The original story belongs to rawrchelle

Characters © Masashi Kishimoto

.

.

. . . . . . . . . . . . . . .

(deg. deg. deg.)

"Sasuke-kun? Kau baik-baik saja?

"Hn."

Kau hanya diam sepanjang hari.

Yah, bukan berarti biasanya kau tidak diam, tapi—

Ini sedikit berlebihan untukmu.

"Kau bisa bicara padaku, kau tahu. Kita sudah menikah, bukan?"

Sasuke-kun ?

"Apa aku… melakukan kesalahan?"

(tarik napas. hembuskan. tarik napas. hembuskan.)

"Apa maksudmu?"

Bagaimana kau bisa melakukan kesalahan, setelah semua ini?

Kau sudah mencapai tujuan hidupmu—kau sudah selesai, Sasuke-kun.

"Aku sudah berusaha berbulan-bulan. Mengapa kau tidak…?"

"Mengapa aku tidak apa? Hamil?"

Kau tidak perlu melakukan apa-apa lagi. Tak apa.

"Ya."

(bernapas. bernapas. tarik napas—)

"Kita mungkin hanya belum mendapatkan waktu yang tepat. Kita akan mencobanya lagi nanti?"

Menggerutu. "Hn."

(—hembuskan.)

. . . . . . . . . . . . . . .

"Sakura." Ia mendongak dari bukunya, dan tersenyum.

"Selamat datang, Sasuke!" Sasuke melepaskan jaket dan menggantungnya. "Bagaimana harimu?"

"Melelahkan."

"Apa kau ingin aku memijitmu? Kau terlihat tegang."

Dia menyeringai sedemikian rupa sehingga hampir terasa terlalu lembut untuk menjadi sebuah seringai—tapi setelah sekian lama, ia tahu dengan sangat baik daripada berpikir Sasuke akan tersenyum. "Tentu." Ia menandai halaman di buku dan memberi tempat untuk Sasuke di sofa. "Kau bilang kau ingin mencoba restoran Italy yang baru di pinggir jalan, bukan?"

Ia menempatkan tangannya di pundak Sasuke , mengingat semua buku tentang pijatan yang i abaca bertahun-tahun yang lalu. "Ya. Tapi bukankah uang kita pas-pasan?"

"Aku menabung. Apa kau ingin pergi mala mini?"

(terkejut. spontan. dan berani ia mengatakannya—kebahagiaan.)

"Aku akan sangat senang!"

Malam itu, mereka masuk ke restoran—terlihat sedikit salah kostum, tapi kalau memang begitu, tidak ada yang mengatakan tentang itu. Sasuke memeluk pinggangnya dengan protektif, saat pelayan membawa mereka ke meja mereka.

Sejujurnya, ia tidak pernah membayangkan hidup seperti ini. Ia tidak cukup bodoh untuk berharap hal seperti itu.

"Apa itu?"

"Ini? buah zaitun. Kau ingin mencobanya?"

Ia mengerutkan hidung. Buah itu berwarna hitam dan berminyak, dan hampir mengingatkannya pada mata Kisame. "Oke." Sasuke menusuk satu dengan garpunya dan mengulurkan padanya untuk dimakan. Ia mengunyahnya perlahan, dengan hati-hati agar tidak mengigit bijinya.

Sasuke memperhatikannya, matanya menari di bawah cahaya lilin. "Jadi? Bagaimana?"

Ia menatap Sasuke dengan jujur. "Aku rasa aku membecinya melebihi tomat."

. . . . . . . . . . . . . . .

FADING AWAY

. . . . . . . . . . . . . . .

Lima tahun kemudian;

Hidup lebih sulit. Lebih sulit, tapi lebih baik.

Kehidupan sibuk New York adalah termpat terbaik, jika kau bersembunyi dari orang-orang. Ternyata ia tidak bisa pergi ke sekolah kedokteran atau menjadi dokter—terlepas dari pengetahuannya, ia tidak memiliki persyaratan yang diperlukan. Itu mengecewakan, tapi ia telah belajar mengatasi kekecewaannya. Ia memiliki seluruh daftarnya, Ia bekerja penuh di sebuah toko, dan saat ia punya waktu, ia akan pergi ke rumah sakit. Duduk di ruang tunggu dan hanya memperhatikan orang-orang lewat.

Sasuke, di lain sisi, menjadi seorang akuntan. Itu penurunan yang besar, dari seorang CEO, tapi itu yang terbaik yang bisa dia lakukan. Mereka tinggal di sebuah apartemen—tidak bisa dibandingkan dengan Mansion Uchiha—tapi ia tidak bisa mengeluh. Lagi pula, ia memiliki Sasuke—dan itu sudah lebih dari cukup.

Ia bari saja akan memejamkan mata untuk tidur saat Sasuke tiba-tiba berbicara. "Apa kau menyadari sesuatu yang aneh akhir-akhir ini?"

"Apa maksudmu dengan aneh?" gumamnya, tidak yakin apakah ia mengartikannya dengan benar atau tidak.

"Hanya… sesuatu di luar kebiasaan."

"Aku… rasa tidak." Ia tidak bisa membuat dirinya untuk berpikir terlalu banyak tentang itu saat dirinya sudah hampir tertidur. "Mengapa?"

