Maaf ya, atas keterlambatan Nade dalam mengupdate Chapter 6. Soalnya Nade banyak tugas dan kerjaan. Maaf banget ya, minna-san ! Sebenarnya sih, niatnya mau ngasih lemon di Chapter ini, tapi…maaf ! *Bungkuk2* Saya sekarang sudah tidak ada waktu lagi untuk nulis. Terhalang oleh tes masuk SMA, UNAS, MOS, dll. Sekarang saya malah sudah mau naik kelas 12. Kalau saya tetap ngasih lemon, nanti malah ga di-update-update. QAQ Oh ya, Chapter ini lebih utama ke persahabatan antara Aria dan Arthur, tapi tenang aja, si Alfie juga muncul, kok, dengan sedikit making out yang diganggu.

Disclaimer : Hetalia Axis Power punya Hidekaz Himaruya-san

Warning : Aria-centric, OOC, OC, dll.

Keterangan : Paragraf/kata yang dimiringkan = Mimpi/Dalam hati/masa lalu

Selamat membaca !

-OooOooO-

Mungkin kau bukanlah wanita yang paling baik...

Mungkin kau bukanlah gadis yang kejam...

Orang-orang memandangmu berbeda...

Tapi tidak denganku.

Kau adalah perempuan terhebat yang pernah kutemui...

Aku sangat mengagumimu...

Kau sahabatku yang paling baik...

-OooOooO-

Heaven Knows

By :

NadeshikoLachrymose

-OooOooO-

"Tujuanku adalah, untuk memberitahu kalian berdua—berhubung kalian adalah sepasang kekasih—bahwa membangun cinta yang sejati itu sangat sulit, tetapi ada banyak cara yang dapat digunakan untuk menghancurkan cinta sejati itu. Hanya itu saja." Katanya pelan. "Yak, waktu istirahat sudah habis." Lanjutnya. "Kembalilah pada pekerjaan kalian masing – masing. Alfred, kau kembali ke kelas, sekarang." Tak seperti biasanya, Alfred mengangguk patuh dan keluar dari ruangan.

Aria menatapku. "Dan untukmu, Arturo…" ia melemparkan setumpuk berkas dalam map ke tanganku. "Kerjakan semua ini. Mungkin, ini bukan hak-ku untuk memberitahumu berhubung aku hanyalah Wakil dan kau Ketuanya. Tapi, dalam beberapa situasi, ada saatnya bagiku untuk menasihatimu, Arturo. Kau mengerti ?" nada suaranya tegas dan tatapan mata Emerald-nya itu tajam. Maka, aku tak bisa menolak. Dia serius mengatakan hal itu.

Denngan berat hati—dan berat di tangan juga—kuambil tumpukan map tersebut dan berjalan keluar ruangan. Kutatap sekilas langit biru yang kini mulai mendung.

Sepertinya akan jadi hari yang membosankan setelah ini.

-OooOooO-

Yak, dan tepat seperti perkiraanku barusan.

Hari ini sangat, sangat, sangat, sangat, dan sangat membosankan. Aku hanya duduk di kursi dengan setumpuk dokumen duduk manis di meja, sementara tanganku sibuk menandatangani dokumen-dokumen tersebut. Sesekali membaca beberapa laporan dari anggota OSIS yang lain. Contohnya laporan dari Alonzo. Ia melaporkan bahwa persiapan untuk lomba sudah selesai. Cepat sekali ia selesai. Padahal baru sekitar 4 hari yang lalu ia memberikan laporan tentang jenis-jenis lomba yang akan diadakan pada Bazaar. Tetapi sekarang, lokasi lomba, hadiah-hadiah untuk pemenang lomba, dan peralatan yang dibutuhkan sudah selesai dengan sempurna.

Benar-benar, kakak dan adik sama saja. Sama-sama rajin dan cekatannnya.

Aku bersandar di kursi, sedikit meregangkan pinggangku yang terasa kaku. Kulepas kacamata bacaku, dan kuletakkan di meja sebelum memijat keningku yang berdenyut-denyut.

