Seseorang menatapnya intens... seseorang di dekatnya. Ia bisa merasakannya, ya, tentu saja. Holly sudah menjelaskan seluruh fenomena yang ia alami, belum lagi tambahan dari kepala sekolah itu dan buku-buku yang ia beli. Ia tahu dirinya kuat. Akhirnya ia menoleh, menjauhkan kepalanya dari jendela kereta itu. Dan ia mendongkak, dan sepasang mata biru miliknya menemukan sepasang bola mata yang sedari tadi menatapnya.

Sepasang bola mata hijau cerah, yang menatapnya dari balik pintu. Pemiliknya berdiri di sana, dengan koper di sebelahnya.

Ia tidak tahu siapa pemuda itu, tapi entah kenapa ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya ingin terus melihat kedua bola mata itu, berada di dekatnya, dan mengetahui tentang pemuda itu.

Lalu akhirnya ia berdiri, menarik pintu kompartemen.

Ia tahu, saat ia membuka pintu itu dan mempersilahkan pemuda itu masuk, rasa penasarannya yang berada dalam dirinya dan akhirnya ia salurkan dengan memasuki sekolah itu malah akan menjerumuskannya lebih jauh ke dalam suatu hal. Masalah mungkin.

Bukan. Bukan rasa penasarannya yang menjerumuskannya. Ia mendapat firasat, bahwa pemuda itu membawa sesuatu, sesuatu yang akan menjerumuskan mereka ke dalam suatu hal.

Dan ia tahu, tahun ini ia akan menjalani suatu petualangan besar– lagi.

.


.

BIZARRE

Harry Potter to J.K Rowling

Artemis Fowl to Eoin Colfer

.


.

A Friendship, Romance and Adventure fict.

WARNING for SLASH, OOC, Underage Relationship, Commander Julius Root ga mati alias pas buku 4 berhasil selamat uyeeeeee~ banyak canon yang gua ubah dari buku AF, a lil' bit manipulative Dumbledore, a strong!Harry.

Artemis at age 17, Harry at age 14.

A/N: Mungkin terfokus dengan relashionship-nya? Tidak tau -_- Artemis OOC karena gua sendiri bingung Artemis itu karakternya kayak gimana. Berubah-ubah sih, kadang baik, kadang 'nakal', kadang perhatian, kadang gapedulian #authorcurhat #plak hehehe tapi yang penting bocah itu tuh jenius, saking jeniusnya sampe bikin iri huahahahahahaha… plus HP canon sampe buku 3, AF sampe buku 5 (maybe) gua gatau banyak karena baru baca bukunya nomer 4 dan baca fict-nya #ininamanyanekat. Buat musuh? Cuma tau si Opal, dan Mafia Russia. Pick one! #oke, ini bukan twitter!

Terinspirasi dari fict Fairy Dust by excentrykemuse, untuk bagian romance-nya, dan Second Change at Life by Miranda Flairgold untuk bagian ritual dan demon-demonnya, Harry Potter and The Descent into Darkenss by Aya Macchiato untuk bagian penggambaran strong!Harry-nya, dan novel Nicholas Flamel karya Michael Scott untuk makhluk-makhluk asingnya.

Main pair AFHP, slight SBRL, AFHS, DMHP, TRHP(maybe) – terlalu, kebanyakan -_-

Don't Like Don't Read!

But yeah, ENJOY!

.


Chapter 1 – Just a Destiny

.

Suara Hogwarts Express benar-benar khas, ya.

Harry termenung di samping kereta api tersebut –di samping gerbong tepatnya. Troli yang berisi koper dan sangkar Hedwig berada di sampingnya. Ini memang bukan yang pertama kalinya Harry menatap Hogwarts Express, tapi tetap saja... rasanya menenangkan.

Ia menarik trolinya dan akhirnya menarik kopernya menaiki tangga kereta. Ia ngedumel dalam hati. Kemana perginya Ron? Ia ingat tadi, saat ia berjalan melewati portal ia berada di belakang Ron –dan kemudian ia sejenak memperhatikan kereta. Dan –dengan perasaan bahwa ia hanya mengalihkan matanya sedetik- Harry sudah kehilangan sahabatnya itu. Kemana Ron, dan ada di mana Hermione?

Pasrah, Harry akhirnya menyeret koper dan sangkar Hedwig dan berjalan sepanjang lorong. Beberapa pasang mata menatapnya dari dalam kompartemen –berterima kasihlah kepada Daily Prophet yang sudah menggembor-gemborkan berita saat Quidditch Cup itu- tapi Harry berusaha menghiraukannya. Ia kembali berjalan, menuju gerbong-gerbong di belakang. Ia sengaja memilih agak di belakang, karena ia tahu gerbong depan sudah penuh. Dan lagi, mungkin saja dalam perjalanannya mencari gerbong ia menemukan sahabat-sahabatnya. Tapi hasilnya nihil.

Di gerbong selanjutnya yang ia temukan –setelah melewati gerbong Slytherin, tentu- Harry melongo ke kompartemen paling belakang. Ah, hanya ada satu orang di sana. Ia berniat untuk membuka pintu dan bertanya apakah ia boleh ikut di sana, tapi ia kemudian menyadari bahwa ia tidak mengenali sosok itu. Bahkan kemungkinan besar ia belum pernah melihat pemuda itu di Hogwarts.

Tapi aneh. Ia merasa familier dengan sosok itu.

Sosok itu tinggi, tegap. Dari tingginya, Harry berasumsi bahwa ia merupakan anak kelas 7. Tapi tetap saja, ia merasa ia sama sekali belum pernah melihat cara duduk itu di Hogwarts. Harry tidak melihat wajahnya –sayang sekali. Wajah itu sedang menunduk, membaca koran di depannya. Heck, bukankah itu New York Times? Ini London, kenapa ia malah membaca New York Times?

Ia kembali menekuri sosok itu. Siapa? Dari asrama mana? Yang pasti bukan Gryffindor, batinnya. Ia sudah melewati tiga tahun di ruang rekreasi Gryffindor, dan ia yakin ia belum pernah melihat sosok itu.

Mata hijau cerah Harry menjelajah, mulai dari atas. Rambutnya hitam, lurus, tertata rapi. Khas seorang bangsawan. Dan dalam hati Harry menyindir dirinya sendiri, yang mempunyai 'kutukan keluarga Potter' alias selalu mempunyai rambut yang tidak bisa ia jinakkan.

