Hinata itu hanyalah gadis polos─bodoh sih lebih tepatnya. Sudah disakiti oleh kekasih hati berkali-kali tetapi masih saja sanggup berdiri dengan mental kuat yang tak pernah mati. Baginya, sudah diberi kesempatan untuk jatuh cinta dan memiliki motivasi untuk melanjutkan hidup merupakan karunia Tuhan yang perlu disyukuri. Ia tidak perlu keinginan lain yang muluk-muluk. Lagipula, apabila ia bisa menerima sesuatu lebih baik dari ini maka itu hanyalah bonus semata karena Hinata selama ini telah berperilaku bak malaikat serta memikirkan dan mementingkan orang lain lebih dari dirinya sendiri.

Senyumnya yang punya kemampuan magis untuk menghangatkan hati yang beku itu kembali muncul, sudah tak terhitung berapa banyaknya senyum itu dikeluarkan untuk hari ini.

Kepada seluruh teman yang mengkhawatirkan perasaannya ia berkata, "Tak apa, jika Naruto-kun sudah menentukan pilihannya maka satu-satunya yang bisa kulakukan adalah mendukungnya dan mendorongnya untuk melangkah maju meraih kebahagiaannya." meskipun bahagia Naruto tidak berada padaku dan tidak pernah aku.

Sontak Tenten dan Ino─selaku pelopor pertemuan rahasia hari ini bersama Hinata─ditemani Kiba dan Shino menatap Hinata dengan nanar. Gadis itu, gadis semulia dan setulus itu. Bagaimana bisa seseorang menyia-nyiakannya tanpa merasa nista dan dosa?

"Hinata, malam ini kau boleh menangis dan menggila sampai rasanya mau mati tetapi besok kau harus melupakannya dan berbahagia untuk kita, ok?" Kiba menanggapi tanpa berpikir dua kali. Shino yang berada di sampingnya langsung menyikut tulang rusuk pria itu dengan keras. Bodoh sekali kau, beraninya menyuruh Hinata untuk gila sampai mau mati. Kadang Shino seringkali berpikir bahwa mungkin karena Kiba sering menyatu bersama Akamaru maka otaknya ikut turun derajat setara dengan anjing putih itu.

Respon Ino dan Tenten pun tak kalah garang. Mata mereka melotot nyaris keluar dari tempatnya. Jika saja mereka memiliki darah Uchiha sudah dipastikan badan Kiba terbakar dengan kobaran api hitam yang enggan padam.

Tenten lalu mengambil satu langkah lebih dekat mendekati putri sulung Hyuuga itu dan menggenggam kedua tangannya dengan lembut. "Nah Hinata-chan, abaikan Kiba. Dia suka berbicara omong kosong." Suaranya bergetar ketika melanjutkan kata-katanya, merasa dunia tidak adil untuk Hinata, tidak adil untuk adik manis kesayangan Neji yang selalu berlaku sopan dan tak pernah menyakiti. "Kamu punya hak untuk setidaknya menampar pria itu satu kali, lalu setelah itu bangkit kembali untuk mencari masa depan yang lebih terang."

Jika Neji masih hidup maka sudah dipastikan pria berambut kuning dengan title baru sebagai pahlawan dunia itu sudah lebam sana sini menghadapi jurus andalannya berupa pukulan 64 titik chakra yang akan membuat lelaki brengsek itu lumpuh selama 2-3 hari.

"Kalau kau sudah tidak sanggup kau bisa datang ke tempatku dan Tenten, Hinata. Kami menerimamu dengan tangan terbuka lebar. Hanya saja jangan menyimpannya sendiri-" Tak lama Ino mendekat dan memeluk bahu Hinata. "Kau terlalu sering menyembunyikan lukamu dan berpura-pura baik di hadapan kami. Menangis bersama-sama dan berbagi luka bukan hal yang buruk tahu, ya kan Kiba, Shino?"

Bagai robot dengan sistem kerja cepat mereka langsung mengangguk kencang. "Kami selalu mendukung dan menghargai apapun keputusanmu Hinata, kau yang paling paham dengan hal itu." Tegas Shino tanpa ragu.

"Kalau kau ingin kami menghajarnya dan menendangnya dari Konoha kami siap." Tambah Kiba yang tentunya mendapat 'senggolan mesra' dari Shino untuk yang kedua kalinya di spot yang sama. "Urgh sakit." Lirihnya pedih sembari mengusap tulang rusuknya.

