Sorry for the late late update, but here it is...

Enjoy ~

Chapter 2

"Kaname kau yakin tidak ingin memberitahunya saja?" Takuma menyuarakan kecemasannya. Ekspresi dan tingkah Zero saat pertukaran kelas sore tadi membuatnya percaya bahwa pemuda bermata violet itu sudah mulai mengingat masa lalunya.

Ya, Takuma memang mengetahuinya, masa lalu Zero yang hilang, hubungannya dengan Kaname, penyebab hilangnya masa lalu itu, semuanya. Dirinya sudah menjadi teman sepermainan Kaname sejak dulu, bahkan sejak mereka masih mulai belajar berjalan, maka tidak heran bila ia juga mengetahui rahasia terbesar vampire berdarah murni itu. Ia pun pernah bertemu dan bermain dengan Zero sewaktu mereka masih kecil dulu.

"Aku tidak bisa melakukan apa-apa tentang ingatannya, Takuma. Seal yang mengunci memorinya tidak sama seperti seal yang berada di memori Yuuki yang bisa kulepas kapan pun aku mau." Jawab Kaname, pandangannya masih menerawang keluar jendela, tertuju tepat kepada seorang pemuda berambut silver yang tengah berpatroli di luar sana, hal yang selalu dilakukannya setiap malam menjelang.

"Aku tau kau tidak bisa membuka seal ingatannya, Kaname, tapi bukan berarti kau tidak bisa menceritakan apa yang terjadi kepadanya kan? Lagipula sepertinya dia juga sudah mulai mengingatnya, jadi siapa tahu mungkin dia akan percaya kalau kita ceritakan sekarang." Takuma kembali mendesak, berharap kalau sahabatnya itu akan menyerah dan mengikuti sarannya. Tapi ia hanya bisa menghela napas pasrah ketika melihat pemuda berambut coklat itu menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak bisa, Takuma. Tidak selama pria itu masih berkeliaran dengan bebas. Resikonya terlalu besar. Yuuki? Aku memang tidak mungkin menyembunyikan hubunganku dengannya, tidak dengan rupa kami yang begitu mirip. Tapi Zero? Tidak akan ada yang bisa menebak hubungan yang kami miliki, dan itu lebih baik. Dengan begitu ketika tiba saatnya pria itu menyerang kembali dia tidak akan menempatkan Zero sebagai sasarannya." jelas Kaname, matanya menerawang sedih.

"Aku harus tetap diam untuk melindunginya, Takuma. Aku tidak akan bisa memaafkan diriku jika sesuatu terjadi lagi kepadanya hanya karena ia terlibat denganku. Tidak kali ini."


'BANG'

Suara tembakan Bloody Rose kembali menggema di udara, diiikuti oleh suara dentuman keras sesuatu membentur lantai, pertanda bahwa satu level E lagi telah jatuh menjadi korban bagi pistol khusus anti vampire tersebut. Pemiliknya, Zero, hanya menatap dingin saat tubuh vampire tersebut perlahan tapi pasti melebur menjadi butiran pasir, hal yang sudah menjadi pemandangan sehari-hari baginya.

Masih dengan wajah tanpa ekspresi, ia segera melemparkan pandangannya ke sekeliling gedung tua yang menjadi tempat operasi mereka kali ini. Bola matanya mendelik cepat, berusaha menetapkan target selanjutnya sekaligus menemukan keberadaan rekannya, Yuuki. Tudak butuh waktu lama bagi Zero untuk menemukan gadis berambut coklat tersebut, namun apa yang dilihatnya membuatnya tertegun.

Sekujur tubuh gadis itu dipenuhi dengan luka-luka goresan kecil, kulitnya yang seputih salju itu kini ternodai oleh bercak-bercak kemerahan. Tidak ada yang parah memang, dan hal itu membuat Zero sedikit menarik nafas lega. Kesalahan yang fatal mengingat rasa hausnya yang belakangan ini semakin menjadi-jadi.

Luapan aroma darah milik Yuuki menyerang indra penciuman Zero secara tiba-tiba, memberikannya tanpa sedikit waktu pun untuk mempersiapkan diri. Dalam sekejap Zero dapat merasakan akal sehatnya mulai menghilang, digantikan dengan insting primitif untuk memuaskan dahaganya. Untuk menancapkan taring kembarnya ke leher putih mengundang itu, menghisap setiap tetes cairan maha nikmat dari tubuh mungil tersebut, dan merasakan sumber kehidupan perlahan-lahan mulai meninggalkannya.

Oh, betapa godaan itu sungguh menggiurkan, membayangkannya saja membuat kerongkongan Zero terasa panas.

