Ini bukan kencan. Ini hanya makan bersama antara seorang laki-laki dan perempuan yang baru saja saling mengenal kurang dari dua jam yang lalu. Itulah kalimat yang terus menerus kuulang di dalam otakku.

Tapi tunggu dulu, bukankah itu jadi terdengar seperti kencan buta yang biasa kulihat di serial televisi? Kondisi dimana sang tokoh wanita dan tokoh pria bertemu tanpa saling mengenal karena desakan atau paksaan dari teman mereka. Oh, tidak!

Ini memang bukan kencan pertamaku—ehm, maksudku makan bersama berdua saja dengan seorang pria. Tapi.. setidaknya, aku ingin memilih tempat yang lebih pantas daripada di sini.

Maksudku.. kencan di kantin rumah sakit?

.

.

Kakkoii-chan presents

Doctor's Question

Naruto © Kishimoto Masashi

Warning! AU Sakura's POV OOC Bahasa campur adukTypo Abal Geje Lebay

Don't Like Don't Read

ENJOY!

.

2nd station : Lunch Date? NO!

.

Aku memandang kaku ke arah pria di depanku. Sekali lagi harus kuakui, dia memang benar-benar tampan. Bahkan melebihi dokter Uchiha—maafkan aku dokter, yang telah seenaknya membanding-bandingkanmu dengan adikmu sendiri. Tapi sungguh. Kulitnya yang bersih dan mulus—yang sepertinya kongenital—pasti akan membuat dokter kulit manapun menangis. Ditambah dengan rahangnya yang kokoh, menambah kemaskulinan wajahnya. Walaupun bulu matanya tampak panjang dan lentik, membuat bahkan perempuan sepertiku akan iri melihatnya.

"Tidak makan?" tanyanya dengan suara dalamnya. Seketika aku merasa malu karena ketahuan menatapnya terlalu lama.

Aku buru-buru menyaut sumpitku, mematahkannya sebelum menggunakannya untuk memasukkan nasi putih hangat itu ke dalam mulutku. Sepertinya terlalu banyak kejutan di hari ini membuatku lupa betapa laparnya aku saat ini.

"Kukira makanan rumah sakit tidak enak," dia—Uchiha Sasuke—membuka kembali suaranya. Mungkin berusaha menghilangkan suasana—yang menurutku—canggung ini.

Aku tersenyum sekilas, "Makanan untuk pasien memang tidak ada rasanya. Tapi kantin rumah sakit bebas menyediakan apapun kan?" tukasku sedikit bercanda. Dan ia tersenyum—coret, menyeringai tipis.

Dan setelah itu beberapa topik mulai mengalir di antara kami. Cukup untuk menambah pengetahuanku mengenai makhluk tampan ini—astaga sudah berapa kali aku menyebut Uchiha Sasuke tampan hari ini. Bahkan dua puluh empat jam belum berlalu. Tahan dirimu, Sakura.

Kembali ke Uchiha Sasuke minus ketampanannya. Jadi laki-laki ini adalah adik Dokter Uchiha sekaligus anak bungsu di keluarga Uchiha. Berbeda dengan kakaknya yang memilih mengambil jurusan kedokteran mengikuti keinginan pribadi, Sasuke ini—begitu dia memintaku memanggilnya dengan alasan Uchiha-san itu ayahnya, bukan dia—memutuskan untuk meneruskan usaha keluarganya. Aku baru tahu ternyata keluarga Uchiha adalah pemilik Sharingan Group, suatu perusahaan nasional yang bergerak di bidang properti, perhotelan, dan tempat perbelanjaan di Konoha. Jadi tidak heran walaupun ia baru lulus sekitar dua tiga tahun yang lalu di universitas yang sama denganku, ia sudah mendapat posisi cukup nyaman di perusahaannya.

Topik kemudian sedikit bergeser mengenaiku—walau aku heran apa menyenangkannya mendengar kisah seorang koas yang bagaikan debu di bawah keset ini. Tapi ia cukup tertarik sepertinya, bahkan bertingkah seolah apapun yang keluar dari bibirku adalah hal yang paling penting yang harus ia ketahui. Ya mungkin kisah pahit manis koas cukup menarik bagi orang awam.

Namun kemudian pembicaraan kami terhenti karena ada seseorang yang memanggil namaku. "Sakura?"