Sasuke diam sejenak. "Tidak ada." Ia merasa Sasuke bergeser ke sebelahnya. "Kemari. Mendekatlah." Disbanding hal lainnya, ini masih sedikit di luar kebiasaan dari Sasuke untuk berinisiatif tentang kontak fisik, jadi ia menurutinya dengan senang hati, bergerak cukup dekat untuk merasakan kehangatan tubuh Sasuke. Lengan Sasuke memeluk pinggangnya, dan ia mendengar Sasuke menghela kecil, seolah terisi.

(bau sasuke membawa semacam kenyamanan untuknya.)

"Jangan tinggalkan aku, Sakura."

Dengan sedikit kesadaran, ia hanya bisa tersenyum lembut.

"Aku tidak punya alasan untuk melakukannya."

. . . . . . . . . . . . . . .

"Aku—aku takut. Aku tidak suka merasa takut."

"Merasa takut merupakan hal baik. Itu artinya kau masih punya sesuatu yang tersisa untuk kehilangan."

. . . . . . . . . . . . . . .

Ia terbangun dengan perasaan sedih.

Mimpinya tidak pernah bagus—namun bukan berarti ia bisa mengingatnya. Mimpi itu terisi dengan kesakitan dan penderitaan. Mencoba mengambil alih dirinya dari pemikiran-pemikiran ini, ia mencoba melepaskan diri dari rengkuhan Sasuke agar bisa bersiap-siap. Namun, ia merasakan pelukan Sasuke di pinggangnya mengencang.

"Sasuke?" ia mengamati Sasuke penasaran, dan memperhatikan mata pria itu bergerak terbuka. "Maaf. Apa aku membangunkanmu?"

"Tak masalah. Lagipula aku juga akan segera bangun. Apa kau bermimpi buruk?"

"Apa yang membuatmu berpikir seperti iut?"

"Kau jarang bangun duluan." Sasuke tidak tersenyum, tapi matanya melembut. Ia tidak pernah lelah dengan kebaikannya. "Apa itu menakutkan?" salah satu tangan Sasuke menyingkirkan rambut dari matanya.

Ia menggelengkan kepala. "Tidak—hanya…sedih."

"Sedih?"

"Dan kosong. Hanya terasa… begitu kesepian."

Bertahun-tahun, dan mereka tidak bisa menemukan hubungan antara mimpi dan kehidupan nyata mereka. Mereka sudah menemui berbagai macam orang dalam bermacam-macam profesi, menanyakan apakah itu pernah terjadi sebelumnya, tapi itu semua berakhir buntu. Secara pribadi, ia tidak terlalu keberatan jika mereka tidak pernah tahu mengapa mereka bisa berjalan di atas air. Tapi Sasuke—Sasuke benar-benar ingin tahu.

"Kau tidak sendirian." Sasuke menariknya mendekat, sampai wajahnya berada di ceruk lehernya. Ia mengirup aroma maskulinnya. "Aku di sini."

Ia tersenyum di kulitnya. "Aku tahu."

Mereka tetap seperti itu beberapa menit, sebelum Sasuke menarik diri dan turun dari tempat tidur. "Kau juga harus bersiap."

Sasuke mengantarnya ke toko terlebih dahulu, sebelum menuju ke kantor sendirian. Menghela, ia membuka pintu dan mengabsen kehadiran. Ada seorang anak lelaki yang berkerja bersamanya—lebih muda beberapa tahun dari dirinya, dan hanya bekerja selama musim panas sebelum sekolah kembali dimulai. Dia berambut pirang dan bermata biru, dan selalu tersenyum—itu mengingatkannya tentang seorang teman yang pernah dimilikinya, dulu.

"Selamat pagi, Sakura!"

Ia tersenyum padanya, melambai sebelum menuju gudang penyimpanan di belakang. "Pagi, Anthony."

Dalam daftar miliknya terdapat empat hal, ia sudah melakukan tiga hal.

1. Menghabiskan satu harian di luar.

Sasuke sudah membawanya ke Central Park satu hari dengan sebuah kotak makan. Mereka menghabiskan satu hari di sana, berkeliling, duduk di rumput—dan bahkan sekarang, ia masih bisa mengingat kumbang kecil yang merayap di kakinya, dan bagaimana angin dan matahari terasa di kulitnya di waktu bersamaan. Sasuke memberinya kejutan dan juga satu termos cokelat panas.

2. Mengunjungi rumah sakit.

Ia pergi ke rumah sakit kapan pun ia bisa. Perawat mengenalnya dengan baik, dan mereka semua tahu dirinya mempunyai kemampuan untuk menjadi seorang dokter. Ada seorang perawat yang suka diajaknya bicara—Yamanaka Ino. Sedikit cerewet, tapi Ino gadis yang jujur, dan ia suka mendengar cerita-ceritanya.

Kadang-kadang, ia ingin membantu di ruang gawat darurat, tapi dirinya tidak diizinkan di sana—dan meskipun ia diizinkan, ia tidak akan punya wewenang utnuk membantu orang lain. Tapi ia berbicara kepada pasien—ia mengartikannya sebagai terapi atau dukungan pada pasien. Sasuke tidak pernah melarangnya melakukan itu, jadi ia rasa itu merupakah hal baik.

3. Membuat Sasuke bahagia.

Sedikit demi sedikit. Hal itu terjadi, sedikit demi sedikit.

Ia pernah melihat keterpurukannya. Saat Kisame menceritakan kebenaran mengenai Itachi, saat dirinya diculik oleh Itachi—itu menggelikan, bagaimana seorang pria bisa membuat seseorang terpengaruh begitu besar. Sasuke rapuh begitu mudahnya, ia sadar akan itu—satu sentuhan dan dia akan hancur berkeping-keping.

