Aru : ciaso!

Reborn : copycat nih! Wooo! Minta royalti!

Aru : bokapmu!

Mana si Tsuna?

Gokudera : ju-juudaime sedang kerasukan setan mesum. –gemeteran-

Aru : astojim. Dari kemaren? Sekarang lagi apa dia?

Gokudera : itu.. nggg...

Aru : jangan kata... –ngacir ke tempat tsuna-

Tsuna : giotto, sakit nih. Jangan dipaksain dong

Giotto : iya ini gak. Pelan2 kok.

Tsuna : a-aaaww! Sakiitt!

Aru : oemji! Ini belum take! Jangan maen duluan lu pada! –buka pintu-

Tsuna : eh? Aru-san? Kenapa?

Giotto : -masih maksa masukin-

Ng? Ada Aru. Ada apa?

Aru : l-lha? Kalian ngapain?

Gio+Tsu : nyobain sepatu baru.

Tsu : Si Giotto kayaknya salah milih ukuran. Sepatunya kekecilan. Tapi dia maksain aku harus pake sepatunya.

Aru : asdfghjkl

Udah sana buruan siap-siaaappppp! –ngamuk-

Tsu+Gio : hieeeeeee!

Aru : mana si nanas dan tusuk giginya?

Muku : nyari gue, author sialan?

Aru : e-eh elu gan. Apa kabar. Hehehe. Sana take. Tapi gak ada adegan raep lagi ya. Hari ini jatah yang lain.

Muku : gak bisa! Gue yang bakal xxx Tsunayoshi lagi

Aru : matamu! Sana masuk!

KHR punya Amano Akira. Vampire beside You punya aru. OOC bin abal dengan typo (mungkin) bertebaran. Lemon kurang hot dan gak sedih ceritanya. Ayo take smuaaa!

All : Siaaap!

Muku : hari ini makan pisang lagi?

Aru : kagak. Makan aja semangka sodara lu. Gih gih. –tendang Spade-

Muku : Astojim! Gak deh makasih -ngacir-

V v v v V

Malam di hari Halloween sangat gelap. Bulan bersembunyi di balik awan seolah takut pada monster dan hantu-hantu yang berkeliaran di seluruh dunia. Tapi bukan kegelapan ini yang ditakuti Tsuna. Tapi kegelapan hatinya. Ia kecewa. Vampir yang ia kenal selama ini memang hanya mengincar darahnya, bukan yang lain. Jadi perlakuan baiknya selama ini adalah agar makanannya tetap terjaga?

"Tsunayoshi-kun."

Tsuna yang menunduk, menengadahkan kepalanya menatap orang yang memanggilnya. Di sana berdiri seorang pria tinggi dengan dua mata yang berbeda warna. Oh dia lagi. Tapi yah, berterimakasih padanya karena berkat kata-katanya, Tsuna menyadari kenyataan yang sekuat tenaga ia tepis.

"Ada apa, Mukuro-san?"

"Kau masih merasa horny?"

"Ng? Sebenarnya masih. Tapi aku sudah tak mau lagi. Biarkan saja." Ujar Tsuna datar dan dengan tatapan kosong.

Mukuro ber-kufufu no fu. Ia mendekati Tsuna dan memepetkan tubuhnya di tembok. Seperti mayat hidup, Tsuna diam saja menanggapi sikap Mukuro. Dengan senang hati, Mukuro menyambut sikap Tsuna. Bagus, daripada harus terus menenangkannya. Repot dan melelahkan. Lebih baik seperti ini.

"Oya oya? Apa sekarang kau merelakan tubuhmu untukku?"

Tsuna masih diam. Seringai senang terpancar dari wajah Mukuro. Tangannya mulai menjelajahi tubuh Tsuna setiap inchinya. Menjilati dadanya, memainkan dua tonjolan pink yang menggemaskan, menggigit dengan penuh nafsu lehernya, mengulum kedua bibirnya dan meremas lembut milik Tsuna. Rasanya Tsuna telah sepenuhnya menjadi milik Mukuro.

"Mu-Mukuro-san. Kubilang biarkan saja."