Aku menoleh dan mendapati beberapa orang berjas putih ala jas koas menatapku dengan tatapan berbeda-beda. Beberapa tampak tertarik dan ingin tahu, beberapa nampak melempar tatapan yang berkata 'astaga-apa-ini-yang-barusan-kutemukan-semua-orang-harus-tahu', dan beberapa juga ada yang nampak tak terlalu peduli.

Astaga, kenapa aku bisa lupa. Kantin rumah sakit. Ditambah jam istirahat. Jadi sudah pasti para koas kelaparan akan berduyun-duyun kemari.

"Ah, halo, Kak Tenten," jawabku agak canggung. Untung saja yang lain memutuskan bahwa mengisi perutnya jauh lebih penting daripada mengurusi seorang koas berambut merah muda, sehingga hanya satu orang yang namanya kupanggil itu yang tetap di tempat. Dan aku bisa melihat jelas kerlingan di matanya yang seolah berteriak ia menemukan gosip baru untuk bahan obrolan di saat jaga malam hentikan tatapanmu yang seolah mengulitiku hidup-hidup, Kak! Jeritku dalam hati. "Apa kabar?" lanjutku untuk mengalihkan topik.

"Baik, tentu saja," jawabnya kali ini tatapannya fokus ke arah Sasuke. "Maaf, sepertinya aku mengganggu acara makan siangmu dengan pacarmu ya?" ia mengendikkan dagunya ke arah laki-laki yang duduk di depanku.

Aku buru-buru menggeleng. "Ti-tidak kok, ini bukan seperti yang kakak pikirkan," aku mencoba menjelaskan. "Sasuke ini adik Dokter Uchiha bukan—"

"Astaga! Kau memacari adik Dokter Uchiha?" ujarnya dengan volume yang bisa didengar oleh seisi ruangan ini—oke berlebihan. Tapi beberapa orang yang duduk di sekitarku memang jadi menoleh ingin tahu—membuat wajahku memerah semerah-merahnya. Pasalnya Dokter Uchiha itu cukup terkenal di sini—dari koas, residen, konsulen, sampai satpam dan cleaning service pasti kenal beliau. Setidaknya tau nama dokter tampan itu.

"Bukan seperti itu, Kak. Aku dan dia—"

Sayangnya gadis itu sama sekali tidak mengubris kata-kataku. Ia malah menjulurkan tangannya ke arah Sasuke, dan berkata, "Hai. Aku Tenten, kakak kelas Sakura. Aku tidak tahu kalau Sakura ternyata sudah punya pacar—adik Dokter Uchiha pula. Astaga."

Sasuke diam beberapa detik—dan aku berharap ia akan segera menjelaskan segala kesalahpahaman ini. Tapi sayangnya tidak.

Ia hanya membalas jabatan tangan Tenten sekilas, dan menjawab, "Uchiha Sasuke."

Demi Tuhan, Sasuke, kenapa kau tidak berusaha menjelaskan apapun. Aku mendelik ke arah Sasuke, tapi ia malah melempar senyum—maksudku—seringai seksinya lagi ke arahku. Sepertinya dia cukup terhibur dengan keadaan ini.

"Kak Tenten," panggilku lagi, mencoba untuk menarik perhatian gadis bercepol dua ini. "Ini bukan seperti itu. Jadi—"

"Kukira kita cukup dekat," potong Tenten sebelum aku selesai bicara. Astaga, kenapa semua orang suka sekali memotong kalimatku. "Ya, ya, aku jadi paham kenapa waktu itu kau menolak kukenalkan dengan temanku. Kau sudah punya pacar setampan ini sih," ia terkekeh sambil menepuk-nepuk bahuku—membuatku nyaris terjungkal karena tenaganya yang tidak terkontrol itu.

"Kak—"

Tenten memberi sinyal agar aku diam. Dan dengan patuhnya aku menurut begitu saja dengan perintah telunjuk tangannya. "Tak apa, aku tak marah. Kau bisa cerita lain kali, oke?" ia mengedipkan mata kirinya kemudian menoleh ke arah Sasuke. "Kalau begitu, selamat menikmati! Maaf sudah mengganggu waktu berharga kalian."

Dan tanpa memberikan kesempatan padaku untuk sekedar membalas salamnya, ia sudah menghilang di balik antrian makan siang yang mulai memanjang. Oke, ada apa dengan hari ini. Rasanya semua berada di luar kendaliku.

"Temanmu bersemangat sekali ya," komentar pendek Sasuke membuatku kembali ke kenyataan. Dan entah kenapa wajahnya tidak tampak terganggu, malah seperti mendapat hiburan gratis.

