Terlambat

Sirius Black, Remus Lupin, James Potter, Peter Pettigrew, Severus Snape, Lily Evans adalah kepunyaan JK Rowling

Alternate Universe, no magic, no Voldemort, no Marauders, no 'that word'. Shonen-ai. Character Death. Rate T saja

Diikutsertakan dalam Challenge: Only Death Aparts Us punya daikirai

Terimakasih banyak untuk [at]Ghee11[at]elitralala dan [at]zenatzenut atas sumbangan fakultasnya. Sastra Jawa, wekekek! #dzigh

Untuk [at]elitralala juga terimakasih atas masukannya, jadi DI nggak pake ujian ya? Ya, padahal, udah tinggal satu lagi tuh ujiannya Remus. Hihi. Yaudah, udah terlanjur. Anggap aja ujian XDD #dijitaks

Untuk semua pecinta SBRL

-o0o-

Bagian Keenam

Suara wanita yang mengumumkan agar penumpang bis naik berkumandang. Remus menarik ranselnya tak sabar, dan berjalan ke arah bis yang ditunjuk.

Beda antara harga tiket pesawat dengan tiket bis sebenarnya tidak begitu banyak. Yang beda banyak justru adalah waktu tempuhnya. Dan tadinya, itu yang dikejar Remus. Sayang sekali, tiket pesawat ke Glasgow maupun ke London untuk hari ini dan besok, habis. Kalau menunggu sampai lusa, sama saja dengan naik bis.

Pokoknya ia berusaha kembali secepatnya!

Begitu ia menerima berita dari Severus, ia sudah ingin kembali saja. Untungnya Severus mengingatkan akan pentingnya menyelesaikan ujiannya yang tinggal satu. Jadi, ia hanya menelepon agen perjalanan mencari tiket kembali ke Glasgow. Sialnya, tak ada tiket tersisa hingga dua hari yang akan datang. Jadi, sambil diliputi rasa tak sabar, ia memesan tiket bis saja.

Begitu selesai mengerjakan ujian, ia langsung menuju terminal. Tak dipikirkannya lagi kemungkinan remedial. Yang penting kembali secepatnya!

Tapi, beginilah kalau naik bis! Lambat sekali! Er .. mungkin kecepatan bis memang hanya segini, tetapi dibandingkan dengan pesawat—

Di dalam perjalanan, Remus berusaha menahan diri agar tidak terus menerus mencoba menghubungi Hogwarts. Selain sudah beberapa kali dicoba—masih diblokir—juga ia harus hemat dengan baterai ponselnya. Maka ia berusaha taat pada peraturan yang dibuatnya sendiri: mencoba menghubungi Hogwarts hanya 2 jam sekali saja.

Rasanya berabad-abad ketika bis akhirnya mendekati Channel, akan menyeberangi selat, dan ponselnya berbunyi.

SMS dari Severus, menyatakan dia juga akan kembali, dan sudah di bandara Munich.

Tentu dia juga khawatir akan Lily, senyum Remus getir. Walau Mary MacDonald sudah menghubungi Severus, tapi dia kan belum berbicara langsung dengan Lily—

Disimpannya ponselnya kembali sementara bis melaju menyeberangi selat melalui terowongan. Ia harus menekan rasa penasarannya.

-o0o-

Rasa penasaran Remus menang. Saat bis sudah menginjak tanah Inggris, ia memencet nomor Sirius lagi.

Masih tak ada sambungan.

Dicobanya nomor Lily—dan berhasil!

Sepertinya blokir atas Hogwarts sudah dibuka!

"Lily, bagaimana—"

"Remus, kau sekarang ada di mana?"

"Sudah masuk Inggris. Aku pakai bis, tak kebagian tiket pesawat—" Remus berbicara cepat-cepat, seolah takut sambungan telepon terputus, "—Severus juga sedang dalam perjalanan pulang, ia naik pesawat dari Munich—"

Lily tertawa kecil, "—kalian bisa datang bersamaan begini—"

Remus ikut tertawa kecil, "—tentu dia kangen padamu, Lils!" dan keduanya tertawa pelan.

