RUN TO ME

A Sasusaku Fanfiction

Naruto © Masashi Kishimoto

.

.

.

Sebelum semuanya terlambat, semua masih dapat berubah. Jika bukan dia, maka aku akan ada di sini. Menunggumu. Atau mengajakmu, berlari.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

CHAPTER 1

Sudah 45 menit ia berada di ruangan ini, duduk kemudian berdiri, berjalan cepat kesana kemari. Hatinya gelisah, beberapa kali mendecak kesal sambil melihat jam tangannya. Jika bukan karena ada hal penting, ia bersumpah tidak akan mau menunggu selama ini. Ayolah, dirinya adalah seorang CEO perusahaan telekomunikasi terbesar di Jepang dan menunggu bukanlah hal yang layak untuknya. Jangankan 45 menit, bahkan 10 menit saja tidak.

Pintu ruangan terbuka, dua orang masuk ke dalam. Akhirnya yang ditunggu datang.

"Sasuke?"

Itachi tampak kaget dan bingung mengetahui sang adik berada di dalam ruang kerjanya, memandangnya dengan raut kesal. Sebelumnya Sasuke sudah diberi tahu bahwa Itachi ada rapat siang ini, tapi siapa yang sangka pemuda dengan onxy tajam itu menunggunya.

"Kau menungguku?" Itachi duduk di kursinya sementara Sasuke masih berdiri di depan meja kerjanya dengan tangan dimasukan ke dalam saku celana. Itachi hanya menggeleng saat Sasuke hanya memandanginya tanpa menjawab.

Itachi menghela nafas, sang sekretaris yang ikut masuk ke ruangannya merasa agak takut merasakan aura dingin Sasuke. Gadis itu berdiri tepat di sebelah Sasuke, sesekali memandang ke arah adik Itachi tersebut.

"Sakura, tolong kau rincikan hasil rapat tadi. Berikan padaku pukul 5 sore." Perintah Itachi sambil memberikan sebuah map biru kepada sekretarisnya.

Sakura mengangguk, "Baik, Itachi-sama."

"Kau boleh pergi sekarang."

Sakura membungkuk sebelum pergi meningalkan ruangan. Setelah pintu tertutup, Itachi bersandar di kursi kerjanya. Tidak ada yang bicara, baik Sasuke maupun Itachi. Keduanya hanya berpandangan. Sasuke dengan kilat amarah di matanya sementara Itachi bersikap santai menghadapi tatapan membunuh dari sang adik.

Lama keduanya terdiam, Itachi akhirnya buka suara. "Jika kau tidak ada keperluan–"

"Mengapa kau bersekongkol?" Potong Sasuke.

Itachi menaikan sebelah alisnya, "Bersekongkol? Apa maksudmu?"

Sasuke mendengus, ia mengendurkan simpul dasinya. "Kau jelas tahu maksudku, nii-san."

Itachi hanya terdiam. Ia memijit batang hidungnya. "Ku kira kau bukan orang yang suka bertele-tele, ototou." Jika ada masalah kenapa tak langsung ke intinya, Sasuke masih saja kekanakan. Pikirnya.

"Perjodohan. Shion." Itachi baru saja akan bicara jika Sasuke tidak memotongnya. "Kau jelas-jelas tahu saat Tou-san dan Kaa-san mengajakku makan malam di luar beberapa hari yang lalu, ternyata tujuan mereka adalah menjodohkanku dengan Shion!" Nada suara Sasuke meninggi.

Itachi berusaha tetap tenang, "Sasuke, dengar –"

"Kau tahu aku sudah cukup dewasa untuk memilih siapa yang akan menjadi istriku kelak. Dan lagi, tou-san dan kaa-san tidak tahu apa-apa tentang Shion. Aku pernah berkencan dengannya saat kami kuliah dulu, dia bukanlah gadis yang ku inginkan." Sasuke mengepalkan tangannya.

"Itu tidak seperti yang kau pikirkan, Sasuke. Kau–"

"Aku tidak peduli dengan apapun tujuan mereka–kaa-san dan tou-san–menjodohkanku, yang jelas aku tidak suka dengan hal-hal semacam ini. Ini hidupku, nii-san, dan tidak ada yang bisa mengaturku sekalipun orang tuaku."

