Air Laut Di Hatimu

© Tite Kubo

By sava kaladze

...

...

...

Chapter 6

.

.


Bau yang tercium dari kamar Rumah Sakit selalu sama, tak peduli Rumah Sakit tersebut adalah Rumah Sakit Umum, Rumah Sakit Swasta, atau Rumah Sakit dengan label internasional sekali pun. Bau obat-obatan yang khas pasti lah samar-samar akan tercium, meski ada pewangi ruangan otomatis yang disetting khusus akan menyemprotkan cairannya setiap 10 menit sekali. Akan tetapi bukan aroma obat-obatan atau pewangi ruangan yang sangat kentara tercium di hidung mungil Rukia.

Yang paling mengganggunya adalah aroma penderitaan dan rasa sakit, yang terpancar dari tiap ruangan di dalam Rumah Sakit itu.

Rukia, duduk di salah satu kursi tunggu di depan Unit Gawat Darurat. Ia melipat kedua tangannya di depan dadanya, berusaha menghangatkan dirinya sendiri. Piyama yang ia kenakan terlalu tipis dan jaket yang ia kenakan juga tidak membantu sama sekali. Udara dingin pagi hari, ditambah AC yang disetel pada derajat 18 sudah cukup membuat tubuh mungilnya tersiksa.

Wanita itu meringis sesaat. Maagnya masih berulah. Tentu saja, ia yang nekad minum kopi meski ia tahu itu akan membuat sakit maagnya kambuh. Obat maag yang biasa ia minum kali ini tidak membuatnya mendingan. Mungkin itu pertanda agar ia segera menemui dokter langganannya. Ia pasti akan habis diomeli dokter Hanatarou karena sudah bersikap sembrono dalam menjaga penyakit kambuhannya yang satu ini. Hanya saja, ia butuh sekali minum kopi semalam untuk menjaga agar matanya tetap terbuka lebar. Dan benar saja, ia memang harus begadang demi putri kesayangan Shuuhei.

Sudah lebih dari dua jam Shuuhei dan Yachiru berada di dalam ruangan UGD. Sesungguhnya Shuuhei memintanya untuk ikut menemaninya ke dalam saat dokter memeriksa kondisi Yachiru, hanya saja Rukia kontan menolak. Sungguh ia ingin menemani Yachiru di dalam, atau paling tidak sekedar menguatkan perasaan Shuuhei agar tidak terlalu merasa panik di dalam ruangan sana, akan tetapi Rukia masih punya akal sehat. Ia bukanlah ibu dari gadis mungil itu. Ia tidak merasa berhak melakukan hal itu, karena jika Yachiru melihat kehadirannya di sisi ayahnya, ia mungkin akan bertanya di mana ibunya.

Rukia mendesah pelan. Ya, di mana Rangiku saat ini? Sekian lama ia mengenal Shuuhei, ia tahu Rangiku bukan tipe wanita yang tidak pulang ke rumah tanpa ada sepatah kabar pun. Memang ia wanita yang super sibuk dan sangat mementingkan karir, hanya saja itu tidak sampai membuatnya menjadi melupakan tugas utamanya sebagai ibu Yachiru.

Rukia melirik jam yang tergantung di dinding dan menyadari bahwa waktu menunjukkan pukul 6. Ia tersentak dan menyadari bahwa ia harus berangkat kerja. Wanita berambut gelap itu sudah akan bangkit dari kursi dan ingin masuk ke dalam ruangan UGD, ketika sesosok pria tinggi dengan penampilan lusuh keluar dari ruang periksa UGD.

Shuuhei, dengan rambut yang acak-acakan, mendaratkan tubuhnya di kursi ruang tunggu tepat di sebelah Rukia. Wajahnya terlihat kusut dan matanya diselubungi rasa kantuk. Ia menutup matanya sebentar, berharap kantuknya akan hilang dengan menutup mata barang sedetik dua detik.

"Bagaimana keadaan Yachiru? Apa kata dokter?"

Shuuhei kembali membuka matanya dan mendapati Rukia menatapnya dengan rasa penasaran. Pria itu tersenyum tipis, lalu dengan sadar menyentuh anak rambut yang menjuntai di depan mata kanan Rukia. Wajah wanita itu memerah atas apa yang dilakukan Shuuhei, apalagi ketika jemari Shuuhei menyentuh pipinya dengan perlahan.

