Selama berjaga di depan kamar Eijun, Miyuki yang bosan memilih untuk mengecek pusaka yang diterima dari kaisar. Hitsuna Hinsa-sa no Kurayami. Dilihat sampai kapanpun, pedang itu seperti baru selesai dibuat oleh pengrajin katana. Tak ada yang mengira kalau pedang ini memiliki umur lebih dari ratusan tahun.

Dia menatap katana tersebut lama sampai tak sadar matahari sudah kembali ke peraduannya. Ujung bibir Miyuki berkedut. Sadar kalau rekannya belum juga kembali sejak tadi.

"Mima jalan-jalan kemana, sih? Lama banget," dumelnya. Benar-benar bosan tingkat akut.

Baru saja Miyuki ingin bangkit dari posisi duduk, dia merasa aneh dengan situasinya sekarang. Pandangannya terarah pada pintu kamar Eijun. Aneh rasanya jika pemuda cantik itu mengubur diri di dalam kamar tanpa menghasilkan suara apapun. Apa dia tidur sejak masuk kamar?

Tunggu. Apa dia sudah makan?

Menimbang sebentar, Miyuki lalu mengetuk pintu. "Eijun-sama? Apa Anda sedang tidur?"

Sampai sekarang, Miyuki belum mendengar suara Eijun. Penasaran sekaligus mengantisipasi kemungkinan volume suaranya lebih kecil dari suara laki-laki pada umumnya, dia mendekatkan telinga ke daun pintu. Memejamkan mata, Miyuki mempertajam indera pendengarnya.

Tak ada tanda-tanda kehidupan di dalam sana. Telinganya tidak mendengar suara detak jantung. Sontak Miyuki membuka pintu.

Dia memandangi isi kamar Eijun dan melihat jendela yang terbuka sedikit. Miyuki langsung mendekati jendela kemudian mengamati kamar itu lagi. Tidak ada alat seperti tali untuk turun ke bawah yang berarti Eijun loncat dari lantai dua. Saat kepalanya melongok keluar jendela, Miyuki lalu menepuk jidat. Ternyata ada pohon yang bisa dijadikan alat turun ke bawah.

"Bukan hanya iblis, dianya juga merepotkan ternyata," gumamnya seraya loncat ke pohon.

Miyuki memejamkan mata. Dengungan hewan malam terdengar namun itu tidak bisa menutupi suara derap kaki yang berlari menjauh. Matanya terbuka kemudian mengikuti insting menatap satu titik dinding berbahan bata yang menjadi pemisah istana dan hutan.

Sebelum kehilangan jejak, Miyuki langsung loncat ke bawah. Dia berlari dengan berhati-hati agar tidak ketahuan penjaga istana. Eijun pasti punya alasan sendiri mengapa dia pergi diam-diam.

Di ujung jalan, Miyuki bisa melihat aliran sungai. Sekilas matanya menangkap sosok Eijun duduk bersama seseorang. Hal yang membuatnya tidak menyangka adalah orang itu ternyata seorang iblis. Dia tidak tahu apa yang mereka bicarakan sebelum atmosfer di sekitar mereka berubah jadi lebih intim.

Tubuhnya diam kaku di tempat ketika melihat pemuda cantik itu dicium kemudian ditindih ke atas rerumputan. Insting Miyuki menggemakan kata untuk memintanya segera memisahkan mereka. Tanpa disadari, kedua tangannya sudah terkepal di kedua sisi tubuh. Matanya menatap nyalang ke depan seolah sedang berburu mangsa.

Baru kakinya mengambil dua langkah, sebuah tombak yang terlihat familiar mendarat di depannya. Miyuki mendongak ke atas. Sesosok iblis dengan sayap hitam serta bertopeng sudah berdiri di salah satu dahan pohon. Dia reflek meningkatkan kewaspadaannya dengan tangan kiri menyentuh gagang katana miliknya, Kuronokage Kunikazu, sambil bergerak mundur. Di situasi seperti ini, Miyuki tidak bisa menggunakan katana dari kaisar sembarangan meskipun dia sadar kekuatan iblis di depannya sangat kuat. Mungkin dia termasuk iblis bawahan kaisar Shuten-douji.

Iblis itu mendarat ke tanah. Miyuki menjaga jarak saat tombak grim reaper yang hampir mengenainya diambil. "Miyuki Kazuya, apa yang akan kau lakukan tadi?"

Suaranya terdengar familiar tapi Miyuki tidak bisa menerka milik siapa. "Bukannya di saat seperti ini kau harus memperkenalkan diri?"

"Kau tidak mengenaliku?" Iblis itu tertawa mengejek.

Curiga, mata Miyuki menyupit. "Sepertinya kita pernah bertemu."

Topeng merah berhidung panjang yang dipakainya perlahan dilepas. Ujung bibir Miyuki berkedut melihat wajah asli iblis yang menunjukkan penuh kesombongan. Ekspresi dan mata biru itu, serta rambut kuning yang entah kenapa lebih panjang dari terakhir kali mereka bertemu. Tidak salah lagi kalau iblis ini adalah Narumiya Mei, salah satu petinggi dari pihak iblis.