Harry melihat kembali wajah pemuda itu –walau yang terlihat hanya bagian kanan saja-, dan perasaan familier menjalari tubuhnya. Entah kenapa ada perasaan hangat yang ia rasakan –aneh, tapi nyaman. Dan entah kenapa Harry menahan nafasnya saat pemuda itu berbalik, sepasang mata biru menatapnya intens – heck,bahkan Harry serasa kehilangan pijakannya saat ia mengunci tatapannya pada sepasang mata biru itu. Entah kenapa, mata itu... familier?

Harry tetap mengunci pandangannya kepada wajah itu, mata itu. Wajah yang terpahat sempurnya. Kulitnya yang pucat mengingatkannya akan Malfoy –dan juga kesan yang ditangkapnya. Dingin, terlihat seperti seorang pureblood. Dan matanya –sorot matanya entah kenapa membuat Harry seketika membeku- mata biru itu dingin, datar, tapi entah kenapa terlihat kosong. Kesepian dan rindu terpatri jelas di sana. Sesuatu yang Harry kenal baik. Tapi juga terlihat sebuah sorot kepercayaan yang tinggi –dan juga membuatnya berfikir di mana ia pernah menemukan sorot penuh tanggung jawab itu?

Pemuda itu berjalan, raut heran mendominasi ekspresi wajahnya. Dan Harry menunggu. Menunggu pemuda itu melakukan hal yang sudah ia prediksikan: membuka pintu kompartemen. Tapi, ia tidak peduli akan hal lain –ia merasa seolah hanya ada mereka berdua, di sana. Hey, sejak kapan Harry merasa ia se-melankolis ini?

Sret!

"Ada apa?"

Harry mendongkak dan matanya sedikit membulat. Suara itu! Suara familier, seolah berasal dari tempat yang amat ia kenal baik, tapi ia lupakan... dan Harry mendongkak. Pemuda itu rupanya lebih tinggi sekepala darinya. Yah, wajar sajalah. Tapi, mata hijaunya tidak terputus dari kedua mata biru itu –mereka berdua beradu pandang selama beberapa saat, dan mata hijau Harry mencoba menyelami perasaan apa yang ada di sana –apa yang pernah terjadi kepada pemuda itu? Dan Harry juga merasakan hal yang sama –pemuda itu mencoba menembus matanya, mencari tahu apa yang ada di kepala Harry. Dan entah kenapa Harry membiarkannya –membiarkan dirinya dipelajari.

"Err... kompartemen lain sudah penuh, boleh aku ikut di sini?" suara Harry lirih, seperti berbisik. Tapi, entah kenapa pemuda itu sepertinya mendengar apa yang dikatakannya.

Yah, bukan sepenuhnya bohong sih. Semua kompartemen yang tadi ia lewati sudah penuh, dan sebenarnya masih ada gerbong di belakang. Tapi entah kenapa ia sudah malah menyeret kopernya lagi, dan juga ia penasaran dengan sosok itu.

Pemuda di depannya seakan berfikir, dan Harry menunggu dalam diam. Akhirnya, pemuda itu mengangguk dan membuka pintu kompartemen lebar-lebar.

"Thanks,"

"Hmm,"

Pemuda itu duduk di tempatnya saat Harry menarik kopernya, dan memperhatikan Harry saat pemuda itu menarik tongkatnya dan bergumam 'Wingardium Leviosa' lirih kepada kopernya, dan mengangkatnya ke bagasi di atas kepala mereka. Lalu Harry duduk, dengan sangkar Hedwig di sebelahnya dan ransel berisi jubah gaib, peta perampok, beberapa galleon, dan koran Daily Prophet yang didapatnya dari The Burrow.

Kompartemen itu sunyi sampai suara di kejauhan terdengar, menandakan Hogwarts Express akan segera berangkat.

Harry mengeluarkan korannya, dan mulai membaca tanpa melihat halaman paling depan. Judulnya saja sudah membuatnya muak, dan lagi terdapat gambar Tanda Kegelapan yang menari-nari di angkasa. Sudah cukup ia menontonnya sendiri tanda itu.

Harry baru saja akan membaca kolom mengenai Quidditch, saat didengarnya pemuda di seberangnya berdeham dan membalikan korannya.

"Jadi..."

Harry menurunkan korannnya, menaikan alisnya. Pertanda ia mendengarkan apapun hal yang pemuda itu ucapkan.

"Kau anak tingkat berapa?"

Harry hampir menahan senyum gelinya, tapi ia tahan. Ia lalu melipat korannya dan menatap pemuda di depannya. "Tingkat empat. Dan sepertinya, aku tidak pernah melihatmu sebelumnya, kau anak asrama mana?"

Pemuda itu menaikan sebelah alisnya. "Ah, aku semacam... murid pindahan."

Harry tersentak. Murid pindahan? Tumben sekali Hogwarts menerima murid pindahan! Selama ini, ia belum pernah mendengar ada murid pindahan di Hogwarts. Atau mungkin, ia belum pernah mendengar karena ia belum pernah membuka 'Hogwarts, a History'? Tapi, memikirkan betapa tebalnya buku itu saja sudah membuat Harry bergidik. Menelan kembali keinginannya untuk sekedar membuka bab-bab awalnya.

"Oh ya? Aku belum pernah mendengar ada murid pindahan sebelumnya."

"Yah, kepala sekolah dengan baik hati mau menerimaku,"

"Jadi, kau akan masuk ke tingkat berapa?"

Pemuda itu menyeringai, terlihat bangga. "Enam."

"Waw! Aneh sekali ada yang masu ke kelas tinggi. Dan, kau murid pindahan dari mana?"

Pemuda itu terlihat menimbang-nimbang –ada sebuah rahasia, Harry tahu itu. Tapi ia menunggu, menunggu jawaban apapun yang dilontarkan pemuda itu.

"Aku... belajar sendiri. Homeschooling istilah muggle-nya. Yah, mungkin karena kebanyakan aku ini adalah kelahiran muggle-"

"Kau? Tapi kau tidak terlihat seperti itu!" Harry merasa kedua alisnya naik, betapa terkejutnya ia! "Kupikir kau pureblood, dilihat dari gerak-gerikmu."

Pemuda itu menyeringai, licik. "Apakah aku terlihat seperti itu? Well, baguslah. Karena berarti akting-ku cukup baik."

"Dan bagaimana dengan OWL-mu? Apakah-"

"Beruntungnya," potong pemuda itu, "Aku orang yang cepat belajar –setidaknya hal itulah yang dikatakan orang lain. Jadi, saat di tes OWL –atau yang mirip- aku bisa lulus, dan well, kalau bisa kutambahkan, dengan nilai sempurna." Terdapat nada bangga di suaranya, dan Harry menyadarinya.