Itachi mulai berdiri, ia sudah bersikap sabar tapi toh sifat arogan Sasuke memang luar biasa kuat. Itachi menatap adiknya dengan mata yang tidak kalah tajam, tapi hal itu itu tidak membuat Sasuke takut sedikitpun. "Sudah kukatakan Sasuke, sebaiknya kau diam dan–"

"Kalian semua memang tidak pernah mengerti aku, bahkan kakak yang aku percayai juga menghianatiku. Kau sungguh–"

"DENGARKAN AKU, SASUKE!" Itachi menarik kasar kerah kemeja Sasuke. Untuk sesaat Sasuke terkesiap, kakaknya yang dikenal sabar dan lembut bisa semarah ini padanya. "Aku memang kakakmu, oleh karena itu berhentilah memotong ucapanku dan dengarkan."

Sasuke masih diam saat Itachi melepas kerah kemejanya, pria 31 tahun itu berjalan ke jendela besar di belakang kursi kerjanya. Memandangi jalanan Tokyo yang padat kendaraan dan manusia yang lalu lalang.

"Percayalah, aku tidak tahu apa-apa tentang perjodohan itu, Sasuke. Aku baru tahu pagi ini saat kaa-san menelepon." Itachi mulai menjelaskan. "Kaa-san sangat khawatir padamu, ia sangat ingin kau mendapatkan gadis yang tepat. Begitu juga dengan tou-san. Mereka tahu kebiasaanmu, mereka tahu gaya hidupmu."

Itachi berbalik menatap sang adik yang kini justru menunduk, ia merasa sedikit menyesal dengan sikapnya tadi. Tapi itu harus dilakukan, Sasuke terlalu banyak bicara dan mengambil kesimpulan sendiri.

"Klub malam, pesta, teman ranjang yang berbeda tiap malam? Lalu, apalagi?" Tanya Itachi.

Sasuke mengangkat kepalanya, menunjukkan kembali onxy tajam itu. "Sudah kukatakan aku sudah cukup dewasa dan tidak ada yang bisa mengatur hidupku, sekalipun–"

"Kaa-san dan tou-san? Begitu?" Itachi mendengus, "Bagaimana bisa kau berkata seperti itu? Mereka orang tuamu, Sasuke, mereka yang membesarkanmu." Itachi berjalan mendekat pada Sasuke kemudian memegang bahu kanan adiknya. "Untuk kali ini, biarkan kaa-san dan tou-san mengaturmu. Bukankah mereka memang tidak pernah mencampuri urusanmu?"

Sasuke masih terdiam, kali ini gilirannya yang berusaha sabar dan tidak bersikap kasar pada Itachi. Mulutnya terkatup rapat, tangannya tekepal erat. Bagaimana pun juga, dilihat dari sisi mana pun, perjodohan ini tidak akan mungkin dijalaninya.

"Oya, kau juga tidak pernah membawa kekasihmu, kan? Tidak pernah seorang pun yang kau kenalkan pada kami, jadi bukan salah kaa-san dan tou-san kalau pada akhirnya mereka menjodohkanmu." Ujar Itachi diiringi tawa ringannya, bermaksud mendinginkan suasana.

Sasuke tidak menanggapi, ia malah langsung berjalan keluar kemudian membanting pintu. Itachi hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil. Sejak kecil Sasuke memang dikenal memiliki sifat arogan dan sulit diatur, Sasuke tidak suka ditentang dan dipaksa. Ia anak yang keras pada kemauannya sendiri, benar-benar adik laki-laki yang keras kepala.

"Dasar, tidak sopan."

...

Sakura menggigit bibir bawahnya, ia mendengar teriakan dari dalam ruang kerja Itachi. Gadis berambut merah muda sebahu ini mulai menerka-nerka, Itachi sedang bertengkar dengan Sasuke. Padahal yang Sakura tahu, hubungan kakak beradik satu ini sangat hangat. Ya, Sakura tahu sifat Sasuke tapi mereka berdua–Itachi dan Sasuke–memang jarang terlihat bertengkar dalam artian serius.

Sakura mencoba mengalihkan pikirannya pada monitor di depannya, mencoba mengetik ulang laporan hasil rapat siang tadi. Teman semasa SMU dan bekerja sebagai sekretaris Itachi selama 2 tahun terakhir membuatnya sedikit banyak lebih tahu tentang Uchiha Sasuke, bungsu keluarga Uchiha yang terkenal di Jepang.

Tampan, pintar, kaya raya, dan nakal. Sasuke sungguh bukanlah pria yang baik untuk gadis 'rumahan' sepertinya. Tapi, ayolah siapa yang bisa menolak pesona pria seperti itu? Terlebih ia sudah menjadi CEO perusahaan telekomunikasi terbesar di Jepang di usia relatif muda. Diam-diam Sakura menyukainya, hanya menyukainya seperti gadis-gadis kebanyakan. Setidaknya itu yang ia pikirkan.