"James dan Peter bagaimana?" tanya Remus.

"Keduanya sudah baikan. Kami ada di Infirmary Hogwarts. Kemungkinan nanti siang sudah bisa keluar—"

Remus menelan ludah. Tak kuasa ia menanyakan, tapi ia harus. "Lils—bagai—bagaimana Sirius?"

Agak lama hening, sebelum Lily menjawab, "—aku terus mencari, Remus. Tiap hari aku tanya ke mana-mana, ke tempat resmi seperti Informasi, ke teman-temannya, ke wartawan—"

Remus menghela napas. "Aku tahu, Lils. Dan terima kasih sudah merepotkan—"

Hening sejenak sebelum Remus berbicara lagi, "—bateraiku tinggal sedikit, Lils. Aku harus hemat sampai di Hogwarts. Sampai jumpa 3-4 jam lagi ya?"

"OK. Hati-hati ya, Remmy!"

Remus menutup ponselnya.

Semoga saja ia tidak terlambat. Semoga saja ia tidak terlambat. Semoga saja—

-o0o-

Turun di terminal Hogsmeade, meneruskan perjalanan ke Hogwarts, Remus tak kaget bertemu Severus. Tak banyak bicara, secepatnya menuju Infirmary Hogwarts. Tak bertanya lagi ruangan berapa, sepertinya Lily sudah memberitahu Severus.

Kamar James dan Peter, ramai ternyata.

Lily cepat melihat mereka. "Severus! Remus!" serunya, dan mendekati mereka. Remus dan Severus ragu untuk masuk. Setidaknya, ini kan rumah sakit—

"Masuk saja, Sev! Remus!" sahut James, "—lagipula kami sudah mau keluar kok. Oya," Ia mengubah posisi duduknya menjadi berdiri—tampaknya ia sudah sehat—dan menunjuk pada ketiga tamunya, "—ini Mr. Black, Mrs. Black, dan Regulus—adik Sirius—"

Remus dan Severus mendekati mereka dan mengulurkan tangan bersalaman, James meneruskan, "—mereka teman-teman akrab Siri, Sir, ini Remus, dan ini Severus. Mereka dibela-belain pulang dari Italia dan Jerman—"

Mr. Black mengangguk pada keduanya, "Terima kasih untuk perhatiannya, nak! Kami masih akan terus mencarinya, dengan bantuan kalian tentu saja—"

Ia menoleh pada istrinya, "—kita diterima Rektor jam berapa?"

Mrs. Black melihat jam tangannya, "Sepuluh menit lagi. Mending kita ke Rektorat dulu saja—"

"Dad, boleh aku tunggu di sini?" Regulus meminta.

Mr. Black mengangguk. "Nanti kutelepon jika sudah selesai—"

Ia memandangi semuanya satu-satu dengan sungguh-sungguh, "Terima kasih sudah berteman dengan Sirius. Kuharap, kita masih bisa menemukannya, entah di mana. Walau—walau hanya jasadnya—" suaranya bertambah pelan.

Mrs. Black menunduk, mengusap matanya. Lily memeluk Mrs. Black. Tanpa bersuara.

Tanpa suara juga mereka berdua keluar dari Infirmary.

Keadaan hening itu juga bertahan selama beberapa menit. Kemudian, Severus memecah kesunyian.

"Jadi—bagaimana cerita sesungguhnya?"

James menghela napas panjang. Memandang pada Remus agak lama, baru ia bersuara.

"Mungkin kau sudah tahu kalau dia semakin aktif dalam kegiatannya dengan—dengan kelompok itu. Sering pulang malam, kadang tidak pulang. Akhir-akhir ini, malah beberapa kali membolos kuliah. Aku marahi, karena bukankah justru sudah dekat ujian?"

"Walau nampaknya berat, ia menurut, tidak pernah bolos lagi. Tapi, pulang malam masih saja ia lakukan. Aku tak bisa menghalangi. Toh, ia sudah dewasa—"

Menarik napas lagi.

