Songfic inspired by AKB x Nogizaka's song, Mazariau Mono. The song isn't mine. The story is.

Hayooo siapa yang dulu request NejiTen?

Semoga suka, ya!


"Kau berbakat, Neji."

Kelopak mata dengan manik lavender membuka perlahan. Sangat perlahan, seperti sebuah mahakarya yang takut merusak dirinya sendiri.

Tapi itu kenyataan.

Eksistensi Neji adalah sebuah kesempurnaan tersendiri.

Kemutlakan.

Begitu juga lukisan yang dihasilkan olehnya.

Banjir pujian selalu menghampirinya.

Meskipun pujian yang satu itu tidak pernah lagi datang.

Pujian dari ayahnya sangatlah berarti.

Kuas di jemari jenjang keturunan Hyuuga itu meneteskan substansi pekat berwarna hitam. Sang pemiliknya memutuskan untuk mengagumi karya setengah jadi di hadapannya.

"Karya greyscalelainnya, ya?"

Kelopak mata sempurna itu menutup separuh.

Neji tidak bergeming merasakan tepukan di bahunya.

"Aku tidak pernah mengerti apa yang kau lihat dengan mata itu; atau signifikansi coret moret buatanmu. Tapi para kritikus seni tergila-gila dengannya."

Neji memutuskan untuk diam.

Ia paham. Tidak semua orang mengerti karya seni buatannya.

Tapi ia tidak pernah meminta opini bodoh seperti itu.

Testimoni berbelit-belit; tidak berbeda antara pujian atau cemooh.

"Paman."

Setelah mendapatkan perhatian kritikus instan di belakangnya, Neji mengunci pengelihatan dan pendengarannya.

Ah, romansa dunia visual.

Tidak ada musik se-syahdu lapisan tumpang tindih cat akrilik kualitas tinggi menghiasi permukaan kanvas perawan.

Setiap goresan memiliki pemikiran sendiri, tanpa diatur atau terlibat perhitungan matematika.

Kebetulan yang indah.

Kebetulan yang mengkonstruksi takdir.

Semua lukisan adalah takdir yang disengaja.

Lihat? Orang paham seni akan dapat berfilosofi menggunakan medium apapun.

Tentu saja, Neji tidak mengharapkan spektator tak diundang ini bisa melakukannya.

"Pintu keluar ada di sebelah sana."

Komentar yang akan datang setelah itu tidak dibutuhkan.

Sama seperti karya-karyanya, hanya membutuhkan satu warna.

Hitam.

Terkadang Neji bertanya.

Semua warna hitam ini, apakah mereka bertanggung jawab akan kelamnya hati Neji?

Rambut hitam, lukisan hitam, hati hitam.

Hidup Neji, seluruhnya hitam belanga.

ーAtau setidaknya itu yang ia lihat sebelum mobil yang dinaiki keluarganya terbalik kemudian terbakar, irisan kaca mobil tertanam di punggungnya yang masih berumur 10 tahunー

Warna dasar lainnya tidak berguna.

ーSeperti warna merah, kuning, ungu, biru dan hijau bola pantai pemberian ayah yang meleleh di tengah bara api beberapa meter dari posisi Neji siumanー

Hitamーhitam berarti dominan.

Hitam adalah warna disinfektan.

Usapan hitam pada kekacauan warna-warni menyelamatkan siapapun dari rasa sakit yang ada di dalam.

ーhijau rerumputan pinggir jalan sepiー

ーbiru langit subuh hariー

ーungu kupasan cat mobilー

ーkuning lidah apiー

ーmerah darahー

Di mana letak keindahan dari warna-warna yang jika bercampur, hanya akan bertransformasi menjadi warna lain?

Kau tidak menyebutnya cantik.

Neji menyebutnya kotor.

Donna ni kirei na iro to iro mo
It doesn't matter how beautiful two colors are

Isshoni mazatte shimaeba kitanaku naru
Once they are mixed together, they become dirty

"Aku bekerja sendiri."

Inilah kenapa Neji membenci berurusan dengan manusia. Selalu mencari alasan untuk berkumpul menjadi satu; berkelompok bak unggas.

Tapi ia membutuhkan ijazah dari universitas negeri.

Jikalau wasiat yang ditulis ayahnya tentang keleluasaan mengatur hidupnya sendiri setelah lulus kuliah bisa dipercaya, kebebasan hanyalah masalah waktu.

"Kami mengerti bahwa kau adalah harapan jurusan seni kita yang berbakat, tapi bahkan aku tidak bisa melawan kurikulum pemerintah."

Kepala jurusan merangkap pembantu rektor, Tsunade, sangat tidak membantu.

Jaman sekarang, siapa yang masih berpikir melakukan proyek berkelompok melahirkan karya lebih baik daripada solo?

Hanya orang tua berpola pikiran kolot.

"...aku tidak mengerti."

"Kerja. Kelompok. Hyuuga-san."

Tangan Neji bergidik.

"Telurkan mahakarya untuk event kolaborasi bulan depan; tidak sulit."

"Aku bekerja sendiri. Tsunade-san."

"Apa bedanya? Kau tetap mengerjakan proyekmu sendiri. Dengan bantuan mahasiswa lain."

"Aku tidak butuh bantuan siapapun."

"Kau tidak butuh teman?"

Neji mengerutkan keningnya.

Ia mencoba mengingat kapan terakhir menunjukkan emosi selain amarah di depan orang, tapi tidak bisa.

Tsunade tidak memerlukan konfirmasi akan pertanyaannya.

Wanita itu hanya ingin melihat reaksi Neji.

Manusia.

Sikap menyebalkan mereka tidak ada habisnya.

"Aku tidak butuh teman."

Kataku na ni boku wa se wo mukete
I turned my back in obstinance

Tomodachi wa iranai to baria wo hatteita
Putting up a barrier that said I didn't need friends

Lagi.

Neji mengikat rambutnya. Kuas di antara gigi putih.

Lagi.

Kaos mahal miliknya berlinang cairan hitam. Cipratan cat akrilik di wajahnya nyaris membuatnya berpikir bahwa ia memiliki freckles.

Bicarakan Neji lebih banyak lagi.

Pupil lavender Neji bergerak cepat. Semua sudut yang belum terjamah merona malu, persis seperti pipi gadis yang belum pernah disentuh lelaki.

Akan ia lukis semua rasa iri dan benci kalian dalam warna malam.

Kanvas ini merona hitam.

"Aku mendengarnya."

Lengan-lengan Neji mencakar lukisan hitam putih di depannya kasar. Tangan kiri memang tidak setepat tangan kanan, tapi dengan kemampuan alami, sedikit penyesuaian; sedikit kesabaranー

"Mahasiswa sebayamu tidak menyukai sikapmu."

ーsedikit amarah.

Kuas bergagang kayu redwood terhempas ke lantai.

Neji tidak ada di ruangan ini lagi.

Nyawanya berpindah ke kuas di tangan kanan.

Karya kali ini akan bersanding dengan karya-karya monokrom silam.

Tamparan kuas ke tiga belas membuat Neji merinding.

Puas.

Ini kepuasan yang mengawali terciptanya mahakarya baru.

"Bagaimana kau bisa berharap akan lulus cepat jika menolak melakukan proyek kolaborasi?"

GRATAK!

Dada Neji naik turun eratis. Kuas yang dilemparkannya patah. Lama sekali rasanya, Neji terakhir merasakan sensasi sesak seperti ini.