Tapi sejak kapan dia punya sayap hitam?

Kewaspadaannya menurun sedikit. Mei bukan iblis yang asal menyerang jika tidak dikonfrontasi. "Kau berubah banyak," kata Miyuki tenang.

"Begitulah." Jawab Mei penuh kerahasiaan. Kini wajahnya berubah jadi lebih serius. "Apa yang kau ingin lakukan barusan?"

Miyuki mencoba melihat situasi Eijun namun sia-sia karena jaraknya yang lumayan jauh. Dia juga tak mungkin membeberkan pekerjaannya sebagai penjaga bocah labil yang sekarang sepertinya sedang bersenang-senang di sana. Sekali lagi pikirannya melayang pada sosok darah suci. Miyuki tidak menyangka bahwa Eijun punya hubungan dengan iblis lain.

Ini berita baik atau berita buruk?

"Jawab pertanyaanku, Kazuya." Tuntut Mei.

"Aku tak bisa membiarkan manusia itu dekat dengan iblis manapun," jawabnya serius.

Mei tertawa lagi. "Kau terlalu naif untuk berpikir bisa mengalahkannya, Kazuya." Meski nadanya santai tapi kilatan matanya masih menunjukkan pesan bahaya. "Lebih baik kau mundur sebelum mati konyol. Beruntung aku mencari mangsa di sini dan bisa menghentikan tindakanmu," kata Mei seraya mendengus.

"Heeeh, kau mengkhawatirkanku, Mei?" balas Miyuki.

"Aku tidak bermain dengan kata-kataku."

Bukan hanya fisik, sifat Mei tampaknya ikut berubah. Iblis itu biasanya akan membalas dengan nada kesal. Mereka akan saling menyahut seolah sudah jadi teman lama walau baru tiga kali ini berselisih jalan.

Menarik, pikirnya. Dibilang seperti itu tentu saja membuat dia merasa tertantang. Tanpa sadar Miyuki menjilat bibir, kebiasaannya sebelum memulai berburu. Dia keluarkan Kuronokage Kunikazu dari sarungnya. Ujung katana sudah teracung ke pihak lawan, Mei pun ikut bersiap sambil berdesis, "Dasar manusia tidak tahu terima kasih," untuk serangan yang akan datang dengan tombak.

Untuk kedua kali gerakan Miyuki dihentikan. Sebuah Shuriken melayang melewatinya dan Mei sebelum menancap di pohon. Miyuki hanya melirik dengan ujung mata ke arah asal Shuriken.

"Oya oya, kita kedatangan tamu, Kazuya," ucap Mei tanpa menutupi rasa kesalnya.

"Percuma kalian ribut di sini kalau mereka sudah pindah tempat," balas sosok itu.

Miyuki masih bersikap waspada. Pengganggu mereka tampaknya bukan manusia biasa. Walau dalam keadaan terjepit, instingnya langsung tahu adanya keberadaan yang lain. Namun manusia ini bisa menyembunyikan keberadaannya sampai dia sendiri yang mengeluarkan eksistensinya.

"Siapa kau, manusia kotor?" Tanya Mei.

Tawa maniak terdengar kemudian. "Tidakkah kau duluan yang harus memperkenalkan diri, Narumiya Mei-sama?" sahutnya.

Mei menggeletukkan gigi. "Kau sudah tahu namaku, sialan."

Sambil menyeringai, pemuda itu menengok pada Miyuki. Ada kilatan tajam dari matanya. "Lama tak jumpa, Samurai tak bertuan, Miyuki Kazuya," katanya dengan nada dingin.

"Apa kau punya dendam padaku, Tuan ninja?" tanya Miyuki setelah memperhatikan dari atas ke bawah sang pengganggu. Tidak diragukan lagi status pemuda itu sebagai seorang ninja jika melihat senjata dan pergerakannya tadi. Tapi Miyuki tak pernah ingat pernah berurusan dengan ninja manapun sampai sekarang.

"Hyahaha! Sudah kuduga orang sepertimu akan lupa!"

Dalam sekejap dia sudah berada di depan mata sambil menghunuskan Kusarigama pada Miyuki. Sebelum ujung sabit mengenai lehernya, Miyuki berjongkok kemudian loncat ke belakang dan menebas kakinya. Namun pergerakan Miyuki terbaca sehingga pemuda itu ikut lompat lalu menjaga jarak.

"Sepertinya kau bukan seorang ninja," kata Miyuki dingin.

"Memang bukan. Apa kau ingat pemuda bernama Kuramochi Youichi?"

Mana mungkin Miyuki melupakannya. Kuramochi Youichi adalah targetnya sekitar dua tahun lalu. Dia menjadi salah satu yakuza yang disegani di daerah utara Yamato. Miyuki pikir dia sudah mati dibunuh samurai lain karena dua bulan lamanya tak ada kabar. Menghilang tanpa jejak apapun seolah memang sejak awal keberadaannya tidak ada di dunia ini.