Ah, membosankan.

Apa tak ada hiburan sedikit di ruangan berukuran 5x5 meter ini? Ada TV, tapi aku sama sekali tidak punya mood untuk menonton TV. Yang aku inginkan sekarang adalah kembali ke kamarku di asrama, kemudian bergelung di kasur dan tidur siang.

Bersama dengan Alfred…

Seketika aku merasa pipiku memanas. Dan jika di sekitarku saat ini ada cermin, aku bersumpah wajahku sekarang semerah tomat yang sering Antonio makan.

Apa-apaan sih, aku ini? Kenapa sampai membayangkan tidur siang bersama dengan Alfred? Mungkin memang ada masalah dengan salah satu syaraf di otakku saat ini. Aku harus sering-sering ke dokter untuk check-up rupanya. Kuletakkan kepalaku di meja dengan tidak semangat. Hah, capek. Aku ingin segera menyelesaikan setumpuk tugas ini, kemudian minum teh hangat dan makan kue-kue ringan, lalu tidur dengan nyenyak. Lalu, pikiranku melayang ke Alfred.

Kira-kira, apa yang sedang anak itu lakukan, ya? Tadi Aria menyuruhnya untuk kembali ke kelas. Berarti, kemungkinan besar saat ini dia sedang belajar. Aku membayangkan Alfred sedang serius melihat guru yang sedang mengajar di depan kelas sambil sesekali mencatat hal-hal yang penting.

Heh, sama sekali tak cocok dengan imej-nya.

Tok. Tok.

Kudengar pintu ruangan diketuk. Aku mengangkat kepalaku dengan malas. Siapa sih yang menggangguku siang-siang begini? Aku terlalu malas untuk bangun dan membuka pintu. Maka, kuucapkan saja satu kata singkat yang akan membuat siapapun-yang-ada-di-depan-pintu itu akan masuk dengan sendirinya.

"Masuk." Jawabku malas.

Pintu terbuka dengan perlahan-lahan, dan sekarang aku tahu siapa yang mengetuk pintu itu.

"Maaf mengganggu lagi, Arturo." Suara yang sangat kukenal.

Aku menghela nafas, menatapnya sejenak sambil tersenyum sedikit, lalu meletakkan kepalaku di meja lagi. "Ya, tidak apa-apa. Ada apa, Aria?"

Gadis itu masuk, sambil mendorong sebuah kereta. Mirip kereta untuk makanan yang biasanya ditemukan di restoran. Dan, entah ini hanya perasaanku atau bukan, tapi aku samar-samar mencium aroma wangi kue yang masih hangat, juga aroma Earl Grey Tea yang khas.

Aria tersenyum kecil—suatu kejadian yang bisa dibilang amat sangat langka, karena Aria hanya tersenyum pada orang-orang tertentu, termasuk aku—kemudian berjalan ke depan mejaku. Aku bersuaha tak mempedulikannya, dan tetap pada posisi seperti itu.

"Kupikir kau tidak keberatan kalau kubawakan Afternoon tea," ia kembali ke kereta yang ia bawa, kemudian menyingkirkan serbet putih yang sebelumnya menutupi kereta tersebut. Mendengar kata 'Afternoon Tea', mau tidak mau aku mengangkat kepalaku, dan hanya bisa melongo lebar ketika melihat apa yang ada di depanku.

Disana ada sebuah rak kue yang tinggi. Penuh dengan aneka kue manis yang biasa dinikmati orang Inggris saat Afternoon Tea. Dengan penasaran aku berdiri, lalu berjalan melingkari kereta tersebut. Sementara Aria berdiri dengan kedua tangan dilipat di dada.

Di rak kue tersebut, ada Blueberry Muffin, Cupcake, Cream puff, Madeleine, Marshmallow, dan beberapa Cupcake dengan rasa yang berbeda-beda. Tidak hanya itu, di samping rak kue terebut, ada Tea Set yang berisi dengan Earl Grey Tea.

"A-Aria, ini…" aku tak mampu berkata apa-apa melihat semua kue-kue yang ada. Ah, aku bahkan dapat merasakan perutku mulai merengek meminta makanan.