Pintu ruangan Itachi terbuka, Sakura reflek berdiri saat melihat Sasuke keluar. Ia berhenti sebentar di depan meja Sakura. Dengan nafas memburu, Sasuke melepas dasinya dan kancing lengan kemejanya.

"Anda baik-baik saja, Sasuke-sama?" Sakura memberanikan diri bertanya.

Sasuke menatapnya, mata keduanya bertemu. "Hn." Kemudian Sasuke berlalu, meninggalkan Sakura dengan jantungnya yang seakan-akan bisa keluar dari tubuhnya kapan pun juga.

Tampan sekali.

Satu jam setelah Sasuke pergi, Sakura telah menyelesaikan laporannya kemudian memberikannya pada Itachi. Itachi tampak serius membaca setiap isi laporan tersebut, sesekali ayah satu anak ini mengangguk.

"Bagus, Sakura. Seperti biasa, kau mengerjakannya dengan sangat detil." Puji Itachi.

Sakura tersenyum, "Tidak sebaik itu, Itachi-sama . Apa ada lagi yang Anda butuhkan?"

Itachi menggeleng, wajahnya terlihat sangat lelah. Sakura bertanya dalam hati, apakah ada kaitannya dengan Sasuke? Apakah benar mereka bertengkar? Ah, Sakura sadar ia tidak punya hak untuk bertanya. Ini sudah diluar kapasitasnya yang hanya seorang sekretaris pribadi.

"Baiklah, kalau begitu saya permisi–"

"Sasuke dijodohkan, Sakura." Itachi tiba-tiba bicara, ucapannya barusan membuat hati Sakura berdenyut. Dijodohkan? Dengan siapa? Tanpa sadar Sakura mulai berkeringat. "Ia menolak dengan keras perjodohan ini, aku bingung harus bagaimana. Wanita itu bernama Shion, teman semasa kuliahnya dulu." Lanjut Itachi seolah ia tahu pertanyaan di benak Sakura.

Sakura hanya diam, ia bingung harus bicara apa. Kenapa Itachi menceritakan hal ini padanya? Sakura memang ingin tahu penyebab pertengkaran mereka berdua tapi sekarang ia menyesal.

"Maaf, aku tahu tidak seharusnya aku menceritakan ini padamu. Tapi, kau pernah satu sekolah dengan Sasuke saat SMU. Kau mungkin bisa bicara dengannya sebagai teman lama, tolong nasehati dia agar mau menerima perjodohan ini." Ujar Itachi.

Mata Sakura melebar. Bicara dengan Sasuke sebagai teman lama? Ide buruk macam apa itu? Mereka bahkan jarang bicara, Sasuke dan Sakura memang berada di sekolah yang sama saat SMU. Tapi mereka jarang bertegur sapa apalagi bicara, Sasuke terlalu jauh untuk diraih.

"Maaf, Itachi-sama. Tapi, Anda tahu, kan? Aku dan Sasuke-sama, hm... Kami tidak dekat." Sakura menolak dengan halus permintaan Itachi.

Itachi mengangguk, "Ya, aku tahu. Tapi tidak banyak yang bisa aku lakukan. Sasuke biasanya lebih mendengarkan pendapat orang lain. Aku tidak mungkin meminta Naruto untuk bicara dengan Sasuke, kau tahu, bocah kuning itu sangat setia pada Sasuke."

Naruto? Oh iya, Sakura ingat. Sahabat terdekat yang dimiliki Sasuke, beberapa orang mengatakan mereka sudah berteman sejak lama sekali. Bocah konyol yang selalu tertawa itu memang tidak mungkin menasehati Sasuke, ia terlalu mudah dikalahkan dalam berdebat.

"Minggu depan kami ada reuni SMU, aku akan bicara dengan Sasuke saat itu." Sakura tidak mau memperpanjang, ia akhirnya menyetujui permintaan Itachi. Walapun hatinya masih saja berdenyut tidak nyaman.

"Terima kasih, Sakura."

...

"Kau sudah tidak bisa lari lagi, teme." Naruto meneguk habis beer ukuran besar yang dipesannya. Sambil menepuk-nepuk punggung sahabatnya, ia berkata. "Tidak ada yang salah dalam hal ini. Shion. Kau menolak dijodohkan dengan Shion? Kau ini memang sombong, laki-laki di luar sana mungkin akan berebut mendapatkan posisimu."