Sepertinya orang ini memang bangga terhadap dirinya sendiri, batin Harry.

"Dan kau tinggal di mana? Aneh sekali, kau kelahiran muggle. Apakah saat kau berumur 11 tahun kau tidak menerima surat dari Hogwarts?"

"Tidak."

"Waw, aneh sekali."

"Apa menurutmu itu aneh?" pemuda itu menaikan sebelah alisnya, sedikit terlihat terganggu dengan pernyataan yang dilontarkan Harry.

"Tidak, tidak. Hanya, tidak biasa saja. Mungkin sihir di dalam dirimu telat muncul?" Harry mengangkat bahunya. Ia memang tidak tahu menahu mengenai hal itu, ia juga belum pernah mendengar hal semacam itu dari Hermione.

"Mungkin..."

Pemuda itu lalu menaruh korannya di dalam tas ransel hitam –dan Harry baru menyadari bahwa pemuda itu menggunakan baju muggle berwarna hitam, tapi bukan jins. Celana katun berwarna hitam, kemeja berwarna putih dan dasi hitam, dan Harry kemudian menyadari bahwa di sebelah pemuda tersebut ada seonggok kain yang terlihat seperti jas- dan meraih koran lain dari tasnya. Dan Harry menyadari kalau koran itu berbahasa asing.

"Kau dari mana, sekali lagi?"

Pemuda itu menurunkan korannya sedikit, terlihat sedikit terkejut. "Apa aku belum bilang?"

Harry menggelengkan kepalanya.

"Well, suatu tempat di Irlandia."

"Wah, kau berasal dari tempat yang jauh."

Pemuda itu hanya menyeringai dan melanjutkan membaca.

Harry meraih salah satu buku sekolahnya, dan kompartemen itu kembali dilanda kesunyian.

Harry asik membaca, sampai ia sendiri teringat akan suatu hal. "Hey, bahkan aku belum tahu namamu."

"Begitu pula aku."

Harry membulatkan matanya sedikit. Pemuda ini mengetahui banyak hal mengenai dunia sihir –mungkin malah jenius tentang pelajarannya- tapi tidak mengetahui namanya? Wow.Bukan ia kesal atau apa, ia malah senang –setidaknya tidak akan ada orang yang melirik langsung ke luka di dahinya, terperangah dan berbicara dengan nada menjilat.

"Jadi, siapa namamu?"

Pemuda itu dengan santai membalikan halaman korannya, melanjutkan membaca tanpa mengalihkan perhatiannya ke Harry. "Bukannya tidak sopan menanyai nama orang lain tapi tidak memberitahukan namanya terlebih dahulu?"

Harry meringis. Kesal sekali disindir seperti itu! Tapi akhirnya Harry menghela nafas, menaikan kakinya ke atas dan duduk sila. "Yah, namaku Harry."

"Harry? Hanya Harry? Kau pasti punya nama keluarga –dan begitulah setiap orang." Kata pemuda itu sakrastik.

Harry mengeluh perlahan.

"Potter," gumamnya lirih, nyaris tidak bisa ditangkap pendengaran. Pemuda itu memicingkan matanya, kentara sekali tidak mendengar.

"Apa?"

"Namaku Harry. Nama keluargaku Potter. Jadi namaku Harry Potter."

"Anak kelas satu juga tahu kalau nama depan dan nama keluarga disatukan menjadi seperti apa urutannya." ucap pemuda itu sakrastik, dan Harry merasakan hal yang sama seperti apa yang ia rasakan kepada Malfoy: Kesal, dan ia mempunyai keinginan liar untuk melontarkan satu kutukan kepada pemuda itu karena nada sakrastik yang digunakannya.

"Baik, baik. Jadi namamu?"

Jeda.

Pemuda itu membaca satu halaman lagi, dan kemudian menutupnya, dan melipatnya. Lalu ia melipat kedua tangannya di dada, kedua matanya menatap Harry seolah ia mencari sebuah emosi di sana –tapi yang akan ia dapatkan hanya rasa penasaran dan kesal yang sangat kentara.

"Artemis. Artemis Fowl."

.

.


.

.

Artemis baru tahu, kalau kebiasaannya datang lebih awal di sebuah janji akan begitu, membosankan.

Ia tahu, dari surat yang diterimanya –yang resmi ia terima mengenai penerimaannya di Hogwarts, karena ia tahu bahkan sebelum surat itu tiba ia akan diterima. Siapa sih yang tidak menerimanya di sebuah sekolah? Kejeniusanya sudah tidak usah ditanyakan lagi, yang mungkin menyamainya hanyalah Minerva Paradizo, calon tunangannya dan calon Mrs. Fowl –sebuah keputusan secara sepihak, tentu, dan itu bukan pilihan Artemis- dan Minerva tidak memiliki bakat yang ia miliki walaupun, yeah, bakat itu telat datangnya.

Ia duduk di salah satu tempat duduk kayu dekat portal masuk ke peron 9 ¾. Yeah, ia tahu cara masuknya karena ia telah diberitahu oleh Dumbledore sebelumnya. Ia juga sudah menyuruh Butler untuk tidak berada bersamanya terang-terangan, walau ia membiarkan Butler untuk berada dimanapun ia mau dalam keadaan menyamar. Seorang butler tinggi tegap dan mengawal seorang pemuda berumur 17 tahun dengan penampilan rapi dan sopan dan raut wajah khas, orang yang mengikuti berita pasti tahu itu adalah Artemis Fowl II. Nama Fowl memang sudah terkenal, bangkan mungkin sampai ke London. Tidak, nama Fowl sudah mendunia. Bahkan mafia Russia saja mengincar mereka.

Oke, hilangkan bagian belakang. Mafia Russia memang bermasalah kepada ayahnya, dan Artemis tidak menyalahkannya. Tapi, setelah kejadian itu, ayahnya memang banyak berubah.

'Mungkin saking banyaknya, mereka sampai berlibur berempat dengan si kembar, dan meninggalkanku di rumah untuk mengurusi perusahaan', batin Artemis sakrastik. Liburan ini –ia memang selalu liburan karena ia sudah menyelesaikan pendidikannya lebih cepat setahun, sekali lagi berterima kasihlah kepada otak jeniusnya. Dan karena ia sudah berumur 17 kemarin maka orangtuanya tidak menanyakan kemana ia akan pergi setahun ini –ayahnya hanya berkata agar ia tidak terjerumus ke dalam masalah dan ibunya yang overprotective itu berpesan kepadanya untuk mengabarinya minimal seminggu lima kali. Dan Artemis menanggapinya dengan mengeluh, mengatakan bahwa ia akan baik-baik saja.