Aria duduk di kursi di depan kursi mejaku, sambil menyilangkan tangannya di dada. "Tadi aku ada praktek memasak dessert. Karena keasyikan, aku jadi masak terlalu banyak. Akhirnya aku bagi-bagi ke anak-anak OSIS. Sisanya, kusiapkan untukmu. Karena kupikir kau pasti bosan dan lapar." Ia berbicara dengan nada datar sambil memperhatikan kuku-kukunya.

Aku menghela nafas senang. Dasar anak ini. Ia benar-benar manis dibalik semua sikap dingin dan kejamnya.

"Thanks, Aria." Aku mengambil teh dengan kue-kue tersebut, lalu duduk kembali di kursi. Aria seibuk membereskan tumpukan kertas di mejaku sehingga aku bisa makan dengan tenang.

"Ari." Aku mendengar suara Aria. Kunaikkan sebelah alis mataku, bingung. "Maaf?"

Aria berusaha menghindari tatapan mataku yang keheranan. Dapat kulihat sedikit rona merah di wajahnya yang putih itu. Ia memainkan ujung blazer merahnya. "P-panggil aku Ari. Jangan Aria." Ia berbisik pelan.

Mataku mengerjap. Ari? Bukankah yang biasanya diizinkan Aria untuk memanggil namanya dengan Aria hanyalah Alonzo, saudara kembarnya. Masa aku, yang hanya ketua OSIS memanggilnya Ari? Apa yang akan orang-orang pikirkan nanti?

"Kenapa?" tanyaku. Rona merah di pipi Aria semakin menggelap, dan tampak jelas bahwa ia malu. "K-karena… Karena Arturo adalah sahabatku…" ia menjawab dengan suara pelan.

Aku tersenyum kecil.

"Ari," mata hijau Aria melebar, dan ia menatapku dengan pandangan tidak percaya, setengah bertanya. Aku mengangkat bahu. "Kau yang minta dipanggil 'Ari', kan?" ia tampak tertegun, lalu sesaat kemudian, sebuah senyum kecil tersungging di wajahnya. "Gracias, mi amigo." Ia menundukkan kepalanya.

Melihat Aria tersenyum, rasanya aku juga senang. Aku duduk kembali di kursiku, sambil memandangi gadis itu dari atas sampai bawah. Aria masih berdiri, tapi sebisa mungkin ia menghindari tatapanku. Dari semua siswi di Hetalia Gakuen, hanya Aria yang mengenakan rok yang panjangnya selutut. Semua siswi pasti mengenakan rok di atas lutut.

Aria adalah gadis yang anti-sosial dan memiliki masalah dalam hal pergaulan. Ia tidak begitu pintar bersosialisasi. Meskipun di luar ia adalah seorang gadis yang pintar, dewasa, dan cantik, ia kesulitan menjalin hubungan dengan orang lain. Ia selalu terlihat kejam dan dingin pada awalnya. Namun jika sudah kenal dekat dengan seseorang, ia bisa menjadi perempuan yang paling baik.

Mungkin itulah salah satu penyebab mengapa ia tidak begitu disukai oleh perempuan-perempuan lain di sekolah.

Aku mulai mengambil kue secara acak. Cream puff. Kugigit, dan dapat kurasakan krim yang masih hangat dan manis meluncur kedalam mulutku. Aria menatapku dengan tatapan agak cemas.

"E-enak, tidak?"

"Ya. Sangat." Jawabku sambil tersenyum, lalu mengunyah Cream Puff itu lagi. Aria tersenyum puas. "Syukurlah," ia menghela nafas lega, kemudian duduk di kursi. Gadis itu mengeluarkan sebuah buku kecil, dan mulai membaca.

Hening sesaat.

Baik aku dan Aria mungkin sama-sama bingung mau berkata apa, sampai pada akhirnya aku memutuskan untuk membuka pembicaraan.

"Um, Ari?" panggilku. Ia mengangkat kepalanya dari bukunya, dan menjawab dengan suara lembut. "Ya?"