Namun sekarang, semuanya menjadi lebih baik. Ada lebih banyak kehidupan dalam matanya. Mungkin Sasuke tidak akan menghapus masa lalunya atau pun mengenai Akatsuki—tapi dia belajar untuk hidup dengan itu. dan itu selalu menjadi sebuah permulaan.

Akan ada hari saat Sasuke akan kembali, dan menghancurkan organisasi itu. Dia akan membalaskan dendam saudaranya.

4. Berfoto dengan Sasuke.

Meskipun sudah meminta ini selama beberapa tahun, Sasuke masih menolaknya. Dia tidak suka kamera, untuk beberapa alasan. Saat ia menanyakan alasannya, Sasuke bilang itu karena dia benci mengenang. Tak ada hal untuk diingat, jika dia tidak memilikinya sekarang.

"Bahkan Naruto?" tanyanya.

Sasuke menutup mata sejenak, seolah mengingat sesuatu yang menyakitkan. "Dia tidak pergi," ujarnya. "Dia masih di sini."

. . . . . . . . . . . . . . .

(deg. deg. deg.)

"Sasuke-kun? Um, bisakah kita… bisakah kita bicara?"

Aku tidak percaya ini terjadi.

Setelah semua yang telah kami lewati, aku tidak bisa mempercayai ini.

"Apa kau baik-baik saja, Sakura?"

Menghirup. "Ya. Ini hanya—ya, aku baik."

(bernapas. bernapas. bernapas.)

"Tenanglah. Ada apa?"

"Aku—Aku"—terengah—"Ingat saat aku pergi ke rumah sakit untuk memeriksa diriku?"

"Katakan saja, Sakura."

Ini tidak adil. Setelah semua penderitaan yang kami pikul, ini tidak adil.

"Aku… aku steril, Sasuke-kun. Aku tidak bisa—aku tidak bisa punya anak."

(deg, degdeg, degdegdeg—)

"Maafkan aku—maafkan aku—"

Sasuke. Sasuke. Sasuke.

Sasuke-kun.

Aku tidak pernah berpikir aku akan menjadi alasan kesedihanmu.

Apa kau kecewa padaku, Sasuke-kun? Marah?

Apa kau akan megabaikanku?

"Sa…Sasuke -kun?"

Kebaikan hatimu terluka.

"Tak apa. Ini bukan kesalahanmu."

Tersedak tawa. "Ini benar-benar tidak seperti dirimu, aku tahu. Lagi pula, kau bisa saja menemukan wanita lain—"

"Tidak ada wanita lain, Sakura. Hanya kau."

"Ja-jangan bodoh…"

(bernapas. bernapas. sialan, bernapaslah.)

"Aku tidak ingin orang lain. Aku lelah. Aku selesai."

Kau mempesona, bahkan disaat kau jatuh dari pesonamu.

"Apa kau baik-baik saja, Sasuke-kun?"

"Aku hanya… aku hanya ingin istirahat. Aku ingin tidur."

(bernapas.)

Tersenyum.

"Kalau begitu ayo tidur."

(deg. deg. deg.)

. . . . . . . . . . . . . . .

"Sakura!" ia mendongak dari ramen gelas yang diletakannya ke rak untuk menemukan Anthony dengan tangannya menangkup mulut karena bicara terlalu keras. "Ada tamu untukmu!"

Aneh. Dia tidak pernah mendapatkan seorang tamu sebelumnya. Itu tidak mungkin Sasuke, karena dia sering datang menjemputnya jadi Anthony tahu kalau Sasuke bukan sekedar tamu. Jadi siapa? Meletakan ramen gelas terakhir ke rak, ia menuju ke konter.

Orang yang ia lihat membuatnya berhenti di tengah jalan.

"Halo, Sakura." Zetsu tersenyum senang. "Lama tak jumpa, bukan?"

Darah mengalir dari wajahnya. Sasuke. Di mana Sasuke? Ia sudah punya ponsel sekarang, tapi benda itu ada di dalam tasnya di belakang—

"Zetsu-sama." Ia menundukan kepala sedikit untuk menyapa. Kebiasaan lama yang susah hilang. "Halo."

"Bisa aku bicara denganmu di luar?" Zetsu melirik Anthony, yang dengan sopan membaca majalah—tapi Sakura mengenalnya cukup alam untuk tahu kalau bocah itu mendengarkan. Dia selalu menjadi orang yang penasaran. "Ini mengenai… masalah pribadi."

Ia menggelengkan kepala, mungkin terlalu cepat. "Maafkan aku. Aku—aku sedang bekerja." Pergi keluar artinya menyerahkan dirinya sendiri pada Zetsu. Ia tidak bisa melakukan itu.

(dia bukan pemiliknya lagi. dia tidak bisa menyakitinya tanpa mendapatkan masalah.)

"Tak apa, Sakura!" Antony menyengir. "Aku akan menjaga toko! Kau tidak akan lama, kan?"

"Tentu saja tidak akan lama." ia terkejut, bagaimana Zetsu dengan mudahnya bisa bertingkah normal, dan berbaur. Kapan dia belajar bahasa Inggris? Apa semua anggota Akatsuki lancar dalam beberapa bahasa? Itu masuk akal, bukan—mengingat mereka merupakan organisasi terkenal di dunia, meskipun buruk di baliknya.

