Mask?

Naruto © Masashi Kishimoto

Story © Me—Miinami

[Sasuke Uchiha & Sakura Haruno]

.

.

Warning!

AU, Typo, Eyd? I'm not gomen /slap, Mainstream, M for Save, Alur kecepetan, etc.

.

.

A SasuSaku Fanfiction

[ Bencana yang menimpa Uchiha Sasuke, membuatnya mengetahui sifat asli seorang Haruno Sakura. Sang Lady lemah lembut, ramah, periang disekolah, bisa menjadi sangat... liar diluar kandang. Oh dia bagai manusia bertopeng. ]

.

.

.

.

.

.

.

.

.

DON'T LIKE, DON'T READ!

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Enjoy Reading...

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Selamat pagi Sakura-chan!"

"Pagi.."

Suara familiar seseorang membuatku menoleh pada asal suara, seperti biasa suasana pagi disekolah ramai oleh setiap orang yang menyapa seorang Haruno Sakura.

Oh yah, siapa yang tak mengenalnya disini?

Dia gadis yang cantik, lembut, baik hati, pintar, ramah, cantik, dan... cantik. Sial, berapa kali aku menyebutnya cantik? Baiklah abaikan. Dia memang cantik itu faktanya. Memiliki rambut pendek sebahu yang unik—berwarna merah muda, bukankah itu unik?—dengan poni yang dia buat menyamping, kedua bolamata emeraldnya yang meneduhkan, dan juga senyuman manis yang selalu dia tampilkan setiap disekolah. Sampai dia dijuluki Lady of Kyouko.

Aku menyukainya.

Aku suka ketika dia tersenyum dan membalas sapaan setiap murid—yang dominan para siswa—dipagi hari. Seperti biasa pula, Sakura datang bersama dengan seorang gadis berambut ungu gelap disebelahnya. Kalau tidak salah namanya Hinata, atau mungkin Ata? Ah entahlah aku tidak begitu mengingat namanya walau kami satu kelas. Jahat? Tidak juga. Aku hanya tidak perduli keadaan sekitar, terkecuali Sakura.

"Selamat pagi, Uchiha-san."

Dia menyapaku sebelum duduk tepat dikursi depan mejaku. Aku hanya menjawabnya dengan gumaman khas, tapi dia terlihat tidak mempermasalahkannya. Sakura hanya tersenyum dan kembali mengobrol dengan teman sebangkunya, karna Sakura dan gadis ungu gelap tadi berbeda tempat duduk, Sakura duduk dengan gadis berambut coklat dengan cempol dua. Cara bicaranya, gerak-geriknya, bahkan tawa ringannya sukses membuat jantungku berdebar. Disaat perempuan lain memanggilku dengan panggilan 'Sasuke-kun' Sakura malah memanggilku dengan formal, dia memang sangat sopan.

Sial,

Aku jatuh cinta padanya.

Klise memang, tapi ini adanya. Aku hanya seorang pengecut yang bahkan selama dua tahun satu kelas dengan Sakura tidak pernah berani mengobrol banyak dengannya.

Ngomong-ngomong, apa aku sudah memperkenalkan diri?

Baiklah, perkenalkan aku Uchiha Sasuke. Jangan tanya bagaimana rupaku, kalian boleh bertanya itu pada salah satu perempuan berisik yang selalu menjerit ketika aku lewat. Berlebihan? Tentu tidak. Jujur, mereka bilang aku tampan dengan kedua bolamata hitam tajam, dan bentuk rambut yang unik. Dobe bilang mirip bokong ayam, sialan mungkin dia benar.

"Hai bung! Oh oh oh, pagi-pagi seperti ini pangeran sekolah Kyouko sudah melamun?! Teme kau sehat?!"

Naruto bodoh, dia baru datang dan langsung menepuk bahuku keras. Aku mendelik, "Berisik Dobe, bisakah kau tenang sedikit?"

Dia tertawa, konyol. Naruto tahu kenapa alasan aku selalu melamun dipagi hari, tentu saja dia adalah sahabatku sejak kecil dan sekarang menjadi teman satu mejaku dikelas dua Sekolah Menengah Atas Kyouko School. Dia berisik, bodoh, idiot, berisik, dan berisik. Jika kalian bertanya kenapa orang sepertiku yang cenderung pendiam bisa mempunyai teman seperti Naruto yang sifatnya sangat bertolak belakang denganku? Entahlah, mungkin Tuhan memang adil, mempersatukan setiap perbedaan.

