperbolehkan menginjakkan kaki kembali ke Inggris.

"...Keadaan ayahmu tidak lagi seperti dulu dan itu membuatku cemas."

Sekali lagi Draco berusaha mengabaikan wajah sedih ibunya. Ia tahu betul bagaimana keadaan Lucius selama mendekam di Azkaban. Ia juga tahu kalau diam-diam ibunya selalu mengunjungi pria itu jika dirinya sedang tidak berada di rumah.

Lucius Malfoy terlihat sangat menyedihkan.

Itu adalah kesan pertama yang dilihat Draco ketika mengunjungi ayahnya. Pakaian tahanan yang dikenakan Lucius terlihat sangat lusuh. Penampilannya berantakan dan tubuhnya sangat kurus. Rambut yang biasanya terlihat rapi, kini kusam, kotor dan tidak terawat. Draco bahkan bisa melihat lipatan kantung berwarna hitam di bawah mata pria itu.

"Jadi itu yang membuatmu selalu tampak murung dan lebih banyak melamun? Karena kau memikirkan pria itu? Mother, aku sudah tidak ingat lagi berapa kali aku mengatakan hal ini. Berhentilah memikirkan pria itu. Dia—"

"—Dia suamiku, Draco. Bagaimana aku tidak memikirkan Lucius jika dia menderita di tempat itu!" Suara Narcissa meninggi. "Apa kau tidak mempunyai belas kasihan terhadap ayah kandungmu sendiri? Dia adalah Lucius Malfoy, Draco. Kepala keluarga Malfoy. Tidak seharusnya dia berada di tempat itu."

Draco selalu tidak suka jika melihat Narcissa menangis; hal yang tidak pernah dilakukannya sebelum mereka diasingkan ke luar negeri. Ia sudah tidak ingat lagi berapa kali dirinya memergoki wanita itu terisak sendirian di dalam kamar. Tenggelam dalam kesedihannya sendiri.

Mungkinkah karena Narcissa terlalu mencintai Lucius walau apa yang sudah dilakukan pria itu?

Draco tidak tahu. Ia sungguh tidak tahu.

"Aku... aku hanya ingin Lucius kembali ke sisi kita, Draco. Aku hanya ingin keluarga kita bisa kembali seperti dulu. Bersama..."


"Kau ingin pergi menemui siapa?"

Hermione Granger mendecakkan lidah untuk ketiga kalinya. Dengan wajah yang sedikit gusar, ia menatap tajam ke arah Ronald Weasley sebelum menumpukkan begitu saja perkamen-perkamen yang sejak tadi dikerjakannya di atas meja.

"Bertemu dengan Malfoy, Ron. Ini sudah keempat kalinya aku memberitahumu. Berhentilah bertanya hal itu lagi sebelum aku melakukan sesuatu," katanya. Tangan Hermione bergerak ke arah sudut kubikel untuk meraih tas tangan berwarna hijau toska dan mantel tebal miliknya sebelum keluar dari kubikel. Ia menyempatkan diri melambai ke arah rekan kerjanya yang masih berkutat dengan pekerjaan mereka sebelum keluar dari departemen tempatnya bekerja. "Bukankah aku sudah memberitahumu tadi pagi kalau Malfoy mengirimiku surat untuk meminta bertemu?"

Ron tampak menggaruk bagian belakang kepalanya. "Yeah, kau memang sudah memberitahuku. Tapi aku hanya tidak percaya saat mendengar kalau Malfoy ingin bertemu. Apa yang diinginkannya sekarang? Dia sedang tidak ingin merayumu, bukan? Kau tidak pergi untuk berkencan dengannya, 'kan?"

Kedua manik cokelat Hermione menyipit. Kalau saja sekarang ini mereka tidak sedang berjalan di tengah kerumunan pengawai Kementerian di Atrium, ia pasti sudah memukul kepala pemuda itu. Melakukan hal semacam itu hanya akan membuat perhatian orang-orang teralih kepada mereka dan hal itu sangat tidak ingin diterimanya sekarang.