Jujur saja, sebenarnya aku agak ragu-ragu untuk menanyakan hal ini, takut Aria tersinggung. Tapi aku sudah tak dapat membendung rasa penasaranku. Jadi, kuputuskan saja untuk menanyakan hal tersebut pada Aria.

"Er…Ari…uh… A-apa hubunganku dengan Leon? Apakah kalian…pacaran?" Aria mengerjapkan matanya beberapa kali, sebelum sebuah tawa kecil meluncur dari bibirnya. Aku heran. Apanya yang lucu? Apa pertanyaanku tadi itu lucu baginya?

Aria kembali memfokuskan pandangannya ke buku, tapi seulas senyum masih ada di bibirnya. "Kau, ah tidak. Kalian semua salah sangka. Aku tidak pacaran dengan Leon. Aku dan Leon masih ada hubungan darah. Leon itu sepupuku. Hanya saja, dia dari kecil memang menempel begitu terus denganku. Kadang-kadang jadi kesal melihatnya."

Aku mengangguk-angguk tanda paham, kemudian kembali memakan kue-kue yang ada di depanku.

Untuk sesaat, ia masih duduk diam di kursi, namun ketika jam tangannya berbunyi, ia langsung melihat jam, dan mata hijaunya membelalak. Ia menyimpan buku kecilnya, lalu buru-buru berjalan menuju pintu.

"Arturo, maaf. Aku ada yang harus diurus. Aku pergi dulu. Oh ya, kalau sudah selesai makan, biarkan saja di situ. Nanti aku yang bereskan. Dadah," dan dalam sekejap, ia sudah menghilang dari pandangan mataku, ditambah dengan suara bantingan pintu yang keras hingga membuatku berjengit.

"Dadah juga, Ari." Aku melanjutkan acaraku yang tertunda.

Sungguh, tidak hanya Cream Puff. Madeleine, Blueberry Muffin, dan Cupcake juga sangat enak. Apalagi mereka dimakan dalam keadaan masih hangat. Aku hanya belum mencoba Marshmallow yang ukurannya sebesar telapak tangan anak kecil itu. Tapi dapat kutebak bahwa rasanya sama enaknya dengan kue-kue yang lainnya.

Kuminum Earl Grey-ku dengan perlahan, menikmati rasa yang meluncur dari cangkir itu ke mulutku. Ah, teh memang membuat mood-ku menjadi baik seperti sebelumnya. Besok aku harus berterima kasih pada Aria. Tak salah dulu aku memilihnya sebagai wakil-ku. Dulu aku memilihnya karena sikapnya yang tegas dan bertanggung jawab. Selain itu, nilai-nilai akademik Aria juga diatas rata-rata sehingga bagiku tidak masalah baginya jika dia tidak mengikuti pelajaran untuk kepentingan OSIS, kan?

Dan sekarang dia mengurusiku seperti babysitter. Hahaha, ironis sekali. Seorang Ketua OSIS diurusi oleh wakilnya. Bukankah itu adalah hal yang memalukan?

Sudahlah, sepertinya aku tidak perlu memikirkan hal yang tidak penting seperti itu.

Kuletakkan kepalaku diatas meja setelah mengembalikan cangkir teh. Di saat seperti ini, apa yang sedang orang lain lakukan, ya? Aku mencoba membayangkan satu demi satu.

Tanpa sadar, kedua kelopak mataku yang terasa berat mulai terpejam. Rasa lelah dan bosanku menumpuk, dan angin yang masuk melalui jendela membuatku mengantuk. Semuanya berubah menjadi kabur, kabur, hingga semakin kabur.

Sesaat sebelum penglihatanku menjadi gelap, aku melihat satu wajah yang begitu aku rindukan.

...Alfred.

-OooOooO-

Gadis bermata hijau itu duduk di pinggir air mancur di taman sekolah. Ia tampak tak sabar, sesekali melihat kearah jam tangannya. Ia sedang menunggu seseorang, namun orang yang ia tunggu nampaknya belum sampai.