"Shuuhei! Apa kata dokter?" seru Rukia, seraya berdiri dari duduknya dan sengaja melempar pandangannya ke arah pintu ruangan UGD. Ia merasa jengah.

Pria itu tersenyum geli melihat reaksi Rukia, akan tetapi ia sengaja tidak mengatakan kelakar yang sesungguhnya menggantung di ujung bibirnya untuk ia katakan. Ia memilih untuk menjawab pertanyaan Rukia tersebut.

"Yachiru agak rewel tadi dan terus-menerus menangis. Panasnya sangat tinggi dan ada beberapa gejala penyakit demam typhus pada dirinya. Dokter tidak berani langsung memutuskan apa penyakitnya, jadi kita harus menunggu hasil tes darah sebelum yakin bahwa ia memang terkena typhus."

Rukia mendesah. " Ya Tuhan. Kasihan sekali Yachiru. Jadi…bagaimana ia sekarang?"

"Tertidur. Ia sudah mulai diinfus dan sepertinya panasnya mulai reda. Untung sekali kita membawanya tepat waktu, itu kata dokter. Jika tidak…"

"Jangan katakan jika tidak, tidak enak mendengarnya," tukas Rukia.

Shuuhei mengangguk," Itu semua berkatmu, Rukia. Jika tidak ada kau, aku tak tahu harus bagaimana lagi. Kau penolongku dan Yachiru."

"Never mind. You're my friend after all."

"Really? Just a friend for you?" tanya Shuuhei dengan nada menggoda.

Rukia mengerling dengan tatapan yang sengaja dibuat kesal, meski sesungguhnya ia tak merasa seperti itu. Ia lalu membuang wajahnya ke arah lain dan mencibirkan bibirnya.

"Is that a question, Hisagi Shuuhei?"

"Probably, but you don't have to answer it at all. I know the answer already."

"Really?"

Shuuhei mengangguk dengan cepat. Ia menatap lekat-lekat wanita yang berdiri tak jauh di hadapannya itu dengan matanya yang hitam. Ia lalu berkata dengan lirih seraya menundukkan kepalanya dalam-dalam

"Aku berhutang padamu. Begitu aku punya uang, mungkin setelah gajian, aku akan segera membayar uang muka masuk Rumah Sakit ini, oke?"

Rukia langsung mendekati Shuuhei, lalu meletakkan tangan kanannya di bahu pria yang tertunduk di depannya. Shuuhei mengangkat kepalanya dan pandangannya langsung bersirobok dengan mata keunguan milik wanita yang ia sayangi itu.

"Ya Tuhan, Shuuhei. Perlu berapa kali lagi kuucapkan padamu. Jangan pikirkan masalah uang sekarang, atau nanti. Aku menolongmu ikhlas. Sekarang yang terpenting adalah kesembuhan Yachiru," ujarnya dengan suaranya yang serak.

Shuuhei meraih pergelangan tangan Rukia, lalu membawa jemari kurus wanita itu untuk menyusuri wajahnya yang kusam. Ia membimbing jemari Rukia untuk menyentuh pipinya yang sedikit kasar akibat belum bercukur sejak dua hari yang lalu. Secuil senyuman timbul di bibir mungil Rukia.

"I love you," bisik Shuuhei. " I always do."

Rukia menggigit bibirnya, mencoba menahan kalimat yang sama keluar dari bibirnya sendiri. Tidak mudah karena suasana yang terbangun antara mereka berdua sangat mendukung. Ia sendiri. Shuuhei sendiri. Satu-satunya hal yang mengingatkan bahwa mereka tidak bisa meresapi perasaan mereka satu sama lain adalah kenyataan bahwa gadis kecil yang sedang terbaring sakit di dalam ruangan UGD adalah anak Shuuhei dengan wanita lain.

"I know. I know," lirih sekali Rukia mengatakannya.

Keduanya terus bertatapan. Kedua pasang mata yang saling memahami itu seakan berusaha saling membaca pikiran masing-masing—berusaha menyelami apakah perasaan yang mereka bagi sama-sama ini adalah suatu hal yang salah di mata dunia, ataukah hal yang benar karena perasaan cinta yang sebenarnya mereka rasakan adalah perasaan suci yang diberikan Yang Maha Kuasa kepada makhluk ciptaan-Nya.

Cinta tidak pernah salah. Yang salah adalah nasib yang menceburkan mereka berdua ke dalam situasi yang tidak mengenakkan seperti situasi mereka berdua saat ini.