Heck, ayahnya tidak tahu betapa banyak masalah yang ia dapat tahun-tahun belakangan ini.

Yah, tentu saja Artemis tidak mungkin menceritakan pengalamannya. Walau di dunia peri ia terkenal karena aksi penyelamatannya bersama Holly, Butler dan Mulch dalam menangkap Opal Koboi, memerangi pemberontakan goblin, dan menyelamatkan beberapa artifak, di tempat 'Kaum Lumpur' ia hanya dikenal sebagai pemuda jenius yang kaya.

Dan karena banyaknya waktu luang yang ia punya, ia akhirnya memutuskan untuk menerima saran Holly: menulis surat kepada Albus Dumbledore, berbicara secara pribadi dengannya, diterima di sekolah, dan secara resmi mengikuti tes OWL.

Ia sudah membeli banyak buku di Diagon Alley, tentu saja. Bahkan ia dan Butler menjelajah ke Knocturn Alley untuk mencari banyak bahan refrensi. Dan ia terkejut mendengar bahwa beberapa penyihir mengetahui namanya.

Yah, kebanyakan penyihir hitam sih. Reputasi ayahnya dulu di dunia kriminalitas, dan reputasi Artemis itu sendiri tidak perlu ditanyakan lagi.

Ia tahu, mungkin beberapa musuhnya dan musuh kaum peri mengincarnya kembali. Holly sudah memperingatkannya. Maka dari itu, walaupun ia bersekolah di sekolah asrama nanti, ia tetap akan membiarkan Butler berkeliaran di Hogsmeade, dan memberinya kabar rutin mengenai keluarganya.

Ia hanya mempunyai sebuah firasat, kalau suatu hal yang besar akan terjadi nanti.

Artemis menegakkan posisi duduknya saat ia merasakan seseorang berjalan ke arahnya dan duduk di sampingnya.

"Ada apa?"

Tanpa menoleh pun, Artemis tahu orang yang di sebelahnya adalah Butler –ia sudah terlalu hafal pergerakan dan suara pengawalnya itu, mau disamar seperti apapun juga.

"Tidak, tidak apa-apa. Hanya... bosan."

Jawaban yang sangat bukan Artemis.

"Seperti bukan kau saja."

Artemis menyeringai. "Kau memang sudah terlalu mengenalku, kawan lama."

Butler menghela nafas, memberikan tatapan 'itu-sudah-sangat-jelas' kepada Artemis dan detik kemudian, mereka berdua kembali berakting menjadi dua orang yang tidak saling kenal.

Pukul setengah sebelas, Artemis berdiri dan mendorong trolinya, tidak melirik kepada pria yang duduk di sebelahnya tadi –Butler yang sekarang menyamar sebagai seseorang berumur empat puluhan (sebenarnya, umurnya lebih tua sedikit daripada itu, tapi penampilan luarnya yang sebenarnya seperti berumur tiga puluh lima) dengan kemeja kotak-kotak yang sangat bukan-nya, jeans berwarna biru lusuh, dan membawa tas ransel. Well, terlihat seperti seorang penumpang biasa, memang. Tapi mereka tidak tahu, seberapa bahaya-nya peralatan yang berada di ransel itu.

"Oke, aku pergi dulu."

"Semoga beruntung,"

Artemis mengangguk dan berjalan, sebelum akhirnya ia mendengar sang butler kembali berbisik, "Jangan mencari masalah."

Untuk kali ini, Artemis berbalik dan menghadap sang butler. "Bukan aku yang mencari masalah, tau! Tapi masalah yang mencariku!" dan denga n cepat ia berbalik dan berjalan menembus portal.

Dan Artemis sangat yakin kalau Butler menyeringai mendengar bantahannya tadi.

Segera setelah ia menembus palang, ia langsung berhadapan dengan sebuah kereta api besar, berwarna merah. Atemis memang sudah membacanya di 'Hogwarts, A History' tentang Hogwarts Express, tapi tetap saja ia penasaran ingin melihatnya langsung. Dan benar saja, walaupun Hogwarts Express adalah kereta api tua dan Artemis lebih sering bertransportasi dengan jet pribadinya, kereta api berwarna merah itu terlihat megah.

Mengeluh karena keadaan sekitar masih kosong, Artemis akhirnya mendorong troli-nya yang berisi sebuah koper berinisial A.F dan juga sebuah ransel berpergian, yang berisi beberapa koran seperti New York Times, koran lokal Dublin, koran nasional Irlandia, koran Prancis dan beberapa buku tebal berisi hal-hal penting mengenai penelitiannya. Tidak lupa ia membawa beberapa peralatan elektroniknya, walau ia yakin di Hogwarts nanti ia tidak akan mendapat sinyal internet untuk browsing dan mencari banyak hal. Tapi, itu kalau peralatannya menggunakan peralatan elektronik manusia biasa.

Untuk 'misi'-nya selama setahun ini, Artemis telah meminjam beberapa teknologi kaum peri, terutama milik Foaly si centaurus jenius. Memang, ia telah mendapatkan kembali apa yang direbut darinya saat ia berumur tiga belas tahun –teknologi super jenius dan super maju milik para peri yang dicurinya dan ia gunakan, lalu dicuri orang lain-, tapi baginya itu belum cukup dan akhirnya, dengan bantuan Holly, Artemis membujuk Foaly untuk meminjamkan beberapa barang elektroniknya yang tidak akan 'terinfeksi' oleh residu sihir.

Yang tentu saja Foaly serahkan dengan nada sakrastik dan nada penuh ancaman apabila ada hal-hal yang terjadi dengan barang-barangnya.

Setelah mengangkut kopernya, dan ranselnya ia taruh di punggung, Artemis mulai berjalan menelusuri lorong menuju gerbong-gerbong bagian belakang. Ia tidak suka keramaian, tentu saja. Makanya ia memilih gerbong paling belakang, membuatnya terhindar dari keramaian. Dan ia juga berharap, agar bisa 'mengklaim' kompartemennya untuk sendiri.