Misi yang sangat disayangkan. Padahal kepala Kuramochi sempat dihargai ribuan keping emas. Miyuki geleng-geleng kepala seraya tertawa. "Wow? Kau masih hidup? Hahaha kukira kau sudah mati dibunuh!"

"Brengsek," rutuknya. Dia kira Kuramochi akan menyabitnya lagi namun malah berbalik badan. "Tapi siapa sangka mereka sering bertemu, ya?"

"Kau memata-matai Masamune, manusia?"

"Tidak ada gunanya mengintai darah terlarang."

"Lalu dari mana kau tahu?"

Miyuki mengernyit. Darah terlarang? Eijun sudah bertemu dengan darah terlarang, bahkan menjalin hubungan? Dan Mei tahu tapi tidak menyadari siapa Eijun sebenarnya?

Kuramochi berbalik. Ekspresinya datar dan mata lurus menatap Miyuki yang langsung dibalas dengan tatapan penuh ancaman. Namun sang pemberontak tampak tidak terintimidasi. Dia malah menarik ujung bibir ke atas. Menantang Miyuki untuk segera bertindak. Sebelum mulutnya terbuka, katana itu sudah melayang hampir mengenai wajah kalau saja tidak ditahan dengan Kusarigama.

"Kazuya! Jangan mengintrupsi pembicaraan!" Perintah Mei.

"Maaf, Mei. Ini urusanku dengannya. Cepat pergi dari sini!" Suruh Miyuki balik.

"Berani sekali kau memerintahku!" Dengan sekali serang, tombak Mei berhasil memisahkan katana dan sambit. Miyuki dan Kuramochi langsung mundur.

Firasatnya bilang ini buruk. Kuramochi adalah salah satu pemberontak yang tahu identitas Eijun dan jika dia membeberkan rahasia itu ke Mei, perang mungkin akan langsung pecah. Miyuki tidak bisa membiarkan hal ini terjadi. Bagaimana pun caranya dia harus menutup mulut Kuramochi. Maka Miyuki kembali melancarkan serangan yang sialnya justru ditangkis Mei.

"Aku tahu kalian merahasiakan sesuatu. Cepat katakan, manusia kotor!"

"Sepertinya temanmu lebih ingin aku tutup mulut, hyahaha!"

Mei mendelik pada yang lain. "Siapa juga yang mau berteman dengan si brengsek ini!?" Hardiknya sambil menunjuk Miyuki dengan tombak yang entah disengaja atau tidak.

Tentu saja Miyuki mengelak. Menyingkirkan ujung tombak itu jauh-jauh dari wajahnya.

Tiba-tiba Kuramochi naik ke atas pohon. "Akan kuberikan informasi gratis, Narumiya-sama."

Miyuki ingin bergerak menyerang lagi namun ditahan sang iblis. Tidak ada pilihan untuknya selain diam di tempat. Dia hanya bisa menatap sosok Kuramochi yang memandang rendah padanya. Miyuki tidak tahu apa yang terjadi sampai membuatnya menaruh dendam kesumat. Walau pernah menjadikannya target tapi itu pun juga tidak terlaksana.

"Mungkin kau bisa menerkanya dengan info ini." Kuramochi menyimpan Kusarigama ke punggung. "Mereka seharusnya pertama kali bertemu lusa besok saat jamuan makan malam di istana."

Informasi itu terucap. Dilihatnya Kuramochi pergi dan menghilang dalam sekejap, meninggalkan Miyuki dengan bom waktu yang siap meledak. Dia sadar Mei akan menyadari apa yang dimaksud sang pemberontak. Mei bukan iblis bodoh yang bertindak sesuai insting. Jadi dia diam menunggu sambil memperhatikan gerak-geriknya, termasuk ekspresi wajah.

Hal yang tidak diduga terjadi. Mei berbalik dengan kedua tangan terkepal. "Keparat kau, Hongou Masamune."

Hubungan mereka tidak akur ya, pikir Miyuki.

"Jadi sekarang kau bertugas menjaga manusia itu?"

Rahasia sudah terbongkar. Apa gunanya disembunyikan lagi dari Mei? Miyuki menghela napas lelah. Setidaknya baru satu yang tahu. "Bisa dibilang begitu," jawabnya enteng.

"Untuk sekarang aku akan diam. Tapi cepat atau lambat kebohongan kalian akan terbongkar. Kalian tanggung sendiri akibatnya karena sudah membodohi kami."

Dari ucapannya jelas Mei salah paham. Miyuki ingin menjelaskan namun iblis itu sudah terbang entah ke mana. Rambutnya yang berantakan kini diacak. Frustasi dengan keadaan yang tidak mendukung ini.

Dan di mana Eijun sekarang?

.

Bunga yang Terlindungi

.