Karyanya berakhir dengan sapuan dramatis; tidak mirip bayangan di benaknya sama sekali, tapi elemen kejutan di hasil akhirnya sama memuaskan.

...apa di alam bawah sadarnya, Neji seorang masokis?

"...kau sudah bekerja keras."

Komentar tidak bermakna lainnya.

Kata-kata perintah untuk menghentikan omong kosong pamannya memang tidak pernah keluar, jadi tidak ada yang bisa disalahkan di sini.

Seharusnya petunjuk yang diberi Neji sudah jelas.

Neji benci harus menjadi orang jahat; terlebih bila hal itu harus dilakukan segera setelah pujian dilontarkan untuk kerja kerasnya.

"Paman."

Namun itulah harga kedamaian hakiki.

"Aku akan mengunci studio mulai besok. Tidak usah repot-repot berkunjung."

Hitori datte ikite yukeru yo
I can survive on my own

Tsuyoku naritain da to
I want to become strong

Neji membiarkan kelopak matanya menurun.

Di permukaan bola mata lavender, suasana festival seni di gedung pameran bermeter-meter jauhnya terpantul.

Menembus kaca jendela, ramai khalayak banyak mencapai telinga Neji.

Hela nafas meluncur dari bibirnya.

Jika ia mencoba konsentrasi, suara-suara itu akan hilang dengan sendirinya.

Ia memiringkan kepala.

Lukisan kali ini meminjam teknik realisme; portret sosok laki-laki dalam warna hitam cat dan putih kanvas dari sudut pandang samping.

Siapapun itu, laki-laki itu sendiri.

Seperti Neji.

"Koleksi lukisanmu kali ini sangat brilian. Setidaknya ucapkanlah salam kepada para pengunjung."

"Neji-nii-chan, ayah bilang akan datang. Kumohon, bicaralah dengannya soal wasiat tentang kelulusanmu."

"Lagi-lagi lukisannya dipamerkan pihak kampus. Orang berbakat memang enak, ya."

"Apa sih bagusnya lukisan yang cuma punya satu warna seperti buatannya? Aku nggak paham kebijakan kepala jurusan."

"Sekeras apapun kita berusaha, kalau melawan Hyuuga, tidak akan ada artinya."

Kalian tidak tahu apa-apa.

Neji tidak menginginkan bakat ini.

Tapi ia tetap ada di tempat ini bagaimanapun juga.

Apapun yang kalian bilang, takdir sudah menggariskan nasib.

Neji terlahir dengan bakat seperti ini.

Karena takdir.

Ayah dan Ibu meninggal lebih duluー

Neji meletakkan kuasnya.

Tidak ada alasan untuk meragu.

Semua memang sudah ditentukan.

Kelahiran, kematian juga.

Neji menerima perannya di skenario kehidupan.

Ah...

Lihat, keributan pameran seni tidak lagi dapat Neji dengar.

Kedamaian hakiki terletak pada kesendirian.

Hanya orang bodoh yang mau menukarnya dengan kekacauan hiruk pikuk manusia.

Mado no soto mite iki wo shiteta
Looking out the window, I sighed

Itsushika mawari no koe nante kikoenai kurai
Before I knew it, I could no longer hear the voices around me

BRAK!

Neji melemparkan pandangan ke arah pintu studio.

Seharusnya tidak ada yang punya kunci studio ini selain Neji.

Tidak seorangpunー

Sou boku dake no sono sekai mitsuketa no ni…
Yes, I've found a world all of my own, but…

"Ojama shimaaasu!"

Apa?

Seorang gadis sebaya Neji memasukkan kepalanya ke dalam studio.

"Siapaー"

"Ah."

Tanpa diundang, gadis berambut coklat gelap sepinggang menutup pintu masuk di belakangnya. Tubuhnya yang dibalut cropped top sweater biru pastel dengan kaos lengan panjang abu-abu membawa serta bubuk salju.

Celana pendek sepaha yang dikenakannya membuat Neji mengernyitkan dahi.

Orang waras mana yang mengenakan pakaian setipis itu di penghujung musim dingin seperti ini?

"Perkenalkan, namaku Tenten."

Kedutan di alis sebelah kiri Neji nyaris tidak dapat dikontrol.

Mengenalkan diri dengan nama depan...tidak tahu sopan santun.

Tunggu, bukan itu masalahnya di siniー

"Siapa kaー"

Interjeksi lainnya membuat Neji yakin, bahwa kali ini mata lavender sebelah kiri sungguh berkedut. Senyuman percaya diri yang ditawarkan padanya sungguh tidak membantu meyakinkan si Hyuuga bahwa gadis itu bercanda.

"Aku adalah partner proyek tugas akhirmu. Salam kenal!"

Naze kimi wa totsuzen
Why did you

Arawareta no darou?
Suddenly appear?

Neji mengeratkan rahangnya. Pembicaraan dengan Tsunade masih terngiang di benaknya.

"Aku menolak."

"Tenang dulu, Neji. Kau bahkan belum kenal siapa dia."

Neji masih bisa merasakan otot dahinya tegang seperti saat menoleh ke gadis di sisinya; manik lavender melotot tanpa ampun.

"Nama."

"Eh? Namaku kan Tenten, sudah kubilang"

"Angkatan."

"Satu tingkat di bawah senpai"

"Jangan. Panggil. Aku. Senpai."

"...? Baiklah, senpai."

"Aku barusan bilang! Tidak. Lupakan saja. Berapa?"

"...? Umurku dua pu"

Kepalan tangan Neji bergetar mengingat dengusan geli Tsunade. Wanita tua itu, ia benar-benar menikmati reaksi Neji.

"Jumlah lukisanmu yang tembus pameran, bodoh!"

"Oooh."

"Pelan-pelan, Neji. Tenten tidak terbiasa dengan orang dengan gaya bicara sepertimu. Dia cuma mengerti gaya bahasa lugas."

"Tidak apa-apa, Tsunade-sama. Aku yang harus mulai belajar memahami gaya bicara Neji-senpai."

"Kubilang jangan panggil senp"

"Eto...kurasa belum ada?"

Neji mematung.

"Benar juga, lukisanmu sekalipun belum pernah tembus pameran kampus, ya."

Gadis bersurai eboni itu tertawa malu ke arah Tsunade.

Neji meledak.

"Tidak. Tidak dan tidak. Sampai matipun aku tidak mau berkolaborasi dengan amatir."

"Hei, amatir juga bisa melukis kok!" protes gadis itu, tapi terpotong sanggahan Tsunade.

"Jangan cepat menilai dari penampilan, Neji. Tenten kupilih karena ia mampu."

"Aku penasaran apa yang gadis denganfashion sense anak TK bisa lakukan dengan kuasnya selain mencampur semua warna cat dan menyebutnya lukisan abstrak."

"Hei!"

"Aku tetap menolak."

"Tidak. Tidak dan tidak. Partnermu adalah Tenten dan keputusan ini mutlak."

Neji berkedip.

Tubuhnya tidak bisa bergerak dari posisinya berdiri di pintu, pemandangan di dalam studionya seolah menyerap semua energi.

"Aku tidak mau mendengar protes apapun darimu. Kami sudah terlalu banyak memanjakanmu, sekarang giliranmu melakukan sesuatu untuk kampus."

Separuh dari luas ruangan kini penuh dengan kanvas-kanvas asing. Warna-warni mereka adalah indikasi spesies yang berbeda dengan kanvas-kanvas monokrom di ujung lain ruangan. Apa ini, invasi makhluk luar angkasa dari planet seni?!