Saat akhirnya Artemis menemukan kompartemen yang cocok (berada di paling belakang di sebuah gerbong yang terletak dua dari belakang, got it?), ia menggeser pintunya, menguncinya, lalu mengeluarkan tongkatnya. Tongkat sihir yang baru ia beli sesegera setelah ia mengetahui jati dirinya sebagai seorang penyihir, di toko seseorang bernama Ollivander di Diagon Alley. Ia bergumam 'Wingardium Leviosa' dan koper itu terangkat, terpasang di bagasi tepat di kepalanya. Dan Artemis pun duduk, meraih korannya dan mulai membaca, mencari tahu beberapa berita penting yang terjadi di dunia muggle.

Lima belas menit ia lewatkan sunyi, dan Artemis tetap duduk di tempatnya, asyik membaca. Ia memang seperti itu –terfokus kepada hal yang ia sukai, mencari tahu hal yang membuatnya penasaran, terjerumus ke dalam banyak hal, yang banyak diantaranya yang tidak baik.

Akhirnya, ia mencapai halaman bisnis. Ia membaca dengan seksama –mencari tahu apakah ada berita mengenai keluarganya. Fowl memang sedang melebarkan sayapnya kemana-mana, dan Artemis dengan senang hati mengurusnya. Ia bahkan sudah mempunyai banyak pikiran untuk perusahaan keluarganya, dan ia tinggal mengadakan pembicaraan dengan ayahnya. Ayahnya dengan senang hati akan menerima, ia yakin akan hal itu. Yang ia ragukan adalah ibunya. Angelina Fowl adalah tipe wanita yang tidak bisa duduk diam saja sepanjang hari, tapi beliau juga tipe ibu yang sangat overprotective terhadap anaknya. Tahu anaknya akan disibuki dengan bisnis keluarga, yang beliau lakukan mungkin adalah merajuk sepanjang hari.

Artemis menyeringai saat ia mengingat kejadian pencurian lukisan Peri Pencuri, dan betapa ibunya sangat menghawatirkan dirinya yang pergi ke Munich, Jerman. Niatnya memang untuk mencuri lukisan yang merupakan 'piala bergilir' bagi para pencuri di seluruh dunia, tetapi saat mendengar suara ibunya yang khawatir terhadap dirinya membuatnya ragu akan tindakan yang akan ia lakukan saat itu.

Dulu ia memang ragu –apakah ia tetap melanjutkan pekerjaannya di dunia kriminalitas, walalu tidak separah ayahnya, sembari berinteraksi dengan kaum peri, ataukah menjalani hidupnya dengan menjauhkan dunia berbahaya dan penuh adrenalin itu? Artemis memang menyukai ketegangan dan beberapa bagian memang menguras otak, hal yang ia suka. Tapi, rasa bersalahnya makin menumpuk saat ia harus berbohong kepada keluarganya, terutama ibunya.

Dan akhirnya Artemis memilih untuk tetap berada di jalan penuh adrenalin dan menguras otak dengan memberikan potongan-potongan informasi kepada ibunya. Tidak berbohong, memang, tapi ia tidak memberikan seluruh informasi. Ia hanya memberikan informasi yang menurutnya wajar diketahu ibunya, seperti sekarang. Ia hanya memberitahukan ibunya kalau ia diterima di suatu sekolah di London, sekolah asrama, tanpa memberitahukan apa sekolah itu.

Tentu saja perlu beberapa jam untuk meyakinkan sang ibu semua kebutuhannya sudah ada di sana, termasuk makan dan tempat tinggal. Ia bahkan berjanji untuk mengirim e-mail minimal seminggu tiga kali, dan setelah berkali-kali ia meyakinkan ibunya bahwa ia sudah enam belas tahun dan akan tujuh belas pertengahan September nanti, akhirnya sang ibu setuju untuk melepasnya.

Artemis menghela nafas, mengubur kepalanya ke koran di depannya. Berbicara dengan ibunya kadang membuatnya sering serba-salah, karena entah sudah berapa kali ia berbohong kepada ibunya.

Menggeleng kepalanya, Artemis melirik jam perak asli yang melingkar di lengannya. Pukul sebelas kurang sepuluh, dan sekali lagi Artemis mengeluh. Betapa lama waktu yang harus ia lewati, bahkan kereta ini saja belum berangkat. Artemis memang tidak terlalu menyukai kereta –seperti yang ia pikirkan tadi, ia kangen jet pribadinya. Tapi yah, Hogwarts tidak bisa ia capai dengan jet pribadinya, dan lagi kalau Artemis ingin rencananya sukses, setidaknya ia tidak boleh menarik perhatian.

Artemis kembali menaruh perhatiannya kepada koran, tepat pada saat ia mendengar beberapa suara ribut, anak-anak yang berlari menarik koper menuju kompartemen di belakangnya. Beberapa terdiri dari sepasang remaja yang saling menyeringai, dan Artemis mengeluh dalam hati. Ia memang tidak terlalu peduli keramaian, tapi kalau seperti ini... ah abaikan. Tahu dirinya tidak akan bisa konsentrasi, Artemis memilih untuk menaruh korannya di dalam tas, dan menaruh kepalanya di telapak tangan kirinya yang menyender ke jendela, dan mata birunya memperhatikan keadaan di luar –keadaan peron yang mulai penuh dengan keluarga-keluarga penyihir.

Kemudian, tiba-tiba sihir yang menyelimuti dirinya secara kasat mata bereaksi.

Seseorang menatapnya intens... seseorang di dekatnya. Ia bisa merasakannya, ya, tentu saja. Holly sudah menjelaskan seluruh fenomena yang ia alami, belum lagi tambahan dari kepala sekolah itu dan buku-buku yang ia beli. Ia tahu dirinya kuat. Entah kenapa, dirinya bisa merasakan saat ada seseorang dengan kekuatan yang besar memperhatikannya, secara intens. Akhirnya ia menoleh, menjauhkan kepalanya dari jendela kereta itu. Dan ia mendongkak, dan sepasang mata biru miliknya menemukan sepasang bola mata yang sedari tadi menatapnya.

Sepasang bola mata hijau cerah, yang menatapnya dari balik pintu. Pemiliknya berdiri di sana, dengan koper di sebelahnya.

Ia tidak tahu siapa pemuda itu, tapi entah kenapa ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya ingin terus melihat kedua bola mata itu, berada di dekatnya, dan mengetahui tentang pemuda itu.

Perasaan familier, Artemis tidak tahu apa itu. Dibesarkan oleh keluarga yang tidak terlalu memperdulikannya membuatnya harus hidup ditemani butler, mencoba semuanya sendiri, belajar banyak hal sendiri. Dan perasaan bukan suatu hal yang gampang ia pelajari –kadang butuh orang lain untuk membuatnya mengerti. Tapi, entah kenapa perasaan yang ia rasakan itu membuatnya mengerti suatu hal. Possesive. Ia merasakannya, kuat.