Tanpa sadar, aku tersenyum tipis mengingat alasan konyol itu.

"Kau sudah gila Teme?" Naruto berucap sambil menaruh tasnya pada sandaran kursi. "melamun dan tersenyum sendiri seperti itu tidak baik untuk kesehatan. Aku jadi takut padamu."

"Bodoh." aku mendesah pelan. "jangan berfikiran macam-macam Dobe."

Naruto mengulum senyumnya. Oh tidak, aku tahu arti senyuman itu. Aku menggeleng, mencegah Naruto berbuat hal yang ada dalam fikirannya.

"Sakura-chan!"

Sial!

Sakura yang sebelumnya sedang mengobrol dengan temannya menoleh saat sibodoh-Naru-Dobe memanggil namanya. "Ya?"

Aku melirik Naruto sekilas, terlihat dia menyeringai puas atas perbuatannya. "Kelihatannya Teme sedang tidak sehat pagi ini. Bisakah kau mengantarnya ke UKS? Aku harus ketoilet. Kebetulan kau cukup mengerti soal kesehatan iya 'kan Sakura-chan?"

Great!

Oke, aku memang kemarin kehujanan tapi bukan berarti aku sakit! Naruto sialan kubunuh kau nanti! "Tidak, aku ti—agh!" Naruto sengaja menginjak kakiku, dan mendelik seperti memprotes, damn it!

Sakura terlihat berfikir, tak lama dia tersenyum "Aa, baiklah."

Ya, tetaplah tersenyum Sakura. Dan buat aku semakin menyukaimu.

.

.

.

.

.

"Suhu badanmu normal." Sakura menyentuh keningku dengan punggung tangannya ragu, "kau tidak sakit Uchiha-san." lanjutnya sambil menurunkan tangannya.

Aku menghela nafas sesaat. "Sudah kukatakan, sibodoh itu hanya menipumu."

Dia tertawa kecil, "Ini pertama kalinya kau berbicara padaku."

Benarkah? Mungkin iya, dan Sakura tahukah kau, aku berdoa agar suara detak jantungku saat ini tidak terdengar olehmu. "Hn."

Sakura terlihat kecewa atas jawabanku. Oh mulut brengsek, tidak bisakah kau berbicara selain gumaman itu? Oke, aku mulai tak waras karena mengatai mulutku sendiri.

"Apa kau membenciku, Uchiha-s—"

"Tidak." belum sampai Sakura menyelesaikan ucapannya, aku menjawab cepat. "aku hanya tidak terbiasa berdekatan dengan seorang gadis."

Alasan pintar yang tak masuk akal. Semoga saja Sakura tidak tertawa mendengar—

"Hihihi."

shit, dia benar-benar tertawa.

"K-kau lucu Uchiha-san. Ah maaf, bukannya aku menertawakanmu. Tapi alasanmu cukup masuk akal juga jika melihat sifatmu yang terlihat tidak terlalu perduli dengan sekitar, apalagi perempuan." Tawa Sakura mereda, dia tersenyum manis dan itu membuat pipiku memanas. Berarti dia memperhatikanku ya?

"Begitulah."

Suasana diantara kami hening. Sakura juga sepertinya tidak mempunyai topik untuk kami obrolkan, aku juga sama. Kami tidak dekat, bahkan baru sekarang bisa mengobrol singkat. Aku berdeham untuk menutupi kesunyian. "Sebaiknya kita kekelas, tidak baik hanya berduaan diUKS seperti ini."

Sakura merona. Sial sial sial! Dia semakin manis! "A-ahaha, iya k-kau benar." dia berdiri dan berjalan keluar ruangan disusul denganku dibelakangnya. Kami berjalan beriringan menuju kelas. Hening. Salah satu dari kami tidak ada lagi yang membuka percakapan, Sakura yang terlihat tenang, sedangkan aku berdetak tak karuan.