Dengan sedikit panik Zero berusaha untuk menahan keinginan tidak manusiawinya itu dan mengatur nafanya, usaha yang sia-sia mengingat setiap tarikan nafas yang diambilnya justru semakin meningkatkan nafsunya. Usahanya itu semakin digagalkan tatkala indra pendengarannya menangkap suara langkah kaki familiar mulai mendekat ke arahnya, membuat instingnya semakin menjadi-jadi.

"Berhenti! Jangan mendekat Yuuki!" bentaknya. Bahkan untuk telinganya sendiri suranya tendengar asing, seakan-akan yang berbicara bukanlah dirinya melainkan orang lain.

Bentakan keras itu sukses membuat Yuuki berhenti di tempat. Gadis itu tampak ragu sebentar sebelum akhirnya kembali melanjutkan langkahnya

"Zero, kau tidak apa-apa?" tanya Yuuki, suaranya bergetar sedikit, khawatir akan keadaan pemuda yang sudah ia anggap seperti saudara sendiri itu.

Zero tidak menjawab, hanya mengambil langkah goyah untuk mundur sebelum kemudian memutar tubuhnya membelakangi perempuan berambut coklat tersebut. Dengan seluruh sisa kekuatan yang ia miliki Zero menutup kedua matanya, menahan nafas, dan memaksa akal sehatnya untuk kembali mengontrol gelombang rasa haus yang menguasai tubuhnya.

Ia mengabaikan semua hal lain yang ada disekelilingnya, pikirannya hanya terfokus untuk mengendalikan insting memburunya, begitu terfokusnya hingga ia tidak menyadari gadis yang sedang berusaha dihindarinya itu kini sudah berada tepat dibelakangnya. Sebuah telapak tangan menyentuh pundaknya dan sedikit kontrol yang masih ia miliki pun menghilang.

Segalanya berlangsung begitu cepat, Zero sendiri tidak yakin akan apa yang telah terjadi. Ingatannya kabur, pikirannya linglung. Yang ia tahu pasti hanyalah ketika kesadarannya kembali tubuh Yuuki telah terbaring lemah didekapannya dengan darah mengalir dari dua lubang kecil di lehernya. Horror menggerayangi dirinya ketika ia menyadari rasa manis khas yang biasa diasosiasikan dengan darah begitu kuat memenuhi mulutnya. Seketika saja ingatannya akan kejadian beberapa saat yang lalu pun kembali, dan saat itu terjadi ia tidak dapat menahan sebuah teriakan pilu untuk terlepas dari bibir merahnya.


Derap langkah kaki terdengar memenuhi koridor bangunan bernuansa putih tersebut, dan baru berhenti ketika pemiliknya telah tiba di depan sebuah pintu mahogani di ujung koridor. Tanpa mengetuk, Kaname segera memasuki ruangan tersebut, ekspresinya datar, pandangannya bergerak mengelilingi ruangan tersebut hingga akhirnya terjatuh pada sosok gadis yang terbaring di atas ranjang.

"Apa yang terjadi?" tanyanya seraya berjalan mendekat. Kaein yang sedari tadi duduk menunggui Yuuki bangkit berdiri, membiarkan Kaname mengambil tempatnya di sebelah gadis berambut coklat itu.

"Zero menggigitnya." Jawaban singkat dari Kaein sukses membuat seluruh tubuh Kaname terasa membeku, bukan oleh amarah melainkan rasa sakit yang ia tahu pasti telah, dan sedang, dirasakan kedua orang terpenting di hidupnya tersebut.

"Maaf, Kaname, ini semua salahku. Aku tahu bahwa belakangan ini nafsu akan darah yang dimiliki Zero semakin sulit untuk dikendalikan, tapi aku tetap mengirim mereka berdua untuk melakukan misi bersama. Harusnya aku tidak membiarkan Zero lepas dari pengawasan sampai keinginannya untuk minum sudah mulai mereda." Sambung Kaein lagi dengan penuh penyesalan.

Kaname hanya menggelengkan kepalanya."Kau tidak bersalah, Headmaster. Kita sudah tahu sejak dulu kalau cepat atau lambat kendali Zero pasti akan melemah. Ini kesalahanku karena tidak bisa menemukan solusi untuknya hingga saat itu terjadi." Ucapnya. Kaein membuka mulutnya untuk membantah, namun berhenti ketika Kaname kembali menggelengkan kepalanya.

"Bisakah kau tinggalkan kami sebentar?" pinta vampir berdarah murni itu, yang kali ini langsung dibalas dengan anggukan kecil dari sang kepada sekolah.