"Jangan begitu, Tsunayoshi-kun. Aku juga ingin kok. Sampai puas, aku akan melayanimu."

"Ti-tidak. Aku tak mau lagi."

Geram, Mukuro mencengkeram dagu Tsuna dan membuatnya menatap matanya yang bicolor. "Apa kau masih memikirkan vampir bodoh itu? Ingat Tsunayoshi! Kau hanya diperalat!"

"Siapa yang memperalat Tsunayoshi, Rokudo Mukuro?"

Tsuna membeku. Mukuro menoleh ke belakang. Suara itu terdengar dari belakang. Tapi Mukuro tak menemukan sosok itu dimanapun. Ia masih mencari dengan mengedarkan pandangannya ke segala arah. Sedangkan tanpa sadar, airmata Tsuna telah menetes membasahi pipinya. Suara itu... suara yang ia rindukan. Juga ia benci sekarang ini.

"Di mana ka..."

Mukuro tiba-tiba ambruk di depan Tsuna. Tsuna terbelalak melihatnya. Apa yang terjadi? Mengapa Mukuro tiba-tiba pingsan? Tsuna tak dapat membohongi hatinya lagi. Ia merasakan sosok itu ada di sampingnya. Saat bulan telah muncul dari persembunyiannya, sosok itu terlihat semakin nyata terlihat.

"Tsunayoshi..."

Pria itu memanggil Tsuna dengan lembut. Meski wajahnya tak terlihat karena memakai fox mask, tapi Tsuna tau siapa orang itu. Kakinya seolah lemas mendadak melihatnya. Mengapa di saat seperti ini dia baru datang?

"Gi-Giotto...-nii?"

Giotto tersenyum dari balik topengnya. Ia melirik Mukuro yang pingsan akibat tengkuknya ia hantam sekuat tenaga. Oh oh. Meski ia selapar itu, ternyata tenaganya masih cukup untuk membuat orang itu pingsan demi melindung Tsuna. Ya, semua demi dia.

"Buona sera, Tsunayoshi." Giotto berjalan perlahan ke arah Tsuna yang masih berdiri mematung. Ingin sekali rasanya ia memeluk dan mengecup lembut anak itu. Rasa rindu dan sayangnya sudah tak dapat dibendung lagi di hatinya. Tapi...

Tsuna menggeleng keras. "Jangan mendekat!"

Giotto berhenti melangkah dan menatap sedih ke wajah Tsuna yang ketakutan dan gemetar. Ia menghela nafas dan melepas jubah hitamnya dan menyampirkannya ke bahu Tsuna. "Aku tak tau apa yang nanas itu lakukan padamu. Dan aku anggap ini tak pernah terjadi." Giotto melepas fox mask yang menutupi wajahnya.

Mata Tsuna bertemu dengan mata biru Giotto. Di sana terpancar kesedihan, kesepian, dan rasa sayang dari seorang Giotto pada Tsuna. Tsuna terduduk lemah di lantai. Giotto-nii, mengapa wajahmu seperti itu? Seharusnya yang merasa sedih itu aku. Bukan kau...

Giotto menghela nafas pelan. Ia kemudian memakaikan Tsuna baju dan celana seadanya dan menggendong Tsuna ala brydal style. Membawanya pergi dari atap sekolah itu sebelum Mukuro sadar dari pingsannya. Ia memakai kembali topengnya dan menyelimuti Tsuna dan memakaikannya jack o-latern buatan Tsuna agar wajahnya tak terlihat. Jangan sampai murid Namimori melihat kejadian ini atau akan tersirat gosip yang tidak-tidak.

"Lepaskan aku, Giotto-nii. Turunkan aku!" Tsuna meronta-ronta dalam gendongan Giotto. Merasa kewalahan, Giotto menurunkan Tsuna di balik semak-semak rindang di sekitar halaman Namimori yang terbilang cukup sepi.

"Kenapa?"

"Aku tak mau ikut denganmu lagi. Kenapa tadi Giotto-nii datang? Biarkan saja aku dilahap oleh..."

"Tsunayoshi!"

