"Perbedaan antara fiksi dan kenyataan? Fiksi harus masuk akal."—Tomy Clancy


Ada suatu tujuan hidup yang mendorong Kageyama untuk melangkah sejauh ini.

Dimulai dari Kageyama yang mendaftar ke dalam akademi kepolisian dan berlatih keras di dalamnya, hingga dia menjadi kepala kepolisian di Tokyo seperti sekarang, semuanya tak lepas dari tujuan itu. Satu-satunya dorongan untuk berjuang didapatkannya dari tujuan hidupnya. Dia bertekad dan bersumpah bahwa dia akan hidup untuk memenuhi tujuan itu, bahwa dia bisa meraih kehidupan sukses sebagai polisi berkat tujuan itu.

Dan tujuan hidup tersebut adalah kebenaran.

Kageyama sedang mencari kebenaran. Boleh jadi tidak sekadar mencari, tapi mengais. Karena Kageyama akan bersedia mencarinya ke segala sudut Tokyo, bahkan Jepang. Dia akan melakukan apapun untuk mencari kebenaran itu. Kebenaran dari kejadian beberapa tahun silam.

Dan dia akan merasa bahwa hidupnya selama ini, keberhasilan yang telah diraihnya sepanjang hidup, tak akan berarti apa-apa bila dia tak dapat memenuhi tujuan hidupnya.

Karena itu, bila dirinya disuruh menimang dan memilih, antara mempertahankan martabatnya sebagai polisi, atau menjadi budak Hinata Shouyou dan menjadi selangkah lebih dekat dengan kebenaran, dia akan memilih pilihan terakhir.

Asalkan dia dapat menggenggam kebenaran itu sedikit demi sedikit, Kageyama bahkan rela untuk mempertaruhkan pekerjaan dan kehormatannya sebagai polisi.

"Akhirnya…" Kageyama mencengkeram kemudi mobilnya. "Tou-san, kaa-san… Aku akan mengungkap semua hal tentang kalian. Setelah beberapa tahun, akhirnya…"

Kebenaran itu seolah sudah berdiri di hadapannya. Sekarang, dia memiliki Hinata—orang yang mau membuka jalan menuju kebenaran yang dicarinya. Dirinya juga dimiliki oleh Hinata—sesuai permintaan yang bersangkutan, dia menjadi budaknya. Seharusnya dia tak langsung memutuskan untuk menyetujui ucapan Hinata. Dia tahu itu. Kageyama adalah lulusan terbaik dari Akademi Kepolisian Tokyo, tentu saja dia tahu. Otaknya tidak bisa diremehkan.

Namun, coba pikirkan, jika kau sedang mencari sesuatu dalam waktu yang lama dan usaha yang tidak mudah, dan pada akhirnya tidak mendapatkan apa yang kau cari itu, bukankah kau akan merasa frustasi? Lantas, bagaimana jika sesuatu yang kau cari itu tiba-tiba muncul begitu saja di depan batang hidungmu?

Kau, dan manusia manapun, pasti akan gila. Maksudnya, mungkin tanpa berpikir panjang, kau akan menjulurkan tanganmu ke depan untuk menggapai sesuatu yang benar-benar ingin kau cari itu, tanpa tahu bahwa di balik sana, mungkin ada jebakan mematikan yang akan menunggu.

Kageyama juga seperti itu. Tapi, sekali lagi, dia tidak peduli. Sudah bertahun-tahun lamanya dia berputar-putar dalam gelapnya ketidaktahuan. Sekarang, sudah waktunya dia mengetahui semuanya. Sudah saatnya dia menyibak dan meraih kebenaran itu.

Mungkin tak perlu waktu lama hingga kerjasamanya dengan Hinata terungkap dan dia dicap sebagai pengkhianat, tapi masa bodoh. Dia berhasil sejauh ini, menjadi kepala kepolisian, karena tekadnya untuk mencari kebenaran tersebut yang tak pernah padam. Maka, dia akan melakukan apapun untuk mendapat kebenaran yang diinginkannya.

Dia sudah hampir putus asa.

"Aku akan melakukan apapun. Aku bersedia melakukan apapun. Karena itu, jangan sembunyikan satu kebenaran pun dariku, Hinata."

Mobil hitamnya melaju kencang, membelah jalan raya yang masih sepi di pagi hari.


Oyassan Galore

KageHina

Police-Yakuza AU

Haikyuu © Furudate Haruichi

.

.

Chapter 3: Resurfacing Bad Memories

.

.


"Wajahmu terlihat lebih bersinar, Kageyama."

Sawamura tersenyum bangga ketika Kageyama melangkah memasuki kantor, setumpuk berkas di atas tangannya. Dia meletakkan berkas tersebut seadanya di atas meja kerja, lalu duduk dan meraih secangkir kopi hangat yang sebelumnya dibawakan oleh bawahannya.

"Kelihatannya caraku berhasil," komentarnya sambil meletakkan cangkir perlahan usai dia mengambil beberapa teguk. "Lain kali kau nekat memaksakan diri untuk bekerja seperti kemarin, kami akan kembali menendangmu keluar kantor."

"Mengerikan sekali," Kageyama bergumam datar. Sungguh, dia tidak tahu harus mengeluh lelah atau menangis terharu atas perhatian Sawamura dan kawan-kawannya yang terlalu… ekstrim. "Tapi, aku memang merasa lebih baik. Mungkin aku harus berterima kasih pada kalian."

Itu memang benar. Jika Sawamura dan kawan-kawannya tidak berencana untuk menendang Kageyama keluar kantor, mungkin dia sudah jatuh pingsan di atas meja kerjanya karena kelelahan.

"Yah, sama-sama." Sawamura mengangguk, melambaikan tangan. "Daripada itu, kelihatannya ada tamu penting yang sedang menunggumu. Awalnya aku berniat menemuinya menggantikanmu, tapi dia bersikeras untuk menemuimu secara langsung. Beruntung, kau datang tepat waktu sebelum aku sempat meneleponmu."

Kageyama mengangguk singkat. Hal seperti itu bukan merupakan sesuatu yang langka. Banyak sekali tamu-tamu penting yang tidak akan puas dan merasa aman sebelum dia bertatap muka dengan seorang kepala seperti Kageyama secara langsung. Selain karena terjaminnya informasi, mereka juga dapat menyampaikan segala macam saran atau sanggahan secara langsung, membuat urusan lebih cepat selesai. Tentunya orang-orang sibuk macam mereka tidak senang menunda-nunda urusan di tengah padatnya jadwal mereka.

Maka, pria muda itu berjalan cepat menuju meja kerjanya untuk meletakkan barang-barangnya di sana dan menyampirkan jaket kepolisiannya pada kursi, sebelum akhirnya bergegas untuk menemui tamu penting yang sedang menunggunya. Kantor kepolisian Tokyo terkenal akan ruang tamunya yang nyaman. Cukup bayangkan saja sebuah ruangan dengan sofa empuk yang mahal, AC yang wangi, dan bawahan yang setiap saat siap mambawakan minuman. Kondisi setiap meja kerja di kantor itu hampir selalu berantakan, saking banyaknya tugas yang ada, sehingga daripada para tamu harus duduk di depan meja kerja yang belum sempat dibereskan, lebih baik membuat ruang tamu eksklusif untuk mereka saja.

Selepas perginya Kageyama, kini giliran Yamaguchi yang menghampiri meja kerja sang kepala. Dia terlihat membawa nampan dengan kopi hangat di atasnya, berjalan dengan kikuk sambil sesekali mengangguk sopan pada setiap orang yang dilewatinya. Pria muda berambut cokelat itu segera berbaik hati membuatkan Kageyama secangkir kopi hangat ketika tahu bahwa sang kepala akan kembali ke kantor.

Dan dia tak terlalu heran ketika menemukan meja kerja Kageyama yang kosong, melihat betapa banyaknya tamu yang meminta menemui kepala mereka akhir-akhir ini. Tanpa banyak bertingkah, dia meletakkan kopi itu di atas meja kerja Kageyama, lalu berniat untuk segera melangkah menjauh, tepat ketika benda persegi panjang di atas meja tersebut berbunyi keras.

Ragu-ragu, Yamaguchi menghentikan langkahnya. Matanya melirik ke atas meja kerja Kageyama, melihat sebuah ponsel canggih mengeluarkan dering keras sambil bergetar pelan, layarnya menyala terang dan berkedip-kedip sesuai dengan lagu yang teralun.

Dia meremas bagian bawah jas kepolisannya dengan ragu. Haruskah dia mengangkat telepon itu dan memberitahu si penelepon kalau Kageyama sedang sibuk saat ini? Haruskah dia membiarkannya? Namun, ketika dia mengingat betapa marahnya Kageyama ketika privasinya diganggu, Yamaguchi menjadi urung menyentuh telepon genggam pribadi sang kepala.

Saat itu juga, Tsukishima dan Azumane berjalan mendekati meja kerja Kageyama dengan setumpuk berkas pada masing-masing tangan. Kedua orang itu menghentikan langkah, nampaknya nada dering yang keras itu telah mencapai jangkauan telinga mereka.

"Bukankah itu nada dering ponselnya Ou-sama?" tanya Tsukishima enteng. Dia telah mengabdi sebagai seorang polisi di bawah Kageyama selama dua tahun, dan itu adalah waktu yang cukup lama untuk menghafal nada dering ponsel Kageyama yang tidak pernah repot-repot diganti.

Menyadari tampang tidak yakin pada Yamaguchi, dia mengangguk seraya meletakkan berkas yang dibawanya tadi di atas meja Kageyama. "Angkat saja, Yamaguchi. Siapa tahu yang menelepon adalah bos besar yang suka mendesak jadwal padat Ou-sama. Coba beritahu dia kalau Ou-sama sedang ada tamu dan dia akan berserk kalau seseorang mengganggunya saat ini."

"Be-Berserk?" Yamaguchi mengedip bingung. "Tapi, serius? A-Aku yang mengangkat teleponnya, Tsukki?" Dia menunjuk dirinya sendiri, masih bingung. Bibir bawahnya dia gigit. Padahal dirinya bukan tipe orang tegas seperti Sawamura. Kalau yang menelepon Kageyama memang salah satu dari orang-orang penting, dia akan langsung kalah dalam argumen karena sebagian dari mereka cenderung ngotot dan seenaknya. Sekali lagi, sebagian dari mereka, bukan semuanya.