"Tidak, sungguh—aku sibuk. Mungkin lain kali?" mereka di sini. Akatsuki di sini. Mereka akan mendapatkannya dan Sasuke dan membunuh mereka—atau bahkan lebih buruk, menghapus ingatannya dengan beberapa obat baru dan menggunakannya lagi. Matanya melintas dalam mode paranoid. Ada jalan keluar di belakang, dan sebuah jendela di kamar mandi—jika perlu, ia bisa memecahkannya dan melarikan diri seperti itu—

"Tentu. Aku akan menangkapmu lain kali, kalau begitu." Zetsu tersenyum. "Maaf sudah mengganggu pekerjaanmu."

"Tidak, tak masalah." Ia berusaha membalas senyumannya.

Saat Zetsu sudah pergi, ia memutar kakinya dan berlari ke belakang. Tangannya meraba resleting tas dan tombol ponselnya—setelah itu menempelkannya ke telinga dan menunggu Sasuke mengangkat, matanya membeliak dan kalut, napasnya sesak.

"Sakura?" hanya mendengar suara Sasuke di seberang membuat bebannya di hati sedikit berkurang.

"Sasuke—mereka—Zetsu-sama—"ia bahkan tidak bisa membentuk kalimat dengan jelas.

"Zetsu? Apa kau aman? Di mana kau sekarang?"

"Masik bekerja. Aku bilang Zetsu-sama aku sibuk, tapi dia bilang dia akan kembali nanti—apa ini berarti semua anggota Akatsuki di sini? Apa mereka akan membunuh kita?"

"Kita akan baik-baik saja, Sakura. Tetap di sana. Aku akan datang menjemputmu dan kita akan menemukan jalan untuk melawan mereka."

"Melawan mereka? Mengapa kita harus melawan mereka?" genggamannya pada ponsel mengencang, telapak tangannya basah oleh keringat. "Tidak bisakah kita lari?"

"Mereka akan mengikuti kita tak peduli kemana pun kita pergi. Jangan khawatir. Aku akan mengatasi ini. Tetap di tempatmu sekarang—aku datang." Sasuke menutup telepon sebelum ia sempat menjawab. Masih terkejut, tangannya perlahan jatuh dari telinga, ponselnya lepas dari genggaman.

Lima tahun. Mereka sudah membangun kehidupan ini selama lima tahun—dan hanya dalam dua menit, semuanya hancur.

"Maaf, Anthony—aku harus pulang awal hari ini." ia keluar dari ruang belakang dengan tasnya di bahu.

"Apa kau baik-baik saja?" Anthony mengerutkan dahi. "Kau terlihat pucat."

Ia berusaha tersenyum. "Aku selalu pucat. Aku baik." Tapi itu tidak menghentikan caranya menumpukan berat tubuhnya pada kaki atau caranya membuka ponsel dan menutupnya saat ia menunggu Sasuke datang.

Ini pertama kalinya ia melihat Sasuke begitu lelah. Rambut acaknya terlihat lebih berantakan dari biasanya, dan dia terengah-engah, seolah dia berlari. Begitu Sasuke mendorong pintu toko terbuka, ia merasa sangat terharu dan menangis. "Sasuke…" ia menutup mulutnya, berusaha menahan diri.

"Tak apa, Sakura. Tak apa." Sasuke bergerak mendekat dan menariknya ke dalam pelukan erat. "St. tidak apa-apa."

"Um… apa kalian baik-baik saja?" dalam kepanikan Sasuke, dia menjawab dengan bahasa Jepang, meninggalkan Anthony kebingungan.

"Kami baik-baik saja." Sasuke melepaskannya dan menggenggam tangannya, sentuhan lembutnya. "Kami akan pergi sekarang." Ia tetap menunduk saat mereka pergi. Ia tidak bisa menatap Anthony. Di depannya, ia selalu menjadi seseorang yang mengajarinya, yang menunjukannya berbagai tugai di toko—seorang teman, seseorang yang diajak bicara saat jam-jam lenggang dan membosankan. Anthony tidak tahu apa-apa tentang masa lalunya, siapa dirinya—apa dirinya.

(tapi apa dirinya, sebenarnya? manusia. ia normal. ia tidak menyukai mereka.)

. . . . . . . . . . . . . . .

"Apa kau pernah memikirkan rasanya terbang?"

Sasuke menatapnya dari bingkai kacamatanya. "Mengapa kau akan memikirkan sesuatu yang jelas-jelas tidak mungkin?"

. . . . . . . . . . . . . . .

Jantungnya melompat ke ternggorokan. Tidak.

Mereka di sana, menunggu di pintu apartemen mereka. Bukan menunggu di luar gedung—mereka tepat di pintu mereka.

Mereka semua di sana. Pein, Zetsu, Tobi, Sasori, Kakuzu—mereka semua di sana. Ia tahu Konan pasti di sekitar juga, tapi Pein tidak akan pernah mengambil resiko tentang keselamatan wanita itu—dia mungkin di suatu tempat, menunggu.

"Di mana Kisame?" bisiknya. Ia nyaris tidak ingin tahu.

"Kami sudah mengurusnya," ucap Pein tanpa ekspresi. "Saat kami melacak panggilan teleponnya, kami menemukan semuanya mengarah ke seseorang yang mencurigakan."

Ia merasakan Sasuke menegang di sebelahnya. "Apa yang sudah kau lakukan padanya?"