Setelah Kaein meninggalkan ruangan itu Kaname hanya terdiam memandangi wajah pucat Yuuki, kedua tangannya menggenggam lembut telapak tangan gadis itu, jemarinya bergerak pelan mengusapkan pola-pola kecil di atasnya. Sebagian dari dirinya ingin untuk segera menemui dan menghibur pemuda berambut silver yang ia tahu pasti kini tengah sibuk membenci dirinya sendiri, namun Kaname juga tidak ingin meninggalkan adik perempuannya ini hingga ia yakin bahwa gadis itu baik-baik saja.

Entah berapa lama Kaname menunggu disitu. Yuuki baru membuka matanya ketika matahari telah lama bersembunyi. Suasana diluar sana sudah berubah gelap, hanya mengandalkan cahaya lampu jalan dan sinar redup rembulan sebagai sumber penerangan. Keadaan ini sedikit mengkhawatirkan Kaname mengingat ia yakin Zero pasti belum kembali ke kamarnya, namun pemikiran itu segera disisihkannya begitu menyadari bahwa Yuuki telah sadar dan kini tengah memandanginya.

"Kaname senpai? Kau sedang apa disini? Apa yang terjadi?" ia mendengar gadis itu bertanya lemas.

Kaname tidak menjawab, membiarkan gadis itu untuk mengingat sendiri kejadian yang menimpanya sore tadi. Ia dapat melihat dengan jelas ketika ingatan itu akhirnya menyeruak kembali ke pikiran terdepan Yuuki. Mata gadis itu membelalak dan tangannya yang tadi tergulai lemah di genggaman Kaname mendadak balas mencengkramnya.

"Zero!" ucap Yuuki panik seraya berusaha bangkit dari tempatnya terbaring, usaha yang dengan cepat digagalkan oleh Kaname.

"Tenanglah, Yuuki, kau tidak boleh terlalu banyak bergerak dulu." Jelas Kaname lembut, kedua tangannya bergerak menahan pundak gadis berambut coklat tersebut.

"Tapi Zero! Aku harus menemuinya dan menunjukkan kalau aku tidak apa-apa, kalau tidak dia pasti akan menyalahkan dirinya dan melakukan hal-hal bodoh!" suara Yuuki mulai terdengar histeris. "Ini bukan salahnya, Kaname-senpai, ini kesalahanku karena mencoba mendekatinya padahal ia sudah melarangku. Tolong jangan marah kepadanya, senpai. Ini bukan salahnya." Sambungnya lagi, kali ini diikuti dengan buliran-buliran air mata yang telah terlebih dahulu mengalir di pipinya.

Kebanyakan orang memang menganggapnya sebagai gadis clueless yang tidak tahu apa-apa, namun sebenarnya Yuuki sadar betul akan hubungan buruk diantara sahabat dan senpai favoritnya itu, dan akan seberapa besarnya kekuasaan yang dimiliki Kaname. Karena itulah kejadian ini membuatnya takut Kaname akan melakukan sesuatu kepada pemuda yang sudah ia anggap sebagai kakak lelakinya itu. Memikirkannya saja membuat tangisan Yuuki semakin mengeras. Isak tangis mulai memenuhi ruangan tersebut, hingga akhirnya terhenti tatkala ia merasakan dirinya ditarik ke dalam sebuah pelukan hangat.

"Aku tidak marah, Yuuki, tidak kepadamu tidak juga kepadanya, jadi kau jangan menangis lagi." Bisik Kaname seraya mengelus rambut gadis itu lembut. Kaname terus membisikkan kata-kata halus di telinga Yuuki sampai ia merasakan deru nafasnya sudah kembali normal, dan prefek itu pun telah berubah tenang di dekapannya.

"Kau sudah tenang?" tanyanya yang dibalas dengan anggukan kecil di dadanya.

"Kalau begitu sekarang kau harus kembali istirahat, oke? Tubuhmu masih lemas." Lanjut Kaname lagi yang kali ini dibalas dengan gelengan kepala dari Yuuki.

"Aku harus menemui Zero, senpai. Aku tidak ingin ia menyalahkan dan melukai dirinya sendiri karena mengkhawatirkanku." Gumam Yuuki pelan, membuat Kaname tersenyum tipis.