Kami sampai didepan pintu kelas, sebelum aku menyentuh kenop pintu, suara Sakura kembali terdengar dibelakangku.

"Uchiha-san.."

Aku menoleh, mendapati Sakura yang menunduk sambil memainkan ujung roknya. Ah, apakah dia gugup? Kenapa? Sebelah halisku naik, "Hn?"

"Itu..." cepatlah Sakura, apa yang ingin kau katakan? Aku berbalik menghadap Sakura sepenuhnya, menunggu gadis itu melanjutkan ucapannya yang tersedat-sedat. "apa aku... boleh menjadi temanmu?"

Oh—

Hanya itu?

Sakura mendongak, terlihat jelas dari ekspresinya bahwa dia menunggu jawabanku takut-takut. Tanpa aku sadari kedua sudut bibirku naik, dan mengangguk. "Tentu."

Dia kaget—entahlah. Mungkin karena aku menyetujui permintaannya atau karena hal lain?

"Terimakasih!"

Yang pasti, ingatkan aku untuk berterimakasih juga pada Naruto setelah ini.

.

.

.

.

.

Aku menatap Naruto dengan datar, sementara pemuda kuning jabrik itu terus-terusan memohon padaku agar aku ikut dengannya. Oh ayolah, kami berdebat disini—dikelas—hampir lima belas menit lamanya, disaat murid-murid lain sudah pulang kerumah mereka masing-masing, aku disini harus melayani perdebatan konyol yang Naruto inginkan.

"Ayolah Teme! Sekali saja!"

"Tidak."

"Aku yakin kau tidak akan menyesal! Ya? Y—"

"Tidak!" aku menggeram dan memijat pelipisku yang terasa berdenyut. "Kau fikir berapa umur kita hah? Kita belum cukup umur untuk masuk kesebuah klub! Baka Dobe!"

"Kau ini kolot sekali Teme! Ini zaman modern 'ttebayo! Masa dimana sesuatu tidak memandang usia! Ayolah sekali saja! Lagipula kita tidak akan melakukan iya-iya disana! Aku juga masih ingin perjaka, dan—

PLETAK!

—Aw! Kenapa kau memukulku 'ttebayo!"

"Pergi saja sendiri, atau cari orang lain."

Aku menggeser kursi untuk berdiri dan pergi meninggalkan Naruto yang berteriak-teriak dibelakangku, ah masa bodoh aku lelah dan ingin segera pulang.

Ya,

Hari ini memang melelahkan.

.

.

.

.

.

"Aku pulang."

Halisku mengkerut saat melihat didalam rumahku ada beberapa orang berseragam khas dan mereka membawa... oke tunggu dulu.

Kenapa mereka membawa semua barang-barang disini, dirumahku?!

"Ayah, ibu?"

Aku menerobos masuk, mengabaikan orang-orang berseragam yang mendecih ketika tak sengaja aku tabrak. Mereka mengangkut lemari, televisi, sofa, dan lainnya. Sialan, ada apa sebenarnya disini?

"Ibu!"

"Sa... suke?"

Tidak, ibu jangan menangis. Aku menghampiri Ibuku yang terduduk lemas diatas lantai kamarnya setengah berlari, dia terlihat sangat berantakan, dengan gemetaran dia memeluk tubuhku erat, sedangkan aku masih belum mengerti. "Ibu? Ada apa ini sebenarnya? Kenapa mereka membawa barang-barang dirumah? Kena—"

Ibu mendongak, air mata terus menerus mengalir dari kedua kelopak matanya. Aku paling tidak tega jika dia menangis. "Sasuke.. Ayahmu ditipu oleh seseorang.."

Aku terdiam.

"...rumah ini beserta isinya telah disita."

"Bohong." Isak tangis ibu berhenti seketika saat aku menggeleng pelan dan melepaskan pelukannya. "katakan bahwa itu semua bohong Ibu. Aku—"

"Ini benar Sasuke." Itachi kakakku yang baru saja muncul dari balik pintu mendekat kearah kami, raut wajahnya terlihat berantakan tidak seperti biasanya yang selalu santai. "mulai hari ini, rumah kita bukan disini." dia tersenyum pahit.

"A-apa?"