"Selesai ujian, mulai beredar akan adanya demo akbar. Aku sudah peringatkan Sirius, tapi rasanya sia-sia. Beberapa malam sebelum demo, ia malah sama sekali tidak pulang—"

"Hari itu, rasanya seram sekali. Memang banyak sekali mahasiswa berkumpul di lapangan depan PusAd, begitu pula banyak polisi berjaga-jaga. Aku sebenarnya agak heran, karena banyak mahasiswa yang sepertinya bukan anak Hogwarts. Jaket almamaternya berbeda."

"Dan itu diiyakan oleh Sirius. Mereka memang mengundang kelompok gabungan dari universitas-universitas lain. Aku curiga, pemicu kerusuhan justru datangnya dari mahasiswa-mahasiswa universitas lain itu. Kita tak pernah tahu, mereka mahasiswa dari universitas mana, kan? Bagai mana kalau susupan, dari entah kelompok radikal mana—"

"Aku tak pernah menyangka, bahwa itu adalah hari terakhir bertemu dengan Sirius. Kami menyuruhnya agar berhati-hati, tapi sepertinya tak didengarkan. Ia langsung bergabung dengan barisan terdepan—"

Lagi-lagi James menghela napas.

"Suasana semakin mencekam, setelah banyak wakil-wakil mahasiswa berpidato. Makin siang, nadanya semakin keras. Sepertinya sudah mulai menjurus penghinaan. Yang aku tahu, polisi diganti tentara karena suasana semakin panas."

James memejamkan mata, seolah tak mau melihat apa yangterjadi.

"Puncak kejadiannya pada malam hari. Entah siapa yang memulai, tapi setelah rally pidato-pidato yang semakin memanas, mulai ada lemparan-lemparan batu, dan—lemparan-lemparan bom molotov—"

"Rasanya ini berjalan begitu cepat. Lemparan-lemparan batu, lemparan-lemparan bom molotov, ledakan-ledakan, api di mana-mana, dan rusuh. Tentara menggunakan bom air mata untuk menghentikannya, tapi justru yang terjadi adalah kepanikan. Tembakan di mana-mana. Yang kupikirkan saat itu hanyalah menyelamatkan Sirius, jadi aku berlari ke arah kerumunan yang kupercaya tadinya di situ ada Sirius, tapi kami tak bisa menembus. Barisan tentara, tembakan-tembakan, gas air mata—oh, aku tak percaya ini di Hogwarts. Bahkan, aku tak percaya kami ada di Skotlandia. Serasa ada di—" James berhenti sejenak.

"—seperti ada di kancah peperangan, di Irlandia mungkin, atau di Bosnia—" James menarik napas lagi, "Peter mengikuti aku, mencari Sirius, tapi dia kemudian terluka. Lemparan batu nyasar. Dan berikutnya, aku malah terkena serempetan peluru—" James memperlihatkan bekas luka di kakinya, "Entah bagaimana kejadian yang sesungguhnya, sepertinya ada beberapa orang yang menarik kami kembali, menjauh, dan membawa kami ke Infirmary ini. Sudah banyak yang dibawa ke mari, berdarah-darah—"

"Menurut informasi simpangsiur, sepertinya, seharusnya tentara hanya menggunakan peluru karet dalam insiden ini, tetapi ternyata mereka menggunakan peluru tajam sesungguhnya. Entah berapa orang yang di bawa ke mari, ada yang terkena peluru, ada yang terkena lemparan baru, tak terhitung kalau hanya iritasi gas air mata—"

James lagi-lagi menghela napas, "—pada tiap orang yang melewatiku, aku selalu berteriak, minta dicarikan Sirius, sampai Lily berhasil menemukanku dan Peter. Dan kami juga baru menyadari kalau sinyal ponsel diblokir saat itu—"

Remus dan Severus terdiam. Melihat sisa-sisa puing tadi saat mereka memasuki kompleks Hogwarts menuju Infirmary, mungkin saja mereka bisa membayangkan, seperti apa kejadian malam itu.

Keheningan dipecahkan oleh seorang perawat, datang dengan membawa setumpukan kertas.