Tujuh warna pelangi tidak ada yang absen dan Neji khawatir terkena kebutaan permanen.

Harmoni dunia hitam dan putih miliknya rusak hanya dalam jangka waktu dua jam.

"Okaerinasai, senpai."

Neji bisa merasakan kedutan selain di mata datang, dan rasa-rasanya akan memicu migrain.

Penggunaan bahasa yang sok akrab itu memang ditujukan untuk membuat Neji kesal.

"Kita roommatemulai dari sekarang. Mohon bantuannya, sen~pa~i."

Ini juga...bagian dari takdir...?

"Es abadi kampus dengan api chibi membara; kolaborasi macam apa yang akan kalian hasilkan, aku sudah tidak sabar."

Boku no kokoro ni toke komu you ni
As if you exist here

Koko ni sonzai surunda?
Just to melt my heart?

Bencana.

Gadis ini teroris seni.

Bisa-bisanya dia mencampur ungu dan hijau neon untuk proyek sampingan miliknya di depan Neji.

Argumen tidak terhindarkan, mereka berdua pun saling berteriak tentang warna.

Sampai sini, Neji berpikir untuk tidak akan lagi terlibat dengan Tenten dalam hal apapun. Karena jelas, mencoba menjelaskan harmoni warna pada bocah seperti gadis bermanik coklat muda itu hanya buang waktu.

Tapi Neji tidak punya pilihan selain menerima tawaran bento 'pelangi' buatan Tenten.

"Imut, bukan? Aku membuatnya sendiri!"

"...itadakimasu."

Lagipula, bukan salah Neji terperangkap di studio di tengah badai salju, membuat perjalanan ke kafeteria gedung seberang jadi misi bunuh diri.

Meskipun matanya terasa sakit harus melihat makanan bekal berbentuk pikachu dan zubat, ia harus mengakui kalau makanan warna-warni rasanya tidak terlalu buruk.

Kyozetsu shiteta tanin no iro made uke ireteru
I begin to accept other's colors which I had rejected

Neji mencoba menahan diri dari menganggap ekspresi kaget campur bingung Tenten terlihat...well, imut.

"Apa, sih?"

"Ha-habis...aku tidak pernah bilang kalau cat merah marun-ku sudah habis, tapi senpai malah..."

Bola mata lavender berkedip.

Benar juga.

Sekarang tangan Neji tengah berada di atas telapak tangan Tenten. Cat akrilik merah marun di antara tangan mereka berdua masih memiliki label harga. Dan seberapapun tidak masuk akalnya hal ini, Neji secara pribadi pergi dan membeli cat tersebut.

Tanpa sadar, Neji melakukannya setelah mendengar keluhan sepihak Tenten.

Tidak jauh dari sepatu biru langit si brunette, botol cat merah marun tampak kosong.

Pipi Neji terasa panas.

"Se-sebagai gantiーbento-bento-mu yang kumakan."

Aneh.

Neji tidak pernah membeli cat selain warna hitam.

Bahkan untuk orang lainーini kali pertama.

"Jangan-jangan senpai suka padakーbufuh!"

Jaket bulu milik Neji mendarat di wajah Tenten. Guguran salju masih menempel di serat kain.

"Jangan banyak bicara dan cepat rampungkan proyekmu."

Meski punggung Tenten menghadap padanya, ia bisa mendengar gadis itu menggerutu tentang sesuatu seraya membawa jaketnya ke gantungan di ujung ruangan.

"Se-sebagai gantibento-bento-mu yang kumakan."

Neji membuang muka.

Itu benar.

Membalas kebaikan orang lain, bahkan Neji yang dingin juga melakukannya.

Tidak ada alasan lain.

...panas di pipi ini tidak memiliki arti apa-apa.

Mita koto no nai kanjita koto nai
I've never seen this, never felt this before

"Senpai."

Neji merengut.

"Dari tadi semuanya melihat ke arah kita, lho. Berasa terkenal, deh."

Neji masih merengut.

"Hei...masih marah karena kuseret ke pameranmu sendiri?"

"Aku marah karena bocah sepertimu berani mengancamku."

"Aku tidak mau membicarakan soal konsep proyek sebelum melihat pameran."

"Eh? Ah! Hei! CHIBI! KEMARI!"

Tenten tertawa, memperburuk suasana hati Neji.

"Habis, apa salahnya mengunjungi pameran lukisanmu sendiri? Kan keren~"

Mata lavender melirik Tenten tajam. Pandangannya melembut begitu melihat ekspresi tanpa dosa di wajah imut itu. Ia menghela nafas.

"Hei, chibi."

"Hm?" gumam Tenten, kepalanya menoleh ke sana kemari.

"Aku sudah melihat karya-karyamu. Kau yakin dengan teknik seperti itu lukisanmu belum pernah lolos pameran kampus?"

Bola mata coklat muda berkedip.

"Ya, kalau dibilang belum, juga...lebih tepatnya tidak pernah aku coba daftarkan, sih."

Ujung bibir Neji berkedut.

"Pelukis macam apa yang tidak pernah mendaftarkan lukisannyaー"

"Oh! Itu dia! Lukisanku!"

"...apa?"

Neji mengikuti sosok Tenten yang berlari-lari ke sudut pameran. Di atas sebuah lukisan yang penuh warnaーsungguh kontras dengan seluruh koleksi lukisan Neji yang tengah dipamerkanーada tulisan dalam huruf kapital bertuliskan Rookie of The Year.

Neji terpana. Benar, ada nama aneh berawalan huruf T di keterangan lukisannya. Terlepas dari warna pelangi yang membentuk gambaran kebun bunga matahari, harus diakui teknik yang dipakai dalam membuatnya cukup hebat.

"Cantik kaaan! Aku sudah mengincar posisi ini sejak tahun pertama masuk universitas kita, dan berhasil. Bagaimana?"

Neji tidak tahu apa yang diharapkan wajah polos itu untuk ia katakan.

Daripada berusaha menembus pameran lukisannya, bukankah lebih mudah menembus pameran kampus?

"...penyakit mata."

"HEI!"

Neji tersenyum tipis.

Orang yang menarik.

Ia tidak pernah mengharapkan akan menjadi terbiasa dengan tujuh warna pelangi dengan cara seperti ini.

Sampai mengacaukan harmoni pameran yang bahkan tidak pernah ia kunjungi dengan lukisan kekanakannya, entah harus disebut jenius atau idiot over-optimis.

Benar-benar seperti Yin dan Yang, mereka berdua.

Kimi to boku to ga mazari au mono
This mixture that is you and me

"Aduh!"

Neji tidak menghiraukan keluhan Tenten. Tangannya menyeret gadis itu menjauh dari pameran, belasan pasang mata mengekori.

"Tapi mereka mengatai senpai tanpa tahu yang sebenarnyaー"

"Lukisan yang berkarakteristik kuat. Sayang pelukisnya sosok yang tidak punya hati."

"Sudah dengar? Neji terancam tidak lulus karena menolak mengerjakan tugas akhir kolaborasi."

"Dengan kepribadian seperti itu, siapa yang mau jadi partnernya?"

"Bukan urusanmu."

"Tapi-"

Inilah alasan Neji membenci pameran.

Siapa yang peduli apa pendapat kalian? Neji melukis bukan untuk menghibur kalian semua.

Kalian bahkan tidak tahu orang yang kalian bicarakan ada di dekat kalian.

"Daripada itu..."

