A Kuroko no Basuke Fanfiction

Feeling

Kuroko no Basuke (c) Tadatoshi Fujimaki

Happy Reading!


Kazunari berlari secepat yang ia bisa. Waktu yang dimilikinya untuk keluar dari bangunan sekolah tinggallah sedikit.

Kazunari berhenti di loker sepatunya, menggantinya begitu cepat dengan sepasang kets buluk kesayangangannya, dan menyurukkan uwabaki kotornya ke dalam loker sebelum akhirnya kembali berlari lurus menuju gerbang sekolah yang terbuka.

Tak dipedulikan lagi napasnya yang terengah-engah. Kazunari sudah menempuh setengah perjalanan menuju rumah kontrakan kecilnya yang biaya sewanya dipindahtangankan kepada paman dan bibinya-orang tua Shintarou-yang enggan mengurus bocah kotor seperti dirinya.

Kepalanya sekarang hanya terfokus kepada jaket kelabu yang dikenakannya tiga hari yang lalu. Dalam sakunya, ada satu petunjuk yang sekiranya bisa membantunya menemukan Ryouta yang sudah menghilang selama tiga hari.

Kazunari begitu yakin jika bocah pirang bermata sewarna madu itu menghilang bukan sakit seperti yang diceritakan wali kelas 5A kepadanya. Gelagat Shintaroulah yang menjadi kunci utama teori Kazunari mengenai Ryouta.

Shintarou tak pernah sekhawatir itu, bahkan kepada Kazunari sekalipun. Saat Kazunari datang ke rumah megah Shintarou setelah ibunya resmi ditahan, dengan wajah kusut dan tampilan superberantakan karena dua minggu tak ada yang merawat, paman dan bibinya hanya bisa melempar tatapan tak senang. Shintarou bahkan terlihat cuek-cuek saja saat ia mendapati Kazunari sedang berganti baju di kamar tamu, menampilkan jejak-jejak tanda 'cinta' ibunya yang bertebaran di nyaris seluruh permukaan tubuhnya yang terbuka saat itu.

Kazunari ingat saat sebelum Shintarou melenggang pergi, ia mengatakan, "Menderita bukan berarti kau spesial, Bakao." dengan nada dingin khas keluarga Midorima.

Kazunari hanya bisa bungkam saat itu, meremas ujung kaus merah pudarnya sambil menunduk menahan tangis. Saat itu dia hanya berpikir untuk menerima keadaannya begitu saja, dengan lapang dada. Karena menangis pun rasanya percuma: tidak akan mengubah apapun.

Sejak saat itu, Kazunari lebih sering lagi memaksakan senyum dan tawanya kepada siapapun di sekitarnya. Dan tetap tak ada satupun yang peduli karenanya.

Tak ada yang pernah menanyakan keadaanya. Pun tak ada juga yang pernah peduli dengannya setelah hari ibunya ditangkap oleh segerombol polisi berseragam biru itu. Kazunari hanya bisa mendengar desas-desus belasan bibir menggosipinya bahkan mengata-ngatainya.

Mungkin Ryouta adalah orang pertama yang pernah menanyai keadaannya setelah kejadian itu, sejak Kazunari tak bisa mengingat kapan terakhir kali ada makhluk yang disebut manusia yang peduli kepadanya. Kazunari sudah terbiasa dengan sikap cuek Shintarou, diamnya Kuroko, atau betapa tidak pekanya Daiki dan Taiga. Tapi, menerima kepedulian? Kazunari berpikir kalau ia ada di Surga kalau ia mendapat semacam perlakuan seperti itu.

Seharusnya, saat Ryouta datang dan menanyakan keadaannya, Kazunari menangis sekeras-kerasnya-bahagia karena akhirnya ada yang peduli dengannya.

Tapi Ryouta menyerap perasaannya, menyisakan rasa bahagia melingkupi dada kecilnya, menyingirkan air mata yang akan membasahi wajah lusuhnya dengan menyerap rasa sedih dan sakit yang membelenggu dirinya saat itu.

Ryouta adalah persona yang spesial. Ryouta adalah pahlawan dengan kekuatan menyerap perasaan negatif dan menampungnya sendirian sampai ia menemukan tempat yang cocok untuk dibuangnya.

"Kazu-chan!"

Pria yang kerap ia panggil Mibu-san memanggilnya saat ia sudah tak jauh lagi dari rumahnya. Dengan terpaksa Kazunari berhenti, merasakan bagaimana dadanya naik-turun secara gila-gilaan akibat paru-paru dan jantungnya terpompa di titik maksimal yang ia punya, sembari menunggu pria flamboyan itu beranjak dari tempat ia memanggilnya barusan.

Pria flamboyan itu keluar dari rumahnya, menghampiri Kazunari dengan tergesa-gesa sebelum akhirnya berlutut untuk mensejajarkan dirinya dengan Kazunari.

"Kau tidak apa-apa?" tanyanya.

Kazunari hanya bisa mengangguk, mulutnya belum sanggup dipakai untuk berbicara selagi ia sedang susah payah mengatur napasnya.

"Tenangkan dirimu, oke? Ikuti aku."

Kazunari mengangguk lagi dan mulai mengatur napasnya sesuai yang diperintahkan Mibuchi Reo-Mibu-san-kepadanya.

"Nah, sekarang dengar." Kedua tangan besar Mibu-san meremas kedua bahu kedua Kazunari. "Jangan kembali ke rumahmu."

"A-Tapi kenapa?"

"ITU DIA!"

Kazunari tak sempat menegokkan kepalanya untuk melihat ke arah seruan itu muncul karena Mibu-san sudah mengangkat tubuh kurusnya ke punggungnya dan berlari.

"Whoa, ada apa, Mibu-san?!"

"Sshhh!"

Kazunari hendak bertanya lagi tapi ia memutuskan untuk bungkam sampai Mibu-san berhenti berlari.

Mibu-san membawanya entah kemana tapi yang jelas saat Mibu-san menurunkan Kazunari dari punggungnya, Mibu-san memberi Takao tatapan yang membuat bocah itu bergidik ketakutan.

"Dimana barang yang diberikan Ryou-chan?"

"Huh?"

"Benda itu." Mibu-san menekan kalimatnya. "Kau harus memberikan benda itu kepadaku atau nyawa kalian berdua tidak akan selamat."

Netra Kazunari membulat. Selangkah demi selangkah ia berusaha menjauhi Mibu-san yang menakutinya. Tapi, Mibu-san terus maju, terus mempersempit distansi yang sudah diusahakan sepasang tungkai Kazunari yang bergetar

"Berikan benda yang diberikan Ryou-chan."

"A-aku tidak tahu apa maksudmu, Mibu-san," cicit Kazunari ketakutan. Iris gelap Mibu-san menatapnya begitu tajam hingga rambut-rambut halus ditengkuknya berdiri semua.

"Kazu-chan, berikan atau aku harus menyakitimu!" Mibu-san membentak, suaranya menggeleggar di ruangan berpenerangan seadanya ini.

Kazunari menggigit bibirnya berusaha mengusir takut.

Senyum Ryouta yang ditujukan kepadanya mengingatkannya sesuatu.

"A-aku tidak akan menyerahkannya padamu!"

Punggung Kazunari bertemu dengan dinding dan seketika Kazunari merasa nyawa sudah menemui jalan buntu.

-Selamat tinggal dunia, pikirnya.

.

.

.

To Be Continued