"Mr. Potter, Mr. Pettigrew, anda sudah boleh keluar, silakan tanda tangan dulu dokumen-dokumennya—"

James mencoretkan tanda tangan, kemudian disusul Peter, lalu mereka turun dari ranjang, berdiri.

"Kita ke mana sekarang?" tanya Peter pelan. Akhirnya bersuara juga.

"Kantin buka, Lil?"

Lily mengangguk.

"Ke kantin saja dulu. Bukan lapar sih, tapi aku rindu makanan betulan, bukan makanan rumahsakit—"

Semuanya tertawa.

Berjalan menuju kantin, Regulus mengirim SMS pada orangtuanya, bahwa ia ikut bersama teman-teman kakaknya ke kantin.

"Sebenarnya, kalau di rumah, Sirius sama seperti yang kita tahu nggak ya?" gumam Lily, mengaduk-aduk minumannya.

Regulus menggeleng. "Kami jarang bertemu. Dia lebih sering berada di luar—"

Tak sengaja Remus bereaksi, "Menurut ceritanya, dia tak betah dengan suasana rumah—"

Regulus menghela napas, meletakkan garpunya. "Sebetulnya lingkaran setan sih. Kami hanya berempat, dengan jadwal kerja yang penuh. Dengan demikian, kami tak banyak bisa bertemu—"

Ia memain-mainkan garpunya. "Sirius itu sebetulnya penuh perhatian pada kami semua. Ia ingin keluarga kami seperti keluarga pada umumnya. Yang pergi pagi-pagi ke kantor dan ke sekolah, lalu sore-sore sudah berkumpul lagi. Membicarakan kejadian sehari-hari. Saling menertawakan, saling membantu kalau ada kesulitan, sedikit bertengkar tapi kemudian berbaikan lagi. Keluarga kami dulu pernah seperti itu, dan aku masih kecil, tak merasakannya."

"Tapi kemudian pekerjaan Dad semakin banyak. Dia bahkan hampir selalu ke luar negeri, paling sedikit ke luar kota. Melihat keadaan seperti itu, Mum bukannya berhenti kerja, tapi malah porsi kerjanya juga semakin banyak. Aku lihat, Sirius berharap Mum berhenti kerja, dan ada di rumah saat ia pulang sekolah—"

"Dan kau—?"

Regulus menelan ludah. "Aku anak paling kecil, biasanya juga tidak dianggap—" sahutnya tertawa garing.

Menghela napas, Remus menyangkal, "—kalian kan bisa berhubungan via telepon, via internet—"

"Denganku, ya," sahut Regulus pelan. "Aku tak tahu dengan Dad atau Mum, tapi aku usahakan memberi tahu Sirius tentang semua kabar atau kejadian di rumah, kabar tentang Dad atau Mum. Sebaliknya, Sirius juga sering memberi kabar tentang kegiatannya padaku. Tapi, tidak tentang demo ini—"

Mereka makan dengan diam pada menit-menit berikutnya. Beberapa kali terdengar helaan napas panjang, tandanya tak ada satupun yang tak sedang memikirkan Sirius.

Bunyi ponsel Regulus memecah kesunyian. Regulus membuka ponselnya dan membaca SMS-nya. Memencet-mencet, dan ia mengangkat kepala.

"Mum dan Dad sudah selesai di Rektorat. Aku boleh minta nomer ponsel?"

Mengangguk, semuanya bergantian bertukar nomer ponsel.

"Kalau ada kabar—" sahut Regulus penuh harap.

"Jangan khawatir," sahut James, "—kami akan beritahu—"

Regulus mengangguk. Berjabat tangan dengan semua, terakhir dengan Remus. Mendekatkan kepala pada Remus, ia berbisik, "Kakakku bilang, ia sayang sekali padamu—" dan melangkah keluar dari kantin.

Remus tak tahu harus bilang apa.

-o0o-

Remus hanya punya waktu dua minggu di Skotlandia, sebelum perkuliahan di Florence mulai lagi. Untung saja tak ada nilai yang harus diulang, sehingga ia bisa memaksimalkan dua minggu itu di Hogwarts.