Tenten menelan ludah. Ia menghabiskan waktu cukup lama dengan Neji hingga bisa merasakan bahaya datang.

"ADUH!" Tenten mengerang, pipinya dicubit tanpa ampun.

"Kenapa kau berteriak memanggil namaku, hah?!"

"NEJI-SENPAI!"

Semua pengunjung, bahkan Neji sendiri terkejut. Kini semua pasang mata melirik mereka.

"...apa yang kau lakukan?" desisnya kesal.

"Tidak usah dengarkan ucapan mereka. Aku tahu pasti, Neji-senpai orang yang baik."

Masih ia ingat, para pengunjung yang melihat dan mendengar interaksi mereka berdua menjadi salah tingkah dan berbisik-bisik. Bahkan dari mereka ada juga yang menunjuk.

"Habwes...se-npai...memang tidahk sper...ti yang merheka bilangg..."

Helaan nafas.

"Aku sudah terbiasa dengan ini semua. Kau juga, biasakan dirimu."

Dareka ga kossori mimi uchi shite
Someone whispering quietly into another's ear

Fui ni yubi sasareru koto ni narete shimatta
And pointing at me, I'd grown used to that

"Senpai..."

"Apa lagi?"

Tenten meragu.

"Senpai bilang cuma suka warna hitam...tapi di lukisan senpai ada dua warna."

Neji memaku. Langkahnya menuju gedung studio terhenti, membuat salju di bawah permukaan sepatu boots miliknya berdecit.

"...ha?"

"Hitam...dan putih."

Neji melemparkan pandangan heran.

"Putih yang ada di lukisanku itu dari permukaan kanvas yang sengaja tidak kulukis. Lagipula, putih bukanlah warna dasar."

"Eh?"

"Kau pasti sudah tahu soal ini; putih adalah hasil dari tidak adanya warna. Karenanya, ia tidak masuk kategori warna dasar."

"Ee...um..."

"...gampangnya, kau tidak akan bisa mencampur warna-warna untuk menciptakan warna putih."

Segera setelah menjelaskannya, Neji merasa bodoh. Mahasiswa seni macam apa yang tidak tahu tentang prinsip dasar warna?

"Kenapa senpai suka warna hitam?"

"Warna hitamーtidak akan kehilangan warna aslinya jika bercampur dengan warna lain. Warna paling dominan di antara semua warna."

Kau bisa menenggelamkan apa saja dengan sapuan warna hitam.

Bukan hanya warna.

Hal-hal buruk; perasaan negatif, bahkan...

Kenangan traumatik.

Jibun to wa chigau sono iro wo
Colors that are different from mine

Hito wa minna haijo shite hitotsu ni narunda
I exclude them all and become one

"Tapi...warna putih di lukisan senpaiーmeskipun tidak berarti apa-apa bagi senpai, keberadaannya punya kualitas sendiriーyang menjadikan lukisan senpai, lukisan senpai."

"Apa yang kau coba katakan?" nada bicara Neji terdengar teriritasi. Percakapan tentang warna ini mulai menjadi terlalu lama.

"Meski senpai tidak mengakuinya, bukankah senpai menyadari bahwa warna itu ada di sana; sesuatu yang tidak senpai butuhkan, tapi senpai membiarkan keberadaannya?"

"Ya, seperti dirimu." ucap Neji sarkastik.

"Tepat sekali."

Manik lavender berkedip, jelas sekali tidak menyangka jawaban itu datang.

Tomodachi to wa nee nandarou?
Hey, what are friends?

"Apa senpai menganggapku sebagai teman?"

"Apa-apaan pertanyaan itu?"

"Jawab saja."

"Kau adalah kekacauan yang tidak pernah kuharapkan."

"Cuma itu?"

Gadis ini tidak pernah berhenti membuatnya terkejut.

Berlawanan dengan penampilan luarnya, ia punya pemikiran yang cukup rumit dan kompleks.

Neji tidak bisa menebak ke mana percakapan ini mengarah.

"Malapetaka. Kabar buruk bagi dunia seni monokrom."

Neji menunduk sedikit. Mata mereka hanya berjarak beberapa senti sekarang.

"Kebalikan dari diriku."

Onaji iro no furi wo shite
People who keep a measured distance

Kyori wo hakatte mureru koto ka?
And gather, pretending to share the same color?

"Senpai memang orang yang baik."

"Ha?"

Tanpa peringatan, tangan Tenten menyingkirkan tumpukan salju di bahu Neji.

"Meskipun aku menyebalkan, berisik, dan punya prinsip seni yang 100% berbeda dengan senpaiー"

"...kau baru saja mendeskripsikan dirimu sendiri dengan tepat."

"Tapi senpai ada di sini sekarang."

"...?"

Entah apakah karena kata-kata chibi yang terdengar lebih bijak dari biasanya, atau otak Neji yang perlahan membeku dari dinginnya suhu udara Konoha yang diguyur salju, bola mata coklat itu tampak...

"Senpai...menerima keberadaanku di sisi senpai. Kekacauan warna-warni yang senpai benci."

...menawan.

Nanika wo tori tsukurotte chikadzuku kurai naraba
If I had to gloss over that to get close to others

Sou, kodoku to kurasou tte kimetanda
Then I'd decided to just live with loneliness

"Senpai pernah kehilangan, jadi memutuskan untuk menjaga jarak dengan yang lain."

"...hidupku tidak senorak opera sabun seperti itu."

Meskipunーingatan tentang orang tuanya meluapーmungkin sebenarnya iya, pikir Neji dalam hati.

"Tapi senpaiーtidak melarangku memanggil senpaiーsebagai senpai lagi."

Pupil Neji melebar.

Senyum kemenangan chibi menampar gengsi Neji kembali ke kenyataan.

"Kau sendiri yang tidak mau berhenti memanggilku begitu."

"Senpai membelikanku cat akrilik baru."

"Balas budi!"

"Menarikku ke bawah gedung studio agar terhindar dari guguran salju."

Neji tidak bisa berkutik. Ia bahkan baru menyadarinya setelah Tenten mengatakannya. Di atas kepala mereka menjulang langit-langit gedung utama studio yang menaungi mereka dari hujan salju.

"Kebaikan yang bahkan senpai tidak mau mengakuinyaーmenurutku, itu adalah sisi baik senpai."

Neji mengepalkan genggamannya.

"Bahkan setelah aku mengatakan hal jahat padamu?"

Tenten mengangguk.

"Memperlakukanmu dengan dingin?"

Tenten tertawa.

"Senpai hanya belum terbiasa menunjukkan rasa peduli pada orang lain."

"Bagaimana kalau aku memang sejahat kelihatannya?"

Bola mata coklat itu memandang Neji kosong selama beberapa saat, seolah menimbang-nimbang jawaban yang akan ia berikan.

Senyuman tanpa beban yang datang setelahnya lagi-lagi membuat Neji lengah.

"Maka aku sebagai teman akan menerima apapun itu."

Naze kimi wa soredemo hanashikakete kita no?
Why did you still come and talk to me?

Boku wa kotoba mo wasureteta no ni
I've already forgotten the words

"Teman...katamu?"

Kosakata itu terasa asing di lidah Neji.

Teman?

Sekelebatan menyakitkan mata dengan tujuh warna ini?

"Ah." Tenten tampak menyadari sesuatu.

"Jangan bilang...senpai ingin jadi lebih daripada teman?"

PLETAK!

"Aduh!"

"Jangan ngelantur yang bukan-bukan."