"..."

"Baiklah, aku akan ceritakan semua! Semua! Sebelum itu kau harus tau terlebih dahulu, jika aku tulus mencintaimu!"

V v v v V

Berabad-abad yang lalu, vampir sudah hidup dan berbaur dengan manusia. Bahkan pangkatnya lebih tinggi dibanding manusia karena vampir tertentu memiliki kekuatan yang tak bisa didapat oleh manusia. Vampir keturunan darah murni salah satunya. Mereka lebih dari vampir-vampir biasa yang hanya meminum darah dan membunuh manusia.

Salah satu beberapa vampir darah murni yang terbilang sangat langka itu, Giotto salah satunya. Diapun tak tau kapan ia hidup dan bagaimana caranya. Yang ia ingat hanya ketika ia membuka mata, semua orang memujanya. Apakah ini karena Tuhan telah menurunkannya dari langit? Giottopun tak mengerti. Setelah Giotto muncul, barulah beberapa vampir darah murni terdengar keberadaannya.

Sejak itulah, Giotto dinobatkan sebagai vampir pertama di muka bumi ini. Setelah itu, Giotto yang memang dikenal orang-orang sebagai vampir yang baik hati, terus berbaur dengan manusia selama bertahun-tahun.

Dia abadi. Jikapun terluka, lukanya akan sembuh beberapa saat kemudian. Ia juga tak pernah tua. Wajahnya masih tetap tampan, tubuhnya segar dan gerakannya tetap gesit meski berpuluh-puluh tahun telah ia jalani.

Selama hidupnya, Giotto tentu memiliki teman dan kekasih. Namun di depan matanya pula, ia harus melihat orang-orang yang ia sayangi mati karena usia tua. Terkadang ia menyesali keberadaannya. Mengapa ia tak bisa mati seperti teman-temannya? Mengapa ia harus menanggung kesepian dan kesedihan ini seumur hidupnya?

Dalam keadaan terpuruk, Giotto alias Vampir Primo bertemu dengan Byakuran. Pria berambut putih dengan tato kecil di bawah matanya itu tersenyum saat melihat Giotto berdiri di samping makam sahabatnya yang baru saja dikubur.

"Kau butuh teman, Primo?"

"Siapa kau?"

"Aku Byakuran Gesso. Vampir darah murni, sama sepertimu. Jika ada aku, kita tetap bisa bersama sampai kiamat tiba."

Akhirnya Giotto dan Byakuran melewati tahun-tahun selanjutnya bersama. Bahkan bukan sekedar teman. Lebih dari itu, Giotto telah menjadikan Byakuran sebagai kekasih hidupnya. Berpuluh tahun selanjutnya mereka lewati bersama-sama, sampai suatu hari... Giotto mengetahui segalanya di balik senyum ceria Byakuran.

"Bya-Byakuran? Apa yang sedang kau lakukan?"

"Apa? Araa~ Giotto. Kau tak melihat? Aku sedang menghisap darah manusia ini."

"Jadi yang membunuh banyak orang beberapa waktu yang lalu juga kau?"

"Ya. Aku yang melakukannya. Membunuh, kemudian menghisap darahnya agar hanya kita berdua saja yang menjadi vampir di muka bumi ini."

"Tapi aku tak suka caramu!"

"Aku berbeda denganmu yang begitu munafik tak ingin membunuh manusia dan menahan diri untuk menghisap darahnya."

"Aku punya seorang The Blood yang tak akan terinfeksi menjadi vampir jika aku menggigitnya. Jadi aku hanya meminum darahnya saja. Itupun sedikit."

"Hoo? Jadi kau hanya akan setiap menghisap darah turun temurun orang itu?"

"Ya. Dan sebaiknya kau juga mencari The Bloodmu sendiri."

"Aku tak mau. Bosan rasanya hanya meminum darah dari orang itu-itu saja."

"Kau..!"