"Bagaimana kalau aku yang menemuinya? Aku akan menjelaskan padanya kalau kau tidak apa-apa." Pinta Kaname lagi. Yuuki masih tampak ragu sehingga Kaname pun kembali melanjutkan,

"Aku tidak akan berbuat apa pun kepadanya, Yuuki. Kau percaya kepadaku kan?" Kaname memandang gadis di dekapannya itu dengan sebuah senyum kecil terpatri di bibirnya, senyuman yang hanya akan ia tunjukkan kepada dua orang di dunia ini. Dan senyuman itu pula lah yang akhirnya meyakinkan Yuuki. Gadis itu menggigit bibirnya sebelum akhirnya menghela nafas dan menggangguk.

"Baiklah. Tapi tolong katakan juga padanya kalau aku tidak menyalahkannya senpai."

"Jangan khawatir, Yuuki, aku akan memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang menyalahkan Zero atas kejadian ini, seorang pun, termasuk Zero sendiri." Bisik Kaname sebelum kemudian melepaskan pelukannya dan berjalan keluar dari ruangan tersebut, bertekad untuk membuat janjinya itu menjadi kenyataan.


Tidak butuh waktu lama bagi Kaname untuk dapat menemukan Zero. Setelah menghabiskan bertahun-tahun memperhatikan tingkah lalu pemilik rambut silver itu dari kejauhan, kini Kaname sudah paham betul jalan pikiran dan tindakannya.

Seperti yang telah ia duga, pemuda itu belum juga kembali ke dalam Sun Dorm dan justru berlindung di bawah pohon favoritnya di belakang Moon Dorm. Beruntung bagi Kaname, pohon itu memiliki sebuah lampu jalan terpasang tepat di dekatnya, sehingga memungkinkan Kaname untuk dapat mengamati sosok Zero dengan jelas bahkan di tengah kegelapan sekali pun.

Dari tempatnya berdiri Kaname dapat melihat bahwa Zero telah tertidur dengan mata yang sedikit sembab, jelas sekali habis menangis hingga akhirnya tertidur kelelahan. Wajahnya terlihat begitu polos dalam lelap, tanpa kerutan-kerutan di dahinya, tautan diantara kedua alisnya, maupun tekukan pada bibir merah mudanya. Hanya kedamaian, ekspresi yang hampir tidak pernah ia tunjukkan di kehidupan sehari-hari dan membuat Kaname tidak dapat menolak untuk menghabiskan beberapa menit menikmati pemandangan itu dari kejauhan.

Ketenangan itu tidak berlangsung lama sebab beberapa saat kemudian sebuah erangan kecil terdengar keluar dari mulut pemuda yang masih terlelap tersebut. Ekspresinya yang tadi terlihat begitu damai pun kini mulai melukiskan keresahan, memaksa Kaname untuk akhirnya bergerak, tidak ingin pemilik rambut silver itu semakin larut di dalam siksaan alam bawah sadarnya sendiri.

Ia berjalan mendekati sosok di bawah pohon tersebut dan kemudian mengambil tempat duduk tepat di sebelahnya, tahu betul kalau Zero adalah seorang light sleeper dan akan tersadar bahkan dengan gangguan kecil sekalipun. Dan benar saja, begitu merasakan pergerakan di sebelahnya pemuda berambut silver itu pun terbangun. Kedua kelopak matanya perlahan terbuka, memperlihatkan mata violet indahnya yang tampak seolah bersinar di antara kegelapan. Mata violet yang dengan cepat berubah tajam tatkala pandangannya terjatuh kepada orang yang telah mengganggu tidurnya.

"Kuran? Apa yang kau lakukan disini!" bentak Zero, suaranya masih terdengar sedikit serak oleh tidur.

"Apa aku tidak boleh beristirahat di bawah pohon di kawasan asramaku sendiri?" Kaname balik bertanya yang dibalas dengan dengusan kesal dari Zero.

"Terserahlah, nikmati saja istirahatmu, Kuran, biar aku yang pergi" jawab Zero. Tidak ingin berlama-lama berada di dekat musuh bebuyutannya, pemuda bermata violet itu pun segera bangkit dan bermaksud beranjak pergi ketika suara Kaname menghentikannya.

"Duduk, Zero. Aku ingin bicara denganmu" perintah Kaname dengan nada yang mengindikasikan bahwa ia tidak akan menerima penolakan. Penggunaan nama depannya ditambah nada bicara itu membuat Zero mengernyitkan dahinya.

"Tidak ada yang ingin kubicarakan denganmu, Kuran." Jawabnya sebelum kemudian mulai berjalan menjauh.

"Ini tentang Yuuki." Suara Kaname terdengar kembali dan tiga kata itu sekali lagi berhasil menghentikan langkah kaki Zero.