Protes kesakitan Tenten tenggelam di antara gesekan sepatu boots Neji menuju ruangan studio di lantai dua.

Rasanya mereka baru saja melalui cobaan emosi yang berat. Tidak, sepertinya hanya Neji yang merasakannya. Ia tidak mendaftar di jurusan seni universitas untuk hal ini!

Apakah Neji pernah punya teman sebelumnya?

Sulit dikatakan.

"Aaah!"

"Apa lagi sekarang?" tanya Neji di depan pintu studio.

"Aku tahu! Mungkin itu yang senpai butuhkan."

"Aku butuh apa?"

"Cinta!"

Neji berkedip.

"Aku sudah cukup mendapatkan cinta dari beasiswa kampus."

"Bagaimana denganku?"

Tangan Neji terhenti di atas kenop pintu.

Bukan, bukan karena kaget mendengar perkataan Tenten. Tapi karena tangan kecil si brunette mencengkram pergelangan tangannya.

Lehernya berputar saaaangat pelan.

Apa bibir Tenten memang semungil itu?

"Aku menyukai senpai."

"...!"

Tangan Neji lainnya tidak berhasil mendaratkan tepukan lainnya ke atas kepala si chibi, dan justru ditarik hingga meraba dada Tenten.

"Kedengaran? Suara degupan jantungku."

"...?!¥& !"

"Senpai...aku akan membuat senpai mengingat apa itu cinta."

Ai wo omoidasaseru yo
"I'll help you remember love"

Sarigenakute teikou dekinai kaze no you ni
You say nonchalantly, like a wind

Cekrek!

Neji berkedip melongo. Tangan Tenten bergetar, hape di genggaman.

"AHAHAHAHAHAHAHA!"

Tenten terpingkal, ia harus menggunakan besi di dinding sebagai penopang tubuhnya untuk mencegah badannya jatuh ke lantai.

"Ekspresi senpaiーAHAHAHAHA! Kau sungguh pikir aku seriusーHAHAHAHA!"

Ctik.

Cukup sudah.

"Ehーsenpaiー"

Bruk!

Saat Tenten membuka matanya, Neji sudah menghempaskannya ke atas meja tempat suplai keperluan seni mereka.

Neji ingat, sebulan yang lalu meja kaca ini tertata rapi.

Sekarang, tumpahan cat warna warni mengering di banyak permukaannya.

Kacau.

"Sen...pai?"

Bola mata lavender memperhatikan bibir kecil Tenten. Ekspresi panik memenuhi wajah yang terbingkai surai coklat berhamburan itu.

Tlek.

Neji menyengir.

"Apa? Aku cuma mau mengambil telepon genggammu."

Kaaats!

Oh? Rona malu warna merah di kulit olive terlihat indah juga.

"Tungーtadi aku cuma bercanda!"

"Aku tidak peduli."

Kedua pergelangan tangan Tenten terasa sangat kecil di genggaman Neji. Ia berhasil mengambil telepon genggam dari gadis itu tanpa kesulitan berarti.

"Jangan buka galeri-ku!"

"Bagaimana aku bisa menghapus foto barusan kalau tidak membuka galeriーeh?"

Bola mata Tenten memejam erat.

"Aku sudah bilangー"

"Ini...semua fotoku?"

Tenten menggeleng keras saat Neji memberinya tatapan jijik.

"Aku mengambilnya untuk mempelajari sudut-sudut wajah manusiaー"

"Tanpa izin?"

Tenten menunduk.

"Maaf..."

"Kenapa aku..."

"Habis, senpai sangat serius saat melukis."

Neji melengos.

"Ha?"

"Aku suka...melihat ekspresi serius senpai saat melukis, jadi..."

Sesuatu di jantung Neji melompat.

Jangan memperlihatkan ekspresi pasrah seperti itu...

"Kau...aku harusnya meminta royalti untuk ini, tahu?"

"Eh?!"

Neji mendapati bibir mereka kembali berdekatan.

Berat.

Gaya gravitasi membuatnya merendahkan tubuhnya ke Tenten.

"Senーsenpaiー"

Benar, tidak ada alasan khusus lainnya...

"Aku tidak mau mengganggu, tapi...kalian mungkin mau menutup pintunya?"

Neji dan Tenten kompak menoleh.

"Tsu-Tsunade-sama!"

Suara cempreng Tenten menampar Neji kembali ke kenyataan. Ia segera melepaskan genggamannya. Ia menjauh dari meja di mana Tenten terlentang.

"Ah..."

"Meskipun sebenarnya aku tidak menduga akan ada perkembangan yang seperti ini."

"Ini tidak seperti kelihatannya!" seru Tenten yang sudah bangkit.

"Ya, ya, alasan tipikal."

"Tsunade-samaaa!"

Neji memucat.

Apa yang barusan dia lakukan?

Bukannya tadi ia mencoba untuk mencium Tenten?

...kenapa?!

"Baru pertama, ya?"

"Bukan begitu!" seru Neji tidak kalah heboh.

"Eh, aku ke sini bukan untuk melihat kalian merona tidak jelas begitu." wanita berambut pirang itu mengeluarkan secarik kertas dari map yang dibawanya.

"Ini, kalian satu-satunya yang belum mengumpulkan tema kolaborasi."

Neji mengambil formulir kasar, warna merah belum meninggalkan wajahnya.

"Jangan marah dong, aku akan segera pergi kok."

"Sudah dibilang bukan begi"

Neji dan Tenten menoleh bersamaan, sebelum membuang muka lagi.

"Pasangan baru itu memang begitu, ya, kompak!"

"Cepat pergi sana!"

"Wah, sama-sama lagi. Baiklah, aku pergi. Jangan bikin kotor studio dan pakai pengaman, yaー"

Brak!

Tangan Neji di kenop pintu gemetar.

Nenek tua satu itu!

"Anu...senpai..."

Neji menoleh. Tenten masih terduduk di atas meja, wajahnya menunduk.

Pipi Neji kembali terasa panas.

Sekarang suasananya jadi aneh.

"Ya?"

"Um...seperti yang kubilang, aku sedang mempelajari sudut wajah manusia."

Benar juga.

Mereka punya proyek yang harus diselesaikan.

"...baiklah. Realisme wajah manusia, ya?"

Tenten mengangkat wajahnya terkejut.

"Untuk outline-nya, kita pakai keahlianmu. Aku yang mengisi warnanya dengan hitam."

"Eh...apa benar tidak apa-apa?!"

"Sekali-sekali melakukan yang seperti ini tidak buruk juga, kan."

"Yay! Senangnya!"

Syukurlah.

Sepertinya suasana kembali jadi normal.

Tunggu dulu.

Kenapa Neji jadi lega setelah Tenten tidak lagi malu-malu?

"Um...handphone-ku, senpai..."

Harusnya keberadaannya saja membuat Neji naik darah.

Tapi sekarang...

Boku no kokoro ni
I'm unable to resist

Shinobi konde kita
It has crept into my heart

"Lain kali, bilang padaku kalau ingin mengambil gambarku."

"Eh?! Memangnya boleh?!"

Neji jadi menunggu-nunggu saat di mana ekspresi senang si brunette mendominasi wajahnya.

"Selama kau tidak diam-diam mengambilnya."

"Tapi lebih seru kalau diam-diam..."

"Oi!"

Pikiran Neji kembali ke meja kaca tempat mereka...melakukan entah apapun itu tadi.

Bau kaleng cat yang terbuka dan tumpahan cat yang mengering di permukaan meja tidak mengganggu Neji.