Jemari Rukia kembali mengusap pipi Shuuhei, tak peduli bahwa kulit wajah pria itu terasa kasar menggelitik jemarinya. Ia tak peduli bahwa mereka berdua berada di sebuah fasilitas umum dan meskipun suasana saat ini sangat sepi, sewaktu-waktu bisa ada orang yang masuk ke ruang tunggu itu.

Shuuhei mengedipkan matanya berkali-kali. Ia tersenyum pias, merasakan kelembutan jemari kurus Rukia menyapu pipinya—seakan sedang memberikan rasa dingin yang ia rasakan ke kulit kasar pria sepertinya. Dada Shuuhei berdegup kencang. Ada dorongan kuat di dalam hatinya untuk menyentuh bibir Rukia yang terbuka sedikit. Ia hampir bisa merasakan lembut dan kenyalnya bibir mungil wanita yang sudah sejak lama membuatnya jatuh cinta itu hanya dengan memandanginya saja. Ya, ia hampir gila ingin mencium bibir Rukia. Ia hampir gila karena berusaha keras mengekang hasratnya yang satu ini, bahkan sejak mereka kuliah dulu. Akan tetapi, kegilaannya malah membuatnya jatuh cinta pada Rangiku dan menikahinya. Sesuatu yang ia sesali setelahnya.

"Shuuhei! Di mana Yachiru?"

Keduanya tersentak. Rukia langsung menjauhkan dirinya dari pria yang sedang menoleh ke arah pintu masuk UGD—ke arah seorang wanita cantik berambut kusut yang memandangi mereka dengan wajah penuh dengan kecemasan.

Rangiku setengah berlari mendekati suaminya, yang terlihat pucat dengan kehadiran mendadak istrinya. Wanita bertubuh semampai itu langsung mengguncang lengan suaminya dengan kedua tangannya.

"Apa yang terjadi? Bagaimana mungkin Yachiru bisa dirawat di Rumah Sakit? Kenapa, Shuuhei?" ia langsung memberondong suaminya dengan pertanyaan.

Shuuhei melirik wanita mungil di belakang Rangiku untuk sepersekian detik, mendapati Rukia sudah duduk di kursi tunggu dengan wajah yang tenang, bersyukur bahwa tidak ada sesuatu yang lebih intim terjadi di antara mereka saat Rangiku tiba-tiba datang, lalu berusaha memusatkan perhatian pada istrinya yang khawatir.

"Panasnya tinggi, ia sampai mengigau. Aku sudah coba beri obat penurun panas, tapi tidak ada efeknya."

"Ya Tuhan! Apa kondisi Yachiru parah?"

"Kira-kira begitu. Itu sebabnya aku minta tolong Rukia untuk membawa Yachiru kemari tengah malam tadi. Kau belum pulang dan aku tak mungkin membawa Yachiru dengan motor, bukan?"

Begitu mendengar nama Rukia disebut, Rangiku seakan tersadar bahwa Shuuhei tidak sendirian di ruang tunggu itu. Ia langsung menoleh dan mendapati Rukia memandanginya dengan wajah kelelahan. Ia langsung mendekati Rukia dan menyalaminya.

"Oh Rukia, terima kasih! Untung ada kau, jika tidak aku tak yakin Shuuhei akan berinisiatif membawa Yachiru ke Rumah Sakit dengan segera. Terima kasih karena sudah menolong anak kami," katanya dengan suara penuh kelegaan yang tak dibuat-buat sama sekali.

Rukia tersenyum tipis dan mengangguk.

"Yang penting kondisi Yachiru sudah stabil," katanya perlahan.

"Benarkah begitu? Apa dokter sudah memeriksa Yachiru?"

"Aku tidak tahu, aku belum masuk ke dalam, tapi Shuuhei menemani Yachiru sejak awal," jawab Rukia seraya mengisyaratkan Rangiku untuk bertanya langsung pada Shuuhei.

Rangiku kembali mendekati Shuuhei dan menatapnya seakan menuntut penjelasan yang detil.

"Kondisinya sudah stabil, sudah diinfus dan panasnya mulai turun."

"Apa kata dokter?"