Dan akhirnya ia menuruti instingnya. Lalu akhirnya ia berdiri, menarik pintu kompartemen.

"Ada apa?"

Artemis melihat reaksi pemuda itu. Matanya membulat sedikit, seolah terkejut. Dan Artemis sedikit menyerngit melihatnya. Aneh. Reaksi yang aneh. Sama seperti dirinya saat ia mendengar suara pemuda itu yang menjawab lirih.

"Err... kompartemen lain sudah penuh, boleh aku ikut di sini?" pemuda itu berkata takut-takut, suaranya seperti berbisik. Artemis harus menajamkan pendengarannya, tapi untungnya, ia memang selalu bisa melakukannya. Dan Artemis merasakan dirinya sedikit terlonjak mendengar suaranya. Suaranya, familier. Khas. Artemis merasa ia pernah mendengarnya, ia sering mendengarnya. Tapi entah kenapa ia lupa suara itu. Dimana? Siapa? Ia bingung. Tumben sekali otak jeniusnya tidak memberikan banyak jawaban saat ini.

Yah, kadang, otaknya berjalan tidak seperti semestinya. Aneh memang.

Artemis berfikir. Apakah ia akan memperbolehkan pemuda itu berada satu kompartemen dengannya? Artemis memang berfikir untuk menghabiskan perjalanan sendiri, seperti apa yang sering ia lakukan. He always been greedy, selfish, and alone. Terutama pada saat masa-masa sulit saat ayahnya menghilang.

Tapi Artemis berfikir. Mungkin menghabiskan waktu dengan pemuda ini tidak salah. Ada suatu tarikan kuat di hatinya, yang mendorongnya untuk memperbolehkan pemuda ini masuk. Dan akhirnya Artemis mengangguk, dan mendorong pintu lebih lebar.

"Thanks,"

"Hmm,"

Ia tahu, saat ia membuka pintu itu dan mempersilahkan pemuda itu masuk, rasa penasarannya yang berada dalam dirinya dan akhirnya ia salurkan dengan memasuki sekolah itu malah akan menjerumuskannya lebih jauh ke dalam suatu hal. Masalah mungkin. Tapi ia tidak peduli. Banyak hal yang tidak masuk akal yang memasuki pikirannya, tapi ia menampik hal itu. Mengejutkan memang, Artemis bukan tipe orang yang mengedepankan intuisi tapi ia lebih memilih menggunakan logikanya. Tapi ia tidak peduli.

Artemis memperhatikan saat pemuda itu mengangkat kopernya dengan tongkat sihirnya, lalu duduk di seberangnya.

Artemis memperhatikan pemuda di depannya. Pemuda yang ia akui... menarik. Rambutnya yang berwarna hitam tertata tidak rapi, berantakan. Tapi entah kenapa hal itu membuatnya... (Artemis merasa ingin menendang dirinya sendiri) sexy. Mata hijau cerahnya yang berada di balik kacamata, yang Artemis yakini beberapa operasi akan membuat matanya normal. Luka di dahinya, berbentuk sambaran kilat. Dan Artemis langsung tersentak pelan. Ia tahu pemuda ini!

Di banyak buku yang ia dapat, terutama yang mengisahkan tentang sejarah dunia sihir, Artemis tentu mengetahui hal tentang pemuda di depannya ini. Pemuda yang mengalahkan Pangeran Kegelapan saat itu, Voldemort (Artemis masih tidak mengerti kenapa semua orang takut akan namanya. Hey, itu hanya nama!), dan merupakan Anak-Yang-Bertahan-Hidup atau apapun titelnya, Artemis tidak peduli. Ia hanya ingin tahu orang seperti apa di depannya. Lama hidup di dunia bisnis yang selalu punya cara kotor untuk bermain membuatnya sering menilai orang dengan pura-pura tidak mengenalnya –mengetahui watak aslinya saat berhadapan dengan orang bukan Fowl, atau orang penting lainnya. Dan senang mengetahui bahwa cara itu sering berhasil.

Menilik kembali bentuk fisik pemuda di depannya, Artemis yakin bahwa pemuda itu sekitar tiga tahun di bawahnya, atau mungkin empat. Tapi ia kemudian mengingat tahun pemuda di depannya mengalahkan Voldemort, mengingat umur berapakah pemuda itu, dan tahun berapa sekarang. Dengan otaknya yang cepat tanggap, Artemis langsung mendapat jawaban: pemuda ini berusai empat belas tahun, berarti tahun keempat.

Tapi, hanya untuk basa basi, ia berdeham. "Jadi..."

Pemuda di depannya mendongkak, menatap Artemis penasaran.

"Kau anak tingkat berapa?"

Oke, Artemis merasa bodoh. Mengapa seorang Artemis mengeluarkan pertanyaan basa-basi paling buruk itu? Ia merasa ingin mengutuk dirinya sendiri.

"Tingkat empat. Dan sepertinya, aku tidak pernah melihatmu sebelumnya, kau anak asrama mana?"

Otak Artemis berputar cepat, mencari jawaban. Dan sepertinya jawaban jujur tidak apa-apa. Eh ralat, setengah jujur. "Ah, aku semacam... murid pindahan." Ucapnya datar, nada yang biasa ia pakai sehari-hari.

Ia melihat pemuda itu tersentak. Ah, entah kenapa ia begitu menikmati melihat perubahan wajah pemuda di depannya.

"Oh ya? Aku belum pernah mendengar ada murid pindahan sebelumnya."

"Yah, kepala sekolah dengan baik hati mau menerimaku,"

"Jadi, kau akan masuk ke tingkat berapa?"

Artemis menyeringai, terlihat bangga. "Enam."

"Waw! Aneh sekali ada yang masu ke kelas tinggi. Dan, kau murid pindahan dari mana?"

Sekali lagi Artemis memutar otak. Pindahan dari mana? Kalau ia mengatakan Durmstrang atau Beauxbatons, mungkin ia tidak curiga. Tapi karena akan ada event itu... dan lagi kedua sekolah itu akan hadir. Lebih baik ia mengatakan yang lain.

"Aku... belajar sendiri. Homeschooling istilah muggle-nya. Yah, mungkin karena kebanyakan aku ini adalah kelahiran muggle-"

"Kau? Tapi kau tidak terlihat seperti itu!" Artemis bisa melihat pemuda di depannya menaikkan kedua alisnya, pertanda terkejut. Dan Artemis mendapati dirinya menyukai reaksi itu –ia memang suka akan reaksi orang-orang yang mengagumi dirinya. "Kupikir kau pureblood, dilihat dari gerak-gerikmu."