Sasuke mendengus, ia mengetuk-ngetuk meja bar. Hatinya masih gelisah dan ia benci hal ini. Tidak ada yang bisa dilakukannya? Mungkin. Sasuke bisa saja lari dari perjodohan ini atau menganggap perjodohan ini tidak pernah terjadi, tapi ayahnya mengancam akan langsung menyeretnya ke pernikahan jika Sasuke mencoba lari.

Sasuke ingat betul apa yang ayahnya katakan saat ia mengutarakan niatnya untuk melakukan perjodohan ini. "Tou-san sudah bersabar, Sasuke. Kami–Kaa-san dan Tou-san–sudah memberikanmu kebebasan untuk memilih calon istri, tapi sekali pun kau tidak pernah membawa kekasihmu. Cukup, terima keputusan kami. Dan lagi Tou-san tidak memintamu untuk menikahi Shion, tou-san hanya ingin kau mencoba menjalani hubungan yang serius dengan Shion. Mencoba tidak ada salahnya, kan?""

Ia mendengus. Bukan tidak pernah membawa kekasih, tapi kenyataannya Sasuke memang tidak memiliki kekasih. Selama ini wanita yang dekat dengan Sasuke hanya sebatas teman kencan yang selalu berakhir di ranjang. Sasuke tidak pernah terlibat hubungan khusus lebih dari itu.

"Berhentilah bermain wanita, Sasu. Mereka bukan mainan yang bisa kau mainkan sesuka hati. Kaa-san tidak membesarkanmu untuk menjadi pria hidung belang. Waktu bermainmu habis, kau harus menerima perjodohan ini." Itu yang ibunya katakan.

Pria hidung belang? Sasuke mendengus, lagi. Ungkapan itu bahkan terdengar menggelikan di telinganya. Apa ia bisa disebut sebagai pria hidung belang jika para wanita itu yang mendekatinya? Jika mereka yang dengan suka hati naik ke atas ranjang lalu melebarkan kaki mereka dan mengundang Sasuke untuk menyentuhnya?

Sasuke hanyalah pria normal, dengan rutinitas hariannya yang padat hiburan semacam itu seakan menjadi kebutuhan. Lagipula wanita-wanita itu tidak keberatan dengan one night love, bukankah mereka hanya tertarik pada fisik dan kekayaan Sasuke?

"Aku menyedihkan, dobe. Usiaku 27 tahun dan aku dijodohkan? Uchiha Sasuke dijodohkan?" Sasuke mulai terkekeh. Ia hanya memandangi segelas vodka yang tadi dipesannya. "Tapi aku akan tetap menolak perjodohan ini."

Naruto tertawa, ia kembali memesan beer ukuran besar. "Bukankah Shion cantik? Kau juga pernah berkencan dengannya saat kuliah dulu, bukan hal yang sulit untuk 'memulai sesuatu' dengannya, bukan?" Naruto mulai mengeluarkan sebatang rokok dari dalam saku kemejanya.

"Shion bukan yang ku inginkan. Ia sama seperti wanita di luar sana, kau kenal dia, dobe." Sasuke menggeram frustasi, "Dia bahkan tidur dengan banyak pria hanya untuk kesenangannya."

Naruto melirik sebentar ke arah Sasuke, "Lalu kau? Kau juga tidur dengan banyak wanita. Untuk apa? Kesenanganmu, kan? Itu berarti kalian berdua sama." Ujar Naruto yang justru membuat Sasuke kesal.

"Aku laki-laki, dobe."

"Lalu?"

Sasuke menatap Naruto tajam. "Dengar, Uzumaki Naruto." Ucap Sasuke dingin membuat Naruto menoleh dan mulai merutuki kebodohannya tentang ucapannya barusan. "Kau mencintai tunanganmu karena dia layak untuk dicintai, kau menjadikannya tunanganmu karena kau tahu dia baik untukmu. Lalu Shion? Aku ini berengsek, dobe, lalu menurutmu aku pantas mendapatkan wanita yang sama berengseknya denganku?"

"Bukan begitu, teme. Kenapa kau jadi serius begini?" Naruto berusaha tertawa.

"Baik aku atau pun Shion, pantas untuk mendapatkan yang lebih baik. Aku tidak menginginkannya." Sasuke kemudian pergi meninggalkan Naruto yang masih diam di tempatnya.

Naruto hanya menggelengkan kepala. Ia sudah sangat hapal dengan tabiat Sasuke. Naruto lebih memilih untuk mengabaikan Sasuke yang sedang kesal, ia tidak ingin menjadi pelampiasan amarah Sasuke. Ia lebih memilih untuk menikmati gelas kedua beernya.