Hogwarts memang melakukan reformasi menyeluruh setelah demo berdarah itu, tetapi angka korban tewas dan korban hilang, tak berubah.

Kalaupun data korban hilang berganti menjadi data korban tewas, setidaknya ada kepastian. Tetapi ini tidak. Entah menghilang ke mana mereka semuanya. Apakah memang Skotlandia sudah berubah menjadi seperti negara-negara yang akrab dengan peperangan? Di mana rakyat yang hilang sudah biasa?

Remus menghela napas.

Besok ia sudah harus kembali ke Italia. Dan belum ada kabar lebih lanjut.

Remus menghela napas lagi.

Apa lagi yang harus ia lakukan? Ia berusaha mencari tahu siapa saja rekan-rekan Sirius dalam demo kemarin, dan hasilnya ada 3 kategori: yang meninggal, yang hilang, dan yang hanya ikut-ikutan—dan inilah kebanyakan kategori yang masih hidup.

Ia mencari di Red Cross, dan jawabannya kurang lebih sama dengan angka-angka yang dipaparkan dalam berita di internet maupun di media lain.

Ia berusaha mencari ke mana-mana, tapi hasilnya tak berbeda.

Remus berdiri, mendekati ranselnya. Sebenarnya sudah beres, tetapi ia bereskan lagi, seolah-olah ada sesuatu yang tertinggal.

Ia melihat berkeliling.

James mengajak Remus dan Severus menginap di apartemen yang mereka sewa. Severus hanya tinggal beberapa hari, dan setelah yakin bahwa Lily tak apa-apa, ia kembali ke Munich.

Tinggallah Remus di kamar yang dulu dipakai Sirius.

Mengawasi semua barang yang dulu dipakai Sirius, hatinya tercekat.

Apakah memang sudah terlambat?

Remus mendekati meja belajar. Duduk tepat menghadap laptop. Rasa penasaran mendorongnya memencet tombol 'on'.

Ia tak tahu akan mencari apa, jadi ia hanya berkelana membuka-buka folder.

Ada folder foto-foto.

Hatinya miris.

Ia baru sadar kalau ia dan Sirius tak punya foto berdua.

Ditelusurinya berpuluh gambar yang ada, kebanyakan foto beramai-ramai. Ada yangsatu angkatan. Ada—ia hapal foto yang ini—yang sekelompok saat mereka selesai OPSPEK, dengan wajah berlumuran lumpur, tapi semua tersenyum ceria. Ada beberapa foto angkatan Teknik Sipil yang tidak ia kenal, hanya samar-samar ia bisa mengenali wajah Sirius dan James di sana.

Tak ada foto mereka berdua.

Dalam foto ramai-ramaipun, letak mereka selalu berjauhan, biasanya Sirius berdiri di dekat James. Saat mereka nonton Lea Cumming dulu, Sirius melekat pada Mary, sementara Remus ada di pojok yang berbeda.

Remus menghela napas.

Tak ada foto mereka berdua.

Apakah memang sudah terlambat?

-o0o-

Kembali ke Florence dengan hati yang tertinggal di Hogwarts, pikir Remus saat ia memasuki apartemennya. Dua minggu tak menghasilkan apa-apa selain tambahan nomer telepon dan alamat email. Oya, selain itu, juga janji-janji mereka akan segera menghubungi jika ada perkembangan terbaru.

Tapi waktu terus berlalu.

Hari-hari awal, Remus akan segera mengecek inbox email begitu kembali dari kampus. Setiap saat ponselnya selalu siaga, jangan-jangan ada SMS membawa kabar baru.

Tapi tak ada yang berubah.

Yang sirna tetaplah tiada.

Remus mengais-ngais semua arsip percakapannya dengan Sirius, mengumpulkan semua emailnya, mendengarkan dan membacanya ulang, seolah Sirius akan muncul begitu saja dari laptop, dan mereka bisa bersama kembali.

Yang sirna tetaplah tiada.