Tobi tertawa, dan menggerakan tangannya membentuk sebuah pistol. "Dor, dor!" ia tidak pernah terlalu sering melihat Tobi, karena pria itu selalu keluar untuk mengerjakan tugas lainnya. Ia tidak pernah menganggapnya sebagai orang yang terlalu mengerikan—tapi dirinya sudah terbukti salah lagi.

Ia bahkan tidak punya energy untuk menangis lagi. "Tapi…" tapi apa? Jadi apa jika Kisame menolong mereka? Jadi apa jika dia adalah orang yang baik?

(hidup tidak seperti dongeng yang selalu ia baca.)

"Uchiha Sasuke. Kau tidak bersenjata, dan melawan lima pria bersenjata. Kami sarankan kau menyerah. Jangan buat kekacauan untuk kami." Pein melangkah maju, sebuah pistol sudah di tangannya dan teracung, menunjuk tepat pada kepala Sasuke. Matanya membelalak—kenapa sekarang, ia masih tidak bisa berbuat apa-apa?

"Tidak bersenjata?" saat menatap Sasuke, ia menemukannya menyeringai. Bagaimana mungkin ia bisa menyeringai dalan situasi seperti ini? "Aku rasa tidak."

Itu benar mereka berdua Sasuke dan Sakura punya sebuah pistol. Tapi itu ada di dalam, terselip di bawah bantal mereka—mereka tidak memilikinya sekarang. Ia tidak pernah berpikir bahwa dirinya akan hidup untuk melihat hari di mana ia berharap pernah memilikinya, hanua menunggu untuk digunakan.

Hanya saat tangan Sasuke bergerak dengan cepat sehingga ia menyadari apa yang akan dia lakukan.

"Tapi apartemen—" mereka sedang berdiri di lorong, dengan beberapa orang lainnya tinggal di sekitar mereka. Mereka tidak bisa menghancurkan tempat ini.

Jika Sasuke mendengar, dia tidak menunjukan tanda-tanda untuk berhenti. Dalam beberapa detik, dia menempatkan satu tangan menangkup di bibirnya, dan rasa panas menyebar, langsung menuju kelima pria itu. Ia mencicit dan mengangkat tangannya untuk melindungi wajahnya.

Bola api Sasuke telah membuat mereka lengah, dan dia tidak membuang-buang waktu meraih tangannya dan menariknya ke lorong menuju tangga. Ia terhuyung mengikuti langkah Sasuke, berlari menuruni tangga, lebih cepat dan lebih cepat dan oh Tuhan ia akan tersandung dan jatuh—

Lobi apartemen yang mereka lewati dalam keadaan kabur, dan tiba-tiba, mereka di luar—berlari, berlari lebih cepat—tapi meski mereka menghilang dalam kerumunan, mengapa rasanya mereka masih mengekori mereka?

Ia melirik melalui bahunya, dan menelan ludah. Benar. Itulah alasannya.

"Sasuke—mereka tepat di belakang kita—"

"Mereka semua?"

Ia kembali menoleh. "Tobi tidak ada—"

"Bagus. Itu berhasil pada salah satu dari mereka. Jangan berhenti berlari!" genggaman Sasuke mengencang di tangannya, dan ia menatap hampa pada Sasuke sambil berlari. Kakinya sakit, paru-parunya terbakar.

Mengapa Sasuke melakukan ini? Bukankah hanya dirinya yang mereka inginkan? Jika dia membiarkannya pergi sekarang, maka dia bisa melarikan diri—

"Sasuke—cukup"—ia tidak bisa percaya dirinya mengatakan ini—"culup lepaskan aku."

Langkah Sasuke bahkan tidak memelan. "Tidak akan pernah."

Ia tidak pernah mengira ia akan pernah membiarkan dirinya menderita untuk orang lain. Ia sudah membanya semuanya di buku—di mana orang yang mencintai seseorang sampai ke titik di mana mereka akan rela untuk menyerahkan hidup mereka untuk orang itu. itu bodoh, dan ia berjanji pada dirinya ia tidak akan pernah melakukannya—

Tapi ia ingin melakukannya. Ia menginginkannya.

(karena ia manusia.)

"Sasuke—bukan kau yang mereka inginkan, itu aku—"

"Tidak, Sakura!" jika saja Sasuke punya kesempatan, dia akan menatapnya tajam sekarang. "Saat aku memilih untuk membawamu pergi, mereka menginginkan kita berdua! Kiat berdua melakukan hal yang sama pada mereka sekarang—jadi jangan berani mengatakan mereka hanya menginginkanmu!"

"Polisi—kita harus pergi ke polisi—"

"Dan apa? Mengambil resiko untuk mengeksekusimu?"

(mengapa sasuke pergi terlalu jauh untuknya? Dia bisa dengan mudah melarikan diri jika bukan untuknya—)

Bahkan sekarang, ia tidak bisa mengukur cintanya.

Ia hampir tersandung dan jatuh dengan wajahnya saat Sasuke tiba-tiba berbelok tajam dan menariknya menuruni tangga, ke bawah tanah dan masuk ke terminal kereta bawah tanah. Sekarang tengah hari, jadi tidak banya orang di sana—hanya seorang wanita tua dan seorang pengusaha, mungkin terlambat kembali dari istirahat makan siangnya.