Bagus! Setidaknya ada orang yang 'tertipu' dengan aktingnya "Apakah aku terlihat seperti itu? Well, baguslah. Karena berarti akting-ku cukup baik."

"Dan bagaimana dengan OWL-mu? Apakah-"

"Beruntungnya," potong Artemis. Sifatnya yang suka memotong perkataan orang lain dan mengguruinya kembali lagi, "Aku orang yang cepat belajar –setidaknya hal itulah yang dikatakan orang lain. Jadi, saat di tes OWL –atau yang mirip- aku bisa lulus, dan well, kalau bisa kutambahkan, dengan nilai sempurna." Terdapat nada bangga di suaranya, dan Artemis memaki dirinya sendiri. Kenapa ia harus kembali menjadi dirinya yang lama?

Sepertinya pemuda di depannya mempunyai kemampuan untuk menarik kembali sifatnya yang asli, dan Artemis mengutuk dirinya sendiri dalam hati.

"Dan kau tinggal di mana? Aneh sekali, kau kelahiran muggle. Apakah saat kau berumur 11 tahun kau tidak menerima surat dari Hogwarts?"

"Tidak."

"Waw, aneh sekali."

"Apa menurutmu itu aneh?" tanyanya sakrastik. Tuh kan, sifatnya kembali lagi! Artemis harus belajar menahan diri –lagi– sekarang .

"Tidak, tidak. Hanya, tidak biasa saja. Mungkin sihir di dalam dirimu telat muncul?"

Artemis pernah mendengar mengenai hal ini, dan hal ini juga yang merupakan hipotesis kepala sekolah Hogwarts. Tapi bahkan Holly dan Foaly –yang membantunya- tidak menemukan jawaban kenapa potensi sihirnya baru terlihat setelah ia berumur enam belas tahun, dan langsung meledak alias ia mempunyai sihir yang kuat. Jadi ia hanya bergumam, "Mungkin..." dengan tidak yakin.

Artemis lalu menaruh korannya di dalam tas ransel hitamnya, merasakan diriya diperhatikan. Terima kasih karena pengalamannya berhadapan dengan segerombolan troll gunung yang buas dan haus darah, dan dirinya terkunci bersama dengan Holly tanpa ada jalan keluar membuat indra-nya sensitif. 'Sekali lagi, berterima kasih kepada si Opal Koboi yang menyebalkan itu', gerutu Artemis dalam hati.

Artemis menarik koran Irlandia, Irish Time, dan mulai membacanya, mengerutkan kening saat ia membaca berita tentang lukisan karya Pascal Herve Peri Pencuri akan dipamerkan secara keliling di seluruh Irlandia. Heck, bagaimana kalau misalnya lukisan itu dicuri lagi? Bukan apa, tapi Artemis tidak rela gelarnya karena berhasil mencuri lukisan langka itu direbut orang lagi, walau ia tetap menyandang sebagai pencuri termuda sepanjang masa.

"Kau dari mana, sekali lagi?"

Artemis menurunkan korannya sedikit, terlihat sedikit terkejut. "Apa aku belum bilang?"

Pemuda itu menggelengkan kepalanya.

"Well, suatu tempat di Irlandia."

"Wah, kau berasal dari tempat yang jauh."

Artemis hanya menyeringai sebagai jawaban dan melanjutkan membaca.

Sunyi, sampai akhirnya Artemis mendengar suara, "Hey, bahkan aku belum tahu namamu."

"Begitu pula aku." Jawab Artemis tenang, seperti tidak terusik.

Sunyi.

"Jadi, siapa namamu?"

Artemis membalikan korannya saat ia melihat tidak ada berita yang menarik, dan langsung duduk tegak saat matanya menemukan artikel mengenai ibunya, Angelina Fowl. "Bukannya tidak sopan menanyai nama orang lain tapi tidak memberitahukan namanya terlebih dahulu?" tanyanya, membalikkan pertanyaan. Hell, kebiasannya yang menyebalkan kembali lagi!

Artemis merasakan pemuda itu mengela nafas, menaikan kakinya ke atas dan duduk sila. "Yah, namaku Harry."

"Harry? Hanya Harry? Kau pasti punya nama keluarga –dan begitulah setiap orang." Artemis kembali bertanya sakrastik.

Pemuda mengeluh perlahan. Artemis menyeringai lebar di balik korannya.

"Potter," gumamnya lirih, nyaris tidak bisa ditangkap pendengaran. Artemis memicingkan matanya, tidak mendengar. Suaranya lirih sekali!

"Apa?"

"Namaku Harry. Nama keluargaku Potter. Jadi namaku Harry Potter."

"Anak kelas satu juga tahu kalau nama depan dan nama keluarga disatukan menjadi seperti apa urutannya." ucap Artemis saktrastik, tapi ia tetap menyeringai. Senang sekali ia menjaili bocah ini!

"Baik, baik. Jadi namamu?"

Jeda.

Artemis membaca satu halaman lagi, dan kemudian menutupnya, dan melipatnya. Lalu ia melipat kedua tangannya di dada, kedua matanya menatap Harry seolah ia mencari sebuah emosi di sana –tapi yang akan ia dapatkan hanya rasa penasaran dan kesal yang sangat kentara. Ia menarik nafas, dan membisikan namanya. "Artemis. Artemis Fowl."

Jeda.

Harry memicingkan matanya, dan Artemis dapat merasakan sihir di sekitar bocah itu bereaksi. Begitu pula sihirnya. Saat ia mendengar nama 'Harry Potter', ia merasakan getaran halus: getaran yang tidak bisa ia ungkapkan. Tidak bisa ia artikan.

Kompartemen itu kembali sunyi selama sekian menit.

Akhirnya makan siang, dan troli makan siang mendorong melewati kompartemen mereka. Harry melompat dan membuka, dengan ceria memborong beberapa kotak yang Artemis baca sebagai 'Cokelat Kodok'. Juga satu kotak bertuliskan 'Kacang-Segala-Rasa Berttie Boot' yang Artemis entah kenapa merinding membacanya. Lalu ada lagi Bolu Labu, dan beberapa lollipop.

Setelah troli tersebut berlalu, Artemis menaikan alisnya. "Lapar?"

Harry merasakan wajahnya menghangat, "Ya, sedikit."