Sejak perang antara dua vampir darah murni itu, mereka berdua menghilang tak ada kabar. Dugaan sementara, mereka saling membunuh dengan cara menembakkan peluru perak di dada lawannya. Namun dugaan lainnya, Giotto bersembunyi di suatu tempat yang hanya diketahui oleh the bloodnya. Sedangkan Byakuran sedikitpun tak ada petunjuk tentang keberadaannya.

Dan kini, sang vampir abadi itu bertemu dengan the blood generasi ke 10 abadnya. Sekuat apapun Giotto menahan diri dari rasa ingin minum darahnya, namun hal itu tak dapat terus ia bendung. Dengan naluri vampirnya, ia menyakiti the bloodnya. Padahal pada generasi ke 9 abadnya, ia berjanji dalam hati tak akan menghisap darah manusia lagi.

Entah karena nafsu vampirnya atau nafsu pribadinya, Giotto menghancurkan janjinya.

V v v v V

"..."

"Jadi begitulah. Tsunayoshi? Kau tidur?"

Giotto melirik Tsuna yang duduk memeluk lututnya yang ditekuk di dada dan membenamkan wajahnya di lipatan kedua tangannya. Daritadi, Tsuna tampak diam seribu bahasa ketika Giotto menceritakan masa lalu dan asal muasalnya. Jangan-jangan Tsuna bosan dan tertidur?

Tsuna tak bergeming. Tapi Giotto dapat melihat bahu Tsuna naik turun. Anak itu menangis dalam diam. Suasana Namimori-chuu tampak semakin sepi. Giotto melirik ke arah jam dinding sekolah, pukul satu pagi. Pantas saja suasana tampak sepi dan udara semakin dingin. Jangan-jangan Tsuna kedinginan?

"Tsunayoshi, kau kedinginan?"

Tsuna menggeleng pelan. Pelan sekali. Namun cukup bagi Giotto untuk mengerti apa yang diinginkan Tsuna. Akhirnya mereka sama-sama diam.

"Hhhh.. Kau pasti kecewa beberapa hari ini tak datang ke rumahmu."

"..."

"... karena aku tak berani menatap matamu. Aku kotor sekarang. Hhh.." Giotto mengacak-acak rambut pirangnya gusar. Tsuna tak kunjung menanggapi omongannya. Terjadilah pembicaraan sepihak.

"... kotor?"

Giotto menatap Tsuna. Tak salah dengar kan? Tadi ia membalas ucapannya? "Ya.. well, kau tau Alaude? Sewaktu aku disekap, aku di..."

Tsuna menunggu kelanjutan ucapan Giotto masih dalam posisi awal. Giotto bingung apakah harus ia jelaskan sampai sedetail itu? Apa ia harus bilang jika malam itu Alaude melakukan 'itu' padanya?

"Apa, Giotto-nii? Sesso?"

"Hah? Darimana kau tau kata itu?"

"... Mukuro."

"Si nanas itu!"

Giotto mengepalkan tangannya keras sampai kukunya melukai kulitnya. "Benar ya, Giotto-nii?"

"Hhhh... Ya begitulah."

"... kau... menyukainya?"

"Tentu saja tidak!"

"..."

"Maaf." Giotto mengacak rambutnya lagi. Tak peduli jika rambutnya sudah kusut dan berantakan. Yang sekarang ia inginkan hanya bersama Tsunayoshi. Tapi sepertinya Tsuna tak menginginkan itu.

".. Giotto-nii yang membunuh wanita di pinggir jalan kemarin?"

"Wanita? Tidak. Sudah kubilang aku tak mau menghisap darah manusia selain the blood."

Tsuna mengangkat kepalanya perlahan. Ia melepas jack o-laternnya dan terlihatlah mata dan hidungnya merah karena menangis serta pipinya basah. Giotto menatap miris keadaan Tsuna. Sepertinya ia tertekan. "Kau kenapa, Tsunayoshi?" dengan lembut, Giotto menyeka airmata yang masih menggenang di pelupuk mata Tsuna.

"Syukurlah yang membunuh itu bukan Giotto-nii."

"Ah? Jadi daritadi kau merisaukan itu?"

"Bukan itu saja."

"? ? ?"