...

Satu minggu telah berlalu, ini waktunya bagi Sakura untuk bicara dengan Sasuke. Itachi berusaha mengingatkannya kembali tadi sebelum ia pulang. Sakura semakin bingung, apa yang sebaiknya ia lakukan? Lebih baik abaikan saja permintaan Itachi?

"Hei, forehead. Kau masih bercermin?"

Sakura tersadar dari lamunannya, menoleh pada sahabatnya yang sedang bersandar di dinding sebelah pintu kamarnya. "Sebentar lagi, Ino. Aku masih harus menyiapkan beberapa hal."

"Kau masih memikirkan Sasuke?" Ino masuk dan duduk di pinggir ranjang Sakura, mengamati gadis itu lewat cermin. "Jangan menyakiti perasaanmu, aku tahu kau berusaha menahan rasa sukamu padanya. Tapi kau justru menyukai lebih dari yang seharusnya."

Wajah Sakura tiba-tiba saja memerah, "Aku tidak menyukai−"

"Ya, ya, ya. Mengelaklah sesukamu, kau pikir sudah berapa lama kita berteman? Kita bahkan lupa kapan tepatnya aku dan kau menjadi sahabat baik." Ino berdiri dan hendak berjalan keluar sebelum bicara, "Aku tahu kau menyukainya, sangat menyukainya. Mungkin saja kau mencintainya. Jadi, Sakura, ini adalah waktu yang tepat untukmu. Rebut Sasuke."

Sakura terkesiap. Ia menoleh kebelakang dan mendapat kedipan mata dari Ino. Ya, Sakura sudah bercerita pada sahabat pirangnya mengenai perjodohan Sasuke dan permintaan Itachi. Sakura pikir Ino akan memberikan saran yang baik atau setidaknya ia tidak perlu lagi merasakan denyutan yang sakit di dadanya.

Tapi diluar dugaan, Ino justru mengucapkan hal tergila yang pernah didengarnya. "Nyatakan perasaanmu, kau sudah terlalu lama memendam ini. Kau bisa berkata perasaan yang kau miliki hanyalah perasaan suka, tapi aku sahabatmu, Sakura. Aku mengenalmu dengan baik. Perasaan itu bukan hanya perasaan suka. Jadi sekarang dengarkan aku, jika Sasuke menolak perjodohan ini. Kau harus datang padanya dan tawarkan dirimu sebagai pengganti Shion."

Sakura diam sesaat, kemudian ia tersenyum dan menganggukan kepala. "Ya, Ino. Aku mengerti." Sakura sudah membuat keputusan mengenai hal ini. Ino benar, tapi Sakura tidak sampai hati mengabaikan permintaan Itachi, pria itu sangat baik padanya. Maka ia pun harus mengambil keputusan yang lain.

...

Sakura dan Ino turun dari mobil, mereka menghadiri reuni SMU bersama. Ino mulai mengamati bar dengan teliti saat mereka mulai masuk, ia berbisik pada Sakura mengenai dekorasi bar yang menurutnya sangat tidak moderen. Ino juga mengatakan musik yang diputar tidak enak didengar dan segala hal lainnya yang dapat dijadikan celaan untuknya.

Sakura hanya terkekeh mendengar ocehan Ino. Sejak dulu Ino memang cerewet dan juga perfeksionis, ia memiliki standar yang tinggi untuk hal-hal yang dianggapnya penting termasuk urusan cinta. Oleh sebab itu, tidak banyak laki-laki yang mampu meluluhkan hatinya. Seingat Sakura, sampai saat ini hanya ada satu laki-laki yang benar-benar mampu meluluhkan Ino.

"Sakura!"

Seorang laki-laki berambut merah berlari kecil menghampiri Sakura dan Ino. Ia tersenyum, wajahnya terlihat menawan. Laki-laki ini lumayan tinggi walau tidak setinggi Sasuke, ada tato didahinya. Sakura mulai mengingat siapa laki-laki ini, alisnya masih terpaut.

"Oh, ada Yamanaka-san juga? Halo, apa kabar?" Sapa si laki-laki pada Ino.

Ino mendengus, ia berkacak. "Huh, jadi kau memanggil Sakura dengan Sakura sementara memanggilku dengan Yamanaka-san?" Tanya Ino sarkastik.

Laki-laki bermata jade itu tertawa, "Maaf, aku hanya terbiasa memanggilmu seperti itu." Ia kembali menatap Sakura. "Ku kira kau tidak akan datang Sakura, bukankah kau tidak terlalu suka acara seperti ini?"