"Kau!" Sasuke berteriak pada si pengusaha. "Bawa wanita itu dan pergi, jika kau tidak ingin terluka!" ini mengejutkannya saat Sasuke mempertimbangkan keselamatan orang lain—tapi ia tidak mendapat kesempatan untuk merasa senang akan itu, karena langkah kaki menggema di sekitar mereka. Ia menatap ngeri saat empat anggota Akatsuki yang tersisa menuruni tangga, bersama beberapa pria berpakaian hitam, semua bersenjata.

Apakah itu dianggap adil?

"Sakura," ucap Sasuke pelan, dengan suara rendah, "Mundurlah." Ia menarik sesuatu keluar dari sakunya—pisau lipat. Pisau yang Naruto gunakan untuk membunuh Hidan.

"Tapi kau tidak bisa melawan mereka semua," bisiknya. "Bahkan dengan apimu—"

"Aku bilang mundur!"

Tak banyak yang bisa ia lakukan, karena itu, kakinya melemah di bawahnya, dan ia terjatuh ke tanah, penglihatannya kabur dengan air mata.

Ia mendengar suara tembakan, tapi ia tidak ingin melihatnya. Melihat Sasuke terluka merupakan hal terakhir yang ia inginkan. Ia pernah melihat luka terparah—gangrene, tulang hancur, hati hancur—tapi pemikiran darah Sasuke yang tumbah membuatnya ingin muntah.

Tiba-tiba panas membakar, dan beberapa pria berpakaian hitam terbakar.

"Sa…kura?"

Selama satu detik penuh, jantungnya berhenti berdetak. Ia sangat takut jika Sasuke yang terbata memanggil namanya—tapi suara Sasuke lebih dalam dari itu. Ia memalingkan kepalanya ke sekeliling, matanya melebar.

"Anthony?"

"Apa yang terjadi?" anak lelaki berambut prang itu menatap sekeliling. "Apa yang terjadi? Itu pria yang datang bicara padamu pagi ini, bukan?"

Ia bangkit berdiri. "Kau harus pergi dari sini. Pergi—pergi panggil polisi atau sesuatu, kumohon!" ia tidak peduli jika mereka menemukan dirinya ilegal. Ia tidak peduli lagi—ia benci melihat Sasuke seperti ini, berhkelahi. Sasuke bisa mendapatkan kehidupan yang tenang. Dia bisa bahagia. Jika bukan untuk Akatsuki—jika bukan untuk mereka, Sasuke tidak harus melakukan semua ini—

"Tapi bagaimana denganmu?" Tanya Anthony dengan bingung. "Ayo panggil Sasuke dan lari!"

"Kita tidak bisa!" ia tidak menyadari kalau dirinya menangin sampai sekarang. "Kita hanya—kita hanya tidak bisa, Anthony, tolong—pergi cari bantuan…"

(seharusnya tidak seperti ini.)

Tembakan. Gerutuan. Lebih banyak api.

Apa Sasuke baik-baik saja?

Suara Pein terdengar jelas dari semua keributan. "Ada anak kecil, Kakuzu. Bunuh dia."

"Cepat! PErgi!" ia memberinya dorongan, dan dengan satu tatapan tidak yakin padanya, Anthony melangkah seberang tangga di sisi lain terminal. Satu tembakan terdengar, dan kemudian dua—dan dia terjatuh, hanya beberapa meter dari tempat tujuannya.

Kakinya bergerak sesuai keinginannya sendiri, dan sebelum ia menyadarinya, ia sudah berlutut di depan Anthony, menggulingkannya sehingga dia menghadap langit. Tangannya menempel di sisinya, berdarah dan gemetar. Bagus. Dia tidak tertembak di bagian vital.

"Anthony? Anthony, tatap aku!" mata biru itu terlihat kosong. Ia menempatkan tangannya di atas luka, tidak yakin. Ia tidak pernah bertemu dengan siapa pun sejak dirinya tiba di New York. Ia tidak yakin apakah ini masih akan berhasil.

Tapi cukup yakin, cahaya hijau hangat menyelimuti tangannya saat ia ingin menyembuhkan lukanya. Itu berhasil. Dia tidak akan mati.

"Aku sangat tertarik dengan trik sulap yang kau dan Sasuke miliki dari lengan baju kalian." Darahnya terasa dingin saat ia merasakan sesuatu menekan belakang kepalanya. Ia tahu suara itu dan merasa cukup baik untuk tahu bahwa itu adalah pistol. "Katakan padaku, bagaimana kau melakukannya?"

Ia mengabaikannya, dan berkonsentrasi menyembuhkan Anthony. Ia tahu ia tidak ada apa-apa melawan Kakuzu, apalagi semua Akatsuki—tapi ini, ia bisa melakukannya. Ia bukan petarung—ia adalah penyembuh.

"Apa ini?" Anthony menyeringai lemah, menatap tangannya yang sedang bekerja. "Bagaimana kau melakukannya?"

"Hanya trik kecil yang kudapatkan selama penjelajahanku." Bagus. Ia menghentikan pendarahannya. "Apa ada tempat lain yang terluka?" dia menggelengkan kepala. "Apa kau bisa berdiri?"

"Jangan mengira kau akan pergi ke mana-mana." Kakuzu menekan pistol lebih kuat ke belakang kepalanya.

"Sakura!" Suara Sasuke bergema di sekelilingnya. "Jangan lakukan hal bodoh!"