Bahkan kontras yang timbul dari warna surai coklat Tenten dengan warna warni cipratan cat terlihat cantik.

Untuk beberapa saat, Tenten dan Neji seolah bercampur menjadi satu.

Tenten tertawa.

Senyuman tipis tersungging di bibir Neji.

Untuk seseorang yang menyukai warna pelangi, Tenten punya warna rambut yang tergolong konservatif.

Setelah dipikir lagi, meskipun image Tenten adalah kekacauan warna di benak Neji, coklat bola mata dan rambut yang memiliki kesan tenang miliknya menjadi penyeimbang itu semua.

Sepertinya Neji tidak keberatan akan hal itu.

Tatta hitotsu no mazari au mono
A mixture that is the only one

Kenapa gadis itu muncul?

Seseorang yang sangat menyerupai pantulan diri; kebalikan dari Neji, di saat kritis seperti sekarang?

Dengan kemampuan melukis yang setara dengan dirinya, gadis itu menepis semua stereotip sepihak yang dibuat Neji tentang pelukis amatir yang bergantung pada banyak warna.

Neji tidak memerlukan warna-warna itu.

Tapi Tenten membuktikan ia tidak butuh warna hitam Neji.

Dan ia tetap bisa menciptakan mahakarya menggunakan segala kekacauan yang berada di jangkauannya.

Lebih jauh lagi, gadis itu punya kemampuan super.

Kata apa lagi selain kemampuan super yang bisa menjelaskan kenapa Neji mau menghadiri pameran kolaborasi para mahasiswa semester akhir seperti dirinya; hanya karena gadis itu memohon dengan suara imutnya.

Neji ingin melepas dasi dari lehernya gemas.

Bukan, bukan karena pakaian khas barat yang wajib dipakai setiap mahasiswa tingkat akhir yang tengah melekat di tubuhnya selagi ia sibuk mengangguk pada setiap pengunjung yang memujinya.

Tapi karena sosok mungil itu nyaris tersembunyi di lantai bawah, di antara sela-sela pilar gedung pameran dan bukannya di sisi Neji.

Rambut coklat dan kulit olive, sepasang mata kecoklatan.

Neji tidak bisa melihatnya dengan jelas.

Bagaimana bisa, jika sosok berjas dengan surai hitam berdiri memunggungi bola mata lavender, lengan-lengan kekarnya menelan Tenten.

Kuku-kuku tumpul miliknya menggores permukaan besi yang dipegangnya.

Rasa sesak ini memuakkan.

Tenten yang mengajarkannya.

Ya, siapa lagi?

Pengacau kecil itu hanya tahu cara masuk ke kehidupan orang lain, membuat kerusakan, kemudian pergi tanpa mengucapkan pamit.

Luka yang ditinggalkannya terlalu hebat.

Sangat hebat, Neji tidak menyadari kaki-kakinya sudah membawanya pergi ke lantai bawah.

Kenapa?

Ia tidak pernah sengaja melakukan hal tanpa memikirkannya sampai matang terlebih dulu.

Tidak ada estetika di dalamnya.

Lalu kenapa?

Andaikan Tenten tidak pernah ditunjuk menjadi partner tugas akhirnyaーandaikan gadis itu tidak pernah memancing perkelahian tentang harmoni warnaーandaikan si cepol panda itu tidak punya kemampuan melukis yang hebatーandaikanー

ーsenyumannya tidak memicu cepat detak jantung Neji.

Naze kimi wa totsuzen
Why did you

Arawareta no darou?
Suddenly appear?

"Senpai?!"

"Diam dan ikut saja."

Gadis itu terkejut. Nada bicara Neji belum pernah seserius ini.

Bahkan Neji sedikit kaget.

"Tapi aku sedangー"

"Jangan menoleh ke belakang dan diamlah!"

Tubuh gadis itu bergidik. Neji bisa merasakan getaran melalui pergelangan tangan yang ia cengkram kuat, seakan bila lengah sepersekian detik, lelaki berambut pantat ayam di ujung koridor akan berlari dan merebut chibi.

Nasib baik si pantat ayam memilih untuk melemparkan tatapan aneh tanpa memutuskan untuk mengejar.

Sejujurnya, andai kata mereka berdua dikejar, kepalan tinju Neji sudah lama meminta diayunkan sekuat tenaga.

Entah apa mereka akan berakhir di penjara sekarang.

"...? Kenapa kita ke studio?"

Brak!

Neji menangkap sosok kecil yang melompat karena mendengar benturan keras dari pintu studio. Gaun jumpsuit merah jambu bergesekan dengan jas Neji.

"Senpai?!"

Neji bisa merasakan nafas gadis itu memendek ketika tubuhnya merengkuh badan kecil yang wangi dalam pelukan posesif. Tidak peduli sekuat apapun bau menyengat thinnerdi ujung ruangan studio; atau bau cat mengering di permukaan kanvas beberapa meter dari tempat mereka berdiri, benak Neji terpusat pada momen ini; aroma tubuh ini.

"...napa?"

"Eh...?"

Jemari Neji menyentuh telinga Tenten pelan, mengarahkannya agar berada dalam posisi menghadap lurus bibir miliknya.

"Kenapa kau harus masuk ke dalam hidupku?"

Tubuh Tenten merinding. Getarannya tersampaikan ke Neji. Ada sesuatu tentang kurangnya perlawanan Tenten yang membuat Neji semakin rakus.

Bola mata lavender bergulir, menangkap meja tempat Tenten tersaji pasrah beberapa minggu lalu seolah mengundang makhluk buas dalam diri Neji untuk mengulang adegan yang sama.

Tapi kali ini, Neji tidak berniat untuk melepaskan Tenten sama sekali.

"KYAー!"

Satu, dua pekikan menggemaskan kemudian, Neji dihadapkan dengan pemandangan yang persis seperti ia bayangkan.

Gelungan rambut coklat eboni membingkai meja arbitrer. Pantulan lampu dari gedung pameran dan lampu koridor serta bulan menembus kaca jendela, terbiaskan dan menyinari sosok yang terkulai pasrah di bawah kungkungannya. Ekspresi kebingungan Tenten makin membuat Neji ingin melakukan sesuatuーsesuatu yang bisa membuat rona merah di pipinya semakin membara.

"N-Neji-senpai...!"

Neji mengeratkan matanya.

...nyaris.

"Aku-aku tidak mengertiーada apa ini sebenarnya?"

"Aku menginginkanmu."

...

Neji merendahkan dahinya ke bahu Tenten.

Aah...

Apanya yang nyaris.

"I-ingin?" tanya Tenten takut-takut.

Neji memang sudah kehilangan akal sehatnya!

"Ng..." ia mengambil jeda canggung. "Maksudkuー"

Jemari kecil Tenten menangkap pipi Neji lembut, mengagetkan sang empunya saat bola mata mereka berpapasan.

"Apa? Nggak kedengaran, senpai."

Ma...

MANIS SEKALI

"Kau...pura-pura tidak paham atau bagaimana, hah?!"

Tenten bertambah bingung mendapati tangannya dicengkram Neji.

"Jangan...kelewat polos di saat-saat seperti ini, bodoh..."

"Bo-bodoh?!"

"Akuー"

Tenten terdiam, menunggu Neji merampungkan kalimatnya.

"ーmungkin suka...padamu."

BLAAAAAAAAAR!