"Sasuke, kenapa tadi tidak menyangkal? Kan Kak Tenten jadi salah paham," ujarku agak merajuk.

Dan Sasuke malah tertawa. Tertawa, apa kau bisa percaya. Dan kuakui tertawanya membuat wajajnya jadi terlihat manis. Ups.

"Biarkan saja kalau dia mengira seperti itu, toh tidak ada ruginya," jawabnya santai sebelum kembali meminum jus tomatnya yang tinggal separuh.

"Tapi tetap saja, Sasuke, itu kan tidak benar," ujarku masih bersikeras.

Kali ini ganti ia yang menatap mataku lekat-lekat, membuatku kontan jadi grogi. Kenapa mata hitamnya itu terlihat indah sekaligus mengintimidasi sih? Tenang Sakura, tenang. Aku mencoba menenangkan diri. "Ehm, Sasuke? Kenapa tiba-tiba melihatku seperti itu?"

Ia tidak melepaskan tatapannya dari wajahku, hanya saja posisinya kali ini lebih santai dari sebelumnya. "Tidak, aku hanya berpikir, jangan-jangan kau yang tidak suka dikabarkan begitu denganku?"

Dan kalimat Sasuke membuatku melongo. Pertanyaan macam apa ini? Ini semacam pertanyaan menjebak yang sering ditanyakan oleh konsulen ketika sedang maju presentasi kasus. Jawab iya atau tidak sama-sama bunuh diri.

"Maksud Sasuke?" aku mengalihkan mataku ke piringku yang sudah kosong, sembari berusaha terlihat santai dengan mengaduk gelas berisi es tehku yang sebenarnya sudah kosong. "Bukan masalah suka atau tidak suka, tapi ini terdengar seperti berbohong kan?"

"Jadi kalau bukan bohong tidak masalah?" tanyanya dengan mimik serius nan polos.

Lagi-lagi jawabannya di luar dugaanku. Apa orang ini benar-benar serius? Maksudku kami bahkan baru mengenal kurang dari tiga jam yang lalu.

Dan di saat penuh kecanggungan seperti ini, aku kembali diselamatkan oleh dering ponsel—yang kali ini berasal dari telepon pintarku. "Ah, maaf Sasuke, aku angkat telepon dulu ya."

Ternyata dari Hinata—yang tidak pernah kucintai lebih dari saat ini. Ia bilang kami harus segera mengumpulkan logbook karena bagian administrasi akan tutup lebih awal dari biasanya untuk alasan yang tidak terlalu kudengar karena terlalu bahagia.

Aku menjejalkan kembali ponselku ke saku jasku, kemudian tersenyum—seolah penuh penyesalan, walaupun aslinya aku sangat bersyukur atas bantuan dari langit ini. "Maafkan aku, Sasuke, aku harus segera kembali," pamitku tanpa menjelaskan lebih banyak. Maksudku, dia bukan apa-apaku sampai-sampai aku harus menjelaskan segalanya kan?

"Oh begitu, baiklah," suaranya terdengar datar—membuatku sulit menerka apa maksudnya. "Senang bertemu denganmu, Sakura. Kuharap kita bisa menghabiskan waktu lebih banyak," ujarnya dengan senyum sangat tipis.

Seketika aku sedikit merasa bersalah, namun buru-buru kuhapus perasaan aneh itu. "Tentu saja, Sasuke. Lain kali," aku membalas senyumnya sambil beranjak dari tempat dudukku.

Aku kemudian cepat-cepat berbalik setelah melambai ala kadarnya ke arah Sasuke—untuk sopan santun. Bahkan aku tidak menoleh ke arah Tenten dan teman-temannya yang menyapaku. Cukup dengan semua hal tak terduga hari ini.

.

~ Doctor's Question ~

.

Hari ini terasa sangat panjang dan melelahkan—padahal hari ini aku hanya mengurus administrasi sebelum pindah ke stase lain senin besok. Mungkin otakku terlalu sering menerima stressor berlebihan, atau jantungku yang dipacu terlalu keras tanpa peringatan sebelumnya. Entahlah.

Aku merogoh ponselku yang sedari tadi mendekam di tasku tanpa sekalipun kulirik karena baterainya yang sudah nyaris habis. Ada cukup banyak notifikasi di Line, mungkin anak-anak sedang membicarakan sesuatu—yang biasanya gosip. Aku pun memutuskan untuk membukanya setelah memastikan aliran listrik telah mengalir ke ponselku yang seharusnya diistirahatkan.