Hinata lagi-lagi kembali tersenyum, tidak terlihat sebutirpun kesedihan dalam rona wajahnya. Mungkin yang ada di pikiran wanita itu hanyalah ia bersyukur memiliki teman sebaik dan sepengertian mereka. Karena selama ini ia merasa seperti menghadapi dunia seorang diri, kali ini ia tidak perlu ragu karena di sampingnya, teman-temannya siap untuk membantunya bangkit dari keterpurukan.

"Terimakasih, sungguh terimakasih atas kebaikan hati kalian." Ucapnya dengan nada bergetar penuh rasa haru, dibungkukkan badannya 45 derajat sebagai ungkapan rasa bersyukur memiliki teman seperti mereka. "Tapi aku berjanji bahwa aku akan baik-baik saja. Aku takkan menangis apalagi menggila sampai mati. Kalian bisa percaya padaku, jaminannya esok aku akan kembali tersenyum dengan senyum terbaik." Hinata kemudian menegaskan dengan suaranya yang lembut.

Sungguh, membusuklah lelaki yang tega menghancurkan hati yang benar-benar suci tanpa noda.


Tetapi Hinata lagi-lagi berbohong.

Sesampainya di ruangan pribadinya, tempat Hinata meloloskan segala topeng di wajahnya alias kamarnya tercinta, Hinata lantas menangis hingga sesegukkan. Wanita itu meremas sepreinya dengan kencang, nyaris menariknya dan merusak tatanannya yang sebelumnya terbelut rapih menyelimuti kasur empuknya. Suaranya serak karena terlalu banyak menangis malam ini.

Kebiasaan buruk Hinata yang tak pernah bisa ia tinggalkan sejak tiga tahun yang lalu, dia terlalu sering memendam namun dalam satu waktu emosinya meledak-ledak layaknya bom waktu. Tak bisa dihindarkan. Tak bisa dipadamkan.

"Apa kau tak pernah jatuh cinta padaku Naruto-kun barang satu kalipun?" Tanyanya pada angin malam. Suaranya pecah menyayat siapapun yang punya kesempatan untuk mendengarnya. "A-apa 2 tahun kebersamaan kita hanyalah batu loncatan untukmu semata?" Tanyanya kembali dengan tersedak.

Beruntung Hiashi dan Hanabi tengah melakukan misi di luar Konoha 3 hari ini. Hinata bebas menangis, meraung, bahkan menggila sampai rasanya mau mati─persis seperti yang dikatakan Kiba.

Katakanlah Hinata penipu ulung. Dia sudah terbiasa menyandang profesi itu semenjak kehilangan Neji. Rasa sakit kehilangan sepupu benar-benar menyiksa hingga ke tulang. Hinata tidak pernah melupakan wajah tenang Neji ketika melindunginya saat masa perang silam. Sejujurnya Hinata tidak mau dilindungi. Ia lemah dan tak berguna, untuk apa Neji mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan dirinya?

Harusnya sepupu yang sudah dianggap seperti kakak kandung oleh Hinata itu membiarkannya tewas secara bersejarah. Hingga di akhir hayatnya, Hinata dapat melukiskan kisah indah perjalanan hidupnya sebagai salah satu shinobi yang gugur di medan terdepan demi melindungi pahlawan dunia sekaligus calon hokage Konoha yang ke-7. Kedengarannya manis sekali bukan?

Sungguh, Hinata merasa pedih hati berkepanjangan, andai sepupu posesifnya itu masih hidup dan mendampinginya, pasti hidupnya tak akan sehancur ini, tak akan serapuh dan sekonyol ini. Apakah meninggalnya Neji dulu akan menjadi sebuah karma untuk Hinata di masa depan? Karena melindunginya, Konoha kehilangan ninja Hyuuga terhebat dan paling berbakat. Andai Neji tidak melindunginya mungkin kehidupan Hinata akan lebih damai di surga sana.

"Neji nii-san apa selama ini aku terlalu egois kepada Naruto-kun? Apa selama ini akulah yang ternyata tokoh antagonis dalam kisah hidupnya? Apakah selama ini akulah yang menjadi penghalang Naruto untuk meraih kebahagiaannya?" Hinata kembali meraung memanggil nama kerabat terkasihnya yang tak akan pernah menyahut sekeras apapun ia memanggil.