"Ah, dia kemana, sih? Sudah 10 menit..." ia menyibakkan sebagian rambut cokelat kehitamannya yang ikal itu ke belakang telinga.

Ditengah kesendiriannya, ia mengenang memori beberapa saat yang lalu, saat ia masih berada di dalam ruangan Arthur, sang ketua OSIS. Gadis itu tersenyum sendiri, mengingat senyuman bahagia Arthur saat ia membawakan Afternoon Tea untuknya. Ia juga teringat akan desah suara Arthur saat ia mengucapkan namanya. Ia tertawa kecil.

Ah, sungguh, betapa ia mencintai pemuda itu dengan setulus hatinya. Pertama kali ia mendaftar OSIS ialah karena ia terpesona dengan pancaran mata pemuda Inggris itu.

Saking sibuknya ia dalam khayalannya, ia tak menyadari bahwa seseorang yang sedari tadi ia tunggu-tunggu berjalan menghampirinya dari belakang dengan langkah yang hening dan berhati-hati...

...dan dengan pisau di balik punggungnya.

-OooOooO-

Aku merasakan sebuah sentuhan lembut di rambutku. Sentuhan yang begitu lembut, nyaman, penuh cinta, dan familiar. Tangan siapapun-yang-menyentuh-rambutku itu besar dan hangat.

"...ur..."

Ah? Suara itu sejuk sekali.

"...thur..."

Enggan sekali rasanya untuk membuka mata. Namun aku ingin tahu siapa yang menyentuh rambutku dengan begitu nyamannya.

"...Arthur..."

Ayah? Atau Ibu? Ah, aku rindu sekali dengan mereka. Sudah berapa lama aku meninggalkan mereka di rumah? Bagaimana kabar mereka sekarang?

"...Arthur...bangunlah..."

Bangun? Oh, ya... aku harus bangun.

Kubuka kedua kelopak mataku yang terasa berat. Sesaat pandanganku kabur, namun setelah beberapa kali mengerjapkan mata, aku mampu melihat sepasang mata biru cerah yang ada di hadapanku.

"A-A-Alfred?!" pekikku kaget, terlebih ketika aku menyadari wajah Alfred yang hanya beberapa inchi dari wajahku.

"Halo, Artie. Sudah bangun? Mimpi apa tadi? Mimpi indah?" Alfred langsung membombardirku dengan pertanyaan. Aku menghela nafas panjang sambil mengacak-acak rambutku. "Tidak, aku tidak mimpi apa-apa. Lalu, kenapa kau ada di sini? Bukannya sekarang masih jam pelajaran?"

Alfred menunjuk jam dinding.

"Sekarang sudah jam 3 sore, Artie. Sekolah sudah selesai."

Hening sejenak.

"A-APAA?!"

"He? Kenapa Artie?"

"Aku belum menyelesaikan pekerjaanku!" aku segera mencari pena yang tadi kugeletakkan begitu saja di meja karena mengantuk. "Deadline-nya nanti malam! Aria akan membunuhku!"

Dengan kecepatan cahaya(?) kukerjakan sisa-sisa dokumen yang belum selesai. Lebih cepat lebih baik. Aku bisa segera menghabiskan hariku dengan bergelung di ranjang. Atau mungkin sedikit bermesraan dengan Alfred.

Aku meliriknya dari ujung mataku. Ia memilih untuk duduk di sofa sambil menonton TV. Jujur aku menghargai usahanya menungguiku menyelesaikan pekerjaanku.

Oh, well.

-OooOooO-

Kuregangkan badanku yang terasa kaku. Sudah satu jam sejak aku mengerjakan semua dokumen itu. Akhirnya selesai juga, rasanya lega sekali. Aku selamat dari serangan maut Aria, yang katanya bahkan mampu membuat Antonio absen selama dua hari. Dari jauh kulihat Alfred menekan-nekan tombol remote TV dengan bosan. Sesekali ia menguap pelan. Heh, heh. Ternyata dia sama bosannya dengan aku.