Di pagi keesokan harinya, Mima merasa ada yang tidak beres dengan kedua orang di depannya. Bagi seseorang dari keluarga kekaisaran, bangun tidur sebelum fajar menyinari bumi adalah rutinitas biasa. Dia tidak kaget ketika mendengar suara pintu kamar dibuka dan Eijun sudah berdiri rapi dengan kimono corak bunga krisan biru membaluti tubuhnya yang ramping. Dilihat sampai kapanpun, kecantikannya takkan pudar, pikir Mima memuja.

Dia melirik pada Miyuki yang berjalan sedikit lebih depan dari dirinya. Tingkah rivalnya itu agak aneh karena tidak tidur semalam suntuk. Padahal kemarin dia bangun terlalu siang. Dan yang buat Mima curiga adalah dia sempat menangkap pergerakan Eijun yang berusaha tidak bersitatap dengan Miyuki.

Apa terjadi sesuatu saat dia jalan-jalan (dan mengurus masalah kecil di pasar) semalam?

Saat Mima menanyakan tentang kecurigaannya, Miyuki dengan mudah mengalihkan topik. Memintanya fokus pada tugasnya menjaga keselamatan Eijun. Tapi bukan Mima Souichirou namanya jika langsung menyerah.

"Serius, Miyuki? Kau tidak membuat masalah padanya, kan?" Tanya Mima berbisik.

Samurai yang ditanya menghela napas. "Itu hanya perasaanmu. Semua baik-baik saja."

Kedua matanya fokus pada sosok Eijun. Rambutnya yang terlihat halus bergerak mengikuti kepalanya yang menengok untuk melihat sekitarnya. Sebuah pin bunga serupa dengan corak kimononya terselip di rambut dekat telinga kiri. Walau hanya sekilas, dia bisa melihat senyum merekah di balik kipas yang menutupi sebagian wajah. Mima pun dibuat penasaran, apa yang membuatnya tersenyum dan bagaimana suara tawanya karena sejak awal bertemu pemuda itu tidak pernah bicara padanya.

Tiba-tiba objek pengamatannya berjongkok. Mima maupun Miyuki ikut berhenti. Dilihatnya Eijun mengambil pin rambut yang memiliki bentuk bunga mawar merah di salah satu ujungnya. Tak lama seorang anak perempuan lari mendekat.

"Oneesan, itu pinku!" serunya terengah-engah.

Tanpa bicara, Eijun menaruh pin itu ke telapak tangan sang bocah.

Pemilik pin tersenyum lebar. Kedua matanya cerah menatap penolongnya. "Terima kasih, Oneesan! Semoga Dewa memberkatimu!" serunya lagi.

Mima bisa melihat tatapan Eijun yang melembut diiringi senyum di bibirnya yang masih setia ditutupi. Tangan kanannya menyentuh puncak kepala anak itu kemudian mengusapnya pelan dan penuh kasih sayang. Tentu tingkahnya dibalas dengan cengiran lebar sebelum dia berlari pergi menyusul wanita tua yang mungkin adalah ibunya. Sang darah suci berdiri dan membalas lambaian tangan anak itu.

Dari sudut matanya, Miyuki terlihat ikut memperhatikan kejadian barusan dengan seksama. Tapi Mima tidak bertanya lagi. Mereka pun melanjutkan perjalanan.

Sambil memijaki anak tangga menuju puncak tempat kuil Inari berada, mereka bertiga disapa beberapa peziarah kuil. Dibandingkan dua samurai yang membawa pedang di sisi tubuhnya, sapaan mereka yang berupa anggukan kepala dan senyum ramah sepertinya dialamatkan pada Eijun. Mungkin pemuda cantik itu memiliki kesan tersendiri sehingga mereka bisa melakukan hal demikian tanpa bertegur sapa secara langsung. Mima akui memang penampilan Eijun enak dipandang, matanya betah dimanjakan kecantikan alami dengan cuma-cuma begini.

Seorang biksu yang sedang menyapu halaman kuil kini berhenti dan tersenyum ke arah mereka. Dia kenal biksu muda satu ini. Namanya Amahisa Kousei. Kekuatannya dalam menaklukan roh-roh jahat sudah tersebar ke seluruh penjuru Yamato.

"Ohayou gozaimasu, Ojousama." Sapanya sambil membungkuk penuh hormat.

Tangan kanan Eijun menepuk bahunya pelan. Sentuhan itu terlihat akrab di mata Mima.

Amahisa berjalan mendekati kuil utama tempat para peziarah biasa memanjatkan doa pada dewa. Eijun mengikuti biksu itu, begitu juga dengan dua penjaganya. "Pasti mereka adalah samurai yang dimaksud Kaisar ya, Eijun-sama?" Tanyanya tiba-tiba.

Mima diingatkan fakta bahwa kuil Inari adalah salah satu kuil utama di daerah ini. Hal itu tidak menutup kemungkinan Amahisa tidak mengetahui identitas sang darah suci. Terutama jika mereka sering bertemu. Perasaan asing yang tidak pernah dirasakan sebelumnya kini muncul di hati Mima. Dia tidak bisa mengartikannya secara jelas tapi Mima harus mengakui salah satunya adalah rasa iri atas pertemuan mereka.