Tiga tahun dia jalani hidup dengan penuh kepalsuan. Kebaikan dan kesabarannya hanyalah palsu. Tak lebih dari topeng yang melindungi dirinya yang menyedihkan. Keterpurukan menyertai hidupnya, Hyuuga lebih memilih Hanabi sebagai penerusnya. Hinata tak lain dan tak bukan hanyalah ninja keturunan Hyuuga yang tak kasat mata dan tak memiliki satu-pun prestasi yang dapat dibanggakan.

Paling parahnya lagi satu tahun setelah keterpurukan Hinata atas kematian Neji, Naruto datang dengan segala pesona terangnya yang Hinata anggap setara sebagai cahaya hidupnya. Sayang, cahaya yang terlalu menyilaukan itu membuatnya buta akan masa depan dan buta akan sekelilingnya.

Buta, tak peka, dan semakin terjerumus dalam kegelapan seperti sekarang.

Sungguh, pengkhianatan yang apik Naruto-kun, semua terasa tidak adil bagiku. Apa kau sudah merencanakannya sejak awal? Tapi hal itu sangat tidak masuk akal. Tapi lagi hal itu sudah terjadi secara nyata di hadapannya. Seakan Naruto dan Sakura bekerja sama untuk melemparkan fakta menyakitkan itu ke mukanya secara langsung.

Tapi Hinata tidak boleh egois. Mereka saling membutuhkan satu sama lain. Cinta atau tidak mereka tetap memutuskan untuk bersama.

Sedangkan Hinata hidupnya sudah terbiasa ditinggalkan.

Sungguh, takdir mempermainkan jalan hidup Hinata semudah membolak-balikkan telapak tangan.


Kala itu cuaca benar-benar mendukung setiap langkah Hinata untuk melakukan kebiasaan paginya, mengantarkan sarapan untuk kekasihnya tercinta. Angin yang berhembus terasa sejuk, matahari-pun sudah bersinar terang menyinari seluruh penjuru desa Konoha. Benar-benar cuaca yang sangat bagus, pikir Hinata.

Ding.. Dong.. Ding.. Dong..

Hinata menekan bel apartemen kekasihnya sebanyak dua kali kemudian menunggu pria itu dengan sabar. Kekasihnya ini bukanlah tipe 'morning person'. Jadi ketika fajar tiba yang dilakukannya hanyalah tidur─lebih tepatnya mengisi tenaga sanggahnya. Maka dari itu Hinata maklum ketika dua menit telah berlalu sejak bel rumah berbunyi namun masih belum ada tanda-tanda dari si pemilik rumah.

Wanita bersurai lavender itu hendak mengambil kunci cadangan pemberian kekasihnya yang selalu ia bawa kemana-mana dalam sakunya. Sudah Hinata duga, sang pemilik rumah pasti masih tertidur lelap di pagi ini, sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Apalagi jika tidak ada misi, lelaki itu dengan kasurnya merupakan perpaduan yang tak bisa dipisahkan, bagaikan perangko yang selalu melekat bila sudah ditempelkan.

Tiba-tiba saja tanpa Hinata sadari pintu sudah terbuka dari dalam. "Selamat pagi Hinata." Sapa kekasihnya yang tidak biasanya sudah terbangun, terlihat sudah mandi dan berpakaian rapih.

Tetapi ada sesuatu yang berbeda. Tak ada senyum sehangat mentari yang biasanya tak pernah absen menghiasi parasnya. Raut wajahnya kusut dan terlihat banyak berpikir dilihat dari banyaknya kerutan di dahinya. "A-aku sudah menunggumu sejak tadi." Ucapnya dengan gelisah.

"Benarkah?" Tanya Hinata sedikit tidak percaya. "Hm, tumben sekali. Apa Naruto-kun lapar?"

Pria itu menggelengkan kepalanya lemas dan mempersilahkan kekasihnya untuk masuk ke dalam apartemennya. Hinata melihat gerak-gerik Naruto dengan seksama. Mungkin Hinata salah melihat, tapi Naruto kelihatan sangat kikuk pagi ini. Ada yang aneh dengan kekasihnya.

"Ada hal penting yang harus kukatakan padamu Hinata." Ucap pria itu ketika mereka sudah sampai di ruang tamu.

Terdapat satu meja besar berukuran persegi panjang di ruang tamu tersebut, dikelilingi oleh empat kursi kayu sederhana berwarna cokelat tua. Hinata duduk di salah satu kursi tersebut kemudian meletakkan kotak bekalnya di atas meja. "Baiklah." Jawabnya singkat. 'Sebenarnya apa yang ingin Naruto-kun bicarakan di pagi hari seperti ini? Benar-benar tidak seperti biasanya', gumam Hinata dalam hatinya.