Kemudian aku duduk di sampingnya, sementara tanganku mengambil remote dari tangannya dan mematikan TV tersebut. Untuk beberapa detik Alfred menatap layar TV yang sudah hitam itu, baru kemudian menatapku dengan kedua matanya yang biru cerah. Ia nyengir lebar melihatku duduk di sampingnya.

"Jadi, ada apa ini? Kenapa kau mendadak datang kemari?" tanyaku sambil bersandar di sofa. Ah, nyamannya.

"Artie, ayo kita bermain!" ujarnya ceria.

Alis mataku (yang tebal) kunaikkan sebelah. "Main apa?"

Sedetik kemudian aku merasakan tangannya yang besar itu di pahaku. Oh, rupanya yang dia maksud itu 'main'. Dasar remaja kelebihan hormon. Eh, salah. Itu berlaku untuk Francis. Tapi bagaimana pun ia tetap laki-laki yang punya nafsu. Tidak ada salahnya menuruti keinginannya. Lagipula, sepertinya seks yang panas adalah pilihan yang tepat untuk memperbaiki mood.

Tangan Alfred kini mulai bergerak naik turun, dan aku tak punya pilihan lain selain mendesah pelan. Dia punya tangan yang berbakat. Alfred masih melakukan hal yang sama berulang-ulang. Ruangan masih hening kecuali suara desahan nafasku yang terdengar menggema. Tidak ada sepatah kata pun yang terucap diantara kami.

Perlahan kudekatkan wajahku dengannya. Sentuhan saja tak cukup. Aku ingin lebih dari dirinya. Lebih. Lebih banyak lagi. Aku ingin merasakan bibirnya, kulitnya, hangat tubuhnya di sekujur tubuhku. Tangannya saja tidak cukup.

Tak lama kedua bibir kami bertemu. Entah kenapa ciuman ini seakan-akan seperti ciuman yang pertama kali kami lakukan dahulu. Rasa bibirnya di atas bibirku membuatku merinding. Ah, nyaman sekali. Padahal baru bersentuhan saja sudah seperti ini.

Belum, belum cukup. Lebih. Aku ingin lebih.

Ia menjilat bibirku lembut. Kubuka kedua belah bibirku, seketika lidahnya masuk dan menyapu seluruh bagian dalam mulutku. Panas sekali. Lidahnya panas. Dan dengan rasa panas itu ia menyapukannya ke langit-langit mulutku, melewati gigiku, hingga akhirnya bersentuhan dengan lidahku.

"Mmh..." desahku pelan. Sentakan-sentakan kecil itu menyebar ke seluruh tubuhku setiap kali lidah kami melakukan kontak. Tangannya bergerak ke belakang kepalaku dan mendorong lembut untuk memperdalam ciuman kami. Ah, ah, ah. Kenapa tangannya pindah?

Putus asa akan kurangnya kontak fisik, aku memegang bahunya dan menggerakkan kedua tanganku menjelajahi sekujur tubuhnya. Aku ingin merasakan kulitnya dibawah tanganku. Seragam yang ia kenakan sama sekali tak membantu. Maka jari jemariku mulai melepaskan kancing blazer yang ia kenakan.

"Nggh! Uhhmm..." mendadak tanganku terhenti dan aku mengerang pelan saat kurasakan ia menghisap lidahku. Ah, tidak. Aku tidak kuat. Sepertinya ia juga menghisap seluruh energi dalam tubuhku. Seluruh tubuhku terasa lemas. Bahkan tanganku tak mampu lagi untuk membuka kancingnya. Yang bisa kulakukan hanyalah mengalungkan tanganku ke lehernya dengan pasrah sembari mendesah dan mengerang.

"Uuuhh...mmm...nn..." nampaknya Alfred mengerti akan ketidakmampuanku untuk bergerak. Ia pun mengambil alih. Dibukanya kancing blazerku tanpa sedikit pun melepaskan kontak bibirnya. Segera setelah blazerku terlepas tangannya menyelip ke balik kemeja putih yang kukenakan dan meraba dadaku.

"Mmmh...mm..."