"Ya..." aku tidak sadar bahwa ayah berdiri dibelakang Itachi. Kedua bolamata ayah bengkak, dan aku yakin dia baru saja menangis. Ayah berjongkok, mengelus pucuk kepalaku pelan. "...maafkan ayahmu yang bodoh ini, Sasuke."

"Ayah..." Menundukkan kepala karena tidak kuasa melihat wajah keluargaku yang biasanya selalu dipenuhi oleh raut bahagia, kini terlihat sangat terluka.

Aku benci ini.

.

.

.

.

.

Telunjukku menyapu nangkas didalam ruangan yang beberapa waktu kedepan akan menjadi kamarku. Debu. Kotor. Kusam. Ruangan ini lebih pantas menjadi gudang dibandingkan kamar, luasnya tidak lebih dari besar kamar mandi dikamarku dulu. Aku meringis, mengingat kembali ketika tadi pagi kami sekeluarga pertama kali mengijakkan kaki dirumah saudara yang tak lain adalah rumah yang sudah tidak terpakai milik Uchiha Shishui, teman baik kakakku. Setidaknya kami beruntung mempunyai kerabat yang bersedia rumahnya ditempati oleh kami. Meski rumah ini jauh dari kata layak ditempati—untuk Uchiha.

Rumah ini hanya memiliki dua kamar, satu kamar mandi diluar ruangan, satu dapur yang menyatu dengan meja makan, dan ruang tamu yang sangat amat kecil.

Aku menghela nafas pelan, dengan keterbatasan ruangan seperti sekarang membuatku harus satu kamar dengan kakakku sendiri. Bagus. Kami harus berbagi ranjang, berbagi isi lemari, berbagi segalanya dikamar yang sangat amat kecil ini. Oh sejak kapan aku suka mengeluh begini?

Itachi terlihat fokus membaca koran yang dibawanya tadi pagi, sebenarnya kami sepakat untuk membereskan kamar sebelum bersantai, tapi nyatanya rasa kantuk dan lelah mulai menggerayangiku secara tiba-tiba. Alhasil kami sedikit merilekskan diri dan beradaptasi sejenak dengan suasana 'baru'

"Oi Sasuke. Apa tidak sebaiknya kita mencari pekerjaan? Untuk membantu ayah dan ibu." Aku menoleh padanya dengan sebelah halis terangkat seolah bertanya. Tapi sepertinya Itachi mengerti kode tubuhku, dia melanjutkan. "seperti kerja part time misalnya? Aku bisa bekerja sambil kuliah, dan kau bisa sambil sekolah. Itung-itung menambah penghasilan."

Mungkin Itachi benar, kebetulan sekolahku libur dua hari mulai besok, dan aku bisa mulai mencari pekerjaan. "Aa, itu bisa kufikirkan."

"Lihat ini." Itachi menyodorkan koran dalam genggamannya padaku, lebih tepatnya dia mencoba menunjukkan sesuatu padaku yang tertulis dalam koran. "disini tertulis—dicari seorang pengawal / Bodyguard untuk menjaga seorang gadis remaja—apa kau ingin mencobanya Sasuke? Kurasa ini cocok untukmu."

"Tidak." kulirik Itachi sekilas. "aku tidak mau melakukan pekerjaan bodoh seperti itu, kenapa bukan kau saja?"

Itachi menghela nafas, "Aku bisa melamar menjadi bartender diklub milik Deidara."

"Kau ingin bekerja diklub menjadi bartender, atau cuci mata secara gratisan?"

"Bodoh!" dia mendengus sambil menggulung korannya, "bukan begitu niatku. Kau tahu 'kan aku dan Deidara adalah teman walau kami tidak terlalu dekat, aku bisa membujuknya untuk memberiku bayaran yang lumayan."

"Alasan yang sangat tidak logis."

"Ah sudahlah, terserah apa maumu, aku hanya menyarankan. Karena disini tertulis bahwa bayaran bagi siapapun yang bersedia menjadi pengawalnya lumayan tinggi, jika kau berubah fikiran segeralah hubungi mereka." Itachi berdiri dari duduknya dan berjalan keluar kamar. "aku akan membantu ibu membenahi barang-barang."