"Kau menggigitnya, Zero. Bukankah kau sudah bersumpah tidak akan pernah minum dari manusia? Lalu apa yang kau lakukan sekarang? Kau malah pergi dan menggigit orang yang selama ini selalu membelamu." Tuduh Kaname, nada datarnya seolah mencemooh Zero sehingga membuat pemuda itu kembali membalik badan dan menggeram penuh amarah.

"Ya, aku menggigitnya! Aku telah menggigit Yuuki-mu yang berharga itu. Lalu? Apa yang mau kau lakukan? Mengataiku? Memukuliku? Atau justru membunuhku? Silahkan, Kuran, aku bahkan tidak akan mencoba untuk melawanmu. Aku tahu ini semua adalah kesalahanku, kau tidak perlu memperjelasnya lagi." Ucap Zero setengah berteriak. Ia mengambil nafas panjang sebelum kemudian memejamkan matanya dan melanjutkan,

"Lakukan apa pun yang kau mau, lagipula aku lebih memilih mati di tanganmu daripada oleh virus vampir bodoh ini." Akhirinya dengan sebuah bisikan lirih. Bisikan yang seolah mengungkapkan bahwa ia telah menyerah akan hidup, dan Zero memang setengah berharap kalau vampir di hadapannya itu akan segera menghabisi hidupnya yang menyedihkan ini. Karena itulah ia tidak bergerak ketika merasakan vampir berdarah murni itu mulai berjalan mendekatinya. Masih dengan mata terpejam, ia menahan nafas dan membiarkan sebuah senyum kecil menghiasi bibirnya, sedikit senang akhirnya ia bisa kembali bertemu dengan keluarganya, tapi juga sedikit merasa bersalah karena ia tidak bisa mengucapkan maaf secara langsung kepada Yuuki.

Zero sudah begitu siap untuk memeluk kematian, ia bahkan mulai menebak-nebak cara apa yang akan digunakan sang pangeran vampir untuk membunuhnya, namun ternyata semua tebakannya salah. Yang diterimanya bukanlah sebuah serangan langsung ke jantung yang akan membunuhnya seketika, bukan pula rasa pilu yang dirasakan tatkala taring menembus masuk ke lehernya dan membunuhnya perlahan-lahan, tidak, yang diterimanya justru sebuah belaian lembut di pipinya dan sesuatu yang hangat menyentuh bibirnya.

Butuh beberapa detik bagi Zero untuk menyadari bahwa Kaname tengah menciumnya, dan beberapa detik lagi untuk menyadari sebuah sensasi luar biasa yang dapat ia rasakan di indra perasanya. Darah, dan bukan darah biasa, darah seorang vampir berdarah murni yang kenikmatannya tidak dapat ditandingi oleh makhluk mana pun di dunia ini. Dan, oh betapa nikmatnya..

Zero merasakan instingnya yang tadi sempat meredam kembali mencuat, dan nafsu yang mirip namun jauh melebihi apa yang dirasakannya sore tadi mulai kembali menggerayanginya. Ia baru saja akan membiarkan dirinya kembali tenggelam di dalam sensasi tersebut ketika ia merasakan bibir yang sedari tadi melumat bibirnya itu tiba-tiba ditarik menjauh. Dengan nafas tersengal Zero segera membuka kedua matanya, dan menatap langsung ke arah pemuda yang masih memegangi kedua pipinya tersebut. Mata merahnya disambut dengan mata merah lain yang kini menatap tajam ke arahnya, membuat tubuh Zero terpatri tak bergerak.

"Minum darahku, Zero. Aku tidak bisa membiarkanmu mati karena kematianmu akan membuat Yuuki sedih, tapi aku juga tidak bisa membiarkanmu berkeliaran dalam kondisi lapar dan berisiko melukai murid lain. Karena itu, Zero, jika kau merasa haus datang kepadaku dan minum darahku." Kaname menempelkan kedua kening mereka dan membisikkan kata-kata itu tepat di wajah Zero.

"Tidak akan kumaafkan kalau kau sampai mengambil darah dari orang lain. Kau hanya boleh mengambil darahku. Hanya milikku, Zero, milikku."

TBC

Okay segitu dulu updatenya, maaf ini agak lama, saya ga bakalan kasih alasan a, b, c dah yang penting bisa update aja haha

Tapi bentar lagi saya libur panjang kok, jadi bakal diusahain update sesering mungkin

Saya agak kurang puas sih sama chapter ini, ngerasanya bahasanya aneh banget tapi mau ngubah bingung sendiri, yasudahlah ya, dan karakternya juga kalau OOC ya maafkan namanya juga fanfic lol

what do you think? jangan lupa ninggalin jejak yap kalo baca, your thoughts and suggestions would be highly appreciated ^^

and then until next time ~