Suara kembang api ditembakkan memenuhi udara, sayup-sayup percikannya melesaki jendela studio yang terbuka sedikit. Panitia pameran lukisan senior universitas seni Konoha terdengar bersorak setelah berhasil mengeksekusi ritual penutup tahunan tersebut.

Jantung Neji berdebar keras.

Ia tidak berencana untuk mengatakan apapun yang berhubungan dengan kata "suka"!

Lalu kenapa?!

"...ahaha hahaha."

Neji mengangkat kepalanya.

"Eh?"

"Ahaha...hahaha."

Alis Neji berkedut.

"Kenapa malah tertawa?! Si bodoh satu ini!" seru Neji sambil mencubit pipi kenyal Tenten gregetan.

"Aduuuuh! Sakit! Senpai!"

"Kauーbenar-benar!"

"Tungーsenpai, hentikanー"

"Sudah masuk ke kehidupanku, merusak kedamaian yang susah payah kubuat, melawan garis takdir yang sudah ada, membuatku jadi bersikap seperti bukan diriku!"

"Heー?"

"Kenapaーdengan lelaki ituー"

Ingatan tidak mengenakkan kembali terulang di benak Neji. Rambut pantat ayam, sosok Tenten yang dipeluk oleh laki-laki yang tidak dikenalnya, semuanya.

"Manusia es."

"Dia rusak, ya? Tersenyum sedikit saja tidak bisa."

"Jangan seenaknyaーsetelah mengacak-acak hidupku, lalu kau pergi tanpa peringatanー"

"Neji barusan membalas salamku! Seram!"

"Kalau diperhatikan, dia ganteng juga, ya."

"Seーsehn pai..."

"Kalau kau tidak berniat tinggal selamanya, lebih baik tidak usah mengenalku sama sekaliー"

Ayah, Ibu...kenapa pergi?

"Sebenarnya, apa tujuanmu mendekatiku...?!"

Boku no kokoro ni toke komu you ni
As if you exist here

Koko ni sonzai surunda?
Just to melt my heart?

"Senpai..." bisik Tenten lirih. Jemari Neji sudah tidak lagi melecehkan pipinya.

Neji terengah. Ia tidak tahu kalau ia bisa secerewet itu. Ia bukan lagi manusia es yang tidak mampu mengatakan apa yang dirasakannya dengan baik. Ia sudah menjadi manusia tidak berguna yang terlena di dalam emosi manusiawi.

Dia sudah berubah.

Dunia tidak lagi putih dan hitam.

Tep!

"!?" Neji mendadak tidak bisa melihat apapun.

"Ja-jangan protes dulu dan dengarkan aku."

Suara tegukan ludah Tenten memaksa Neji untuk diam dan menyimak.

"Aku tertawa karena...ini semua terasa seperti candaan bodoh."

"Aku tidak bercandー"

"Apa yang kubilang soal jangan protes?!"

Mendecak kesal, Neji kembali terdiam.

Tenten mengerutkan alisnya melihat kekeraspalaan Neji, menghela nafas dan akhirnya melanjutkan.

"...aku selalu mengagumi senpai."

Alis Neji terangkat.

"Semenjak aku SMA...aku suka melukis, dan sering melihat karya senpai di internet. Aku harus berusaha keras untuk bisa masuk ke universitas ini, dan hal pertama yang ingin aku lakukan adalah memenangkan rookie of the year pameranmu."

Tenten menggigit bibirnya.

"Seperti rumor yang kudengar, senpai bermulut kasar, tidak punya empati, dan hanya peduli pada dirinya sendiri. Seorang sosiopat."

"Hei!"

Tenten melanjutkan.

"Tapi senpai terlihat sangat senang saat melukis."

"...ha?"

Tenten terkekeh. "Ya, bukan seperti di film-film sih. Lagipula, pelukis mana yang melukis sambil tersenyum sendiri?"

Bola mata brownies melemparkan pandangan ke tumpukan kanvas karya Neji di sela-sela kegelapan studio.

"Ada segelintir aura lembut yang hanya ada saat senpai memandang kanvas. Seolah melukis adalah jangkar yang menjaga senpai dari kehilangan kendali."

"..."

Senyum terukir di bibir Tenten.

"Awalnya aku pikir, 'aah...orang ini sudah tidak bisa ditolong lagi. Anti-sosial sejati!' tapi, senpai bersikap baik padaku, seolah menerima kegilaan; yaitu aku, ke dalam hidup senpai meskipun kau selalu mengeluh tentangnya. Aku merasa seperti sudah mencapai sesuatu; senpai yang kukagumi berada di dekatku dan dia tidak seburuk yang dikatakan orang."

Kyozetsu shiteta tannin no iro made uke ireteru
I begin to accept other's colors which I had rejected

"Lalu?"

"Hm?"

Neji meraih lengan Tenten, berusaha melepasnya.

"Apa hubungannya dengan menutup mataku seperti ini?"

"...AH!"

Tenten memekik saat Neji mematahkan 'pertahanannya'. Sekarang kedua tangannya menyilang menutupi wajahnya sendiri.

"Kau belum menjawab pertanyaanku." keluhnya sembari mencoba meruntuhkan barikade Tenten lainnya.

"...ja...jangan...!"

"...? Jangan?"

Sekelebatan semu merah menyeruak di pipi Tenten, nyaris tidak terlihat di studio yang gelap gulita.

"Se-senpai yang dingin...mana mungkin mengatakan hal-hal memalukan seperti menyukaiku...!"

"...ha?"

"Dan jangan menatapku lekat-lekat sambil mengatakan hal-hal itu!"

Mita koto no nai, kanjita koto nai
I've never seen this, never felt this before

Apa ini?

Neji merasa rakus.

Ia ingin tenggelam.

Tenggelam di dalam kegilaan dan kehangatan yaitu Tenten.

"Kau...malu kulihat dari jarak dekat seperti ini?"

Tenten tidak menjawab.

Ini gawat.

Sedikit lagi, dan Neji akan kehilangan kendali.

Untuk pertama kalinya, Neji diselimuti emosi yang bukan berasal dari kenangan kelam masa lalu.

Tenten membuatnya melihat ke depan, menunggu-nunggu apapun itu yang dibawa oleh takdirーmasa depan. Dan masa depan itu menyimpan seribu skenario kemungkinan.

"Hei...boleh kucium?"

"...ha?!"

"Atau kau akan meninggalkanku di sini?"

ーhijau rerumputan pinggir jalan sepiー

ーbiru langit subuh hariー

ーungu kupasan cat mobilー

ーkuning lidah apiー

ーmerah darahー

"Senpai...?"

"Seperti yang lainnya?"

"Senpai!"

Neji terkesima. Pandangannya terhalang air mata. Wajah imut Tenten tidak nampak jelas.

"Aku masih di sini."

Kata-kata itu seperti menampar Neji. Baru saja ia mengakui keberadaan Tenten membuatnya bisa berhenti memikirkan masa lalunya, secepat itu pula probabilitas perginya Tenten membuat memori itu merebak. Kali ini gadis itu memegangi kepala Neji, merontokkan sendiri pertahanannya.

"Aku juga..."

Neji merengut. Warna merah muda menjangkiti wajah Tenten.

"Juga apa?"

"...ju-juga suーaaah!"

Neji terdorong dari posisinya menahan Tenten, gadis itu berhasil mendapatkan posisi duduk, rona di wajahnya tidak juga hilang.

"Aku juga suka senpai! Masa' begitu saja aku harus meneriakkannya begini?!"