Apa ini yang namanya cemburu? Ingin marah, namun tak bisa diucapkan.

Kepala Eijun mengangguk sebagai jawabannya. Amahisa kemudian pamit undur diri dan sempat menatap mereka berdua sebelum pergi ke tempat lain, entah melakukan apa. Miyuki terlihat membungkukkan badan sedikit. Mima menyadari kilatan tidak suka di mata sang biksu.

"Sepertinya dia tidak suka dengan kita," gumamnya pada Miyuki ketika Eijun memulai doa.

Kedua bahu Miyuki terangkat ke atas. "Tidak ada hubungannya denganku."

"Tapi dia tahu tentang Eijun."

"Karena dia salah satu biksu penting."

"Tidak salah lagi." Mima menyilangkan tangan di depan dada. Mata masih betah memandangi keindahan berwujud manusia di hadapannya. "Meski cantik, dia terlihat seperti burung yang hidup dalam sangkar."

"Dia tahu mala petaka akan datang kalau tidak menutupi identitasnya." Miyuki membalas.

"Tapi yang paling menyedihkan adalah kenyataan dia tidak bisa mewujudkan mimpinya."

Sejenak dia menangkap perubahan ekspresi Miyuki. Terkejut dengan matanya yang menatap kosong ke depan. Tapi itu terjadi dalam hitungan detik karena rival yang sekarang jadi rekan kerja tiba-tiba berdiri tegak. Mima yang sempat bersandar pada batang pohon plum ikut menegakkan tubuh. Eijun masih bungkam namun tubuhnya terlihat rileks sambil berjalan ke arah yang lain dari Amahisa tadi.

Mereka mengikuti langkah tuan(putri) yang mengarah ke belakang kuil. Terdapat hutan di sana dan menurut kabar, itu menjadi tempat para rubah tinggal. Ternyata memang kabar burung tersebut benar.

Mungkin mereka akrab dengan Eijun sehingga ada tiga rubah merah yang langsung mendekat. Salah satunya bersikap manja dengan menggosok kepala ke kaki sang darah suci. Mima sekali lagi dibuat takjub. Pemuda cantik di hadapannya memang bukan manusia biasa. Pembawaan dirinya yang terlalu tenang sanggup membuat hewan buas terlihat jinak di sekitarnya. Sesaat dia menatap kedua penjaganya namun pandangannya langsung tertuju pada Mima.

Jantungnya berdegup kencang karena tatapan itu. Eijun membuat gestur untuk menyuruhnya mendekat. Mima bereaksi cukup cepat walau hampir jatuh tersandung batu. "Apa Anda butuh sesuatu, Eijun-sama?" tanyanya lembut sambil tersenyum.

Eijun mengambil sepuluh koin emas dari tas yang dibawanya lalu menyerahkannya pada Mima. Tanpa mengendurkan senyum simpulnya, dia memberikan tatapan bingung. Pemuda itu masih tutup mulut tapi pandangannya tertuju pada para rubah yang kini bertambah jadi lima ekor. Dengan nada ragu, Mima pun bertanya, "Apa Anda meminta saya membelikan daging atau semacamnya untuk para rubah ini?"

Kali ini anggukan kepalanya terlihat lebih bersemangat. Kemudian untuk pertama kalinya Mima diberikan cengiran lebar nan lugu dari Eijun. Terkesima, dia tidak sadar tubuhnya di balik lalu sedikit didorong oleh tuan(putri)nya.

"O-oke, oke. Mohon tunggu sebentar, Eijun-sama." Ucap Mima senang.

Miyuki menatapnya sengit dan Mima hanya bisa menyeringai penuh kemenangan.

Sayangnya, itu hanya umpan yang diberikan Eijun supaya dia bisa bicara empat mata dengan Miyuki. Dia duduk bersimpuh, mengabaikan kimononya yang akan kisut serta ternoda tanah. Semilir angin menyejukkan hati dan pikirannya sejenak.

Satu rubah yang menggosokkan kepalanya tadi sekarang berada di pangkuannya. Dua rubah lainnya duduk di sekitar Eijun, sementara sisanya tampak segan dan mengambil jarak dari mereka, para manusia. Tas dibiarkan tergeletak di atas tanah. Tangan kanan Eijun mengelus bulu rubah yang halus. Matanya terpejam ketika angin kembali berembus mengenai wajah dan seluruh tubuh. Ketenangan yang didapat seolah memperingatkan akan datangnya badai.

Eijun tidak suka perasaan ini.

"Anda sengaja membuat Mima pergi."

Itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan. Dia hanya memberi Miyuki senyum simpul meski tahu tidak bisa dilihat. Terdengar tawa dari atas. Salah satu penjaganya sudah berdiri tak jauh darinya. Rubah di pangkuan Eijun mengangkat kepala, dia menggeram tidak suka pada Miyuki. Tapi Eijun langsung menenangkan rubah itu dengan usapan di belakang telinga.

"Sejak kapan kalian bertemu diam-diam?"