Azumane mengangguk, ikut menyemangati. "Percayalah, Yamaguchi, kau jauh lebih baik dalam menolak orang dengan halus dibandingkan diriku," ucapnya sambil tertawa pelan.

Ponsel itu terdiam selama beberapa detik sebelum akhirnya kembali berbunyi. Si penelepon memanggil untuk yang kedua kalinya, mungkin tidak akan menyerah sampai Kageyama mengangkatnya. Akhirnya, didorong oleh dua rekannya, Yamaguchi meraih telepon genggam milik Kageyama dengan tangan bergetar. Sebuah nama kontak terpampang jelas di tengah layar, membuat Yamaguchi hampir tersedak oleh ludahnya sendiri.

'Sayangku Shou-chan'

"I-Ini…" Yamaguchi terbatuk pelan, gagal menutup-nutupi ketekejutannya. Tangannya hampir saja menjatuhkan ponsel Kageyama. Azumane dan Tsukishima yang dibuat heran lantas mendekati Yamaguchi. Tsukishima mengambil ponsel di tangan Yamaguchi tanpa kata, lantas menatap tulisan laknat yang menjadi sumber kekagetan Yamaguchi itu.

Perlahan, wajahnya netralnya menunjukkan seringai kejam. Yamaguchi meminta maaf kepada Kageyama di dalam hatinya karena telah membiarkan ponselnya jatuh di tangan Tsukishima.

"Ho? Siapa sangka Ou-sama sudah punya pacar…" Tsukishima tersenyum sadis. Tidak perlu melihatnya dua kali untuk mengetahui bahwa dia sedang membangun rencana untuk mengancam Kageyama dengan informasi hangat yang baru didapatnya ini.

"Pacar!?" Azumane menjerit tertahan. Dia menatap Yamaguchi, meminta semacam penjelasan, tapi Yamaguchi menggeleng. Yamaguchi tak mengerti siapa sosok Shou-chan ini, dia tak mengerti sejak kapan Kageyama mempunyai pacar, dia tak mengerti cara untuk menghentikan Tsukki yang menekan tombol screenshot—dan gambar screenshot dengan tulisan kontak laknat 'Sayangku Shou-chan' itu tidak lain adalah untuk bahan blackmail di masa depan.

Yamaguchi ingin berteriak kencang, merasa stress. Kenapa harus dirinya yang berada di situasi membingungkan ini?

"Oi, apa yang kalian lakukan di sana?"

Sebuah suara yang sangat dikenali oleh ketiganya terdengar. Yamaguchi menoleh patah-patah ke arah sumber suara, dan benar saja. Sang pemilik ponsel berdiri di sana, kemungkinan dalam perjalanan mengambil ponselnya yang tertinggal di atas meja kerja, tetapi tidak jadi karena ada tiga orang bertampang mencurigakan yang masing-masing memasang ekspresi konyol.

"Apa yang sedang kalian lakukan di depan meja kerjaku?" Kageyama menggeram kali ini. Kebetulan, dering ponsel berhenti tepat ketika Kageyama muncul, menyisakan keadaan yang menegangkan.

Yamaguchi refleks mengambil langkah mundur. Maaf, Kageyama, pacarmu tadi menelepon dan aku tidak sengaja memberikan ponselmu ke Tsukki. Aku berdoa untuk keselamatanmu dalam menghadapi blackmail Tsukki. Sekali lagi, maaf.

"Tidak perlu galak begitu, Ou-sama," ujar Tsukishima santai. Diam-diam, jemarinya menekan tombol 'Send' sehingga gambar screenshot tadi mulai terkirim di ponselnya sendiri via aplikasi chatting. "Kami baru saja akan mengangkat telepon dari pacarmu dan memberitahu baik-baik kalau kau sedang sibuk."

Kerutan pada wajah Kageyama terhapus, digantikan oleh wajah yang murni dipenuhi oleh keheranan. "Apa maksudmu? …Pacar?"

Ponsel berwarna biru tua di tangan Tsukishima kembali menyala, mengeluarkan dering keras yang sama sekali lagi, menandakan usaha menelepon dari 'Sayangku Shou-chan' untuk yang ketiga kalinya.

Tsukishima mendengus geli sambil mengeluarkan seringai menyebalkan, melambai-lambaikan ponsel Kageyama dalam genggaman tangannya. "Lihat, dia meneleponmu lagi."

Semua warna pada wajah Kageyama surut tatkala dua iris birunya membaca nama kontak yang sedang berusaha menghubunginya. Sayangku Shou-chan. Shou-chan.

Tanpa harus berpikir lebih lama, Kageyama segera tahu siapa dalang di balik semua kekacauan ini. Hanya ada satu orang yang berpikir untuk melakukan ini pada ponsel Kageyama.

Tentu saja. Siapa lagi kalau bukan oyabun sialan itu?

Kageyama menepuk jidat. Dia terkapar semalaman di atas tempat tidur Hinata, tentu saja dia tidak akan menyadari bahwa pria berkepala oranye itu mengutak-atik ponselnya. Seharusnya dia menyadari ini dari awal dan mengecek ulang ponselnya. Bagus sekali, Kageyama, kau membiarkan dirimu lengah.

"Berikan padaku," ujarnya kasar seraya merampas ponsel itu dari tangan Tsukishima. Dia mengabaikan tatapan licik dari Tsukishima yang mengisyaratkan 'Aku tahu rahasiamu, Ou-sama', lantas berjalan cepat menuju toilet, meninggalkan ketiganya dalam pikiran masing-masing—Yamaguchi dan Azumane dalam shock dan Tsukishima dalam rencana blackmail-nya.

Kageyama berdiri di hadapan wastafel, menatap balik wajah mengerikannya yang terpantul pada cermin. Sambil sesekali mengumpat, dia memandangi nama kontak yang entah sejak kapan tersimpan pada ponselnya.

'Sayangku Shou-chan'. Bagus sekali. Di antara semua orang, yang menemukan nama kontak nista itu adalah Tsukishima. Kageyama belum pernah merasa begini mengenaskan.

Dia mendecak kesal, memencet tombol untuk menjawab panggilan dengan kasar, lantas menempelkan benda komunikasi canggih itu pada telinganya. Tak perlu menunggu lama hingga suara cempreng yang khas itu menyambut indra pendengarannya.

"Kageyama-kun? Ah, akhirnya kau menjawab juga!"

"Hi-na-ta…" Kageyama menggeram pelan, sengaja menekankan setiap suku kata dari nama oyabun sialan itu dengan penuh kebencian. "Apa yang kau lakukan kepada ponselku, hah? Dasar oyabun sialan!"

"Eh? Apa maksudmu?" Suara sok imut itu berhasil memukul balik kalimat kasar Kageyama tanpa masalah. "Aku hanya memasukkan nomorku di dalam ponselmu. Kau membutuhkan nomorku, kan? Soalnya, aku tahu kau akan merindukanku jika tak mendengar suaraku sehari saja—"

"Tidak bisakah kau memberi nama kontak yang lebih kreatif lagi!?" bentak Kageyama frustasi. Tangannya tanpa sadar mencengkeram ponsel di tangannya dengan kuat, saking kesalnya. Rasanya, setelah mengenal Hinata, kelelahannya bertambah berkali-kali lipat. Mungkin setelah ini, akan tumbuh banyak uban pada rambutnya. Mungkin juga, kerutan di wajahnya akan bertambah. Penuaan dini. "Kau tidak tahu masalah besar macam apa yang akan datang gara-gara ini!"

Ya, Hinata tidak akan pernah tahu seberapa besar masalah Kageyama jika Tsukishima telah mendapat bahan untuk mem-blackmail-nya.

"Hmm…" Hinata menggumam pelan, nadanya nyaris tidak menunjukkan kepedulian sedikit pun terhadap masalah Kageyama. Masa bodoh. Dia pasti lebih mementingkan rasa puasnya sendiri atas keberhasilannya menjahili Kageyama. "Yah, setidaknya mereka tahu kalau kau sudah ada yang punya! Ehehe!"

Tentu saja dia akan berkata seperti itu. Lawan bicaranya adalah Hinata Shouyou. Pembangun stress nomor satu di dalam kepala Kageyama selain lembar kerja dan laporan-laporan. Seharusnya, Kageyama tahu kalau sedari awal Hinata memang berniat untuk menyebarkan kesalahpahaman kepada semua rekan-rekannya.

Kageyama tak kuasa melakukan apapun selain menghela nafas pelan. "Setidaknya, jangan menelepon saat aku berada di kantor. Bagaimana kalau identitasmu ketahuan? Semua kolegaku sudah pernah melihatmu, dan mereka jelas mengenal namamu."

Terdengar suara decakan lidah di seberang sana. "Kageyama, kau pikir sudah berapa banyak orang yang tertipu olehku? Kalau urusan identitas, itu mudah. Aku hanya perlu mengubah oktaf suaraku saja. Mereka tidak akan pernah menyadari kalau aku adalah orang yang sama dengan oyabun Karasuno," Hinata mendengus geli. "Hinata Shouyou tidak akan dikejar dan ditangkap dengan mudah. Ingat itu baik-baik, Kageyama."

"Aku tetap membencimu," balas Kageyama sambil memijat pelipis. Dia yakin, rumor mengenai 'Pak Kepala punya pacar' akan tersebar dalam waktu singkat, semua berkat Tsukishima. Tidak, semua berkat Hinata. Harusnya dia berada pada meja kerjanya saat ini, mengerjakan tugasnya yang menumpuk dengan tenang, bukannya memikirkan hal-hal yang dapat membuatnya bertambah pusing ini.

"Dasar… Jangan seperti itu, Kageyama-kun. Aku benar-benar menyukaimu, tahu? Kau melukai hatiku." Kageyama tidak dapat membayangkan wajah rekan-rekannya seandainya mereka sedang menguping atau menyadap percakapan ini. Hinata memang biang kerok nomor satu, dia membuat segala hal terdengar ambigu. Kageyama harus berhati-hati, atau satu per satu masalah akan datang, silih berganti tanpa henti.

"Ah, ngomong-ngomong, kau bisa meluangkan waktu malam ini?" Hinata bertanya dengan nada yang sedikit terlalu semangat, mengalihkan pembicaraan tanpa terdengar memaksa.

Kageyama menggumam sebentar, berpikir. "Sebaiknya tidak, pekerjaanku menumpuk. Tapi, jika kau memaksa, mungkin aku bisa meluangkannya," ujarnya sambil memasukkan tangannya yang bebas ke dalam saku celana, kedua bahunya rileks karena amarah yang mulai surut.