Aku masih terdiam, menatap pintu kamar yang sudah tertutup rapat. Pandanganku berpindah pada koran yang Itachi simpan diatas ranjang. Ragu, aku mengambilnya dan membuka lembaran tersebut.

"Menjadi pengawal ya?..." kelopak mataku memicing melihat kontak telepon beserta alamat yang tertera disana. "keluarga Haruno... eh?"

.

.

.

.

.

Sore harinya, disinilah aku berada. Didepan gerbang rumah megah yang disamping temboknya tertuliskan nama 'Haruno'

Ngomong-ngomong soal Haruno, Sakura juga bermarga Haruno. Apa ini kebetulan? Ah, aku tidak tahu dimana rumah Sakura, dan aku berharap ini bukanlah rumahnya. Tentu saja, harga diriku sebagai Uchiha akan langsung turun drastis apalagi jika Sakura tahu aku sekarang menjadi masyarakat bawah. Tidak bukan berarti aku takut Sakura tidak menerimaku apa adanya. Oke baiklah cukup, fikiranku mulai kemana-mana.

Bel disamping gerbang kutekan sebanyak dua kali, tapi masih belum ada jawaban. Baiklah, kutekan sekali lagi, dan berhasil. Seorang nenek tua yang kutafsir umurnya sudah masuk tujuh puluhan keluar dari pintu besar didalam sana, dia mendekat dan membukakan gerbang dihadapanku.

"Maaf, mencari siapa anak muda?"

Aku berdeham sejenak dan menunjukkan iklan pada koran yang kubawa. "Aku melihat iklan disini, dan kurasa tidak ada salahnya mencoba."

Nenek itu terdiam sampai beberapa detik, kedua matanya meneliti setiap jengkal tubuhku, dan itu membuatku cukup risih. Baiklah siapa yang tidak risih jika kau ditatap sedemikian intens oleh seorang nenek tua? Tapi tak lama dia tertawa—aku berharap dia tidak gila karena tiba-tiba saja tertawa tanpa alasan. "Aku mengerti, kau dan nona muda pasti akan sangat cocok. Mari, kuantar."

Aku mengangguk pelan, meski dalam hati aku tak mengerti. Apa maksudnya akan sangat cocok?

Rumah ini mirip seperti istana, lihat saja jarak antara gerbang dan pintu utama yang lumayan jauh. Nenek itu membuka pintu utama, dan mataku langsung disambut oleh interior rumah yang sangat amat elegan. Disini diterangi oleh lampu berwarna kuning yang menyejukkan mata, disetiap dinding terpasang beberapa lukisan yang kutebak harganya akan sangat mahal. Jika saat keluargaku belum mengalami musibah, mungkin derajat kami akan sama dengan pemilik keluarga rumah ini. Tapi sekali lagi, sebelum manusia sialan yang telah menipu ayahku itu merampas segalanya.

Terlalu fokus dengan fikiranku sendiri, sampai tidak menyadari bahwa aku sudah sampai disebuah ruang tamu.

"Permisi, Mebuki-sama. Ada seseorang yang ingin bertemu dengan anda."

Seorang wanita berambut pirang tua itu beralih dari segelas tehnya, menoleh kearahku dan juga pada nenek yang bersamaku. "Siapa dia Chiyo-baasan?"

"Dia bilang akan melamar menjadi pengawal nona muda Mebuki-sama."

Wanita yang nenek Chiyo—kudengar namanya begitu—panggil dengan panggilan Mebuki-sama itu menatapku sejenak dalam diam, kemudian tersenyum. "Aa, baiklah silahkan duduk disini anak muda, dan Chiyo-baasan kau boleh kembali pada tugasmu."

Aku tersenyum dan menuruti perintahnya, sedangkan nenek Chiyo permisi pamit meninggalkan kami. Gugup, itu pasti.

"Jadi? Apa yang membuatmu tertarik untuk menjadi pengawal anakku. Um—"

"Maaf, sebelumnya perkenalkan. Namaku Uchiha Sasuke."

"Uchiha?" dia terlihat terkejut mendengar margaku. Oh aku tahu, dia pasti mengenal margaku. "ah, tidak kusangka kau ternyata seorang Uchiha." dia menutup bibirnya dengan telapak tangan dan tertawa khas seorang bangsawan. Aku sendiri hanya tersenyum tipis—lebih tepatnya tersenyum miris.