Mataku yang tadinya sudah setengah menutup kembali membeliak lebar. Apa-apaan ini. Aku pun menggeser tampilan pembicaraan grup itu sampai ke batas paling atas yang belum kubaca. Dan benar saja, ada fotoku—yang sedang tertawa—bersama Sasuke—yang hanya juga tersenyum tipis—di kantin tadi siang.

Aku ingin mengubur diriku saat itu juga. Atau mungkin melompat dari atap terdengar menarik juga.

Kemudian aku mengalihkan perhatianku ke aplikasi yang lain, ada nomer tak dikenal mengirimiku pesan. Fotonya tidak cukup jelas untuk menunjukkan jati diri si pemilik nomer asing itu—karena itu adalah foto berkelompok di suatu tempat yang terlihat seperti pantai. Dan jantungku tidak pernah terasa seperti berhenti mendadak seperti ini. Hanya karena membaca dua baris kalimat.

Sakura? 15.02

Ini Sasuke 15.02

Oh, sial. Tuhan benar-benar mempermainkan hidupku.

.

.

Chapter End

.

.

EAAAA.. ternyata aku bisa lanjutin fic nista ini. NYAHAHAHAHAHA.

Jadi.. bukan bermaksud menipu, cuma pengen liat reaksi fic ini dulu sih. Biar ga pehape aja sih. Tapi.. tetep statusnya saya complete ya, soale ga tau apakah mood dan ide untuk kelanjutannya akan ada atau nggak.

Betewe, sebenernya aku agak kurang sreg sama bahasa yang aku pakai di sini, rasanya agak aneh. Iya ga sih? Apa perasaan saya aja? Dan yang kemarin bilang sasusaku-nya kurang banyak.. ya emang sih. Makanya aku bingung mau masukin ke karakter sasuke apa nggak, tapi kan intinya mengantarkan ke sasusaku. Ya ga, ya ga? *maksa* Dan soal genre, aku juga galau deh. Sebenernya ga niat humor sih, tapi kok bilangnya pada ketawa ya? Jadi ini humor? Terus kalau chapter ini, apa udah lumayan menghimbur? Kebanyakan nanya ya? Hha.

Oke deh, mohon maaf kalau banyak kekurangan dan kenistaan. Ini efek terlalu banyak baca jurnal obat kanker, otaknya jadi sedikit obah. Hho. Terima kasih yang udah mau baca, review, fav, I love me too! *eh* balesan review bisa chek di pm masing-masing. Buat yang ga log in.. terima kasih sudah review!

Akhir kata, semoga terhibur yaa!

Salam cinta,

Kakkoii-chan

~ Jogja 05052017 23:25~

.

OMAKE

Ponsel Itachi berdering dengan nama adiknya muncul di layarnya. Tumben sekali adiknya itu meneleponnya, pikir sulung Uchiha itu. Ia pun mengangkat ponselnya, "Hei, Sasuke. Ada apa?"

"Kirimkan aku nomornya," jawab Sasuke dari seberang telepon.

Alis Itachi mengernyit bingung. Nomor apa ini? Polisi? Ambulans? Delivery makanan? Nomor rumah? Nomor plat kendaraan? Kenapa adiknya ini suka bicara setengah-setengah, membuat orang lain bingung saja. Maka dengan polosnya, dokter spesialis mata itupun bertanya, "Nomor? Kau baik-baik saja kan?"

Itachi bisa mendengar bunyi decakan lidah—tanda si adik mulai tak sabar. "Perempuan tadi, Sakura," jawab Sasuke cepat-cepat.

Kali ini senyum jahil dan bahagia tercetak di wajah dokter ini, "Kau tertarik padanya? Apa kubilang, untung kau tidak jadi pulang waktu kuberi tahu," ujar Itachi dengan nada bangga yang kelewat kentara.

"Berisik," tukas Sasuke cepat. "Cepat kirim, kutunggu," dan tanpa menunggu jawaban apalagi berpamitan, bungsu Uchiha ini memutus sambungan telepon antara ia dan kakaknya itu.

"Dasar laki-laki tidak sabaran," komentar Itachi sedikit kesal dengan tingkah adiknya itu. Sambil mencari senuah nama dari kontak ponselnya, seulas senyum kembali tercetak di bibirnya. Sepertinya prognosis untuk keberhasilan misinya kali ini cukup besar. Ia memang tahu betul apa yang diinginkan oleh adiknya tercinta.

.

.

Really Chapter End