-o0o-

10 Juni 2026, Barcelona

Seorang anak laki-laki melompat-lompat di sepanjang jalan dengan batuan unik menuju mahakarya Antoni Gaudi, La Sagrada Familia. Hari ini ramai sangat, karena hari ini peresmiannya.

"Harry, tunggu dulu!" seru seorang wanita berambut merah, berusaha mengejar bocah cilik itu, "—nanti kau hilang di tengah keramaian—"

"Biar saja," sahut seorang pria di sebelahnya, berambut hitam berhidung bengkok, tenang. "Asal jangan lepas mengawasinya—"

Belum selesai ia bicara, ia dan istrinya tiba-tiba tertawa kecil. Bocah yang sedang melompat-lompat itu menubruk seorang laki-laki yang berjalan berlawanan arah dengan mereka. Sepertinya laki-laki itu disengaja—

"Paman Remus! Paman Remus! Dad, ini ada Paman Remus!"

Ketiga orang dewasa itu bertemu, saling bersalaman hangat.

"Masih satu saja, Lils? Tidak ada niat tambah? Yang cewek?"

Lily nyengir. "Satu saja sudah cukup repot—" katanya. "Ke mana yang lain?"

Remus menggeleng. "Belum melihat James ataupun Peter—"

Kalimatnya belum selesai, ketika dari ponselnya mengalun nada panggil. Bergegas ia melihat siapa yang menelepon.

"James!" serunya. Membuka ponselnya dan mulai berbicara. Mata Remus mencari-cari, mengikuti petunjuk yang ia dengar. Akhirnya—

"Woooooi!"

James dan Peter berjalan—setengah berlari setelah melihat Remus, Severus dan Lily.

Mereka berlima berjabatan tangan, berpelukan.

"Aih, inikah Harry? Sudah sebegini besarnya?"

Gelak tawa memenuhi pelataran, yang memang sudah ramai. Semakin ramai, karena sudah semakin sore. Rencananya, begitu malam menyelubungi Barcelona, kembang api akan dinyalakan.

Jadi mereka berkeliling kompleks gereja yang sangat indah ini. Remus menjadi pemandunya, memperlihatkan di sebelah mana saja letak keindahan—ah, semuanya juga indah.

"Tapi, belum semuanya kau perlihatkan—"

"Belum. Kita lihat kembang api dulu—"

Dan mereka mencari tempat strategis untuk menyaksikan ratusan cahaya membelah kegelapan malam.

Severus menepuk pelan bahu James. James menoleh. Severus memberi isyarat, lihatlah Remus.

Remus nampak sangat khidmat meniti mengawasi setiap pecahan cahaya. James mendekati.

"Kalau saja ia ada di sini ya, Remus—" ucap James hati-hati.

Remus mengangguk pelan. Matanya tak lepas dari setiap kilauan cahaya.

"Kalau saja kami tidak terlambat saling mengetahui—" sahutnya pelan. Menghela napas. "Kenangan pertama dan terakhirku, hanya di bandara Glasgow itu saja—" kembali menarik napas.

James menoleh.

"Kami bahkan tidak punya foto bersama, jangankan video. Kenanganku padanya hanya tulisan-tulisannya di email dan SMS—"

Hening sejenak sebelum James menukas, "—itu akan bertahan lebih lama daripada hanya sepotong foto, Remmy—"

Perlahan Remus mengangguk. Sekilas seberkas kembang api meledak di udara, dan bayangannya menebar di wajah Remus.

Diterangi kembang api, baru kali ini James melihat raut wajah yang keras dari sahabatnya ini.

Yang sirna tetaplah tiada.

Hanya kenangan yang tetap kuat dalam sanubari. Walau hanya kenangan sesaat. Walau hanya kenangan yang terlambat.

FIN

AN:

Gyah, kenapa nggak bernapsu menyelesaikan bagian terakhir ini! Jadi seperti diburu-buru begini! Dan fokusnya nggak jelas pula!

Mungkin ... *lirik [at]elitralala dan [at]zenatzenut* karena sudah terpikat pada SSRL itu? #plaks #bletags