"Seharusnya kau mengatakannya dengan lebih romantis, misalnya, 'Apapun untukmu, sayang' atau—"

"Hinata," potong Kageyama gusar sambil mengacak rambut. Dia sedang tidak ingin melayani penyakit seduktif Hinata yang kambuh. "Pekerjaanku masih banyak."

"Cih. Membosankan," Hinata mencibir dari seberang sana. Kageyama membalas dengan dengusan yang tak kalah sinis. "Intinya, kau harus datang ke rumahku malam ini. Ya? Oke? Kumohon," sambungnya cepat.

"Kenapa?" tanya Kageyama dengan sebelah alis terangkat, sedikit penasaran. Hinata terdengar ngebet sekali.

"Kau tahu kenapa?" Hinata terkikik pelan sebentar, lalu berseru dengan suara keras, "Karena kita akan berkencan! Jalan-jalan mengelilingi distrik Kabuki! Yaaaay!"

"…Hah?" Kageyama mengerjapkan matanya bingung. Apa yang yakuza itu bicarakan?

"Pokoknya, kau harus datang! Awas saja kalau tidak! Kau tidak akan mendapat hadiah dariku," ujar Hinata sekali lagi, nadanya sedikit mengancam. "Sampai jumpa nanti malam, Kageyama-kun! Aku akan menunggu kehadiranmu, darling."

Kageyama mendengar suara kecupan pelan dari seberang sana, lalu bergidik ngeri. Sampai kapanpun, dia tidak akan pernah terbiasa dengan tingkah Hinata.

Merasa tak ada gunanya lagi menempelkan ponsel itu pada telinganya, berhubung sambungannya dengan Hinata berakhir, Kageyama membiarkan tangannya merosot ke bawah. Kedua iris biru memandangi layar benda canggih itu dengan pandangan heran dan tidak yakin.

"Dasar."

Kageyama menghembuskan nafas pendek, lalu memijat batang hidung.

Entah hal apa lagi yang sedang Hinata rencanakan.

XOXO

Jemari ramping menekan sebuah bel di depan rumah sederhana bercat krem.

Satu menit berlalu, sang penghuni rumah tak kunjung menjawab. Kageyama menekan kedua belah bibirnya sehingga membentuk garis lurus, kedua kaki dengan sepatu yang tak sempat disemir mengetuk-ngetuk teras di depan pintu rumah Hinata.

Tak sabaran, Kageyama menjulurkan tangan untuk kembali memencet bel—niatnya adalah memencetnya berkali-kali, meneror Hinata hingga dia membukakan pintu, tetapi tepat saat itu juga, pintu kayu berdaun satu tersebut terbuka cepat, sekelebat warna oranye muncul.

"Aaaah! Maaf, Kageyama! Aku baru saja ditelepon oleh temanku." Hinata tersenyum dengan rasa bersalah. Pakaiannya malam itu begitu kasual, terdiri dari celana hitam biasa dan sebuah kaos yang ditutupi oleh jaket hijau muda. Dia terlihat seperti anak muda yang hendak bermalam minggu dengan teman-temannya.

Jangan bilang kalau mereka memang benar-benar akan berkencan…?

Kageyama melipat kulit di sekitar hidungnya. Hinata terlihat segar dan penuh gaya, berbeda dengan dirinya sendiri yang kusut. Kageyama belum sempat mengganti pakaian—masih dengan kemeja putih dan dasi hitam yang biasa dikenakannya, wajahnya yang lelah membuatnya terlihat seperti pegawai kantoran yang pulang lembur.

"Kenapa?" tanya Hinata ringan. Kedua mata cokelatnya mengerling cerah. "Ada sesuatu dariku yang menangkap perhatianmu?" godanya sambil tertawa.

Kageyama terdiam sejenak, lalu menggeleng. Hinata dalam pakaian kasual—bukan kimono atau kostum crossdress-nya—memang lebih mencolok dan menarik perhatian. Terkesan baru di mata Kageyama. Tentu saja, dia jelas tidak akan mau mengakuinya di hadapan Hinata. "Aku hanya menyadari kalau aku belum sempat… mandi."

"Kageyama jorok!" Hinata melompat mundur sambil menutupi hidung. Tangannya yang lain dikibas-kibaskan di depan wajah, seolah ada bau tidak enak di sana. Kageyama mati-matian menahan diri untuk tidak menggunakan cakar besinya pada kepala oranye itu. "Kau seharusnya mandi dan mengganti pakaianmu, dasar! Paling-paling juga tidak sampai lima belas menit! Kita akan kencan, Kageyama! K-e-n-c-a-n! Kau tega membiarkanku pingsan karena bau badanmu? Dasar, padahal aku sudah menanti-nantikan malam ini, kenapa kau terdengar begitu tidak semangat…?"

Dan entah kenapa, Hinata mulai mengomel seperti ibu-ibu.

"Maaf saja," balas Kageyama sinis. "Kalau saja tidak ada seseorang yang iseng-iseng menyebar kesalahpahaman melalui telepon genggamku, pasti pekerjaanku lebih cepat selesai dan aku bisa menyempatkan diri untuk mandi."

Hinata tidak membalas, kedua matanya terbuka lebar. "Kageyama… Kau masih marah soal itu?"

"Tentu saja. Kau tidak tahu bagaimana kacaunya suasana di kantor tadi." Kau tidak tahu bagaimana kacaunya sifat seorang Tsukishima Kei. Kageyama menghembuskan nafas sambil memijat pelipis. Ingatannya kembali pada kegaduhan di kantor tadi siang, meliputi rekan-rekannya yang jungkir balik dan berbondong-bondong membanjirinya dengan pertanyaan serta ucapan selamat. Benar saja dugaannya, tidak butuh waktu sampai lima belas menit untuk menunggu berita 'Pak Kepala punya pacar' tersebar luas.

"Mm…" Hinata menunduk pelan. "Maaf, Kageyama… Aku tidak tahu semua itu akan membuatmu kelelahan. Semua ini memang salahku. Aku hanya ingin agar tidak ada satupun orang yang menggodamu di kantor… Maafkan aku, Kageyama…"

Kalau Kageyama baru saja mengenal Hinata, dia pasti langsung menerima permintaan maaf itu mentah-mentah. "Diam. Aku tahu bahumu bergetar menahan tawa."

Hinata mendongak, terperangah. "E-Eh? A-Ap… Apa maksudmu, Kageyama?" Dia gagal menyembunyikan getaran tawa pada nadanya. Kageyama mendengus sebal.

"Ayo berangkat. Aku ingin segera pulang dan beristirahat." Kageyama membalikkan badan, tak mempedulikan Hinata yang tawanya mulai kelepasan. Tentu saja, dia bukan orang bodoh yang akan termakan sandiwara Hinata. Dia sudah cukup kapok dengan kejadian tadi pagi.

"Eh? Tunggu, Kageyamaaa!"

XOXO

Red light district merupakan bagian area kota yang menyediakan prostitusi atau bisnis berorientasi seks, misalnya sex shop, strip club, adult theater, dan masih banyak lainnya. Di Amsterdam, Belanda, mereka memajang para pekerja seks di balik kaca berwarna merah. Karena nuansa merah yang disebabkan oleh kaca etalase di sana, datanglah nama red light district.

Kabuki-chou—atau distrik Kabuki—juga termasuk red light district yang terletak di Shinjuku, Tokyo. Tempat itu dikenal paling banyak memiliki host atau hostess club, love hotel, toko-toko, restoran, dan klub malam. Bahkan, distrik tersebut kerap disebut 'Sleepless Town'. Namun, meski dijuluki sebagai red light district, Kabuki tidak memiliki nuansa warna merah seperti di Amsterdam.

Hinata, sebagai oyabun dari Karasuno—kelompok yakuza nomor satu di Kabuki—adalah penguasa terhebat di distrik terkenal tersebut. Segala macam bisnis berada di bawah komandonya langsung, sehingga uang dapat terus menerus mengalir pada dompetnya. Semua orang di Kabuki nampak benar-benar mempercayai Hinata, karena sedari tadi, siapapun yang dilewati Kageyama terus mengeluarkan sapaan ramah terhadap Hinata. Memang, Hinata tidak segalak dan sekaku kebanyakan penguasa. Sifatnya cukup ramah, murah senyum. Sehingga tidak heran, meski dia adalah yakuza, orang-orang dengan cepat mau berkerumun di sekitarnya.

Kageyama menyadari bagaimana senyum Hinata lebih sering muncul malam itu. Dia selalu membalas sapaan semua orang dengan ceria. Cara berjalannya sedikit berubah, kini diselingi lompatan-lompatan kecil—seperti anak kecil yang tidak sabar akan pergi ke pasar malam. Ketika itu, dia benar-benar terlihat seperti manusia biasa yang sedang menikmati kehidupan, bukan seorang yakuza.

Kageyama tiba-tiba teringat dengan paman pemilik gerai es krim yang baru kemarin diselamatkan oleh Hinata dari berandalan jalan. Dia juga terlihat menyayangi dan mempercayai Hinata, boleh jadi seperti anaknya sendiri. Kageyama tak melupakan bisikan-bisikan penuh syukur dan terima kasih yang diucapkan paman itu setelah Hinata datang.

Entah kenapa, caranya memandang Hinata benar-benar penuh kekaguman dan kasih sayang, seolah Hinata adalah semacam pahlawan. Tidak hanya paman pemilik gerai es krim, tapi semua orang di sana nampak menyukai Hinata.

Ketika Kageyama melirik Hinata dari sudut matanya, sang oyabun tengah sibuk memainkan ponselnya, ekspresinya cukup serius. Pria berambut hitam itu sedikit menunduk, mencoba mengintip dari balik bahu Hinata.

"Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Kageyama, sedikit penasaran.

"Hmm? Ini?" Hinata berbaik hati menunjukkan layar ponselnya pada Kageyama. Sang polisi lantas mendekat, mengerutkan kening selagi dia membaca tulisan-tulisan di sana. Hinata sedang membuka sebuah aplikasi e-mail, yang sekilas terlihat begitu wajar. Namun, jika dilihat lebih seksama, isi dari setiap e-mail tersebut adalah permintaan tolong.

Kageyama menaikan sebelah alis. "Apa ini?"