"Aku merisaukan perasaanmu padaku. Mengapa Giotto-nii tidak datang? Apa kau membenciku? Atau kau hanya mencintaiku sebagai the blood yang menjadi asupan makananmu..."

"Itu tidak benar!" Giotto akhirnya tak tahan lagi dan menarik tangan Tsuna cukup kuat hingga membuat Tsuna kehilangan keseimbangan. Sebelum ia jatuh, Giotto dengan jantan memeluknya dan membuat Tsuna nyaman dalam dekapannya. "... tadi sudah kubilang, sejak bertemu denganmu, aku merusak janjiku. Karena aku... aku... mencintaimu, Tsunayoshi. Tidak sebagai the blood. Tapi sebagai seorang Tsunayoshi."

Tsuna menatap bola mata biru Giotto dalam. Akhirnya keraguannya selama ini terjawab dengan pernyataan Giotto malam ini. Tsuna membalas pelukan Giotto dengan erat, seolah tak ingin lagi ditinggal olehnya.

"Te-terimakasih... Hiks..."

"Hhhh... Padahal kukira kau membenciku."

"Mengapa?"

"Perasaan saja. Makanya aku memainkan lagu Moonlight Sonata itu untukmu."

"Memang apa artinya?"

"Kau tau, Bethoven, yang membuat lagu ini sedang jatuh cinta pada seorang wanita namun wanita itu menolaknya. Maka terciptalah lagu itu sebagai cerminan hatinya."

"Pantas saja terdengar sedih..." jadi itu maksud Hibari-san memainkan lagu itu juga?

Giotto memeluk Tsuna dengan gemas. Sudah lama sekali ia ingin melakukan hal itu. Namun demi menjaga Tsuna, Giotto berusaha menahan dirinya. Tapi kini, tak ada lagi yang menghalanginya kan? Jadi bolehkah ia memilikinya sekarang?

"Gi-Giotto-nii..."

"Ya?"

"... jangan peluk aku lagi. Lepaskan..."

"Eeh?"

Giotto melonggarkan pelukannya. Ada apa sih dengannya? Baru saja ia menyatakan cinta dan Tsuna menyambutnya dengan membalas pelukannya. Tapi sekarang kenapa ia meminta lepas?

"Ku...kumohon, Giotto-nii. Kumohon..."

Giotto mau tak mau melepas pelukannya mendengar suara Tsuna yang mengiba dengan kepala tertunduk dan suara serak. Tsuna sedikit menjauh dari Giotto dan bersandar di pohon. Kakinya gemetar dan keringatnya menetes membasahi tubuhnya. Padahal malam itu Tsuna hanya berselimut dengan jubah Giotto. Selanjutnya, tak ada sehelai benangpun menutupi tubuhnya. Mengapa tubuhnya penuh peluh?

"Tsu-Tsunayoshi, kau baik-baik saja?" Giotto yang cemas kembali mendekati Tsuna yang masih bersandar di pohon. Tsuna hanya membalasnya dengan anggukan pelan.

"Tsuna..."

"Menjauhlah dariku, Giotto-nii!"

"Ta-tapi..." Giotto menatap Tsuna cemas. Wajahnya memelas dan matanya meredup. Sedih sekali diusir begitu oleh Tsuna.

"Giotto-nii! Cepatlah!"

"Tapi... ngg!"

Tsuna langsung menubruk tubuh Giotto dan melumat bibir dingin Giotto dengan liar. Kewalahan dan kaget, Giotto terjatuh sambil memeluk pinggang Tsuna. Tsuna masih melancarkan serangannya dan kini lebih liar. Ia menyelipkan lidahnya di antara bibir Giotto dan masuk menerobos dengan bebas ke mulutnya, karena memang Giotto mempersilakan hal itu.

Mereka saling memagut lidah. Tak mau kalah dengan Tsuna, Gioto menjilati dinding mulut Tsuna dan mengabsen satu persatu gigi putih Tsuna yang mungil. Sedangkan di saat yang sama, Tsuna menghisap lembut bibir atas Giotto yang dingin, memberikan sengatan yang aneh di tubuh Giotto.