Sedetik kemudian bibir kami terpisah karena kehabisan nafas. Aku terengah-engah. Oh, ia memiliki mulut yang luar biasa. Ia mampu membuatku terangsang hanya dengan ciuman.

Namun, ciuman saja tidak cukup. Aku ingin lebih dari sekedar ciuman. Aku ingin bersentuhan dengan kulitnya secara langsung. Sebelumnya aku tak bisa menyentuhnya karena ia memberiku blowjob. Itu tak akan terjadi kali ini. Bahkan, kalau bisa aku akan memberinya blowjob juga sebagai gantinya.

Aku pasrah saja ketika ia membuka kemejaku dan melemparnya ke lantai. Merasa sebagian dari kekuatanku sudah pulih, aku ikut melepas blazer dan kemejanya. Kini kami berdua sama-sama bertelanjang dada. Kupandangi tubuhnya. Ia berisi, dengan jumlah otot yang tepat. Kujilat bibirku ketika aku membayangkan torsonya itu dipenuhi dengan kissmarks.

Tetapi, ketika Alfred baru saja memasukkan tangannya kedalam celanaku, pintu mendadak terbuka.

"Arth—OH!" itu suara Roderich.

"RO-RO-RODERICH!" pekikku kaget. Sementara Alfred mendengus pelan karena kegiatannya diganggu.

"Uhm, maaf mengganggu." Ia menaikkan kacamatanya dan membalikkan badan. "Tapi ini sangat penting, Arthur. Jadi, bisa tolong agar kau dan Alfred segera berpakaian?"

Alfred cemberut. Aku hanya bisa mengangkat bahu.

"Kita lanjutkan lagi nanti." Bisiknya di telingaku.

-OooOooO-

"Baiklah, aku sudah pakai baju sekarang. Jadi, ada apa Roderich?" tanyaku sambil menatap Roderich yang duduk di sofa di seberangku.

"Arthur, Aria..." mata Roderich terlihat sedih bercampur takut, dan ia tak mengangkat kepalanya sedikit pun sejak ia memasuki ruanganku.

"Ada apa dengan Aria?"

"Itu...dia diserang..."

"A-APAA?!" baik aku maupun Alfred sama-sama berteriak kaget.

"Ludwig menemukannya dalam keadaan berdarah-darah di dekat air mancur di taman sekolah. Perutnya ditusuk dengan pisau." suara Roderich perlahan berubah menjadi serak.

"Oh..." aku bersandar lemas di sofa. Aria diserang? Aku tak percaya itu. Padahal baru tadi siang aku bertemu dengannya. Padahal baru tadi siang ia memintaku memanggilnya dengan nama 'Ari'. Padahal baru tadi siang ia tersenyum manis kepadaku. Kenapa semuanya bisa berubah dengan drastis seperti ini?

Kulirik Alfred. Ia juga sama terkejutnya dengan aku. Bagaimana tidak? Alfred dan Aria sudah kenal satu sama lain dengan cukup baik, bahkan sebelum Aria bergabung dengan OSIS. Aku yakin Alfred pasti juga terguncang.

"Di mana dia sekarang?"

"Sekarang ia di rumah sakit X. Kondisinya kritis karena kehilangan banyak darah. Alonzo sendiri sudah berada di sana sejak tadi."

Aku tidak boleh berdiam diri di sini sementara Aria berjuang untuk tetap hidup. Aku harus ke rmah sakit. Mungkin keberadaanku juga dapat menghibur Alonzo.

"Aku akan pergi ke sana." Ujarku mantap. Kemudian Alfred ikut berdiri.

"Aku juga ikut." Kutatap ia dengan pandangan bertanya. "Aria adalah temanku. Aku takkan membiarkan ia sendiri."

"Baiklah. Roderich, bisa tolong kau menangani dokumen di mejaku? Aku akan berusaha untuk kembali secepatnya. Tapi kalau sampai besok pagi aku belum kembali, tolong urus absen untuk aku, Alfred, dan Alonzo."

"Aku mengerti, Arthur. Sampaikan salamku pada Alonzo."

"Pasti."