"Dokter curiga typhus, tapi masih menunggu hasil cek darah," jawab Shuuhei. Ia tiba-tiba mengerutkan alisnya dan menatap Rangiku penuh selidik. " Kenapa kau tidak pulang semalam? Bukankah pesta kantormu itu tidak sampai malam-malam harusnya? Dan…ponselmu mati, aku tak bisa menelponmu sama sekali. Aku terpaksa hanya meninggalkan sms. Kemana saja kau semalam?"

Tenggorokan Rangiku tercekat mendadak. Mata birunya mengerjap berkali-kali dan bibir merahnya membuka seakan ingin mengatakan sesuatu, namun tak ada suara yang keluar dari dalam mulutnya. Wajahnya yang sesungguhnya sudah kusut karena entah karena kelelahan atau bangun kepagian, terlihat memucat. Ia tak siap menjawab pertanyaan yang seharusnya dengan enteng dapat ia jawab.

"A-aku…" matanya yang biru membulat, beredar ke lalus di langit-langit ruang tunggu Rumah Sakit, seakan dapat menemukan jawabannya di atas sana, " ...aku mabuk dan sekretaris kantor membawaku pulang ke rumahnya, karena aku tak sanggup menyetir pulang sendirian."

Bayangan pria jangkung berambut keperakan yang terurai halus jatuh dari kepalanya yang bulat sempurna menggelitik angannya. Suara penuh wibawa yang berbisik halus di telinganya, membujuk dan merayunya, membuat pertahanannya runtuh, kembali terdengar mendayu-dayu.

Dalam hati, Rangiku menjerit. Salahkan minuman keras itu! pekiknya dalam hati. Aku tidak merencanakan ini semua, Goddamit!

"Kau mabuk? Ya Tuhan, Rangiku...kau tidak pernah mabuk sebelumnya! Apa-apaan ini?" suara Shuuhei terdengar meninggi. " Kemana pikiranmu?"

"Aku memang tak pernah mabuk sebelumnya, Shuuhei, karena aku selalu minum sedikit. Akan tetapi semalam..." Rangiku menghentikan perkataannya sesaat.

Seorang pria tampan, kaya raya dan dewasa telah memperangkapku ke dalam pesonanya yang sungguh memabukkan.

"... terlalu banyak rekanan yang mengajakku bersulang untuk kesopanan. Aku sulit menolak mereka, kau tahu posisiku bukan? Aku tak sadar sampai akhirnya aku mabuk," lanjut wanita cantik itu.

"Tapi kau seharusnya tahu kalau anakmu sakit!"

"Ia belum sakit saat aku meninggalkannya. Yachiru tampak baik-baik saja, hanya memang agak hangat dan aku sudah meminumkannya obat penurun panas. Ia justru bertambah parah setelah aku meninggalkannya denganmu. Atau jangan-jangan...kau membiarkannya makan atau minum sesuatu yang tidak seharusnya ia minum?" Rangiku menatap suaminya dengan tatapan menyelidik.

"Apa? Kau menuduhku membuatnya sakit?" Shuuhei terdengar dingin.

"Tidak, tapi bukan berarti kau tidak menyebabkannya sakit, bukan?"

"Ya Tuhan! Aku tidak memberinya makan dan minum yang aneh-aneh,Rangiku!"

"Lalu kenapa ia sakit saat ia bersamamu?"

"Jadi maksudmu kalau Yachiru bersamamu, ia tidak akan sakit?"

"Mungkin saja."

"Kalau begitu, jangan pernah lagi mabuk-mabukan hanya karena urusan bisnis dan membuatmu mengabaikan anakmu di rumah!"

Selesai mengatakannya, Shuuhei bergegas meninggalkan dua orang wanita yang berada di tempat itu dengan perasaan yang kurang nyaman, masuk ke dalam ruangan tempat Yachiru berada.

Rangiku menghembuskan napas keras-keras dari dalam mulutnya yang penuh dan indah. Wajahnya yang sempat pucat, kembali merona seperti biasa. Kalau saja Rukia tidak tahu bahwa anak perempuan yang dirawat di dalam ruangan UGD adalah anak dari wanita pirang itu, ia mungkin akan menyangka Rangiku terlihat lega telah keluar dari suatu permasalahan yang pelik untuknya.

"Laki-laki...selalu saja begitu. Egois!" desis Rangiku seraya merogoh-rogoh tas tangannya seakan mencari sesuatu yang terselip di balik tumpukan barang-barangnya. Tak butuh waktu lama untuk mengetahui apa yang ia cari saat ia akhirnya mengeluarkan sekotak rokok merek terkenal dari dalam tasnya.