Neji lagi-lagi terpukau. Ledakan rasa senang yang diberikan kata-kata Tenten menyuntikkan warna merah jambu yang lebih terang dibanding rona Tenten. Dan, membuat tetesan air matanya berhenti.

BRUK!

Saat sadar, Neji sudah berada di hadapan Tenten dan memeluknya erat.

"Kalau begitu, ciumー"

Tenten mencubit pinggang Neji, membuatnya meringis kesakitan.

"Semua ada urutannya, tahu! Pegangan tangan, kencan, baru ciuman! Kendalikan nafsumu!"

"...aku mengerti."

"...kau terdengar kecewa." ujar Tenten dengan ekspresi jijik.

"Aku tidak akan melakukan apapun yang tidak kau suka."

Tenten menganga. Protes yang siap diluncurkannya lenyap entah ke mana. Oh, bagus! Sekarang Neji membuatnya merasa bersalah karena menahan Neji menciumnya!

"Jangan pernah pergi." bisik si keturunan Hyuuga pelan.

"Senpai..."

Tenten mengulum bibirnya dirundung malu. Jantungnya tidak siap menghadapi Neji yang seperti ini.

"...sekali saja."

Bola mata Neji membuka. Pelukannya ia longgarkan. Sekarang mata mereka bertemu.

"Se-sekali saja! Kalau kau berani meminta lebih, aku akan berteriak minta tolong pada Sasuke!"

Urat di dahi Neji berkedut. Jadi si kepala pantat ayam punya nama?

"Semakin dilarang semakin menarik untuk dicoba."

Tenten mendorong dada Neji yang mendekat, mukanya terlihat ketakutan.

"Tung-aku seriuー"

Bibir Neji membungkam bibir Tenten, gigi mereka nyaris berbenturan. Bola mata coklat yang melebar tidak dapat menemukan bola mata lavender pelaku menciumnya, dan ikut terpejam merasakan sensasi gesekan oral.

"ーha! Haーh! Barusan ituーdua ciummmh!"

Neji menarik bibirnya menjauh, namun tidak bertahan lama.

"Berhenti bicara soal laki-laki lain dan terima saja."

"Mmm!"

Alarm di kepala Tenten berbunyi. Tangannya mendorong Neji menjauh, cukup jauh untuk memberinya ruang bernafas dan berbicara.

"Aku tidak akan pergi ke mana-mana. Aku di sini."

Pandangan Neji yang terengah meredup. Tenten merasa lega melihat berkurangnya kecemasan di pelupuk calon seniman berbakat itu.

"Dan Sasuke itu kakakku. Dia-dia tidak akan memaafkanmu kalau kita melakukan lebih dari ini."

...

Kaaaats!

Muka Neji memerah. Jadi ia cemburu pada kakak Tenten? Ia cemburu buta pada kakakTenten?!

"...maafkan aku."

Tenten menggeleng sembari menangkap nafasnya, kepala Neji di bahu kirinya, dirundung malu. Seperti anak kecil saja.

"Ciuman pertama apanya, aku merasa dilecehkan." gumam Tenten.

"...mau diulang?"

"Hell no."

Senyap menyelimuti mereka. Hiruk pikuk pesta di gedung seberang mengingatkan Neji pada dirinya beberapa bulan lalu.

Sendirian, melukis tanpa henti. Memandangi keramaian dari kejauhan. Tapi sekarang, ia melakukan hal yang sama, tapi kehampaan itu tidak ada.

"Aku akan buat senpai mengingat apa itu cinta."

Aaah...

Neji paham. Ia paham betul sekarang. Ini semua adalah takdir. Bagaimana bisa dirinya yang selalu terpaku pada ketentuan takdir menolak sesuatu yang sudah pasti?

Sekonyol apapun keadaannya sekarang, Neji tidak akan tahan apabila Tenten memutuskan untuk meninggalkannya sekarang. Atau di masa depan. Selamanya.

Gadis itu berhasil membuatnya mengingat apa itu cinta. Tentang bagaimana ingin selalu berada di dekat mereka yang disayangi. Tentang tidak ingin kehilangan.

Seperti bagaimana perasaannya terhadap orang tuanya.

Hanya kali ini, Neji tidak punya waktu untuk tenggelam dalam kesendirian. Bagaimana mungkin, dengan berisiknya Tenten yang selalu berhasil mengacaukan kedamaian pribadinya?

"Aku tidak menyangka senpai bisa cemburu seperti tadi."

"Neji."

"Eh?"

Genggaman Neji mengerat sekilas. "Panggil aku Neji."

Pipi Tenten memerah. Mereka sudah jadi pasangan, wajar kalau memanggil nama depan. Sepertinya ia harus mulai membiasakan diri.

"Dan, tidak, aku tidak cemburu. Aku hanya kesal."

Gadis berambut coklat mengerucutkan bibirnya. "Kau pembohong yang payah."

Neji pura-pura tidak dengar, tapi Tenten berani bertaruh ujung mulut Neji menekuk ke atas.

"Aku ingin melihat Neji melukis dengan warna lain." gumam Tenten saat matanya menangkap letusan kembang api di langit.

Neji membuka mulutnya untuk menolak, tapi urung. Warna hitam yang ia gunakan selama ini adalah representasi tekadnya untuk tidak melupakan kenangan masa lalu bersama orang tuanya. Tapi apa Neji harus bersikeras tentangnya, di saat kini waktu mulai bergerak maju baginya?

"...aku akan mempertimbangkannya."

Tenten melirik Neji kaget.

"Aku juga bukannya membenci warna lain, kok."

"Hmm...Neji dengan cat shocking pink...aku tidak bisa membayangkannya."

"...kau mau ngajak ribut, ya?"

Tenten terkekeh geli, kepalanya menggeleng.

"Kita pasangan teraneh di dunia."

"Masa'?"

Neji mengeratkan genggamannya di pergelangan tangan Tenten. Perjalanan mereka kembali menuju gedung utama disambut riuh kembang api susulan dan gema pengeras suara. Pengumuman tugas akhir kolaborasi terbaik akan diumumkan.

"Tapi kau suka padaku, kan."

"Dari mana asalnya kepercayaan diri itu?"

"Siapa yang mencium paksaー"

"Baiklah, aku paham!"

Neji merengut ke arah Tenten. Gadis itu hanya menjulurkan lidahnya nakal. Firasatnya mengatakan akan banyak masalah menghampirinya jika ia berada di dekat gadis berambut coklat ini, tapi mereka terikat oleh takdir bersama, tidak ada yang dapat Neji lakukan. Lagipula, ia juga tidak yakin ingin melepaskan tangan di genggamannya hanya demi mendapatkan kembali kehidupannya yang damai.

"Jangan beritahu kakakmu tentang...tadi."

"Ck...menyerah sebelum berperang. Kau pengecut, Neji."

Seperti yin dan yang, mereka berdua.

Kimi to boku to ga mazari au mono
This mixture that is you and me


.

.

.

Bonus:

Tangan kecil Tenten menggenggam tangan Neji, kemudian menariknya ke arah pintu hall.

"Ayo kembali. Sebelum kau memikirkan hal aneh-aneh dan mencoba melakukannya padaku."

"...hei."

"Sasuke pasti bertanya-tanya siapa laki-laki yang merebut adiknya tanpa sopan santun. Aku akan mengenalkanmu padanya."

"Aku punya firasat dia sudah membenciku."

Tenten tertawa. "Kau sudah bisa tahu karakternya meskipun belum berkenalan, sasuga!"