Hinata menaruh jari telunjuk pada bibirnya, berpikir sejenak sambil menggumam panjang. "Sebenarnya, ini rahasiaku sebagai seorang yakuza, dan polisi manapun tidak boleh mengetahuinya. Tapi, yah… khusus untukmu saja, karena kau adalah budakku, aku akan memberitahukannya."

Kageyama mengangguk dengan tidak yakin.

"Jadi, kau tahu kalau distrik ini ada di tanganku, kan?" Kageyama menjawab pertanyaan itu dengan anggukan. Informasi bahwa Hinata adalah penguasa Kabuki-chou sudah sangat umum, tak perlu lagi menjadi rahasia. "Yah, aku harus memastikan distrik ini aman dari kerusuhan. Selain itu, aku juga harus terus mendapatkan kepercayaan penduduk di sini. Karena itu, aku memutuskan untuk menampung permintaan tolong dari penghuni distrik ini."

"Permintaan tolong?" tanya Kageyama memastikan. "Maksudmu, yang ada di ponselmu itu?" Jemarinya menunjuk layar ponsel Hinata. Dia mendapat anggukan singkat dari sang oyabun.

"Itu benar. Siapapun yang membutuhkan bantuan dapat menyampaikan permintaan tolongnya pada e-mail-ku. Dengan begitu, aku bisa mengerti kelemahan dan kekurangan Kabuki-chou. Segala kekurangan itu bisa kugunakan untuk memoles Kabuki-chou menjadi batu langka yang cantik."

Kageyama mengangguk mengerti.

"Di sisi lain, aku bisa mendapat kepercayaan dari penduduk distrik ketika aku menolong mereka." Hinata menjentikkan jarinya. "Nah, di sinilah aku membutuhkan bantuanmu."

"Bantuan?" Kageyama mengedipkan kedua matanya. Mungkin maksudnya, dia ingin Kageyama membantunya menolong orang-orang?

"Lebih tepatnya, aku ingin kau menjadi penghiburku." Hinata kembali memusatkan perhatian pada ponselnya, jari telunjuk bergerak-gerak untuk memainkan scroll ke bawah dan ke atas. "Kau tahu, aku seringkali merasa bosan saat menolong orang-orang. Jadi, mulai hari ini kau harus menghiburku agar tidak bosan. Ah, ngomong-ngomong, jangan melakukan sesuatu yang tidak kuinginkan, oke? Bagaimanapun juga, aku adalah penguasa di sini."

"…Hah?" Kageyama membuka mulutnya lebar-lebar. "Kau memintaku menjadi budakmu hanya untuk menjadikanku penghibur? Serius?"

"Yah… soalnya, aku masih belum seratus persen mempercayaimu," ucap Hinata memutar kedua matanya. "Satu, karena kau bisa mengkhianatiku kapan saja. Dan dua, kau bisa-bisa mengacaukan segala sesuatu karena kau sama sekali belum mengerti mekanisme pekerjaanku. Karena itu, untuk hari ini kau hanya bisa menjadi penghibur. Maaf, Kageyama-kun, tapi aku hanya ingin mencari aman."

Kageyama mengumpat di balik nafasnya, sedikit tidak rela dijadikan sekadar penghibur. "Apa yang harus kulakukan untuk menghiburmu? Aku tidak bisa menghibur, aku hanya bisa membuat anak-anak berlari ketakutan."

"Itu juga bisa disebut hiburan untukku." Hinata meringis geli. "Sudahlah. Kau tidak perlu terlalu memikirkan hal-hal apa yang harus kau lakukan. Kalau kau mau mendampingiku, itu sudah cukup."

Ragu-ragu, Kageyama mengangguk. "Kalau itu maumu."

"Baiklah." Hinata meletakkan kedua tangan pada pinggangnya. "Sekarang, kita menuju ke permintaan nomor satu!" Kemudian, Hinata memusatkan penglihatannya pada layar ponsel dalam genggamannya, dahinya mengerut ketika berkonsentrasi. "Aku akan langsung membacakan intinya. Permintaan ini datang dari… seorang penyanyi enka? Dia mengaku sedang dikejar-kejar yakuza dan membutuhkan perlindungan. Ciri-cirinya, dia memiliki rambut botak dan dia memakai kimono ungu dengan motif daun-daun musim gugur."

"Kelihatannya, dia terjerat urusan rumit dengan yakuza," tutur Kageyama pelan, masih mencerna informasi.

"Ini urusan kecil," Hinata terkekeh geli. "Ngomong-ngomong, penyanyi enka itu sedang berada di sekitar Distrik Champion. Sebelum dia babak belur, kita harus segera ke sana!"

Hinata menyeringai lebar. Kedua tangannya mengepal, terlihat tidak sabar sekali untuk segera meninju wajah orang-orang.

"Oi, jangan menyiksa orang-orang seenakmu, Hinata bo…" Kageyama menoleh menatap Hinata, telah lebih dari siap untuk menceramahi sang yakuza, tetapi suaranya justru tercekat pada tenggorokannya begitu saja. Sekali lagi, sesuatu dari wajah Hinata membuat Kageyama menghentikan seluruh gerakannya.

Dia… tersenyum lagi.

Detik berikutnya, Kageyama ingin menampar dirinya sendiri. Ada apa dengan pikirannya? Siapa yang peduli dengan senyuman oyabun sialan macam Hinata? Tapi tunggu, memang ada sesuatu yang berbeda pada wajah dan senyuman Hinata. Kageyama menyadari bahwa dirinya tidak peka dalam hal perasaan, tapi dia tahu ada yang berbeda. Sedari kemarin, Hinata memang sudah sering tersenyum, tapi entah kenapa kali ini…

"Yosh, tunggu saja, penyanyi enka-san! Kita akan segera menyelamatkanmu!"

Sungguh, Hinata benar-benar terlihat senang sekali. Senyum itu bukanlah senyuman penghasut dan penggoda yang biasa dia gunakan, melainkan senyuman seorang manusia yang sedang merasakan puncak kebahagiaannya.

'Yakuza tidak lebih dari pembuat kerusuhan, pembunuh, dan pendosa berat.'

Hari itu, Kageyama mulai meragukan pernyataan yang berkali-kali dilontarkan oleh semua rekan-rekan polisinya.

XOXO

Sepuluh menit kemudian, mereka tiba pada Distrik Champion dengan nafas terengah. Hinata cepat sekali berlari, sehingga Kageyama mau tak mau harus ikut berlari juga atau dia akan tertinggal dan celingak celinguk seperti orang tersesat.

Entah berapa orang yang sudah disenggolnya ketika berlari menyusul Hinata tadi.

"Di mana… penyanyi enka yang dimaksud?" tanya Kageyama sambil menghirup nafas sebanyak yang dia bisa.

"Entahlah. Ada banyak sekali kejadian di mana seseorang dikejar-kejar yakuza karena terjerat masalah atau terlilit hutang, jadi…" Hinata mengedikkan bahunya. "Mungkin akan butuh sedikit waktu untuk mencarinya. Ditambah lagi, Chikamatsu—ah, itu nama penyanyi enka tadi—tidak kunjung menjawab pesanku."

Kageyama bergumam mengerti. "Apa boleh buat."

"Jangan pasang wajah sedih begitu, Kageyama-kun," Hinata senyum-senyum seraya kembali menggamit lengan Kageyama. "Kita malah bisa berjalan-jalan terlebih dulu, kan? Ah, aku ingin mampir ke toko es krim, lalu suap-suapan dengan Kageyama! Ehehe! Oh, lalu kita bisa foto berdua dengan romantis! Terus, terus, kita juga bisa—"

Kageyama memandangi Hinata dengan aneh. Sejak kapan Hinata lupa akan tujuan utama mereka datang kemari? Pertanyaannya terpaksa diurungkan ketika Hinata telah lebih dulu berjalan di depan sambil menarik lengannya.

"Hei, hei, Kageyama," panggil Hinata. Mata karamelnya berkilat semangat. Rasanya seperti ada bintang-bintang yang menyelam di sana. "Kau pernah jalan-jalan di distrik ini?"

Kageyama berpikir sebentar, lalu menggeleng. "Sepertinya belum. Tidak ada waktu."

"Hmm… Begitu," gumam Hinata. Sebentar kemudian, dia kembali tertawa. "Berarti, pertama kali kau datang kemari… adalah kali ini—denganku, ya? Wah, rasanya aku tersanjung sekali!" Hinata menepukkan kedua tangannya. "Tenang saja, Kageyama, nantinya kita akan sering-sering bermain ke sini, kok!"

Tapi, alasanku menjadi budakmu bukan untuk bermain, Kageyama ingin membalasnya demikian, tapi lagi-lagi urung.

"Oh iya, di sini juga terdapat banyak hotel," Hinata mengedip sugestif. "Jadi, kapan-kapan kita bisa mencoba salah satu hotel—"

"Tidak butuh," potong Kageyama ketus. Beruntung, mereka tidak sedang berada pada bagian perhotelan di Kabuki-chou, atau warna merah bisa-bisa meledak pada wajahnya membayangkan dirinya masuk ke salah satu kamar hotel dengan Hinata dan melakukan… ah, lupakan.

"Ah." Langkah Hinata tiba-tiba terhenti. Pandangannya tertuju pada kerumunan yang berada tak jauh dari persimpangan jalan.

"Apa itu?" Kageyama memancangkan pandangannya pada kerumunan itu. Saking banyaknya orang di sana, dia tak bisa mengintip dan melihat apa yang terjadi barang sedikit pun.

"Kerumunan seperti ini tidak asing lagi di Kabuki-chou," terang Hinata. "Kebanyakan, kerumunan itu ada ketika sedang terjadi pertengkaran, perjudian, atau tantangan tertentu—kebanyakan berupa tantangan untuk mengalahkan seseorang. Di lain waktu, kadang-kadang kerumunan seperti ini juga banyak terbentuk di sekitar penjual-penjual unik yang baru saja membuka tokonya."

Kageyama masih terlihat memandangi kerumunan itu. Insting polisinya berkata kalau dia harus segera menertibkan gerombolan manusia yang saling dorong itu, tapi tentu saja tidak bisa, karena saat ini dia berposisi sebagai budak Hinata.

"Kau mau melihat?" tawar Hinata. Kageyama memilih untuk setuju.

Keduanya berjalan mendekat. Hinata dapat dengan lincah menerobos beberapa orang, tangannya masih bersikeras menarik lengan Kageyama. Setelah beberapa menit berdesak-desakan dan bahkan terkena sikut orang-orang, akhirnya mereka sampai di barisan paling depan.