"Jangan bercanda, Ron. Jika Malfoy mengajakku untuk berkencan, lalu mengapa aku mengajakmu untuk ikut? Untuk apa aku memberitahumu tentang Malfoy yang meminta bertemu denganku? Pikirkan itu," kata Hermione sebelum memasuki salah satu bilik menuju pintu keluar Kementerian. "Kita tidak akan tahu kalau tidak menemuinya. Sekarang diam dan segera keluar dari sini. Temui aku di Three Broomstick, oke?"

Hermione hanya mendapati Ron mengangguk singkat sebelum dirinya menghilang di antara kobaran api berwarna kehijauan.

Sepuluh menit kemudian, Hermione dan Ron sudah berdiri di depan pintu masuk Three Broomstick. Berdiri di depan tempat ini membuatnya bernostalgia mengenai kehidupannya sewaktu masih bersekolah di Hogwarts. Ia masih ingat kalau setiap kali siswa Hogwarts melakukan kunjungan ke Hogsmeade, mereka selalu berkunjung ke tempat ini; memesan makanan dan Butterbeer buatan Madam Rosmerta.

Mendadak, raut wajah Hermione mengeruh. Setiap kali ingatan mengenai kejadian masa lalu melintas di benaknya, ia merasakan sesuatu menghimpit dadanya; membuat napasnya tertahan. Setiap hari yang mereka lalui di Hogwarts, setiap kejadian yang mereka alami, Harry selalu berada di antara mereka. Dan sekarang, tidak adanya pemuda itu di sini membuatnya berpikir ada yang kurang.

"Memikirkan Harry lagi?"

Hermione otomatis menganggukkan kepala atas pertanyaan Ron. Ia tahu kalau kekasihnya juga memikirkan bagaimana keadaan Harry sekarang. Tidak satu pun dari mereka yang melupakan hal itu.

Di saat mereka berdua sudah meniti karir mereka dengan pekerjaan masing-masing dan berusaha untuk melangkah ke depan, hal itu tidak berlaku terhadap Harry. Pemuda itu tidak melakukan apa pun, tidak melangkah sedikit pun. Hanya tertidur tanpa pernah bangun.

"Dia akan baik-baik saja. Kita hanya perlu menemukan mantra apa yang mengenainya dan mencari penyembuhnya. Harry akan kembali ke sisi kita, 'Mione. Ayo masuk. Bukankah Malfoy ingin bertemu dengan kita? Blimey, aku sama sekali tidak mempunyai ide mengapa dia meminta kita bertemu. Dan mudah-mudahan saja aku tidak perlu memukulnya jika alasannya hanyalah alasan sepele."

Hermione tidak bisa mencegah dirinya untuk tidak tertawa pelan sembari memasuki Three Broomstick ketika Ron membukakan pintu tempat itu untuknya.

Suasana Three Broomstick masih sama seperti terakhir kali Hermione berkunjung ke tempat ini dan kalau diingat-ingat sudah lama sekali. Bar dan penginapan yang dikelola Rosmerta masih ramai seperti dulu. Banyak penyihir yang datang ke sini untuk makan atau sekadar bertemu dengan kenalan mereka. Ia tidak menemukan siswa Hogwarts di tempat ini mengingat kalau sekarang bukanlah hari kunjungan Hogwarts.

Tidak perlu waktu lama bagi Hermione untuk menemukan di mana sosok Draco Malfoy berada. Pemuda itu sangat mudah ditemukan karena rambut pirang yang terlihat kontras dengan suasana Three Broomstick yang sedikit temaram. Hermione menarik lengan Ron dan menuntunnya ke arah sudut ruangan di mana Malfoy sedang duduk sendirian dengan pandangan yang mengarah ke luar jendela.

"Malfoy...," sapa Hermione. Ia mendudukkan diri di seberang tempat duduk Malfoy sementara Ron memilih duduk di sampingnya. Pemuda pirang di hadapannya segera mengalihkan pandangan dari apa yang ada di luar sana dan menatapnya. Tanpa melihat pun, Hermione menyadari beberapa pasang mata pengunjung Three Broomstick sedang melayangkan pandangan tertarik ke arah meja mereka. Melihat dua dari tiga Trio Emas Gryffindor bersama salah seorang anak Pelahap Maut bukanlah hal yang sering terlihat. "Aku tidak akan berbasa-basi. Ada urusan apa kau ingin menemui kami?"