Sakura masih saja diam, masih berusaha mengingat. Sampai akhirnya...

"GAARA!"

Sakura dengan tiba-tiba memeluk laki-laki berambut merah dan bermata jade itu. Ia merasa senang bisa bertemu kembali dengan Gaara, teman SMU yang selalu menolongnya saat pelajaran matematika. Teman yang selalu mengatainya karena tidak bisa berenang, teman yang rela membuat alasan palsu demi menutupi tidur siangnya di ruang kesehatan.

"Aku merindukanmu." Ujar Sakura masih memeluk Gaara.

Gaara balas memeluk Sakura. "Aku juga, Sakura. Sangat merindukanmu."

...

Naruto datang sambil membawa 4 minuman kaleng, memberikannya pada temannya yang lain. Ia selalu menyukai reuni SMU, ia senang bertemu kembali dengan kawan lama. Setidaknya kehidupan SMU lebih menyenangkan. Dan ya, menjadi remaja jauh lebih mudah daripada menjadi dewasa. Itu yang Naruto pikirkan sekarang.

"Bukankah itu Sakura dan Ino?" Tanya Shikamaru, laki-laki pemalas yang merupakan sahabat sekaligus saingan Sasuke dalam hal kepintaran semasa SMU. Ia menatap ke arah Sakura dan Ino yang sepertinya sedang melepas rindu dengan Gaara. "Bukankah ia makin cantik?"

Naruto mengangkat bahu. "Siapa? Kau bertanya padaku atau Sai?" Goda Naruto. Ia menendang pelan kaki Sai, laki-laki berkulit pucat dengan rambut ebony. "Bagaimana Sai? Kata Shikamaru, ia semakin cantik. Jadi, siapa yang makin cantik menurutmu?"

Sai hanya tersenyum, senyum yang menyebalkan menurut Naruto. Beberapa orang mengatakan Sai dan Sasuke memiliki beberapa kemiripan, seperti irit bicara dan mata onyx yang tajam. Tapi Sai jauh lebih ramah dari Sasuke, setidaknya ia mencoba menjadi menyenangkan. Sedangkan Sasuke? Semua orang tahu bagaimana sifat tuan muda Uchiha tersebut.

"Hahaha!" Naruto tertawa sambil membuka minuman kaleng di tangannya. "Aku tahu kau masih mencintainya, Sai. Sudah lewat berapa bulan sejak kalian tidak lagi bersama? Dan kau masih sendiri."

Sai menggeleng, "Kau itu berisik sekali, Naruto. Aku jadi ingin menendang wajahmu." Ujar Sai disertai senyum andalannya.

Naruto langsung terlihat kesal, ia berdiri sambil menunjuk Sai dengan jarinya. "Apa katamu, Shimura?! Coba katakan lagi!" Teriaknya. Beberapa orang mulai melihat ke arah mereka.

"Kau berisik, Naruto. Aku jadi ingin menendang wajahmu." Sai mengulang perkataannya tanpa ragu, tak peduli dengan Naruto yang justru lebih terlihat ingin menendangnya. Sai bahkan masih tersenyum, senyum yang selalu dibenci Naruto.

Naruto menarik lengan baju yang dipakai Sai, ia berkata dengan nada yang jauh lebih rendah. "Berani sekali kau bicara seperti itu padaku. Dengar Sai, tidak peduli berapa lama kita berteman kalau kau membuatku kesal maka kau−"

"Minggir, dobe."

Sasuke tiba-tiba berdiri diantara Naruto dan Sai, mereka bahkan tidak tahu kapan Sasuke datang. Naruto kemudian melepas cengkramannya pada lengan baju Sai, ia melirik pria itu dengan tatapan tajam dan berkata tanpa mengeluarkan suara. "Urusan kita belum selesai."

Shikamaru memberikan Sasuke minuman kaleng yang belum terbuka. Ia terlalu terbiasa dengan sikap Naruto yang berlebihan dan kekanakan, ia sendiri lebih memilih diam. Lagipula melihat Naruto yang terpancing emosinya menyenangkan baginya.

"Urusan pekerjaan?" Tanya Shikamaru. Sasuke hanya menghela nafas, ia kemudian meminum minuman kaleng yang diberikan Shikamaru. "Ku kira kau akan terus bekerja hingga mati, Sasuke."

Sasuke mendengus. "Bekerja sampai mati terdengar lebih menyenangkan bagiku." Sejujurnya ia masih terganggu dengan perjodohan yang dilakukan kedua orang tuanya, ia bahkan dipaksa untuk bertemu Shion sebelum datang ke reuni.