Cepat atau lamban dia tahu Miyuki akan bertanya soal itu.

Masamune sudah memperingatkan bahwa dua penjaganya bukan samurai biasa, terutama Miyuki Kazuya. Sebelum berpisah, Eijun juga diberitahu tentang adanya pengganggu semalam sehingga mereka harus pindah tempat dan menyeberangi sungai. Tapi dia tidak akan menjawab pertanyaan tersebut. Jadi Eijun terus mengelus bulu rubah, memandangi hijaunya daun-daun di hutan seolah tidak mendengar suara Miyuki.

"Saya anggap diammu berarti Anda tidak mengelak fakta kalian sering bertemu."

Suara lonceng kuil terdengar cukup memekakkan telinga.

"Saya tahu rahasiamu, tidakkah Anda pikir saya akan menyebarkannya?" ucap Miyuki setelah suasana kembali tenang.

Menghela napas, Eijun tidak bisa menahan diri untuk menyuarakan pendapat. "Aku tahu kau bukan orang yang akan melalaikan tugas dan berkhianat pada tuanmu, Miyuki Kazuya-sama," balasnya dengan nada pelan. Dia bisa merasakan tubuh Miyuki mematung di tempat. Mungkin tidak menyangka dia akan bicara padanya.

"Anda tidak tahu siapa saya yang sebenarnya," balas samurai itu.

"Tapi aku percaya padamu."

Miyuki tidak bisa menahan tawanya lagi yang justru terdengar sangat payah dan tanpa tenaga. Untuk kedua kali, dia bisa mendengar suara Eijun. Dia bisa menangkap rasa kejujuran di setiap kata yang terucap. Suaranya yang merdu juga terdengar manis di telinga, terutama ketika Eijun menyebut namanya. Dia merasa tidak sanggup berdiri, pusing karena hanya suara detak jantungnya sendiri yang bisa didengar. Perasaan senang sampai tingkat ekstrim ini, Miyuki belum pernah merasakannya seumur hidup.

Kepala Eijun mendongak. Napasnya tercekat di kerongkongan ketika mata mereka bertemu. Mata cokelat keemasan itu adalah mata terindah yang pernah Miyuki lihat. Senyum tipis serta tatapannya yang tulus mampu menghentikan kinerja seluruh tubuhnya.

Entah keyakinan dari mana, Miyuki berpikir dia mungkin akan mati di tangan pemuda cantik ini suatu saat nanti.

"Yang Anda katakan itu tidak adil bagi saya," kata Miyuki, mengibarkan bendera putih dalam benaknya.

Bagai menang undian lotre, telinganya juga menangkap suara tawa yang tertahan dari Eijun. Walau pemuda itu berusaha menutupi dengan memalingkan wajah, tapi Miyuki hanya tahu dia berusaha menahan tawa. Tuan(putri)nya memang bersikap tidak adil.

Kurasa aku yang menang di sini daripada Mima, pikr Miyuki pada akhirnya.

.

Bunga yang Terlindungi

.

Kacau. Harinya penuh kesialan sejak semalam. Tidak ada pekerjaan yang dilakukan Mei dengan benar hari ini. Bahkan dia kena semprot Masatoshi karena hampir melepaskan iblis yang berbuat onar di ibukota tempatnya tinggal untuk sementara waktu.

Giginya bergemeletuk. Kesal bukan main. Apalagi karena benaknya terus memutar memori pembicaraannya dengan Miyuki dan pemberontak bernama Kuramochi. Dengan tidak sabaran Mei menuang sake dari botol ke piring kecil. Dia melahap sepotong daging sapi panggang yang sudah matang, tanpa mempedulikan panasnya daging yang masih mengepul. Emosi yang sejak hari itu tersegel kini rasanya meletup-letup dalam hati.

Hap, hap, hap.

Satu demi satu potongan daging dimasukkan ke dalam mulut. Mei menenggak sake dari botol langsung sampai tandas. Ketika dia ingin mengambil potongan daging lagi dari panggangan, iblis itu pun sadar porsinya sudah habis.

"Masamune sialan!" serunya seraya melempar sumpit ke sembarang tempat.

Salah satu sumpit memantul dari tatami ke arah pintu yang tiba-tiba terbuka. Kedua mata birunya menatap tajam pada sosok yang seenak jidat masuk ke ruangan yang sudah dia sewa untuk makan malam. Suara decihan pelan lolos dari mulut begitu tahu siapa pelakunya.

"Apa yang kau lakukan di sini, Ryousuke?" Tanya Mei sarkas.

"Are... tak kusangka bisa bertemu denganmu, Mei."

Matanya melotot karena Ryousuke pura-pura bersikap bodoh kemudian menutup pintu dan duduk berhadapan dengannya. Seekor rubah merah yang sejak tadi mengikutinya sekarang duduk di pangkuan iblis licik itu. Mei ingin marah, meneriaki, dan mengusirnya tapi memilih diam. Dia tidak bisa bertindak sesuka hati di depan Ryousuke karena mereka adalah rekan kerja. Begitulah kata kaisar mereka.