-OooOooO-

Hal pertama yang kutemui ketika aku menginjakkan kakiku ke UGD adalah Alonzo yang terduduk di salah satu kursi sambil menangis terisak.

Aku duduk di sampingnya dan menyentuh punggungnya.

"Alonzo?" ujarku pelan. Kakak kembar Aria itu mengangkat kepalanya. Rambut cokelatnya acak-acakan, wajahnya pucat, dan matanya bengkak dan merah akibat menangis.

"Arthur?" ia menghela nafas beberapa kali, berusaha untuk menenangkan diri. Kemudian disekanya air matanya yang masih mengalir. "Maafkan aku. Aku menunjukkan pemandangan yang tidak enak kepadamu. Tapi," ia menunduk kembali. "Ketika Ludwig memberitahuku bahwa Aria diserang, mau tidak mau aku panik sekaligus histeris. Aku tak bisa menahan tangisku. Maafkan aku..." ujarnya lemah.

Aku menggeleng, masih memegang punggungnya.

"Tidak, tidak. Itu bukan salahmu, Alonzo. Aku pun akan bersikap yang sama bila salah satu dari kakakku diserang." Aku berusaha menenangkannya. Orang yang biasanya ceria dan ramah seperti Alonzo, ketika melihatnya mengalami depresi seperti ini...membuatku juga merasa depresi.

"Kau tahu, Arthur?" ia bicara lagi, suaranya terdengar pahit dan getir. "Bagi kami yang sudah kehilangan orang tua sejak kecil, keberadaan satu sama lain adalah sesuatu yang paling berharga dalam hidup. Aku sudah bersama dengannya sejak kecil. Tak sedikit pun kami terpisah. Kami adalah satu. Jadi, kalau Aria sampai pergi, aku...aku tak yakin aku bisa bertahan hidup tanpanya..."

Pada akhirnya Alonzo tak mampu menahan tangisnya lagi. Ia terisak di bahuku seperti anak kecil. Yang bisa kulakukan hanyalah memeluknya dan membelai punggungnya. Aku berusaha untuk menenangkannya.

"Shhh...sudahlah, jangan berkata buruk seperti itu, ya? Aria pasti akan sembuh. Ia pasti akan segera pulih." Ujarku menenangkan. "Lagipula, apa kau lupa kalau Aria adalah gadis yang kuat? Ia tidak akan menyerah begitu saja Alonzo. Aku yakin ia akan terus bertahan. Aria tak ingin melihatmu menangis seperti ini."

Kuusap wajahnya yang basah dengan tanganku. Alfred mendekatiku.

"Artie, aku akan membelikannya minum dulu, oke?" ah, dia berguna juga di saat seperti ini. "Tolong ya, Alfred."

Perlahan Alonzo mulai agak tenang. Ia memang sesekali masih terisak, namun setidaknya ia sudah tidak menangis seperti tadi lagi. Aku juga jadi lega.

Meskipun begitu, aku tak habis pikir. Siapa yang segitu teganya untuk menyerang Aria? Yah, Aria memang bukan perempuan yang lemah lembut. Ia kadang kejam dan blak-blakan. Tidak sedikit orang yang membencinya karena itu. Tetapi, sebegitu bencinya kah mereka akan Aria sampai-sampai menusuknya dengan pisau?

Aku tidak tahu, namun aku berjanji dalam hati bahwa aku akan mencari tahu siapa yang sudah melakukan ini pada Aria.

Bagaimana pun juga, Aria adalah sahabatku. Sahabatku yang paling baik. Tidak pedulia apa kata orang, ia tetap sahabatku.

To Be Continued

-OooOooO-

Next Chapter : Confession of A Best Friend.

Aduh, minna-sama, maaf sekali saya terlambat mengupdate. #nangis buaya

Dan mohon maaf sekali apabila ini tidak sesuai dengan harapan anda semua. Buat yang punya Line, bisa minta id saya lewat pm. =w=

Berhubung saya kehabisan kata-kata, tak ada yang bisa saya sampaikan selain…

R&R Please ! X3