Wanita itu sudah akan menyalakan pemantik apinya untuk menyalakan rokok yang terselip di bibirnya, saat Rukia mencolek lengannya, membuatnya menoleh ke arah wanita bertubuh kecil itu dan mengikuti ekor mata ungunya yang mengarah ke satu tulisan di dinding.

"It's non-smoking area," ujar Rukia pendek.

Rangiku mendengus, menggumamkan beberapa kata-kata pendek yang bisa diartikan umpatan, lalu serta-merta melempar rokoknya ke dalam tong sampah di sebelah kursi.

"Apa ada ruangan merokok di Rumah Sakit ini?" tanya Rangiku penuh harap.

"Bukankah hampir semua Rumah Sakit area yang dilarang untuk merokok?" Rukia balik bertanya—mematahkan harapan wanita yang duduk hanya berselang satu kursi dengannya.

Tentu saja! Ini kan Rumah Sakit, Rangiku!

"Ya sudahlah," Rangiku melirik Rukia sekilas. " Intinya adalah ia itu egois."

"Siapa?"

"Shuuhei."

"Ah, tidak begitu."

"Ia memang egois."

"Aku mengenalnya cukup lama dan tidak bisa kukatakan bahwa ia adalah orang yang egois," kata Rukia perlahan.

Rangiku menyeringai. " Hampir saja aku lupa bahwa kau adalah sahabatnya sejak kuliah. Mungkin dulu ia tidak egois saat ia sering bergaul denganmu di kampus dulu, tapi sekarang...kurasa ia cukup pantas dikatakan egois."

"Ia hanya stress dengan keadaan Yachiru. Jangan terlalu menekannya, Rangiku."

"Aku menekannya? Tidak salah tuh?" Rangiku mengerutkan dahinya.

"Semua yang ia katakan tadi...mungkin karena ia terlalu kalut semalam."

"Oke, aku akui tidak pulang semalam itu kesalahanku, tapi jelas-jelas ia yang berada bersama Yachiru saat ia sakit. Bisa saja kan ia memberi makanan atau minuman dingin yang membuatnya sakit. Shuuhei terlalu memanjakan Yachiru, Rukia...terkadang ia terlalu mengikuti kemauan anak itu."

"Typhus karena virus, Rangiku."

"Bisa saja makanan atau minuman yang Shuuhei berikan kotor dan ada virusnya."

"Mungkin kau benar, hanya saja tidak berarti kejadian ini membuat penyebab kalian bertengkar, bukan?" suara Rukia terdengar lirih.

Rangiku menyeringai, mata birunya berkedip berkali-kali.

"Jika kami bertengkar, itu pasti karena perbedaan pendapat antara kami berdua."

"Begitu?"

"Berpacaran dan menikah adalah dua hal yang berbeda, Rukia."

"Tentu saja." Ia juga wanita menikah, toh.

"Coba kita analisis sebentar," Rangiku tersenyum. " Berapa lama kau dan suamimu...siapa nama suamimu yang selalu serius itu?"

Rukia tersenyum geli. Selalu serius, begitukah orang luar melihat sosok Uryuu?

"Uryuu."

"Ah iya, nama belakangmu sekarang Ishida, berarti nama suamimu Ishida Uryuu. Berapa lama kalian berpacaran sebelum menikah?" tanya Rangiku lagi.

Berpacaran hampir tabu dalam kamus cinta Rukia, karena selama bertahun-tahun ia selalu menyimpan cinta terpendam pada sahabatnya, Shuuhei.

"Tidak lama, hanya tiga bulan sebelum menikah," jawab Rukia lirih.

Rangiku terkesiap, tiga jarinya diacungkan ke hadapan Rukia untuk mempertegas angka yang baru saja wanita mungil itu sebutkan.

"Tiga...bulan? Hanya tiga bulan dan kalian memutuskan untuk menikah? Ckckckck... aku bahkan belum bisa mengingat apa warna mata pacarku dalam waktu tiga bulan!"

"Karena pacarmu terlalu banyak?" sindir Rukia.

Rangiku langsung terkikik geli, tapi kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Anak pintar! Tak heran kau jadi sahabat Shuuhei," wajah Rangiku terlihat cerah. " Sayang, aku tak terlalu dekat denganmu saat kuliah dulu. Jika aku mengenalmu, kita mungkin akan jadi teman baik. Aku suka wanita cerdas."