"Dan kami berharap itu adalah urusan yang cukup penting."

Hermione mendelik kesal ke arah Ron. Ia sangat tahu kalau Ron tidak suka berada di ruangan yang sama dengan Malfoy setelah apa yang terjadi kemarin. Ia ingat bagaimana kesalnya Ron setelah Malfoy menolak untuk membantu menyembuhkan Harry. Padahal, ini mungkin satu-satunya cara yang bisa mereka lakukan setelah sekian lama berlalu.

Tepat setelah seminggu Harry tidak sadarkan diri, Hermione pernah mengusulkan kepada Penyembuh dan keluarga Weasley untuk membawa Harry ke rumah sakit Muggle. Ia ingat kalau apa yang Harry alami mirip seperti peristiwa koma yang terjadi di kalangan Muggle. Mereka memang menyetujui hal itu dan mengirim Harry ke salah satu rumah sakit di London. Tapi seperti Penyembuh di St. Mungo, tidak banyak yang bisa dilakukan dokter rumah sakit Muggle. Diagnosis mereka adalah bahwa Harry sedang menjalani koma dan mereka meminta dirinya untuk menunggu sampai Harry bangun dengan sendirinya.

Tapi kapan? Pertanyaan itu menjadi pikiran Hermione. Ia pernah mendengar kalau ada Muggle yang tidak pernah sadar lebih dari lima belas tahun. Selama itukah ia harus menunggu Harry untuk sadar? Bagaimana jika pemuda itu tidak pernah bangun untuk seumur hidupnya?

"Aku bersedia untuk membantu Potter."

Lima kata yang diucapkan Malfoy membuat Hermione membelalakkan matanya. Ekor matanya mengerling ke arah Ron dan melihat pemuda itu segera meraih tongkat sihir yang Hermione duga tersembunyi di balik jubah Auror Ron. Dengan cepat kekasihnya merapalkan mantra Peredam di sekeliling mereka.

"Untuk apa kita perlu memasang mantra Peredam di sini? Aku rasa pembicaraan ini tidaklah sepenting itu sampai kalian takut ada orang yang mencuri dengar."

Hermione seolah tidak memedulikan kata-kata Malfoy. "Ini tidak semudah yang kaupikirkan, Malfoy," ujar Hermione yang melambaikan tangan ke arah seorang pelayan yang mendekati meja mereka untuk mengusir orang itu; membuat gadis paruh baya tersebut merengut kesal. "Tidak ada yang tahu apa yang terjadi dengan Harry selama ini. Kami merahasiakan apa yang terjadi dengannya dari dunia sihir."

Malfoy mendengus pelan. "Aku tidak tahu kalau Potter diberikan perlakukan istimewa seperti itu. Well, tidak heran jika ia mendapat perlakukan tersebut. Menyelamatkan dunia sihir dari Pangeran Kegelapan. Aku juga tidak akan heran jika Kementerian memintanya untuk menjadi Menteri Sihir suatu hari nanti."

"Tidak seperti itu, Malfoy," erang Hermione.

"Oh, apa karena Potter sekarang mirip seorang selebriti yang bersembunyi karena keadaannya? Sayang sekali jika aku secara tidak sengaja menemukannya seperti itu. Tidak berdaya dengan penyakit-entah-apa yang bersarang padanya. Menyedihkan."

"Bisakah kau berhenti berbicara buruk mengenai Harry? Kalau bukan karena dia, aku rasa kau tidak akan bisa duduk santai di sini sekarang, Malfoy. Kalau tidak ada dia, keluargamu pasti masih menjilat ujung sepatu Voldemort."

"Kau yang harus diam, Weasel!" Malfoy membentak. Sebuah tongkat sihir teracung ke arah Ron. Namun Hermione tahu kalau pemuda di sampingnya juga tidak kalah cepat. Sekarang ini, kedua pemuda itu saling menatap tajam satu sama lain dengan tongkat sihir yang teracung. Keramaian yang ada di Three Broomstick seketika menghilang; digantikan dengan kesunyian ketika orang-orang di tempat itu melihat dua orang yang saling mengacungkan tongkat sihir. Tentu saja mereka tidak tahu apa yang menyebkan Malfoy dan Ron seperti itu.