"Aku dulu mengenal seseorang yang berasal dari keluarga Uchiha juga. Namanya Mikoto, Uchiha Mikoto. Apa kau mengenalnya?"

Aku sedikit kaget mendengar dia mengenal ibuku, benar ternyata kata orang bahwa dunia itu sempit. Menggangguk kecil, aku menjawab. "Dia ibuku."

Dia kaget. Tentu saja. "Benarkah? Astaga, dunia ini sempit!" kau benar nyonya. Sangat sempit. "jadi kau anak dari Mikoto? Ya tuhan, tidak kusangka Mikoto mempunyai putra setampan dirimu."

"Anda terlalu memuji Nyonya."

"Tidak, jangan terlalu formal nak." bibi Mebuki—begitu yang kudengar—tersenyum ramah, "jadi apa yang membuatmu sampai berniat menjadi pengawal putriku hm? Kudengar keluarga Uchiha bisa lebih dari cukup untuk membiayai seumur hidupmu."

"Keluargaku mendapat suatu masalah." aku tersenyum miris—lagi, lalu melanjutkan "sampai aku butuh kerja sampingan sambil bersekolah."

"Astaga, aku turut berduka cita." bibi Mebuki memasang wajah sedih yang kuyakin tidak dibuat-buat, dia melirik jam dinding besar yang terpasang didinding ruang tamu. "anakku yang nakal itu pasti akan pulang diatas jam dua belas malam hari ini, apalagi besok adalah hari libur disekolahnya..."

Halisku bertautan, "Apa yang biasa anak anda lakukan sampai pulang selarut itu?"

"Dia..." bibi Mebuki terdengar menghela nafas panjang sebelum melanjutkan, "mendatangi klub malam, berpesta bersama teman-temannya, kalau tidak ya balapan liar. Dia anak gadis tapi kelakuannya mirip seperti anak lelaki. Itulah alasanku untuk memperkerjakan seorang pengawal yang bisa menjaga anakku, dan membuatnya berhenti bersikap urakan."

Aku membeo, what the hell apa-apaan kelakuan anak bibi Mebuki ini? Aku saja yang notebenya adalah anak lelaki belum pernah sekalipun memasuki klub malam, apalagi balapan liar. Meski berpesta pernah beberapa kali kulakukan, tapi bukan dalam hal negatif tentunya. "Apakah... Seburuk itu?"

Bibi Mebuki meneguk tehnya sejenak, "Ya.. Aku sampai pusing dibuatnya, aku dan suamiku sudah angkat tangan atas perilakunya, dan mulai hari ini aku mempercayakan anakku padamu Sasuke."

Baiklah,

Kurasa ini bukanlah hal yang mudah.

"Aku akan berusaha semampuku."

.

.

.

.

.

Menguap, entah yang keberapa kalinya aku menguap diatas sofa ini. Ayolah aku sudah mengantuk, tapi anak dari bibi Mebuki belum juga pulang. Heran, apa dia benar-benar gadis nakal seperti yang bibi Mebuki bilang? Jika saja bibi Mebuki tidak menyuruhku menunggu sampai gadis itu datang, dengan senang hati aku akan angkat kaki dari rumah ini sekarang juga. Aku sangat ingin tidur dan beristirahat, meski bibi Mebuki dan suaminya paman Kizashi—yang baru saja pulang sejak beberapa jam yang lalu—memperlakukanku dengan sangat ramah, tetap saja aku tak nyaman.

Kulirik lagi jam dinding disamping kanan sana, sudah menunjukkan pukul setengah satu malam.

Semua maid dirumah ini sudah tidak ada yang berlalu-lalang lagi, ini sudah jam istirahat dan waktunya manusia terbang kealam mimpi, dan aku masih terjebak menunggu putri nakal keluarga Haruno pulang.

Sial,

Aku lelah.

Memejamkan mata sejenak mungkin bukan masalah. Benar 'kan?