Rukia tertawa kecil. " Aku anggap itu pujian."

"Oke, kembali ke pembicaraan wal kita tadi. Aku sudah katakan bahwa berpacaran dan menikah adalah dua hal yang berbeda. Saat masih dalam tahap pacaran, kau akan cenderung menunjukkan sisi baikmu pada pasangan. Dirimu yang baik, yang sabar, yang penuh cinta, tak peduli bahwa saat itu moodmu sedang kurang baik dan dompetku kosong. Love is in the air…" Rangiku lagi-lagi menyeringai. " Namun semua kepura-puraan itu mulai terbuka lebar saat kau menikah. Kau tak bisa lagi berpura-pura selalu bahagia, saat sebenarnya kau memang sedang tidak bahagia. Tidak bisa lagi berpura-pura tenang, saat kau tahu uang belanjamu sudah habis dan kau tak tahu lagi harus mencari kemana lagi uang untuk digunakan untuk keluargamu. Betul begitu?"

"Hmmm…"

"Saat itulah mulai tercipta konflik di antara dirimu dan pasangan. Kau mulai tidak bisa terima bahwa ia juga punya kekurangan, juga bisa berbuat kesalahan. Kau bahkan mulai mempertanyakan, apakah kau telah melakukan keputusan yang benar saat kau memutuskan untuk menikahinya."

Apakah aku telah membuat keputusan yang tepat saat menerima pinangan Uryuu, meski saat itu aku tahu aku tidak mencintainya?

"Kalian mulai bertengkar, mulai saling menyalahkan, mulai saling menutup mata dari kebaikan diri pasangan dan bahkan malah membuka mata lebar-lebar akan keburukan pasangan. Kalian bahkan…bisa jadi mulai saling membenci," mata biru Rangiku menerawang ke depan—menerobos jendela Rumah Sakit yang tertutup oleh curtain blind.

Rukia terdiam, tak langsung menanggapi pernyataan Rangiku. Di lubuk hatinya ia membenarkan perkataan wanita itu. Rangiku tidak sedang hanya menganalisis permasalahan diri pribadinya, namun secara tak langsung juga menganalisis permasalahan Rukia juga.

"Saat itulah…orang ketiga muncul," ujar Rangiku lirih.

Deg!

Hati Rukia seperti tertimpa gada. Terasa berat dan sulit baginya untuk bernapas dengan ringan. Ia seperti tertohok oleh perkataan Rangiku. Tak ayal lagi, perkataan itu seakan Rangiku tujukan untuknya.

Apakah Rangiku tahu bahwa suaminya masih mencintai diriku? Apakah ia tahu bahwa terkadang ia menemuiku secara sembunyi-sembunyi? Rukia membatin.

Mata Rangiku masih mengawang, seakan menatap oasis tersembunyi yang hanya ia sendiri yang bisa menyaksikannya di pelupuk matanya. Senyuman penuh rayu yang disunggingkan oleh seorang pria yang sangat menawan kembali terpatri di matanya, seakan-akan dilekatkan dengan lem super kuat di dalam ingatannya.

"Pembebasan…"

Rukia menoleh ke arah wanita di sampingnya. " Apa kau bilang?"

"Pembebasan."

"Maksudmu?"

"Orang ketiga itu bagaikan pembebasan dari semua masalah yang menghimpitmu. Kebosananmu pada pasangan, kekesalanmu padanya, dan kekecewaanmu padanya; semuanya hilang saat kau menemui orang ketiga dalam hubungan kalian."

Rukia menelan ludahnya dengan susah payah, berusaha membasahi kerongkongannya yang mendadak kering.

"Tapi itu salah, bukan begitu Rangiku?"

"Siapa bilang itu benar, Rukia? Aku hanya bilang, itu pembebasan, bukan pembenaran. Pembebasan dari semua keputusasaanmu."

"Tapi tetap tidak benar."

Tiba-tiba mata Rangiku menatap dalam-dalam ke balik mata keunguan Rukia. Wanita cantik itu mengangguk dengan lemah.

"Meski tidak benar, akan tetapi kau tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengekang keinginanmu untuk menemui orang ketiga itu. Kau terlalu menginginkan kebebasan dari segala kekecewaanmu, sampai-sampai kau mengabaikan rasa bersalah yang menghantuimu," lanjut Rangiku lagi.