Artemis terkekeh, kebiasaan yang sangat jarang ia lakukan. Ia kemudian melihat korannya dan mengeluarkan sekotak truffle yang mirip dengan kesukaan Opal. Ingatan itu membuatnya menyeringai; andaikan pixie itu tidaklah jahat, ia sama menariknya dengan Holly.

Wait. Tunggu. Apa ia baru saja memikirkan bahwa Holly, mantan anggota LEP itu menarik? Entah kenapa ia jadi merinding memikirkannya.

"Kau mau?"

Harry menyodorkan sekotak Cokelat Kodok, yang Artemis tolak dengan halus. "Tidak, kupikir aku makan ini saja. Kau mau?"

Ragu-ragu, Harry mengambil satu cokelat truffle itu, dan menggigitnya. Seketika ia langsung tersenyum, dan bergumam 'enak'.

Artemis menyeringai saat ia melihat manik mata hijau cerah itu bersinar, seolah Harry mendapat hadiah natal lebih awal. Dan memikirkan hal itu, Artemis merasakan dirinya memanas –sihir di sekelilingnya menghangat.

Di luar mulai hujan, dan ketika pukul dua, tepat pada saat Artemis akan mengeluarkan laptop-nya (yang sudah didesain khusus oleh Foaly agar tidak error saat berhadapan dengan sihir yang pekat), suara BRAK yang kencang terdengar.

Harry dan Artemis, bersamaan mengangkat kepalanya. Dan Harry memiringkan kepalanya saat ia melihat sahabatnya berdiri di sana, terengah-engah.

"Ron?"

"hhh...-Harry-kupikir-kau-menghilang-"

"Malah kupikir kau yang menghilang," ucap Harry kesal. Ia lalu menarik kotak makananya yang bertumpuk dan mempersilahkan Ron duduk untuk menarik nafas.

"Aku-" Ron menarik nafas, dalam. Lalu mengeluarkannya, dan mulai berkata, "Tadi aku bersama Ginny, Hermione, dan Neville. Ketika mencari kompartemen, aku sadar kau menghilang. Kucari, tapi saat itu sudah banyak murid yang memenuhi koridor. Ya sudah, kami mencari kompartemen dulu, baru mencarimu."

"Dan baru mencariku setelah tiga jam lebih?"

"Oke mate, sori. Kau tahu kan, saat aku sudah bermain catur dan Exploding Snap dengan yang lain membuatku lupa waktu. Bahkan Hermione saja hanya menggerutu saat terjadi banyak ledakan di kompartemen –dan kami terpaksa membuka pintu dan jendela untuk menghilangkan asapnya-"

"Yah," Harry mengangguk sambil menyeringai, menarik dua kotak Cokelat Kodok yang lalu ia lempar ke Ron, "Aku bisa membayangkan hal itu terjadi."

"Sorry."

"That's okay," Harry mengibaskan tangannya, tidak peduli. Lagian, dirinya teryata mendapatkan teman satu kompartemen yang menarik.

Lalu teringat akan Artemis, Harry melirik pemuda di seberangnya, di ikuti Ron. Ah, rupanya Artemis pura-pura tuli saat interaksi itu terjadi, dan lebih memilih mengetik beberapa hal di laptopnya yang setengah menggunakan bahasa manusia, setengah lagi bahaha Peri. Ia ingin menyelesaikan beberapa urusan bisnis terlebih dahulu.

"Ah, Ron, kenalkan ini Artemis Fowl," Artemis menaikan kepalanya saat ia mendengar namanya disebut, dan kemudian mengangguk hormat.

"Dan Artemis –boleh ku panggil begitu?" Artemis mengangguk, dan Harry melanjutkan, "Ini Ron Weasley, sahabatku."

Ron mengangguk, dan kemudian berbicara beberapa kata lagi. Artemis tidak mendengar –ia sudah terhipnotis dengan tugas-tugasnya yang (menurutnya) lebih menarik. Dan sekitar dua jam kemudian, Ron keluar dan Harry menarik kopernya.

Di luar hujan masih turun, dan hari sudah mulai gelap.

"Kau akan ganti di mana?"

Artemis mendongkak, dan menemukan Harry yang bertanya kepadanya, di tangannya terdapat buntalan hitam yang ia yakini sebagai seragam sekolah. Artemis menutup laptopnya dan berdiri, membersihkan bajunya. "Aku akan keluar, kau pakai sajalah duluan."

Harry mengangguk, sedikit merasa tersanjung karena pemuda yang baru dikenalnya itu sopan.

Artemis menggeser pintu kompartemen, dan Harry langsung menutup gordennya yang berganti di dalam, dengan sunyi.

Artemis menghela nafas saat ia menyender di pintu. Ia menemukan orang yang menarik –yang benar-benar menarik dalam banyak artian- dan ia langsung tertarik. Di otaknya, terdapat banyak ide untuk menarik perhatian pemuda itu. Tapi, mengingat siapa pemuda itu, Artemis langsung merasa pesimis –yang sangat bukan dirinya.

Ia dulu memang tertarik dengan Holly. Ia mengakui hal itu. Tapi, sekejap perhatiannya langsung tersedot oleh pemuda itu, oleh gesturnya. Oleh bola mata berwarna hijau cemerlang itu. Seolah ia dan pemuda itu memang ditakdirkan untuk bertemu, untuk saling mengenal. Untuk saling bersama.

Tanpa sadar Artemis tersenyum. Bukan seringai menyebalkannya, bukan seringai liciknya. Bukan seringai sombongnya. Tapi, benar-benar tersenyum. Senyuman hangat yang tulus.

"Sepertinya, tahun ini akan menjadi lebih menarik..."


XOXOXOXOXOXOXO

TBC

XOXOXOXOXOXOXO


HYAAAAAAAAAAA!

Akhirnya beres juga~

*nengok ke atas* BUJU BUSET dah! Panjang amat? *tepar*

Maaap! Widih, kayaknya ini rada-rada rada-rada deh -,- #maksudnya?

Kayaknya... abal deh -,- ampuni akuuu!

Untuk update, kayaknya bakalan ga tentu-tentu amat. Bisa cepet, bisa lamaaaaaaaaaaa banget! Makanya, maap yaaaa *bungkuk-bungkuk*

Ehm, untuk banyak keganjilan pas bagian Artemis, maap yaaa, jujur, aku juga baru baca buku ke-empatnya, sisanya? Baca dengan cermat di wiki {(^_^)}

Maap juga yaaa kalo misalnya Harry-nya OOC. Pasti OOC deh. Yakin -,- #pesimisbanget

Thanks yaaaaa buat yang udah baca :D

Dan, REVIEW please? :D