Hermione mengerang frustrasi. "Oh, bisakah kalian berdua tidak saling beradu mulut atau perang mantra jika bertemu? Ron! Turunkan tongkat sihirmu. Kita di sini tidak untuk berdebat. Kita di sini untuk Harry! Kau juga, Malfoy." Hermione mengalihkan pandangan ke arah Malfoy. "Untuk sekali saja, berhenti bersikap menyebalkan."

Dengan ragu, kedua pemuda itu menurunkan tongkat sihir mereka.

"Terima kasih. Kuhargai sedikit sikap dewasa kalian. Bisa kita kembali ke urusan kita?" Ron menganggukkan kepala dengan enggan. "Oke, Malfoy. Kau mengatakan kalau kau bersedia membantu kami untuk menyembuhkan Harry, bukan?"

Malfoy terdiam sejenak. "Ya. Aku akan melakukannya hanya dengan satu syarat."

Hermione bertukar pandang kepada Ron. Ia melihat salah satu alis pemuda itu terangkat.

"Syarat?" ulang Ron. "Apa yang kauinginkan? Kalau kau meminta hal yang—"

"—Aku hanya ingin agar ayahku dibebaskan dari Azkaban."

Kedua mata Ron melebar. Mulut pemuda itu menganga lebar sebelum akhirnya berteriak sambil memukul meja; membuat Hermione terkejut.

"Jangan bercanda, Malfoy! Bagaimana mungkin kami membiarkan tahanan Azkaban sekaligus seorang Pelahap Maut keluar dari tempat itu? Lucius Malfoy masih harus menjalani hukuman selama enam tahun lagi, kau tahu?"

"Maka aku tidak akan mau membantu kalian." Malfoy mendesis ke arah mereka. "Membebaskan ayahku kurasa setimpal dengan menyembuhkan sang Pahlawan, bukan? Aku rasa ini bukan masalah yang sulit melihat seberapa pengaruh Potter terhadap dunia ini. Masyarakat sihir berhutang besar padanya seperti apa yang kaukatakan barusan, Weasel. Ini bayaran yang pantas untukku."

Ron mengeram pelan. Hermione melihat pemuda itu berdiri dan meraih kerah jubah Malfoy. "Kau! Jangan seenaknya meminta hal semacam itu, Brengsek! Kau—"

"—Aku akan mencobanya," Hermione berujar pelan. Ia mengulurkan tangan ke arah lengan Ron dan mengisyaratkan pemuda itu untuk tenang. Tidak sedikit pun ia memedulikan tatapan penuh tanya sekaligus heran dari pemuda itu. "Aku tidak bisa menjanjikan kalau aku bisa membebaskan Lucius Malfoy dari Azkaban. Aku harus membicarakan hal ini dengan Menteri Sihir. Kau bisa menunggu hal itu?"

Malfoy mengangguk sementara Ron membuka mulut untuk berbicara. Hermione menggelengkan kepala untuk meminta pemuda itu tetap diam.

Hermione melihat Malfoy mencoba melepaskan diri dari Ron lalu menegakkan tubuhnya. "Aku menunggu kabar selanjutnya darimu, Granger. Tapi jika kau tidak ingin aku mengubah keputusanku, pertimbangkanlah dengan cepat."

Tanpa menunggu apa pun, Malfoy berjalan melewati dirinya dan Ron. Ia tidak mau merepotkan dirinya untuk sekadar menatap kepergian pemuda itu. Setelah menghela napas panjang, Hermione baru mengalihkan pandangan ke arah Ron.

Ron mendesah pelan. "Aku tidak tahu kalau kau benar-benar gila, Hermione," ujar pemuda itu. "Bagaimana kita harus membujuk Kingsley agar mau menerima syarat yang diajukan Ferret itu? Ini tidak mudah, bukan?"

Bukannya bersikap seolah-olah mereka sedang menghadapi masalah yang sangat gawat, Hermione hanya tertawa pelan. "Well, kita tidak akan tahu jika tidak mencoba, Ronald."

Tbc


Terima kasih banyak atas semua review dan koreksinya. Tidak menyangka akan mendapat tanggapan sebagus ini. Terima kasih juga bagi yang hanya mampir untuk membaca. Review?

Disclaimer: J.K. Rowling.