"Lihat," Hinata menunjuk seorang pria yang sedang berpose di tengah kerumunan. Seorang wanita berdiri tak jauh dari pria itu, pada tangannya terdapat sebuah alat pengeras suara. "Mereka sedang mengadakan tantangan."

"Apakah ada penantang lain?" Suara wanita itu terdengar sekali lagi. "Jangan menyerah, kalian bisa terus mencoba! Sekali lagi, syaratnya mudah! Kalian tinggal memukul belut licin di sebelah saya ini sekali saja," Wanita itu memberi gestur pada pria yang tengah berpose tadi, "Tidak perlu memukul keras-keras, yang penting bisa mengenainya dalam batas waktu lima belas menit. Hadiahnya lumayan, lho! Tiga ratus ribu yen! Ah, tapi, kalau kalian gagal, kalian harus membayar lima puluh yen!"

"Mau mencoba?" tanya Hinata sambil tersenyum. Kageyama menggeleng. Tenaganya sudah cukup terkuras karena pekerjaannya sejak pagi. Dia tidak yakin bisa memenangkan tantangan itu. Bisa jadi, dia justru akan mempermalukan dirinya sendiri.

"Baiklah," ujar Hinata mengerti. Kageyama baru saja berpikir kalau Hinata akan mengajaknya pindah ke tempat lain, tetapi kedua matanya melotot ketika Hinata mengangkat sebelah tangannya, lantas berteriak-teriak dengan suara cemprengnya. "Nee-san! Nee-san! Aku mau mencoba!"

"Hi-Hinata!?" Rahang Kageyama hampir merosot.

Wanita tadi menangkap suara Hinata, menoleh padanya, lalu tersenyum lebar. "Baiklah, bocah yang di sana, silakan maju kemari!" Kageyama mendengus—bocah, katanya. Kalau tempatnya bukan di tengah kerumunan seperti ini, Hinata pasti sudah mengamuk seperti banteng.

Hinata melepaskan pegangan tangannya pada Kageyama untuk berlari kecil menuju tengah kerumunan, berhadap-hadapan langsung dengan pria berjuluk 'belut licin' tadi. Wanita itu berjalan di antara keduanya, memberi aba-aba untuk memulai pertandingan. "Kalian berdua siap? Satu… dua… mulai! Waktunya lima belas menit dari sekarang!"

Sang belut licin mendengus meremehkan. "Aku memuji keberanianmu," katanya dengan nada angkuh. "Tapi, kau harus tahu… dengan tubuh kecil sekalipun, kau tidak akan bisa mengalahkan kelincahanku!"

"…Tubuh kecil?" Hinata membelalakkan kedua matanya, lalu tersenyum—sadis. Kageyama merinding. Parahnya, tidak ada siapapun selain Kageyama yang menyadari kengerian di balik senyum lebar Hinata.

"Menyerah saja, bocah! Kau tidak akan bisa menandingiku!" Pria itu benar-benar cari mati. Seolah tak menyadari hawa mengerikan yang terkumpul di sekitar Hinata, dia berlari-lari ke sana kemari, seperti memamerkan kelincahannya. Beberapa kali dia tertawa geli melihat Hinata diam di tempatnya. "Kenapa? Terkejut akan kelincahanku? Makanya, sudah kubilang kau harusnya menyerah dari ta—"

Sekelebat warna oranye muncul di hadapan sang pria. Sebelum dia mengerti apapun, sebuah suara rendah yang menjanjikan penyiksaan dan rasa sakit terdengar menggelitik di telinganya.

"Jangan sombong dulu, sialan," bisik suara itu lagi. Pria itu terbengong beberapa saat, sebelum akhirnya menyadari bahwa suara itu adalah milik si oranye yang baru saja dikatainya bocah. Wajah mengerikan Hinata terhapus, digantikan oleh senyuman manis tanpa dosa. "Selamat tidur, semoga mimpi indah~"

Tahu-tahu, tubuhnya terpental ke belakang, menimpa mobil entah milik siapa yang terparkir tak jauh dari tempat itu. Dalam sekejap, semua orang dibuat terdiam. Mata dan otak mereka tak dapat segera mencerna apa yang sebenarnya terjadi.

"Nah, bisa kau ulangi? Siapa yang kau bilang bocah?" Hinata mendongakkan kepalanya perlahan, menampakkan ekspresi garang. "Kalau kau mengataiku 'bocah' sekali lagi, aku akan membuatmu wajah menyebalkanmu itu berubah bentuk."

Pria itu bergidik ngeri, sebelum akhirnya pingsan. Semua orang menjerit tertahan. Wanita tadi melongo sejenak, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Nee-san," Hinata menoleh pada wanita itu, wajahnya mengancam. "Aku menang… kan?"

Wanita itu melompat kecil, agaknya dapat menebak beribu penyiksaan di balik senyuman inosen Hinata. Lantas, dia berjalan takut-takut mendekati Hinata dan mengangkat tangannya ke udara. "Ti-Tidak dipercaya! Kemenangan mutlak untuk bocah—eh, pria muda ini!" Semua orang serentak bertepuk tangan. Hinata cepat-cepat menetralkan wajah garangnya, lantas mengulum senyum tidak berdosa itu lagi. "Selamat, kau mendapatkan tiga ratus ribu yen!"

"Ahaha. Terima kasih!" ujar Hinata, dengan senang hati menerima amplop coklat dari sang wanita. Wajahnya terlihat puas sekali setelah kakinya mendaratkan sebuah tendangan jitu pada pria narsis tadi. Kageyama mencatat di dalam hati agar dia tidak pernah sekalipun memanggil Hinata dengan sebutan-sebutan macam 'bocah' atau 'pendek', atau dia akan selangkah lebih dekat menuju ajalnya.

"Horeee! Aku dapat hadiah, Kageyamaaa!" Hinata langsung melompat-lompat girang ketika dia telah kembali di hadapan Kageyama, memamerkan sebuah amplop besar berisi uang. "Hei, hei, puji aku! Puji aku!"

"Em," Kageyama menggaruk pipinya. Sebenarnya, dia tidak terlalu kaget juga kalau Hinata adalah pemenangnya. "Kerja bagus."

Hinata manyun, terdengar tidak senang dengan kalimat kaku Kageyama. "Eh… Caramu mengatakannya membosankan! Seperti bos yang sedang memuji karyawannya! Puji aku dengan lebih baik, Kageyama!"

"A-Ah, bawel!" protes Kageyama, memalingkan wajahnya. Selama ini, dia hanya pernah memuji rekan-rekannya di kantor, jadi hanya kalimat itu yang terpikirkan di dalam benaknya. Dia terbiasa mengatakannya secara kaku, jadi apa boleh buat. Ini bukan salahnya, kan?

"Hm… Coba katakan 'Kau hebat sekali, sayang' dengan wajah penuh cinta. Oke?"

Kageyama melotot, lalu menggeleng. "Mana bisa aku melakukannya!"

"Kageyama…" Hinata mengerucutkan bibirnya lagi. Sedetik kemudian, kedua matanya melebar, tanda dia mendapat ide bagus—ide laknat bagi Kageyama. "Kalau begitu!" Tiba-tiba dia menunduk sambil menunjuk kepalanya sendiri. "Elus kepalaku, Kageyama."

Kageyama menelan ludah. Dari semua yakuza, kenapa dia harus menjadi budak Hinata? Tanpa sadar, dia melangkah mundur sambil merasakan keringat dingin mengalir dari dahinya.

"Ka-ge-ya-ma…" Hinata menggeram pelan. "Ini perintah. Kalau kau tidak mau, aku tidak akan mau memberimu satu informasi pun nanti."

Kageyama mengacak rambutnya. Dengan sangat terpaksa, dia menjulurkan tangannya ke depan, lalu membenamkannya pada helai-helai oranye yang… rupanya halus. Helaan nafas lega yang terdengar dari Hinata mendorong Kageyama untuk mengusap-usap tangannya dengan lembut pada rambut oranye itu. Batinnya terasa aneh. Hinata terlihat terlalu imut—dia seperti kucing peliharaan yang suka dimanja.

"Kageyama, tanganmu lebar sekali," komentar Hinata, kedua matanya terpejam keenakan. "Dan juga… dingin. Tapi, dingin yang sangat mengenakkan…"

Kageyama hampir tersedak ludahnya sendiri. "S-Sudah belum?" Dia benar-benar harus segera berhenti mengelus-elus Hinata, takut batinnya akan ketagihan.

"Mmn. Sudah cukup. Lain kali saja," Kageyama memicingkan kedua matanya mendengar kata 'lain kali'. Berarti, masih akan ada lagi hal yang seperti itu? Di dalam hati, dia mencoba memaklumi. Bagaimanapun juga, dia adalah Hinata.

Sementara itu, Hinata melemparkan kedua tangannya ke atas dan meregangkan badannya. "Ah, puas sekali! Tadi itu menyenangkan! Kau harusnya ikut, Kageyama!"

Menyenangkan. Kageyama bergidik ngeri, membayangkan bagaimana jika tendangan maut tadi mengenai tubuhnya sendiri. Dia benar-benar akan berusaha untuk membuat Hinata tidak marah. Siapa yang mau mencari gara-gara dengan oyabun kuat seperti Hinata? Tidak, terima kasih. Kageyama tidak ingin dibuat bonyok oleh Hinata. Dia masih menyayangi wajah normalnya.

Sekelebat bayangan berhasil menarik perhatian Kageyama dari sudut matanya. Dia menoleh, menajamkan kedua mata birunya untuk melihat bayangan yang dirasanya ganjil tadi di antara lautan manusia. Hinata juga nampaknya ikut menyadari sesuatu, karena dia ikut melihat ke arah yang sama dengan pandangan Kageyama.

Iris biru menangkap seorang pria berpakaian kimono yang sedang berlari-lari. Di belakangnya, terdapat gerombolan pria-pria berwajah garang yang mengejarnya. Dilihat dari pakaiannya yang tidak rapi, dia sudah berkali-kali bermain kejar-kejaran dengan gerombolan pria tadi.

"Rambut sedikit botak, kimono berwarna ungu tua dengan motif daun-daun musim gugur…" Hinata menggigit ujung jempolnya. "Mungkin dia… adalah penyanyi enka yang sedang kita cari."