Ia tersenyum kecut. Itu tidak membuat banyak perbedaan sekarang—semua yang pernah ia lakukan adalah hal bodoh. "Aku janji," ucapnya, mengangkat tangannya, "kalau anak ini tidak akan mengatakan pada siapapun apa pun yang dia lihat hari ini. Jadi, biarkan dia pergi."

Kakuzu bahkan tidak tertawa. "Aku dalam perintah untuk membunuhnya."

"Kau punya beberapa obat denganmu? Kau bisa menghapus ingatannya. Itu tampaknya bekerja cukup baik padaku, bukan?" menakjubkan, bagaimana adrenalin dan keputus-asaan bisa membuatnya berbicara seperti tiu pada pria yang ditakutinya selama ini.

"Mungkin aku harus membunuhmu duluan," pikir Kakuzu, mengabarkan pertanyaannya. "Apa kau suka itu? Kau tidak harus melihat teman kecilmu mati."

Langkah kaki terdengar. Hanya dari kecepatannya, suaranya—ia tahu itu adalah Sasuke. "Sakura!"

"Jangan bergerak, Sasuke," ucap Kakuzu tajam. "Atau aku akan menembaknya."

Ia tidak melihatnya, tapi ia tahu Pein yang berbicara. "Bukankah kau pikir ini waktunya kalian berdua menyerah? Kalian jelas kalah jumlah, dan hanya salah satu dari kalian yang mempunyai kemampuan berkelahi."

(sudah berakhir, bukan? Sudah berakhir.)

Mengumpulkan semua keberanian yang dimilikinya, ia berbalik, bahkan dengan pistol Kakuzu tepat di kepalanya. "Kumohon," ia memohon pada Pein, "biarkan Anthony pergi."

Satu-satunya hal yang ia sukai dari pria berambut oranye ini adalah dia tidak pernah memiliki ekspresi maniak padanya seperti yang dilakukan anggota Akatsuki lainnya. "Itu akan menimbulkan terlalu banyak resiko," ujarnya tenang. "Aku tidak bisa membiarkan itu."

"Hapus ingatannya. Dia tidak perlu tahu tentang ini. kumohon."

"Sakura, dia hanya seorang anak—"

"Dia bukan hanya seorang anak, Sasuke! Semua orang yang kusayangi mati, apa kau menyadarinya? Naruto, Hibiki—Anthony, dan sekarang kau! Kau punya tiga pistol mengarah padamu! Tiga!" ia histeris sekarang. Ada begitu banyak emosi berkilat dalam mata gelap Sasuke yang tidak bisa ia artikan satupun dari mereka.

Hanya ada keheningan yang menyiksa, dan Pein berjalan ke arahnya dan Anthony—yang sekarang, ia lihat, sedang merintih, hampir tak terdengar.

"Hanya karena wanita ini aku membiarkanmu pergi," ucapnya pelan—menimbulkan desisan di antara anggota lainnya. "Tapi aku tahu wajahm, nak. Jika sesuatu terjadi pada kami, itu ada padamu."

Anthony menatapnya muram, kemudian Pein, kemudian kembali padanya. Lalu dia mengangguk, berusaha bangkit berdiri.

Anthony memiliki seluruh kehidupan di depannya. Dia punya masa depan. Dia punya keluarga, pendidikan, rumah—dia punya kesempatan yang tidak akan pernah ia dapatkan. Ia tersenyum kecil, tahu kalau anak itu bisa menggunakan potensinya.

"Kau harus mencuci bajumu sebelum ibumu melihat darah itu," ucapnya. "Pakailah pemutih."

"Tapi—tapi bagaimana denganmu…?"

"Jangan khawatirkan aku." Ia tersenyum. "Aku akan baik-baik saja." Ia yakin kalau dirinya tidak terdengar begitu meyakinkan, tapi paling tidak itulah yang bisa dilakukannya. Langkah kaki Anthony menggema di sekelilingnya, sampai akhirnya lenyap sama sekali.

Hening kembali.

(sekarang apa?)

"Jadi," ucap Pein, menghancurkan ketegangan, "Bisa kita selesaikan ini?" dan tanpa menunggu jawaban, dia mengarahkan pistolnya pada Sasuke dan menembak.

Ia akan menjerit ketika Sasuke jatuh, tapi kemudian ia sadar Sasuke hanya merunduk. Desah lega keluar dari bibirnya terlalu cepat, dan ia hanya bisa mencicit saat Sasuke dengan kasar menyentaknya berlari dan menariknya ke tangga yang baru saja dilewati Anthony. Mereka tidak membuang waktu sedikit pun untuk mulai menembak, dan ia tidak bisa menahan diri untuk tersentak saat mendengar peluru mengenai semen.

Mereka sama sekali tidak bisa mengalahkan Akatsuki. Yang bisa mereka lakukan hanya berlari.

Tiba-tiba, kaki Sasuke tertembak dan jatuh, menariknya bersamanya. Sasuke berlutut di tangga, mengumpat dengan gigi terkatup.

"Sasuke?" ia mengguncang bahunya. "Kau baik-baik saja?"

"Kakiku—sembuhkanlah—"

Tapi tidak ada waktu. Ia tidak bisa menyembuhkan luka tembakan dalam beberapa detik.

(ini mustahil. benar-benar mustahil.)

Jelas kalau Pein sudah lelah mengejar-ngejar mereka, karena wajahnya mengeras. Dia berjalan ke arah mereka, pistol mengarah tepat ke kepala Sasuke.