Iblis Kitsune itu tersenyum sambil mengelus kepala rubah. "Kinerjamu buruk."

"Aku sedang tidak ingin membicarakannya." Balasnya cepat.

"Ah sayang sekali, padahal aku tak punya topik lain untuk dibicarakan."

Dia tahu itu hanya bualan. Ada banyak hal yang bisa Ryousuke bicarakan karena julukannya sebagai Sumber Informasi bukanlah isapan jempol belaka. Ketika memikirkan ini, Mei tidak bisa untuk tidak memikirkan kemungkinan dia tahu rahasia tentang manusia darah suci yang ternyata adalah kekasih Masamune. Tentu ini semakin membuatnya kesal.

Apa-apaan dengan sikapnya!?

Tidakkah dia tahu mereka sudah dipermainkan oleh para manusia kotor itu!?

"Aku yakin ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu."

Sambil menahan amarah, Mei bertanya, "Kau sudah tahu hal ini sejak awal, kan?"

Ryousuke menyangga dagu dengan kedua tangan. Senyum palsu itu masih setia di wajahnya yang tak terbaca. "Tentu saja aku tahu. Memang sudah berapa lama kita berteman, hm?"

Suara gebrakan meja memenuhi ruangan. Kerasnya suara itu bisa terdengar sampai keluar rumah makan. Tak ayal membuat meja panggang di antara mereka retak. "Kau tahu apa yang kumaksud, brengsek!" hardiknya.

Diam adalah jawaban Ryousuke. Tapi kedua mata yang selalu dibiarkan tertutup perlahan dibuka. Menampilkan bola mata semerah api dan dikelilingi warna hitam. Raut wajah berubah dingin seolah siap menerkam mangsa. Dua ekor putih bergerak dan itu tidak terlihat lucu sama sekali. Mei tidak takut padanya, dia lebih memikirkan kemurkaan kaisar mereka ketika tahu iblis pilihannya bertengkar karena masalah sepele sampai menghancurkan ketenangan di sini. Terlebih karena besok ada jamuan makan malam di istana.

Mei membuang napas dengan kasar. "Ryousuke, kenapa kau mau saja dipermainkan oleh para manusia brengsek itu? Ke mana harga dirimu sebagai iblis?"

Bola mata merahnya disembunyikan kembali. Sebelah alis diangkat seolah apa yang ditanyakan adalah pertanyaan konyol yang pernah didengar. "Aku tahu kau tidak bodoh." Mei ingin protes namun disela, "Kita tidak dipermainkan. Ini adalah kenyataan dan kita harus menerimanya. Kalau kau tidak terima, silakan protes pada Hyang."

Mendengar nama sang penguasa Mei langsung diam. Mana mungkin dia bisa protes padanya!?

"Bodoh! Dan Masamune—!"

"—pelankan suaramu."

Baik Mei maupun Ryousuke berhenti bicara. Mereka sadar iblis darah terlarang itu sedang berjalan melewati rumah makan. Sekuat-kuatnya mereka menggabungkan kekuatan, mereka tetap memilih tidak berurusan langsung dengan Masamune. Bukan karena sosok pendukung di belakangnya, melainkan kekuatan iblis itu sendiri juga tidak bisa dianggap remeh.

Setelah keberadaannya tidak tercium, Mei pun mendengus kesal. "Dia juga tidak bilang soal Sawamura Eijun adalah manusia darah suci. Yang benar saja!?"

"Yah, bagaimanapun dia bukan iblis bodoh yang rela kekasihnya diamuk massa."

"Cih, kekasih? Iblis sepertinya masih punya hati, huh?"

"Sayangnya, masih."

Mei pura-pura tidak sadar adanya perubahan nada di kalimat barusan. Dia memilih undur diri. Meninggalkan beberapa koin emas dan perak untuk membayar pesanannya. Ketika tombak grim reaper digenggam, Ryousuke kembali mengeluarkan suara.

"Kau ingin membuat konfrontasi dengan sang darah suci?"

"Patroli."

Kali ini Ryousuke yang mendengus. Mana mungkin iblis itu termakan bualannya. Dia benar-benar tidak bermaksud membuat keributan. Mei ingin memastikan dan memberi peringatan. Apapun yang direncanakan para manusia, semuanya akan terbongkar. Itu hanya masalah waktu kapan mereka mengetahui kebenaran yang ada. Dibanding terus menyembunyikan, Mei lebih ingin mereka mengakui tapi pilihan manapun reaksi para iblis tentu akan negatif.

Di sinilah Mei berdiri. Sekitar dua ratus meter dari istana dia bersembunyi di antara pohon yang rimbun. Matanya menatap lurus pada balkon kamar Eijun. Sosok itu berdiri dengan suling yang disebut Shinobue di tangan.