Aku menyandarkan punggungku pada sandaran sofa, mencari posisi nyaman untuk sekedar beristirahat sebentar. Ah empuk, jika difikir-fikir hari ini lumayan menguras tenagaku. Mulai dari pindahan, membereskan rumah baru, mencari alamat rumah keluarga Haruno, dan sekarang harus terjaga sampai nona muda pulang. Tanpa sadar aku mendecih pelan. "...benar-benar merepotkan."

...

..

.

Mimpi indah—

.

..

BRAK!

Brengsek! Apa-apaan lagi ini?!

Aku sontak berdiri dari dudukku saat mendengar pintu utama dibuka secara kasar. Dengan amarah, aku berjalan—sedikit berlari menuju asal suara gebrakan tadi. Sial sial! Aku bahkan baru akan sampai alam mimpi, tapi seseorang mengacaukan segalanya.

"Hei kau!"

"Hng?" aku melihatnya. Seorang gadis bersurai merah muda sebahu itu berdiri sambil bersandar pada daun pintu dibelakangnya. Dia memakai kemeja putih tipis yang kelonggaran dan tentu saja tak mampu menutupi bentuk tubuhnya yang menggoda, sekilas dia seperti tidak memakai celana, karena hot pants berwarna hitam yang dia pakai tidak mampu menutupi pahanya yang mulus. Samar-samar aku bisa melihat bra hitam yang dia pakai dalam kemejanya, tanpa sadar. Aku terdiam ditempat.

Gadis itu mendongak, oniksku berserobok dengan sepasang emerald yang telah sayu didepan sana. "A—hik—apa kau lihat-lihat hah?! Tergoda pada—hik—bentuk tubuhku hm?"

Ini bukanlah halusinasi,

Dia—

"Kau?"

"Apa?!"

—Haruno Sakura.

Kelopak mataku mengerjap beberapa kali untuk membenarkan apa yang aku lihat, dan ini tidak salah! Aku tidak salah lihat! Demi celana dalam Naruto, dia adalah Sakura! SiLady of Kyouko!

"Ah, kau ternyata—hik—tampan juga..." Sakura mendekat, sementara aku berjalan mundur. Ini gawat, Sakura sedang mabuk, dan pasti tidak mengenali siapa aku. Dia menyeringai kearahku. Tubuhku terasa terbakar, apalagi ketika dia membuka dua kancing kemeja putihnya dan membuat payudaranya terekpos jelas didepan mataku. Aku semakin berjalan mundur, sampai tidak sadar bahwa aku berada disamping sofa dan jatuh kebawah. Bulu kudukku berdiri saat Sakura bergerak merangkak, menindih aku sehingga berada tepat dibawahnya. Wajahnya sudah berada tepat didepan wajahku, hidungku bahkan bersentuhan dengan hidungnya saking dekatnya jarak diantara kami.

Panas.

Jantungku berdetak dua kali lebih cepat saat Sakura dengan sengaja menggesekkan dadanya pada dadaku, wajahnya bergerak menuju perpotongan bahu dan leherku, dia berbisik "...one night stand—hik—denganku?"

Mimpi buruk,

Pandanganku tentang Haruno Sakura. Berubah total.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

To be continued...

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

A/N: hai hai! Maaf sekali, aku akhir-akhir ini sibuk banget, pulang cape dan langsung tidur, besoknya kembali pkl sampe sore. Ga sempet ngetik panjang, ngehe :' inipun karena bergadang, tadinya ingin ngelanjutin LIFE. Tapi ntaran deh, kalau feelnya untuk ngetik yang baper-baper dah dapet jhaha /slap.

Btw aku ganti penname—lagi. Ngga terlalu jauh sih hanya Cherrynya kuganti jadi mi, dan disatuin Miinami huehehe, prev dari Miina Cherry yaa ini *wink*

Untuk fic ini, i'm not gomen untuk segala kekurangannya. Kutahu ini fic apalah-gajenes-syekale, ini akan kulanjut kalau LIFE sudah tamat. Eh lanjut ga ya—hoahaha /diinjeg, untuk chapter depan dan selanjutnya akan pakai 'Normal Point of View' yaa, untuk awal biar Sasu yang bekoar/? Saran dan kritik pada kolom review memberiku semangat untuk setiap kelanjutan fic-ficku.

Wokelah, daripada a/nnya semakin panjang,

Next or delete?

Salam manis,

Milla