"Sakura—lari—"

Pain tidak memberinya waktu. "Selamat tinggal, Uchiha Sasuke."

(mereka akan mati.)

Satu tembakan menembus angin. Ia tercekat dirinya sendiri.

Tapi Sasuke masih bernapas. Ia terbatuk keras, merosot ke arah Sasuke, tidak merasakan apa-apa selain lega. Sasuke bernapas.

"Sakura? Sakura!"

Ia menempatkan tangannya pada luka di kaki Sasuke, bernapas terputus-putus. Ia bisa melakukan ini. Ia bisa melakukan ini.

(bernapas. bernapas. bernapas.)

"Aku"—ia terbatuk keras, merasakan darah—"Aku menghentikan perndarahannya. Kau harus—kau harus pergi—" tembakan lainnya.

"Sakura!"

Ia merasakan seseorang yang lainnya berlutut di sebelahnya, dan sebuah tangan dingin menggenggam dagunya. Ia melihat sekelibat warna merah. Sasori. "Sayang sekali. Boneka cantikku tidak terlalu cantik lagi."

"Menyingkir, kau sialan!" tangan itu meninggalkan dagunya. "Sakura! Tetap bersamaku!"

Ia bahkan tidak bisa merasakan sakitnya. Tubuhnya terasa kosong. Ia mengalami kesulitan bernapas—tembakan itu mungkin mengenai paru-parunya. Tembakan kedua—ia tidak yakin mendarat di mana, tapi itu tidak terlalu penting lagi untuknya. Ia tersenyum lembut. "Hai, Sasuke. Hei—maukah kau…berfoto denganku?" penglihatannya mengabur.

(tarik napas. hembuskan. tarik napas—)

"Tidak ada foto." Suara Sasuke parau. "Kau tidak akan mati."

Ia akan tertawa, tapi terbatuk oleh darahnya sendiri. "Kau lucu…"

"Itu bukan lelucon!"

"Tak apa… lagipula…dari awal aku memang tidak seharusnya ada. Tapi kau bisa melakukan… hal-hal hebat, Sasuke. Pergi… tendang bokong mereka."

"Jangan tutup matamu, Sakura, jangan berani kau menutup matamu!" rasanya nyaman, bisa melakukan sesuatu sesekali. "Sakura! Sakura, aku mencin—"

(… hembuskan.)

. . . . . . . . . . . . . . .

(deg. deg. deg.)

Kau tidak menyadari betapa indahnya dirimu saat kau tertidur, Sasuke-kun.

Aku bertanya-tanya apa yang kau mimpikan? Apa kau bermimpi tentangku?

Itachi? Naruto?

Ujung jari di kulitnya.

(tersenyum.)

Sulit untuk mempercayai seseorang sepertimu memikul semua itu.

Kau, yang terlihat tak ada apa-apanya disbanding seorang anak kecil saat kau tertidur.

"Tak peduli apa pun, Sasuke-kun…"

Baiklah. Aku rasa aku harus tidur juga.

"Selama kau tidak menyerah padaku…"

Aku akan menemuimu dalam mimpiku.

"Aku juga tidak akan menyerah padamu."

(deg. deg. deg.)

. . . . . . . . . . . . . . .

Ia terbangun saat merasakan bibir di pelipisnya.

"Sasuke-kun…?"

Ekspresi suaminya datar, tapi ia tahu dirinya dengan baik dari itu. "Sakura."

Ia tersenyum, dan bergeser ke posisi yang lebih nyaman. "Apa yang sedang kau lakukan? Ini masih gelap."

"Aku sedang berpikir…"

"Tentang apa?" angin berhembus kencang di luar. Ia bisa mendengar setiap butir pasir yang mengenai jendela mereka.

"Adopsi."

Hening. "Adopsi?"

"Anak kita tidak akan mempunyai Sharingan atau gen kita, tapi… akan tetap menjadi anak kita. Bukan begitu?" dalam kegelapan, ia hampir tidak bisa melihat bola mata hitamnya—tapi caranya bicara membuatnya sedikit gemetaran. "Dia tidak harus menjadi shinobi. Dia bisa menjadi… seorang guru."

Mendekap wajah Sasuke di tangannya, ia menciumnya, dengan hangat dan lembut. "Tentu saja," ucapnya lembut. "Apa kau ingin mengadopsi?"

Berhenti sejenak, "Hanya jika kau menginginkannya."

Ia tersenyum. "Kalau begitu aku tidak keberatan."

Jari Sasuke mengusap pipinya. "Kau menangis dalam tidurmu."

Terkejut, ia membawa tangannya ke wajah. Terasa lembab. "Oh. Jadi aku menangis."

"Mimpi buruk?"

Ia mencoba mengingat, tapi tidak bisa. Tidak mengejutkan—lagi pula tidak banyak yang bisa mengingat mimpi mereka. "Tidak masalah," ucapnya, menarik selimut lebih kencang di sekeliling mereka, dan meringkuk di dada Sasuke.

"Kaku yakin?"

"Tentu saja. Lagi pula, itu hanya mimpi."

The End

Thanks for all your support in this story!

Terima kasih sudah membaca, review, fav, dan follow.

See you in the next story "Running into Mr. Billionaire" terjemahan dari cerita milik FreedomHasan dengan judul yang sama.

Untuk yang sudah request cerita yang ingin diterjemahkan, ditunggu saja yaa! Ngantri soalnya :v