"Kita tidak pernah lepas dari rasa bersalah," bisik Rukia, lebih kepada dirinya sendiri.

"Tentu saja. Siapa yang tidak akan merasa bersalah karena telah mengkhianati cinta dari seseorang yang pernah ia cintai? Omong kosong jika kau tidak merasa bersalah," suara Rangiku terdengar bergetar.

Keduanya terdiam untuk beberapa saat, sampai akhirnya suara serak Rukia memecahkan kebuntuan di antara mereka berdua.

"Apa hal itu yang terjadi antara kau dan Shuuhei?"

Rangiku langsung menundukkan kepalanya dalam-dalam, menekuri lantai putih Rumah Sakit yang masih terlihat sangat bersih meski belum lagi disapu dan dipel pagi ini.

"Mungkin ya, mungkin tidak. Terlalu banyak faktor penyebab di antara kami, Rukia."

"Tapi…kalian saling mencintai saat kalian akan menikah dulu," kilah Rukia.

"Ya, tentu saja. Aku primadona kampus, diinginkan oleh banyak pemuda di kampus karena kecantikanku. Shuuhei tampan, olahragawan dan supel. Semuanya sempurna, sangat sempurna. Kami jatuh cinta dan dunia rasanya tak lengkap tanpa satu sama lain. Akan tetapi, apa memang itu yang ia inginkan? Apa itu yang memang aku inginkan? Apa itu yang benar-benar kami inginkan?"

"Kalian tidak akan menikah kalau kalian tidak benar-benar menginginkannya, bukan?"

"Apa saat kau menikahi Ishida-san, kau memang menikahinya karena sudah mengkalkulasi semua aspek dari dirinya?"

Tidak.

"Tidak."

"Ah—berarti kau menikahinya karena kau tergila-gila padanya saat itu, sama seperti aku dan Shuuhei, dan benar-benar jatuh cinta padanya."

Tidak!

"Tidak."

"Bingo! Kau bahkan lebih parah dariku."

"Heh?"

"Kau bahkan tak bisa menetapkan mengapa kau menikahi suamimu."

Untuk pelarian, tentu saja!

"Karena ia melamarku dan aku pikir ia pria yang baik."

"Tapi tetap saja…cukupkah alasan itu untuk menjadi landasan saat pernikahan kalian mulai mengalami cobaan?"

Rukia tak spontan menjawab. Wanita yang usianya menjelang 30 tahun itu tercenung sesaat. Meski ia yakin Rangiku tidak bermaksud apa-apa dengan menanyakan itu, akan tetapi tetap saja ia tak dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan sepele.

Ia tak mau membohongi dirinya sendiri. Kali ini saja.

"Mungkin bisa, mungkin tidak, tergantung apakah niatmu ingin mempertahankan pernikahanmu atau tidak. Apakah kau masih ingin berada di sisinya sebagai istri atau tidak," jawab Rukia parau.

"Bagaimana kalau dalam pernikahan, kau merasa kau yang harus selalu menjadi penentu dalam setiap keputusan, padahal kau adalah istrinya? Kau yang harus bekerja lebih keras, untuk mencukupi kebutuhan keluargamu? Harus selalu berusaha menutupi lubang dalam rumah tangga, dan bahkan mengorbankan waktu berhargamu yang harusnya kau bisa gunakan untuk bermain dengan anakmu?" papar Rangiku dengan suara getir.

Wanita bertubuh jangkung itu merasa ia sedang menelanjangi permasalahan rumah tangganya sendiri saat ini. Entah kenapa ia merasa nyaman menceritakan hal seperti ini pada Rukia—wanita yang ia kenal sebagai sahabat suaminya—wanita yang juga baru saja menyaksikan pertengkaran kecilnya dengan Shuuhei.

Jauh di dalam hatinya, ia merasa Rukia bisa memahami dirinya. Penderitaannya. Rasa bersalahnya.

Entah kenapa.

"Dan itu membuatmu merasa superior di mata suamimu?" tanya Rukia lirih.

"Sedikit banyak."

"Meskipun seharusnya suamimu adalah pemimpin dalam rumah tangga."

"Idealnya kan seperti itu, tapi…apa boleh buat? Hidup berkata lain."

"Mungkin saat ini Shuuhei memang sedang kurang beruntung dengan pekerjaannya. Kau kan tahu ia agak…" Rukia mendehem perlahan, " …pemilih."