Kageyama menangguk setuju. "Bisa jadi. Penampilannya sama dengan ciri-ciri yang tadi disebutkan dalam e-mail. Dan… orang-orang yang mengejarnya, mungkin adalah yakuza yang dimaksudnya."

"Kalau dilogika, jelas saja dia tidak bisa membalas pesanku dari tadi," Hinata manggut-manggut. "Soalnya, dia pasti sedang sibuk lari sana sini dikejar yakuza. Yah, daripada itu, ayo kita lihat."

Keduanya berjalan memasuki jalan kecil tadi. Samar-samar, terdengar teriakan dan suara tinju yang menghantam sesuatu, yang membuat Kageyama berjengit tidak suka. Dia tahu pemandangan apa yang akan dilihatnya setelah ini.

Benar saja, ketika mereka sampai di ujung dari jalan buntu itu, Kageyama mendapati sang penyanyi enka terkapar di atas tanah, yakuza-yakuza di sekitarnya tanpa merasa iba terus menerus menendangi dan meninjunya. Kageyama menahan nafas, mengepalkan kedua tangannya.

Hinata bilang bahwa ini adalah masalah sepele yang bisa segera dia atasi. Kalau saja Kageyama mendapat kasus seperti ini di kantornya… dia belum tentu bisa mengatasinya semudah Hinata.

Pada dasarnya, pekerjaan mereka memang berbeda. Kageyama adalah seorang polisi yang diatur oleh hukum, pergerakannya terbatas, sementara Hinata adalah yakuza. Dia bisa berbuat apa saja, bebas. Asal dirinya menjaga diri untuk tidak terjerat U.S. RICO Law di negara barat sana yang terkenal sangat ketat itu, dia bebas meninju dan menggorok siapa saja. Tapi, Kageyama berbeda. Dia tidak boleh asal meninju dan menembak seseorang. Polisi, seperti yang selalu dia tekankan, adalah seseorang yang mengayomi masyarakat, bukan mengajarkan kekerasan.

Meski begitu, dia tetap saja merasa… kesal. Kesal karena dia merasa kurang cekatan dibanding Hinata. Perkataan Hinata ada benarnya juga, bahwa kepolisian tak bisa melakukan apa-apa di kondisi darurat yang melanda Jepang ini.

Dan dirinya, di tengah kekacauan ini, justru memihak pada yakuza—Hinata sendiri. Bagus sekali. Dia hampir merasa tidak pantas menjadi seorang kepala kepolisian sekarang.

"Kageyama?" Suara mungil Hinata membuyarkan lamunan Kageyama. Yakuza itu mengerutkan keningnya, lalu tersenyum menenangkan. Tangannya meraih tangan Kageyama, menggenggamnya erat. "Mencemaskan sesuatu?"

Kageyama melipat dahinya. "Aku tidak cemas, bodoh," ucapnya pelan sambil menarik tangannya dari genggaman Hinata. Mereka semakin dekat dengan para yakuza itu. Sebelum Kageyama sempat memergoki mereka, Hinata terlebih dulu meletakkan jari telunjuk pada bibirnya, mengisyaratkan Kageyama untuk diam.

Suasana hening sejenak. Hanya terdengar suara-suara dari yakuza yang sedang tinju meninju itu. Detik berikutnya, Hinata berjalan di hadapan Kageyama layaknya seorang pemain drama profesional yang hendak mengawali pertunjukan, langkahnya yang semula tenang sengaja dikeraskan, dan dia bertepuk tangan dengan kencang.

Serentak, semua kepala menoleh ke arahnya. Kageyama mengira reaksi mereka akan lebih garang karena acara mereka diganggu, tetapi tidak. Satu per satu dari mereka memasang wajah terkejut, keringat dingin bercucuran, wajah mereka pucat pasi seolah baru saja melihat hantu.

Salah satu dari mereka menunjuk Hinata dengan rahang merosot. "Kau… Karasuno no Oyabun!"

Hinata, seperti telah terbiasa dengan orang-orang yang menunjuk dirinya sambil memasang wajah terkejut, melanjutkan perkataannya dengan santai. "Selamat malam, Oyabun dari Okamura-gumi. Bagaimana kabarmu, Okamura Subaru? Kelihatannya, kau masih suka merusuh seperti biasa."

Okumura Subaru mendecakkan lidahnya. "Kenapa kau ada di sini!? Kau berjanji tidak akan mencampuri urusan kami asalkan kami tidak mendekati Karasuno!"

Hinata memutar kedua matanya. "Yah, memang benar aku berjanji demikian. Tapi, orang yang kalian injak-injak di sana…" Dia menunjuk penyanyi enka yang mengenaskan itu dengan dagunya. "Orang itu adalah klienku. Kalau dia memintaku melindunginya, jelas aku tidak bisa membiarkannya babak belur dihajar kalian. Aku tidak bisa mengecewakan klienku. Begini begini, aku juga menginginkan reward yang dijanjikan klienku."

"Si cecunguk ini adalah klienmu!?" bentak Okumura geram. "Lebih baik kau tinggalkan dia. Dia tidak punya uang. Bahkan untuk membayar hutangnya padaku saja dia tidak bisa!"

Hinata menaikkan sebelah alis. "Siapa bilang reward-nya adalah uang?"

Okumura memandanginya dengan setengah marah dan setengah penasaran.

"Sepertinya kau tidak tahu siapa klienku sebenarnya, ya? Biar kuberitahu, dia adalah," Hinata menyeringai lebar. "Penyanyi enka!"

"Hah!?" Okumura dan kawan-kawannya membuka mulut lebar-lebar. Ah, suara Kageyama juga terdengar samar-samar di antara perpaduan 'hah' itu.

"Benar! Dia adalah penyanyi enka paling berbakat yang pernah kutahu! Lagu-lagunya bisa membuat hatimu bergetar!" Hinata meletakkan kepalan tangan pada dadanya dengan wajah sok menghayati. "Karena itu, aku akan berjuang sekeras mungkin demi mendapat reward berupa album-albumnya!"

"O-Oi, oi! Kau sudah gila, Karasuno no oyabun?" Okumura menatap Hinata seolah dia baru saja menumbuhkan kepala baru. "Kau mau mencari gara-gara hanya untuk mendapatkan album dari pria sialan ini!?"

"Fuh… Kau berkata seperti itu karena kau tidak mengerti keindahan lagunya!" Hinata menyibakkan poni, lantas menuding sang penyanyi enka yang masih memeluk lututnya yang sakit. "Hei, Chikamatsu-san! Berdirilah, dan nyanyikan lagu terindahmu untuk Okumura Subaru!"

"E-Eh?" Chikamatsu merengek. "Ti-Tidak mungkin! Kakiku sakit sekali, Hinata-san! Mana mungkin aku bisa berdi—" Sebuah tatapan mematikan dari Hinata, dan dia langsung bungkam. Lakukan atau kubiarkan kau dihajar oleh mereka, ancam Hinata dengan tatapannya.

Chikamatsu bergidik ngeri, lalu sambil menggigit bibir, dia mati-matian menahan rasa sakitnya untuk berdiri. Seluruh pasang mata berada padanya. Bahkan Okumura juga sempat bungkam sejenak.

"Ba-Baiklah," Chikamatsu menelan ludah. "A-Aku… Aku persembahkan lagu ini untuk kalian semua. Lagu enka dari hatiku yang paling dalam—"

"Aku tidak mau mendengarkan lagu enka!" sambar Okumura tiba-tiba. "Mereka tidak keren! Apa bagusnya lagu enka!?"

Hinata menggeleng-gelengkan kepalanya. "Okumura, aku tahu kau lebih menyukai lagu-lagu girlband macam Haikyuu!48, tapi—"

"Aku tidak menyukai lagu girlband, sialan! Aku menyukai lagu metal—"

"Inilah mengapa aku mengatakanmu payah. Ayolah, kau tidak mengerti sebelum kau mencobanya. Setidaknya, dengarkan barang sekali saja."

Okumura mendengus, tetapi akhirnya menurut. "Baiklah. Tapi, kalau kau tidak bisa memuaskanku dengan lagu enka-mu itu, aku akan menghajarmu habis-habisan!"

Chikamatsu mengangguk gugup, lalu mengambil nafas dalam-dalam. Setelah beberapa saat terdiam, dia mulai menyanyi, kedua mata terpejam penuh penghayatan. Bait demi bait dinyanyikannya dengan halus. Tarikan dan hembusan nafasnya begitu teratur. Hingga penghujung lagu, semuanya masih terdiam.

Kemudian, terdengar suara tangisan terharu. Kageyama mengira itu datang dari Chikamatsu sendiri, tapi rupanya, suara itu berasal dari… Okumura.

"H… Haa… P-Perasaan hangat apa yang memenuhi dadaku ini…" Okumura sesenggukan, air mata membanjiri wajahnya. Kageyama menatapnya dengan setengah jijik. "Mengharukan! Sungguh mengharukan! Tiba-tiba, aku menjadi lebih semangat dari sebelumnya! Ini tidak seperti lagu-lagu yang pernah kudengar sebelumnya!"

Kemudian, satu per satu kawan-kawannya ikut menitikkan air mata. Kageyama hanya bisa memandang mereka aneh sambil menahan mulutnya untuk tidak menganga lebar—saking herannya. Okumura mendekati Chikamatsu, lalu mendekap kedua tangannya.

"Aku tidak tahu kau memandam bakat yang begitu brilian…" puji Okumura. "Suaramu benar-benar menggetarkan hatiku! Kau dan lagumu benar-benar hebat!"

Chikamatsu yang semula takut-takut pun memberanikan diri untuk tersenyum. "Terima kasih! Terima kasih banyak!"

"Album! Aku menginginkan album milikmu! Beri aku sepuluh kaset dari album milikmu! Aku akan langsung menganggap hutangmu lunas!" janji Okumura. Chikamatsu membuka mulutnya, terperangah.

"Be-Benarkah?"

"Benar! Sungguh!"

Masalah tersebut berakhir dengan damai. Okumura dan kawan-kawannya pulang dengan tangisan haru, sepuluh album Chikamatsu di tangan mereka. Setelah mereka pergi, Kageyama berbisik pada telinga Hinata.

"Tadi itu… apa?"

Hinata mengedikkan bahu. "Entahlah. Aku tidak menyangka dia akan benar-benar terharu. Dasar orang aneh."