Hinata menunggu Naruto untuk berbicara, namun sudah satu menit berlalu pria itu masih bergeming di tempatnya, menatap lantai dan seakan berubah menjadi patung bisu. "Naruto-kun? Kenapa diam saja? Tidak mau duduk?" Tegur Hinata yang mulai merasa kebingungan dengan sikap kekasihnya tersebut.

Pria itu mengangkat wajahnya, matanya bergetar menahan berbagai macam perasaan. Kemudian laki-laki itu berlutut di hadapan Hinata. Membuat wanita tersebut tersentak dan berubah menjadi canggung.

Ini bukan kali pertama Naruto bertekuk lutut di hadapan Hinata. Pria itu pernah melakukannya dua bulan yang lalu ketika meminta persetujuan Hinata untuk mendampinginya seumur hidup, melamarnya sebagai kasih yang lebih dari sekedar mengasihi, menawarkannya hidup yang hanya mengenal kata kebahagiaan hingga maut memisahkan. Tapi yang kali ini benar-benar berbeda suasananya dengan suasana lamaran romantis yang telah berlalu.

Naruto kelihatan sangat terbebani dan seakan takut menyakiti Hinata.

"Naruto-kun bangun, aku menyuruhmu untuk duduk di kursi, bukan di lantai apalagi dengan posisi seperti itu." Hinata menghampiri lelaki tersebut dan mengajaknya untuk berdiri, tetapi Naruto menolak.

"Sakura telah kembali."

"A-apa?"

"Sakura Haruno telah kembali setelah dua tahun pergi."

Hinata yang memutuskan untuk duduk bersimpuh di lantai terkejut mendengar pernyataan Naruto. Badannya secara otomatis berubah menjadi kaku. "Lalu?" Tanyanya dengan bersungguh-sungguh. "Lalu kenapa jika Sakura telah kembali? Dia hanyalah sahabatmu di masa lalu."

Naruto menggeleng. Batinnya meraung-raung, meminta dibebaskan dari rasa bersalah yang semakin menyakitkan hati.

"Maafkan aku jika selama ini aku hanya bisa menyakitimu, aku bahkan gagal membawa kebahagiaan untukmu." Naruto terlihat hancur luar dalam, Hinata lebih parah lagi. Rentetan rencana yang telah mereka rangkai untuk masa depan nampaknya harus musnah saat ini juga, karena sang penambat hati telah kembali.

"Naruto-kun. Kau salah selama ini aku sudah bahagia." Hinata memegang dengan lembut kedua tangan Naruto kemudian mengelusnya perlahan-lahan, mencoba menenangkan. Tetapi beberapa detik kemudian Naruto menepis tangannya kasar, menolak sentuhannya.

"Tolong batalkan pernikahan kita."

Jantung Hinata bagai ditikam ribuan pedang. Tubuhnya lemas, raganya seperti ditarik keluar secara paksa mendengarkan permintaan orang yang paling dipercayainya, orang yang paling dicintainya, orang yang paling dikasihinya, pedoman hidupnya.

Sungguh, rasanya sakit sekali, pedih, dan seakan mau mati. Batinnya mengamuk menolak mengakui bahwa Naruto baru saja menolaknya tepat di depan wajahnya.

"Tidak bisa Naruto-kun. Gaun pernikahannya bahkan sudah siap di rumahku. Tanggal sudah ditetapkan. Ayah sudah menyetujui. Seluruh persiapan sudah direncanakan dengan matang. Kau tidak bisa membatalkannya begitu saja."

Naruto tiba-tiba bersujud di hadapan Hinata. "Kumohon Hinata, biarkan aku menikahi Sakura. Dia benar-benar membutuhkanku." Pintanya dengan seluruh jiwa dan raga. Bahunya bergetar menahan tangis, Hinata pun tak jauh berbeda.

'A-Apa?' Hinata terkejut setengah mati.

Oh Tuhan cobaan apa lagi ini yang menimpa mereka berdua? Mereka baru saja akan menjalin kebahagiaan hingga ke akhir zaman. Mengapa hal ini harus terjadi?

Semuanya terasa tidak adil bagi Hinata. Wanita itu sudah menyerahkan segalanya untuk Naruto. Hatinya, jiwanya, raganya, senyumnya, bahkan hingga tubuhnya sekalipun. Hinata juga sudah bertekad untuk rela mati demi melindungi pria tersebut. Tapi apa yang kini di dapatkannya? Hanya pengkhianatan dan patah hati. Semua tak seimbang dengan segala hal yang telah ia korbankan untuk Naruto.