Merasa mulai kehabisan asupan oksigen, Tsuna melunakkan serangannya. Dan Giotto sangat mengerti itu. Perlahan ia menyudahi ciumannya dan menjauhkan wajahnya. Dilihatnya wajah Tsuna merah padam dengan saliva masih terhubung di lidahnya.

"Tsu-Tsunayoshi...?"

"Giotto...-nii... Hhh... bagaimana ini... tubuhku.. panas... dan aneh... daritadi... dan tak mau sembuh juga..."

Tsuna menarik nafas kuat-kuat. Dapat dilihat jika ia kesulitan untuk bernafas. Giotto tersenyum dan sedikit bangun dari posisi awalnya. Ia menahan tubuhnya dengan kedua sikunya dan membiarkan Tsuna berada di atasnya. Toh tubuh Tsuna sama sekali tidak berat.

"Potion Cholatmu masih bekerja."

"Darimana kau tau?"

"Lihat dari gejalanya. Lagipula tadi Byakuran bilang kamu diberi dua buah cokelat, kan?"

Tsuna mengangguk. Giotto sekuat tenaga menahan tawanya melihat wajah Tsuna yang memerah karena menahan nafsunya. Araaa~ the bloodnya imut sekali. Ah ralat. Tsunayoshinya imut sekali. Dan dalam keadaan Tsuna menduduki perutnya, Giotto tau jika Tsuna telah menegang di bawah sana.

"Ja-jangan tertawa, Giotto-niii! Menyebalkan! Menyebalkaann!"

Tsuna memukul-mukul dada Giotto cukup keras. Giotto gelagapan sambil mengaduh. Perutnya sakit menahan tawa melihat Tsuna malu-malu seperti itu. Giotto menahan kedua tangan Tsuna dan menariknya dalam pelukan.

"Baiklah, Tsunayoshi. Sampai efek cokelat itu habis, aku akan buat kau klimaks berapa kalipun yang kau mau..."

V v v v V

Behind the Scene

"Ada apa, Mukuro-san?"

"Kau masih merasa horny?"

Aru : CUT CUT! NANAS MESUM! Apaan lu kata? Horny? Ebuset! Kagak ada di naskah, nanas idioott!

Muku : kan biar lebih hoottt!

–mukuro mati di tenggelemin di laut merah-

Aru : ... tapi bagus juga. Pakai aja ah~. Cerberus, bawa si nanas ke sini! Hahahaha! –ditampol-

End

Behind the scene 2

"Jadi begitulah. Tsunayoshi? Kau tidur?"

"..."

Tsuna benar-benar tidur saking enaknya dininak boboin suara cantik Giotto.

Giotto : Ebuset dah bener2 nih anak molor!

Aru : apa boleh buat. Ulangi! Gamparin dulu si Tsuna biar bangun. Paling ntar penonton bingung napa Tsuna pas ngangkat pala bukan matanya doang yang bengkak, tapi pipinya juga. Tulis aja di bawahnya, Giotto melakukan KDRT pada Tsuna. Selesai.

Giotto : alamak pitnah! Pitnaaahh!

End.

Tsuna : errr... –toel Giotto-

Aku malu nih. Gak mau ah. Naskahnya ganti aja. Ato skip aja. Ya?

Giotto : uapaaahhh? Ama Hibari n Mukuro kamu mau. Tapi kenapa ama aku kagaaakk? –mewek darah-

Aru : walah. Reborn-san, pinjem si Leon dong.

Reborn : nih. Satu detik satu juta.

Aru : matamu!

Tsuna : E-eeehhhh?

DOR!

Tsuna : REBOORRRNNN! AKU AKAN XXX SAMA GIOTTO DENGAN DYING WILLKUU!

Giotto : mampus gue

E... eh. Gak jadi deh, Tsuna. Di skip aja. Eh? Eeeehhhh? WAAAAAA!

Aru : sensor sensoorrr! Ternyata si Tsuna mau juga kan aslinya. Jangan lupa review ya minna. –rekam adegan 27G sambil meler n mimisan-. Mayan buat di jual ke Space T*on. xixixixixiixi