Chikamatsu berjalan tersandung-sandung menuju Hinata dan Kageyama, lantas membungkukkan badan sembilan puluh derajat, air mata mengalir membasahi wajahnya. Kageyama melangkah mundur, dia melihat terlalu banyak orang menangis lebay hari ini.

"Terima kasih! Aku benar-benar berterima kasih, Hinata-san dan temannya!" Kageyama mengedip bingung ketika dirinya dipanggil sebagai temannya Hinata. Chikamatsu berhenti membungkuk, lalu mengusap air matanya. "Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi tiba-tiba aku memiliki hutang pada mereka. Seseorang menjebakku. Dia berkata akan membantu menyumbang untuk rekaman-rekamanku yang akan datang, tapi dia tiba-tiba melarikan diri. Tahu-tahu, hutangnya pada suatu kelompok yakuza jatuh ke tanganku!"

"Sudahlah," Hinata menepuk bahunya sambil tersenyum. "Yang penting semuanya beres, kan?"

Kageyama melirik Hinata dari sudut matanya, dan lagi-lagi menemukan lekukan senyum pada wajah sang yakuza. Datang lagi senyuman itu. Kageyama mulai merasa aneh dengan dirinya sendiri. Ada apa dengan dirinya yang tiba-tiba mulai sensitif terhadap senyuman yang Hianta tunjukkan?

Dia yakin, penyebabnya terletak pada ketulusan di balik senyumannya hari ini. Rasanya seolah Hinata memang membantu orang-orang dengan segenap hatinya. Sebelumnya, Kageyama tak merasakan apapun ketika Hinata pertama kali menggunakan topeng ekspresinya. Sekarang, senyuman itu terasa seperti matahari, Kageyama dapat merasakan kehangatan bahkan hanya dengan berada di dekatnya.

Seharusnya itu aneh. Oyabun hebat seperti Hinata seharusnya tak memiliki tanda-tanda kemanusiaan di dalam dirinya, tapi penilaian Kageyama terbukti salah dengn senyuman itu. Dia justru menemukan bahwa senyuman itu sangat… memukau.

Seandainya Kageyama menjadi salah satu penghuni Kabuki-chou… Andai dirinya bukan polisi, dan merupakan penduduk biasa yang suatu hari diselamatkan Hinata dari pengganggu-pengganggu macam yakuza, mungkin dia juga akan… menyayangi Hinata, seperti kebanyakan orang di sana.

Seandainya mereka tidak bertemu sebagai musuh, Hinata pasti sudah memberikan senyuman tulus itu kepadanya dari dulu.

Kageyama cepat-cepat menendang dirinya di dalam hati. Beruntung, suara menyebalkan Chikamatsu berhasil menyeret kesadarannya kembali.

"Sekali lagi, terima kasih! Kalian benar-benar hebat!" Chikamatsu membungkuk sekali lagi. "Ah, ngomong-ngomong, maukah kalian menerima salah satu albumku?"

Hinata dan Kageyama saling pandang, lalu keduanya menggeleng sopan.

XOXO

Beberapa jam terasa berlalu dalam sekejap. Setelah mengurusi permasalahan Chikamatsu, mereka berkeliling sedikit lama di Kabuki-chou untuk menjalankan permintaan tolong lainnya. Tentu saja, mereka beberapa kali dihadang oleh orang-orang bodoh tukang cari masalah yang tidak tahu sosok Hinata sebenarnya. Namun, di luar itu, Kageyama mengaku bahwa semuanya terasa menyenangkan. Bagaimanapun juga, dia ikut andil dalam adu jotos tadi, membantu Hinata back-to-back, dan selama ini, Kageyama belum pernah merasa sepuas ini. Dia baru saja mengerti mengapa Hinata begitu suka berkelahi.

"Ah, akhirnya selesai!" Hinata meregangkan tubuhnya, lalu menoleh pada Kageyama yang terlihat berseri-seri. "Kageyama, aku ingin mampir ke bar langgananku sebelum kita pulang… Tidak masalah, kan?"

Kageyama mengangguk. Sejujurnya, kerongkongannya sendiri mulai kering karena kebrutalan pertarungannya tadi. Sedikit minum-minum di bar juga tidak masalah, dia rasa.

Jadilah, keduanya berjalan menuju Atenshi—bar langganan Hinata. Yakuza bersurai oranye itu tak henti-hentinya menceritakan seberapa enaknya minuman di sana—rupanya, dia sudah mencoba semua minuman. Namun, pemandangan yang menyambut mereka di sana tak seindah cuplikan cerita dan promosi Hinata tadi.

Prang.

Terdengar suara sesuatu yang dihantam keras. Kageyama dan Hinata saling berpandangan sejenak, lalu Hinata memberi isyarat dengan anggukan. Berkat banyak perkelahiannya tadi bersama Hinata, Kageyama telah banyak meningkatkan komunikasinya dengan Hinata. Yang mengejutkan, gerakan keduanya saat bertarung juga sangat sinkron, seolah mereka seharusnya ditakdirkan untuk menjadi partner di boxing club.

Di dalam bar, sosok wanita paruh baya jatuh terduduk di atas lantai. Beberapa laki-laki mengerumuninya dengan tatapan marah. Pengunjung lainnya memilih untuk diam, masih menyayangi nyawa masing-masing.

"Ah? Apa katamu, wanita jalang!?" Salah satu dari lelaki itu menginjak kaki sang wanita. "Kami hanya minta uangmu, sialan!"

"T-Tolong, jangan!" Wanita itu memohon sambil terisak kesakitan. "Aku sudah bersusah payah mengumpulkan uang itu… Tolong jangan kalian ambil!"

Lelaki itu menggertakkan gigi-giginya, wajahnya memerah karena marah yang tak tertahankan, sebentar lagi meledak. Dia bersiap untuk menendang wanita itu lagi. "Sialan, kau—"

Saat itu juga, sebuah tinju menghantam wajahnya, membuat tubuhnya terpental ke dinding. Kawan-kawan dari lelaki itu menyaksikan dengan wajah melongo—kaget, sekaligus tidak percaya. Mereka lantas menoleh ke arah dua pria berbeda warna rambut—yang satu oranye dan satunya lagi hitam.

"Sebenarnya, aku ingin segera beristirahat, tapi… Yah, mungkin satu perkelahian lagi tidak masalah. Ya kan, Kageyama?"

"Diam, Hinata bodoh."

Wanita itu mendongak, kiranya telah hafal betul akan suara Hinata, lantas dengan mata berkaca-kaca penuh haru, dia bersorak, "Hinata-kun!"

Hinata meringis, menunjukkan deretan gigi-giginya pada wanita itu, sebelum akhirnya berlari menuju perusuh-perusuh tadi, dengan Kageyama di belakangnya. Hanya butuh waktu satu menit untuk mengatasi mereka. Hinata memaksa salah satu dari mereka untuk menggeret teman-temannya yang terkapar keluar restoran.

"Ya ampun, Hinata-kun," Wanita itu menghambur memeluk Hinata dengan lega. "Kau tidak tahu seberapa besar rasa terima kasihku padamu. Entah sudah keberapa kalinya kau menyelamatkanku. Terima kasih, Hinata-kun… Terima kasih…"

"Sama-sama, Mama," Hinata membalas pelukan wanita itu dengan lembut. Tangannya mengelus punggung sang wanita pelan. Kedua mata cokelat yang biasanya menunjukkan intensitas yang kuat kini melemah, suaranya juga bergetar pelan. Tak lama kemudian, senyuman itu kembali nampak. Senyuman tulus yang jarang sekali Hinata tunjukkan, kecuali di hadapan orang-orang Kabuki-chou yang ditemuinya.

Kageyama tertegun, menyaksikan bagaimana wanita itu memancarkan rasa sayangnya kepada Hinata. Jika dia berada di posisi wanita itu… akankah dia melakukan hal yang sama? Akankah dia menyayangi Hinata juga?

Pikirannya buyar begitu saja ketika Hinata melepaskan pelukan wanita itu, lantas menyeret Kageyama pada meja yang masih utuh, selamat dari orang-orang rusuh tadi.

"Kau tidak masalah dengan alkohol, kan?" tanya Hinata yang tengah memegang buku menu, kedua matanya membaca deretan nama-nama minuman di hadapannya. Kageyama menggeleng. Mereka pun menentukan pesanan masing-masing. Tak perlu menunggu lama hingga wanita tadi kembali pada meja mereka, untuk mengantarkan pesanan sekaligus mengucapkan terima kasih sekali lagi, sebelum akhirnya kembali menghilang, mungkin untuk membersihkan bar yang kacau akibat perusuh tadi.

Hinata mengambil beberapa tegukan panjang, lalu menghela nafas. "Bagaimana hari ini? Kau bersenang-senang?"

Kageyama melepaskan pandangannya dari minuman unik berwarna hijau muda di hadapannya untuk menatap Hinata. "Yah… Mungkin."

"Hehe. Aku tahu dari tadi kau menyeringai tiap kali selesai membuat memar wajah seseorang," Hinata terkikik geli. Dia mengaduk-aduk minuman yang dipesannya. "Ngomong-ngomong, kau sudah menyiapkan pertanyaan? Mumpung aku sedang bermurah hati, aku akan menjawab berapapun pertanyaanmu sampai aku bosan."

"…Benarkah?" Kageyama mengerjapkan kedua matanya, lalu menggumam pelan. Kalau ada sesuatu yang ingin ditanyakannya, bukankah mengenai hal itu? "Hinata," panggilnya sambil menatap sang oyabun lurus. Kedua matanya berkilat penasaran, ingatannya kembali tertuju pada senyuman-senyuman Hinata hari ini.

"Apakah kau membantu orang-orang dengan sepenuh hati?"

"Eh?" Hinata menatap Kageyama aneh. Selama beberapa detik, dia terdiam, tak kunjung menjawab. "Em. Mungkin?" katanya tidak yakin. "Memangnya kenapa?"

"Tadi… Ekspresimu ketika mendengar ungkapan terima kasih mereka berbeda dari biasanya. Itu bukan ekspresi palsu yang biasa kau kenakan, tapi wajah tulusmu yang senang melihat orang lain bahagia. Ah—" Kageyama membelalakkan matanya dan menunduk. "Maaf kalau aku terkesan mengada-ada."