Tak lama suara merdu alat musik dari bambu itu menyenandungkan sebuah melodi menyayat hati. Meski Mei mengakui hatinya sudah lama mati, tapi dia tidak membantah fakta bahwa suara itu terdengar memilukan. Dia yang merupakan salah satu dari jutaan manusia kotor di dunia ini, mampu menggerakkan hati Mei dalam sekejap. Membuatnya merasakan apa itu kesedihan, kesepian, kebingungan, kemarahan, kehancuran, serta ketidakberdayaan yang Eijun rasakan. Membawa akal pikirannya masuk ke dalam kegelapan yang tak berujung.

Inikah yang seorang manusia darah suci kini rasakan?

Dia tidak menyadari tubuhnya sudah terbang. Mengikis jarak ratusan meter sehingga tangannya bisa menjangkau wajah Eijun. Setetes air mata dari ujung matanya dihapus dengan ibu jari. Ekspresi terkejut muncul namun tidak membuatnya melangkah mundur. Mei akui dia punya nyali berhadapan dengan iblis kuat sepertinya.

"Kau adalah manusia darah suci itu, kan?"

Tubuh Eijun yang menegang lantas memutus kontak mata dengan cara menunduk.

Mei tidak segan-segan memaksanya mendongak. Dia mengangkat dagunya dan ekspresi Eijun terlihat kacau. Ada sinar rasa takut di matanya yang menyala bagai perhiasan emas. Hal yang membuat Mei kagum adalah tubuh manusia itu yang tidak goyah. Bergetar pun tidak. Hanya terpantul takut dan cemas yang membayangi dari matanya.

"Kau boleh menutup mulut, tapi aku sudah tahu semuanya." Ucap Mei dingin.

Genggamannya pada Shinobue tampak menguat.

Aah, Mei suka ekspresi yang ditunjukkan Eijun padanya. Dia berusaha menguatkan diri walau bernapas pun rasanya sulit. Siapa sangka si keparat itu yang berhasil mendapatkannya? Mei mendengus, "Dari sekian banyak iblis, Masamune yang tahu lebih dulu dan menemuimu langsung. Bahkan lebih dari satu kali." Tawa penuh rasa menjijikkan terdengar di keheningan malam. "Sungguh ini lelucon terburuk yang pernah kulihat!" serunya sambil melepas Eijun.

Di tengah-tengah rasa sesak yang mendera, manusia itu masih bisa bersuara lirih. "A-apa... kau akan... menyakiti... Masamune...?"

Kedua alis Mei mengernyit dalam. "Kau pikir?"

"Ja-jangan! Kumohon—!"

Genggaman pada tombaknya menguat. Manusia ini jelas tidak tahu seberapa kuat Masamune dan berpikir sang iblis akan disakiti. Tapi dia tak bisa mengelak keinginan untuk dilindungi seperti yang dilakukan Eijun pada Masamune. Dengan nada dingin, Mei bertanya, "Posisimu dalam bahaya karena aku bisa membunuhmu kapan saja, tapi kau malah memohon padaku demikian? Apa yang mendasarimu melakukan ini? Perasaan manusiawi?"

Ada getaran lagi di hati Mei ketika ekspresi Eijun berubah jadi lebih serius. Pancaran tekadnya terlihat kuat di kedua matanya. "Karena aku mencintainya!"

"Cinta?" Mei tertawa sarkas. "Kau terlalu munafik!"

Tiba-tiba pintu dibuka. Mei mengenali mereka adalah Miyuki dan samurai penggila keadilan, Mima. Eijun ditarik paksa sehingga kini berdiri di belakang para samurai. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak menatap tajam pada Miyuki karena sudah mengacungkan ujung pedang padanya. Tapi Mei putuskan kembali beralih menatap sang darah suci. "Cepat atau lambat perang akan terjadi. Sampai saat itu tiba, aku akan mengawasimu, Sawamura Eijun," pesannya sebelum terbang menjauhi istana.

Deru napas tidak beraturan menjadi pengingat Mima dan Miyuki. Sosok Eijun kemudian terkulai lemas dan hampir jatuh kalau saja mereka telat menahan. Dengan cepat Miyuki membawa keponakan kaisar itu ke atas futon. Samar-samar dia bisa mendengar kata 'terima kasih' keluar dari mulut Eijun.

Mima tidak ambil pusing dengan pemandangan di hadapannya. Miyuki yang terlihat arogan dan berdarah dingin itu bisa bertindak lembut layaknya seorang pangeran pada Eijun. Pikirannya pun terfokus pada fakta petinggi pihak iblis sudah mengetahui identitas Eijun walau sepertinya tidak akan membongkar rahasia tersebut pada yang lain. Tapi dia harus melapor kejadian ini pada kaisar untuk segera bersiap diri karena adanya kemungkinan perang terjadi saat jamuan makan malam besok.

Dia melangkah mendekati balkon. Matanya menatap hamparan langit malam penuh bintang. Sosok iblis yang dikenali bernama Narumiya Mei entah mengapa memiliki fisik seorang tengu. Rasa gelisah menyusup dalam dada.

Apa ini adalah akhir dari dunia...?

.

.

.

Bersambung...