Seakan harga dirinya baru saja diinjak dan dibuang begitu saja.

"J-jangan seperti itu Naruto-kun. Bangun dan tatap aku." Hinata memegang kedua pundak kekasihnya. "Kalau kau ingin menyelesaikan segalanya denganku maka lakukanlah dengan benar. Jangan bersujud-sujud seperti ini." Apalagi sujudnya demi wanita lain.

Hinata mencoba tersenyum meskipun hasilnya gagal total. 'Ah, susah sekali senyum di saat-saat seperti ini' gumamnya miris. Tapi Hinata sadar dia tidak boleh egois. Naruto berhak menyampaikan alasannya dan Hinata harus mendengarnya dengan seksama.

Mata sapphire itu bergetar, air mata sudah keluar dari sudut matanya. "S-Sakura hamil dengan Sasuke. Tetapi Sakura tidak sanggup meminta pertanggung jawaban pria itu karena ternyata Sasuke sudah jatuh cinta dengan gadis lainnya selama masa penebusan dosanya." Terang Naruto dengan suara lirih. Sahabatnya memang brengsek, tapi Naruto tak bisa berbuat apa-apa selain mengambil alih tanggung jawab sahabatnya itu.

"Aku tidak bisa membiarkannya menderita di masa-masa tersulitnya. Aku ingin membantunya untuk bahagia. Maafkan aku Hinata."

Hinata menggigit bibirnya menahan tangis. Ah, dirinya sudah kalah telak. Andai saja ia mempercepat tanggal pernikahannya, pasti hal ini tak akan pernah terjadi.

Jika sudah seperti ini maka apa yang harus dilakukan wanita itu? Hinata jelas kalah saing dengan wanita cantik surai merah muda itu. Dari awal harusnya Hinata sadar bahwa segala-galanya Naruto hanyalah Sakura, sedangkan dia tak lebih dari selingan mengisi waktu ketika sang pujangga pergi. Lalu ketika pujaan hati telah kembali maka Hinata tak memiliki pilihan lain selain mundur dengan teratur.

"Baik Naruto-kun, aku melepaskanmu. Tapi jawab pertanyaanku dengan jujur." Pinta Hinata dengan suara tercekat.

"A-apakah pernah ada aku di dalam hatimu? Pernahkah kau mencintaiku?" Suaranya pecah, berbicara rasanya seperti menyiksa karena sesungguhnya yang ingin Hinata lakukan sekarang hanyalah menangis teredu-sedu.

Naruto hanya terdiam. "Cinta." Gumamnya pelan, tetapi matanya tak sanggup menatap amethyst milik Hinata.

Hinata memaksakan senyum, merasa bahwa ucapan itu hanyalah bualan semata. "Baiklah aku mengerti." Ia lantas memegang pundak Naruto dan menepuknya dengan pelan. "Kau harus bahagia dan jangan pernah menyesal dengan keputusanmu. Terimakasih untuk dua tahunnya Naruto-kun. Kau benar-benar kisah terindahku sekaligus patah hati terparahku."

Hinata bangkit dari duduk bersimpuhnya dan akan meninggalkan kediaman lelaki tersebut ketika tiba-tiba Naruto menahan pergelangan tangannya.

"Hinata, aku tahu persiapan pernikahan sudah lebih dari 80% yang artinya tidak dapat dibatalkan secara sepihak karena melanggar kontrak." Naruto menarik napas berat, merasa perkataannya setelah ini akan melukai harga diri kekasihnya, uhm mantan kekasih lebih tepatnya.

"Maafkan aku tapi biarkan aku menikahi Sakura di tanggal yang sama dengan tanggal pernikahan kita, aku tak ingin orang-orang desa akan mulai mempertanyakan Sakura ketika kandungannya mulai besar nanti."

Hinata sempat menahan napasnya mendengar permohonan terakhir Naruto. Benar-benar Hinata merasa tak jauh berbeda seperti sampah yang sehabis manis sepah dibuang.

Wanita itu menghembuskan napasnya kasar. "Semua terserah padamu Naruto-kun. Berbahagialah." Keputusannya, final. Hinata kemudian pergi tanpa pamit. Meninggalkan kotak bekalnya di sana sekaligus kepingan hatinya yang tak bisa dipungut kembali.

To Be Continue

Hayo kira-kira abis ini Naruto menikahi Sakura atau Hinata? Hehe