"Ia bukan hanya pemilih, Sayangku. Ia juga tak mau pekerjaan yang menurutnya tak akan sanggup ia lakukan, meski sesungguhnya ia belum pernah mencoba. Itu bukan alasan, kan?" mata biru Rangiku terlihat menyala, mungkin karena emosi yang meletup sesaat.

Rukia mengangguk. Ia tahu Shuuhei. Ia tak bisa salahkan Rangiku yang berpikir seperti itu. Jika ia istri Shuuhei, ia mungkin akan berpendapat sama dengan Rangiku.

Rukia terkesiap. Jika ia istri Shuuhei… ya, benar. Jika ia istri Shuuhei, ia mungkin akan berpendapat sama dengan Rangiku, bahwa Shuuhei seharusnya lebih bisa mencoba hal yang baru dalam pekerjaannya, meski itu artinya tantangan. Akan tetapi, untuk masa depan pekerjaan yang lebih cerah, kenapa tidak?

Wanita mungil itu melirik wanita jangkung di sebelahnya dengan ekor matanya. Rangiku adalah wanita yang sangat cantik dan mempesona. Ia cerdas dan tangguh sebagai seorang pekerja. Sebagai seorang promotion manager, ia harus banyak berurusan dengan orang yang mungkin tidak semuanya menyenangkan. Akan tetapi, sepertinya ia bisa lalui itu semua dengan lancar, jika tidak ia tidak akan dapat mencapai posisi itu dengan mudah di sebuah biro advertising yang terkenal seperti perusahaan tempatnya bekerja. Singkat kata, Rangiku adalah wanita yang hebat. Di lain pihak, suaminya, Shuuhei, bekerja sebagai Help-desk di sebuah perusahaan computer. Pekerjaannya dibagi menjadi tiga shift dan tugasnya adalah menerima telpon atau komplain pelanggan tentang produk yang mereka jual, kemudian meneruskannya untuk ditanggapi oleh bagian teknisi. Begitu seterusnya.

Tiba-tiba Rukia merasa bahwa Rangiku sudah banyak berkorban untuk menjalankan kehidupan rumah tangganya dengan Shuuhei.

Rasa bersalah menelusup ke dalam hatinya.

"Kau harus selalu menyemangatinya dalam pekerjaan, Rangiku. Ia membutuhkan itu."

Rangiku menoleh ke samping, memandang dengan mata yang tampak lelah pada wanita berambut gelap di sebelahnya.

"Aku selalu lakukan itu, tanpa henti, tanpa lelah. Hanya saja…saat ia bersamaku, pikirannya seperti sedang melayang ke suatu tempat nun jauh di sana. Hanya tubuhnya yang berada di sisiku," katanya pelan.

Rukia lagi-lagi menundukkan pandangannya ke lantai. Ia tiba-tiba merasa badannya tak enak. Rasa menggigil menjalar dari ujung kakinya sampai ke dahinya dengan cepat. Mual melanda dirinya.

"Let's say Rukia…it's just between you and me."

"What?"

"What if someday I fall in love with another man?"

Rukia mengangkat kepalanya. Ia merasa dadanya sesak.

"Bagaimana jika hal seperti itu terjadi padamu? Jatuh cinta pada pria lain selain suamimu? Apa yang kau lakukan?" tanya Rangiku dengan suara serak yang sepertinya susah payah keluar dari dalam kerongkongannya.

Rangiku tidak mendengar jawaban apa-apa dari Rukia, karena detik berikutnya wanita berambut gelap itu merintih kesakitan dan memegangi dadanya yang kurus, sambil mengeluarkan keringat dingin yang tidak sedikit. Ia pun jatuh dari kursinya, duduk bersimpuh di lantai seraya bernapas tersengal-sengal.

Rangiku dengan panik berteriak-teriak memanggil tenaga medis di bagian dalam ruangan UGD, sambil memegangi tubuh mungil Rukia yang bergetar. Ia merasa sangat ketakutan, karena mendapati wanita itu sudah tak sadarkan diri di lantai.

.

.

.

To be continued

.

.

.


A/N: Yup, this is it, Flitch. Saya potong dulu di sini hehehehe, terlalu banyak yang harus direnungkan dari kata-kata di atas hahahahaha.

Cerita ini butuh review dan review, agar saya lebih semangat. Untuk yang masih setia, terima kasih banyak.