"Kau masih saja kesal, teme? Sudah kukatakan, tidak akan ada yang tahu bagaimana akhirnya. Kenapa kau tidak mencobanya dulu?" Naruto mulai memberikan saran yang hanya dibalas dengan tatapan tajam Sasuke. Ia mendecak kesal, "Ya, ya! Baiklah, semua orang mendadak menyebalkan malam ini."

"Cari wanita lain." Ujar Sai. Sasuke, Naruto dan Shikamaru kemudian hening. "Kau bilang, bukan Shion yang kau inginkan. Lalu kenapa kau tidak mencari wanita yang kau inginkan?" Tanya Sai.

Sasuke tertawa sinis. "Kau pikir aku tidak pernah mencobanya? Semua wanita di luar sana mendekatiku, mengajakku naik ke ranjang, kemudian mendapat kesenangan yang mereka inginkan. Tidak pernah ada wanita yang bertahan denganku."

"Karena kau tidak membiarkannya." Kata Sai. "Kau membiarkan mereka mendekatimu hanya sebatas itu, tidak lebih."

"Seperti kau yang paling tahu tentangku."

Naruto memang heran dengan kemampuan Sai yang pintar memancing emosi lawan bicaranya. Sasuke sepertinya mulai terlihat kesal, tapi Naruto suka dengan pembicaraan ini. Sikap tenang Sai dan Sasuke yang mulai kehilangan kontrol emosinya. Jadi yang dilakukannya hanya diam, menanti siapa yang akan memenangkan perdebatan ini.

Sai masih saja tersenyum kemudian pandangannya mengarah ke Sakura dan Ino yang kini sedang mengobrol dengan Gaara dan Lee, pria jangkung dengan rambut hitam klimis dan alis yang sangat tebal. Sai ingat bagaimana Lee sering menjadi korban bully saat SMU dulu tapi pria itu sama sekali tidak menyadarinya dan justru tetap terlihat semangat setiap harinya.

"Dia memang selalu terlihat cantik."

"Kenapa bukan kau yang mencari wanita lain?" Tanya Sasuke pada Sai, nadanya menyindir. "Daripada hanya memandanginya begitu, hn?"

Shikamaru mulai mengeluarkan sebatang rokok dari dalam saku jaketnya, ia memutar mata. Sifat Sai dan Sasuke jelas berbeda jauh, bagaimana bisa orang-orang menyamakan mereka? Sementara Naruto menutup mulutnya berusaha menahan tawa, "Rasakan kau."

...

Sakura melirik ke arah Sasuke, Naruto, Sai dan Shikamaru duduk. Sasuke datang paling akhir, ia terlambat entah karena apa. Empat pria itu sepertinya terlibat obrolan serius, tidak ada senyum atau tawa yang terlihat. Tapi pesona mereka masih terasa. Sejak SMU mereka memang sudah digilai para murid perempuan, hingga kini ketampanan mereka tidak berkurang justru semakin bertambah.

Emerald Sakura sedikit menyipit ketika melihat Sasuke tiba-tiba berdiri dan pergi meninggalkan sahabat-sahabatnya, Naruto memanggil namanya tapi Sasuke tetap saja menjauh. Shikamaru menahan Naruto ketika pria dengan rambut kuning itu hendak mengejar, sementara Sai hanya diam. Ada apa? Pikir Sakura.

"Ano, sepertinya aku harus ke toilet." Ujar Sakura.

"Ada apa, jidat? Kau baik-baik saja?" Tanya Ino. "Biar ku temani." Ino bersiap berdiri dari kursi mini bar, Sakura lantas mengibaskan tangannya.

"Tidak usah, Ino. Aku baik-baik saja, kau berlebihan." Sakura memaksa tertawa, ia menatap Ino penuh arti. Mencoba memberi isyarat−mengedip dan melirikan matanya ke arah lain−kalau ini saatnya untuk bicara pada Sasuke. Gaara melihat ada keanehan tapi ia memilih acuh.

Ino menyadari kode yang diberikan Sakura. "Baiklah, cepat kembali."

Semangat Sakura!

...

Sakura berdebar, ia berdiri di lorong dekat tangga menuju atap bar. Ia mengikuti Sasuke dan pria itu berjalan menuju atap bar. Sakura mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ini saatnya, ini waktunya. Setelah bertahun-tahun berada dalam keheningan, Sakura telah memutuskan.

Pintu atap terbuka, udara malam yang dingin langsung terasa. Sakura berjalan perlahan menuju Sasuke yang sedang berdiri sedikit membungkuk, bertumpu pada balkon. Ia tampan meski hanya menggunakan kemeja kerjanya yang tak lagi rapih, tak sempat berganti pakaian dan tetap mempesona. Uchiha Sasuke benar-benar sesuatu yang sulit ditolak.

"Sasuke..." Sakura memanggil nama pria itu, kemudian tersadar. "-sama."

Sasuke melirik. Ia mendengus, "Kita tidak sedang di kantor."

Sakura diam, ia bingung harus bagaimana. Rencana yang ada di kepalanya, rencana yang sudah ia pikirkan matang-matang mendadak menguap dan hilang dari pikirannya. Gaun biru langit selututnya berkibar dihembus angin, beberapa helai rambutnya juga ikut tertiup dan mengenai wajahnya.

"Ada apa?" Sasuke akhirnya bertanya. "Jika tidak ada yang penting, tinggalkan aku sendiri."

"Itachi memintaku untuk bicara denganmu mengenai perjodohan yang harus kau lakukan." Sakura menjawab dengan cepat, ia panik lalu menggigit bibir bawahnya kencang.

Sasuke berbalik. Apa-apaan itu? Belum cukup kedua orang tuanya, kakaknya, teman-temannya, sekarang dia? Itachi keterlaluan, mengapa ia sampai menyuruh sekretarisnya bicara mengenai hal ini?

"Aku tahu sulit bagimu, menerima perjodohan ini. Tapi orang tuamu juga Itachi-sama sangat ingin melihatmu bahagia, mereka melakukan ini karena mereka peduli padamu. Aku tidak mengerti bagaimana perasaanmu, aku juga tahu aku tidak berhak bicara ini tapi−"

"Kalau begitu, diamlah."

Sasuke menatap Sakura tajam, ia berjalan mendekat ke arah Sakura. Menyeringai. Sakura merasakan perutnya seperti dicubit, bertatapan dengan Sasuke dengan jarak sedekat ini. Melihat wajahnya. Mata itu, ternyata lebih hitam dan lebih tajam. Sakura seperti bisa jatuh kapan saja sekarang.

"Kau itu hanya sekretaris pribadi Itachi. Kau seharusnya tahu posisimu. Aku tidak peduli meski Itachi memintamu tapi seharusnya kau menolaknya karena Itachi tidak memiliki hak untuk mencampuri urusanku." Sasuke berkata dengan sangat jelas, matanya masih menatap emerald Sakura. "Aku yang memutuskan soal kebahagiaanku sendiri, sampaikan itu pada kakakku."

Sasuke berjalan melewati Sakura, menabrak bahu gadis itu dengan sengaja. Ia tidak peduli lagi dengan ancaman-ancaman yang dilontarkan ayahnya jika ia menolak perjodohan ini. Tidak ada yang bisa memaksanya menikah dengan Shion, apa pun alasannya.

"Kenapa?" Tanya Sakura. Tangannya terkepal. "Kenapa kau menolak perjodohan ini?"

Sasuke tidak menjawab, ia merasa tidak perlu menjelaskan apa-apa pada Sakura. Sasuke baru saja akan membuka kenop pintu sampai akhirnya kalimat itu terucap. Kalimat yang penuh dengan tanda tanya, membuat pria dengan rambut raven itu kembali berbalik.

"Jika kau tidak bahagia bersama Shion, tinggalkan dia. Aku bisa membuatmu bahagia."

Sasuke terdiam dan Sakura masih berdiri membelakanginya, bahunya sedikit gemetar. Sejujurnya Sasuke tahu kemana arah pembicaraan ini tapi ia memilih tetap diam dan menanti apa yang akan Sakura katakan. Wanita dengan emerald indah itu akhirnya berbalik dan menatap Sasuke langsung ke matanya, tangannya masih terkepal.

Ini dia. Jadi?

"Aku menyukaimu, Sasuke-kun."

TBC

Halo minna... Kenalin aku author baru disini, hehehe.. Ini fanfic pertama aku yang di publish, selama ini aku selalu nulis fanfic untuk dibaca sendiri.. Hiikkkss T_T Jujur aja sebenernya nggak pede banget sama ceritanya, tapi aku juga udah bosen jadi silent reader dan pengen punya cerita sendiri. Dan akhirnya... TADDAAAAAAAA... Ahahaha, pokoknya mohon bantuannya biar aku bisa jadi author yang baik disini yaaaaa..

Yosh! Hontou ni arigatou minna, review jangan lupa yaa... ^^