Hinata terdiam sedetik lebih lama, lalu meledakkan sebuah tawa. "Kageyama, kau mengerikan. Diam-diam kau mengamatiku sejauh itu, ya? Aku tersanjung. Jangan-jangan kau sempat terpesona oleh senyumanku tadi?" Hinata tergelak. Namun, tawanya tak selama biasanya. Baru beberapa detik, senyum itu segera copot dari wajahnya. Digantikan oleh raut wajah yang sulit diartikan dan kedua pipi yang dengan aneh mulai memerah.

Hinata saling menautkan kedua tangannya. "Sungguh. Aku tidak menyangka kau akan menyadari sampai sejauh itu. Aku… Bagaimana mengatakannya, ya… Aku, um…" Kageyama menyimak dalam diam, sedikit tidak percaya karena Hinata yang biasanya suka mencerocos itu gugup seperti ini. Dia tak bisa melihat wajah Hinata karena kepala oranye itu tengah menunduk saat ini, tetapi kedua telinganya nampak merah sekali, sampai-sampai kepalanya terlihat akan meledak.

"Aku… senang," ucap Hinata, sedikit mendongak untuk menatap Kageyama dari balik poninya. Sebentar kemudian, dia menyembunyikan wajah pada kedua tangannya. "Ah, lupakan! Lupakan! Bicara apa aku ini, ahaha! P-Pokoknya kau harus melupakan semua itu!"

Kageyama menelan ludah. Hinata yang biasanya menggodanya itu malu-malu seperti gadis SMA yang baru menemukan cinta pertamanya. Sedang mimpi apa dirinya?

"Ka-Kageyamaaa!" Hinata merengek malu. "Jangan diam saja! A-Aaah, suasana jadi canggung, kan? Oh iya! P-Pertanyaan selanjutnya! Kau ingin bertanya apa?"

Sungguh, Kageyama tidak tahu antara harus merasa senang karena Hinata yang biasanya berharga diri tinggi itu terbata-bata dan malu-malu, atau merasa aneh karena wajah memerah Hinata benar-benar tidak buruk di mata Kageyama.

Pada akhirnya, Kageyama lebih memilih untuk menjedutkan kepala pada meja di depannya.

"Kau bahkan belum menjawab pertanyaanku, dasar bodoh," umpat Kageyama dengan wajah masam, mencoba mengalihkan segala macam hal yang tidak-tidak dari kepalanya.

"A-Ah… Benar juga." Warna merah pada wajah Hinata telah surut. Kedua matanya menatap langit-langit bar, tapi pandangannya menerawang. "Aku… um. Terserah kau percaya atau tidak, tapi aku memang merasa… ingin membantu mereka."

Kageyama termenung. "Darimana datangnya ketulusanmu untuk membantu orang-orang?"

"Darimana datangnya, ya?" Hinata mengambil nafas, lalu menghembuskannya perlahan. "Kau tahu kalau yakuza sepertiku telah membunuh banyak orang, kan? Selain membunuh, aku juga sering melakukan kriminal berat lainnya. Entah sudah berapa kali aku melakukan dosa besar. Beberapa saat kemudian, aku mencetuskan ide ini—ide untuk menampung permintaan tolong orang-orang dan menolong mereka."

Hinata berhenti sejenak untuk mengambil nafas. "Kau tahu? Pertama-tama sekali, aku tidak menolong orang-orang secara ikhlas. Tujuanku menolong mereka adalah untuk meningkatkan Kabuki-chou, tidak ada niatan lain. Tapi, semua orang tetap berterima kasih padaku. Mereka tersenyum lebar padaku. Saat itu juga, aku merasa… ringan. Dosa-dosa yang pernah kulakukan di masa lalu seolah tidak pernah terjadi. Senyuman mereka menghentikanku untuk menjadi monster tak berperasaan."

Kageyama mengangguk, masih diam menyimak.

"Benar. Aku menjadikan kegiatan membantu orang-orang itu sebagai bentuk penebusan dosa. Tapi, tentu saja tidak bisa," Hinata tertawa hampa. "Seberapa banyak aku menolong orang-orang… itu tidak akan mengimbangi jumlah orang yang kubunuh."

Kageyama menatap Hinata tanpa mengedip, mencoba membaca ekspresi wajah aneh yang ditampakkan sang oyabun. Kalau hati seorang yakuza hebat seperti Hinata bisa dengan mudah tersentuh oleh senyuman orang-orang… apakah berarti dia adalah orang baik? Apakah dia tidak semengerikan dan sejahat yang Kageyama kira? Karena monster manapun pasti tidak akan luluh lantak dan merasa senang hanya karena berhasil membantu orang lain.

Pada akhirnya, yakuza itu baik atau jahat?

Kageyama baru saja akan menyuarakan pertanyaan itu ketika ponselnya berbunyi nyaring. Dia menahan dengusan kecewanya, mungkin saja itu telepon dari Sawamura yang memintanya untuk kembali ke kantor karena urusan penting. Dengan itu, dia memohon pamit kepada Hinata, mengeluarkan ponselnya dari saku, lantas menjawab dengan tegas.

"Selamat malam?"

Dia sama sekali tidak menyangka bahwa yang akan menyambutnya di seberang sana adalah suara berat yang selalu menghantuinya di dalam mimpi.

"Selamat malam, Kageyama Tobio."

Kedua mata biru tua membulat. Kageyama tanpa sadar menghentikan nafasnya, ponsel di tangannya hampir terjatuh begitu saja.

Suara itu, tidak salah lagi—

"…Ada apa, Kageyama? Kau sedang terbengong-bengong di sana?" Suara berat itu tertawa pelan. "Hanya karena aku tak pernah mengontakmu selama dua bulan, bukan berarti aku tak membutuhkan bantuanmu lagi."

Kenapa… Kageyama menggertakkan gigi-giginya dalam kemarahan dan ketakutan. Kenapa dia kembali!?

"Apa yang kau inginkan?" Kageyama menggeram pelan, telah tersadar dari keterkejutannya. Dia tidak repot-repot menutupi kebencian di dalam suaranya.

"Seperti biasa. Datanglah ke markas kami dalam waktu lima belas menit," perintahnya dengan nada tenang. "Kau tahu konsekuensi jika kau mencoba lari, bukan, Kageyama?"

Kageyama merasakan keringat dingin mengalir dari dahinya. Dia mati-matian menahan diri untuk tidak membanting ponselnya ke tanah. Bibirnya bungkam, tak mengeluarkan suara apapun, karena dia yakin perkataan apapun yang datang akan diucapkannya dengan nada bergetar.

Mereka akan memaksaku lagi… Mereka akan membuatku melakukan hal itu lagi. Tidak. Tidak, aku tidak ingin melakukannya. Aku tidak ingin, tapi aku tidak bisa berbuat apapun.

"Kami menunggumu, Kageyama."

Sambungan telepon ditutup secara sepihak. Kageyama menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Raut wajahnya mengerikan—dengan kedua mata melebar, dahi terlipat penuh amarah, dan nafas cepat.

Tidak, tidak boleh. Kageyama menggeleng lemah. Dia tidak boleh membiarkan emosi mengendalikan dirinya. Dia harus tetap tenang.

Dengan itu, Kageyama berbalik menghadap Hinata yang menatapnya cemas, agaknya menyadari perubahan raut Kageyama. "Maaf, Hinata. Aku harus kembali sekarang."

"Baiklah… Tapi," Hinata memanggilnya dengan ragu. "Kau baik-baik saja? Wajahmu terlihat sangat pucat."

Kageyama mengangguk, tidak yakin suaranya akan tetap tenang, lantas memutar badan untuk berjalan menjauh. Kepalanya berdenyut kuat saat ini, terasa pening sekali. Dadanya naik turun dengan cepat. Dia tahu tingkahnya seperti orang gila saat ini, tapi Kageyama tidak peduli. Dia memang gila. Sejak pertama kali mendengar suara berat tadi, Kageyama sudah jadi gila.

Orang-orang itu sedang menunggunya, bentak suara di dalam kepala. Dia tidak bisa terlambat. Perintah orang itu adalah mutlak.

Kalau dia tidak datang lima belas menit lagi… Kalau dia tidak memenuhi perintah itu…

Dia dikejutkan oleh jemari halus yang membungkus tangannya. Kageyama menghentikan langkahnya dengan dua mata melebar, lalu menoleh ke belakang untuk melihat Hinata yang memberinya tatapan cemas. Matanya yang biasanya mengerikan ketika menggelap marah itu kini sedikit melembut.

"Kageyama… Tanganmu bergetar." Hinata meremas tangan Kageyama yang mendingin. Hati Kageyama mencelos, bahkan Hinata—Hinata yang sifatnya seperti itu—mau mengkhawatirkannya. Kageyama bertaruh, wajahnya pasti benar-benar terlihat kacau saat ini. "Apa yang terjadi? Kau benar baik-baik saja?"

Kageyama menggeleng cepat. "Tidak. Aku tidak apa-apa. Maaf, Hinata. Biarkan aku pergi."

"Ka… Kageyama?"

Kageyama perlahan menarik lengannya dari tangan hangat Hinata, menyadari bagaimana jemari Hinata sempat bersikeras untuk tak melepaskan Kageyama. Pada akhirnya, kedua tangan mereka terlepas, dan Kageyama berjalan cepat menjauhi sang yakuza dengan kepala menunduk.

"Kau tahu konsekuensi jika kau mencoba lari, bukan, Kageyama?"

Pria bersurai hitam itu mengadu gigi-giginya, kedua tangan terkepal kuat. Aku tahu. Aku tahu, aku tahu, aku tahu!

Kageyama terus berjalan, sama sekali tidak menoleh ke belakang. Sama sekali tak tahu raut wajah gelap yang tengah dipakai Hinata usai dia meninggalkan yakuza itu sendiri dalam kekhawatirannya.

TO BE CONTINUED


EDITED. Terutama di scene terakhir, ganti tempat di restoran lol. Sama saya tambahin beberapa kata di sana sini, tapi overall intinya sama kek kemarin. Yang sudah mbaca versi lama, up to you, mau baca lagi atau nggak.

Argh. Saya pusing. Saya baper. Ah, entahlah.

Langsung saja, terima kasih kepada semuanya saja yang telah membaca, review, fav, dan follow.

Untuk reader Oyabun, saya senang bisa membuatmu merasa terkampreti. Entahlah, chapter ini baper, saya ga tau deh. Pikiran saya tidak terkendali lagi, ini ngetiknya lagi-lagi ngebut sebelum Senin tiba. Ahahah, iya bagian 'mulutku bisa dipakai untuk berbagai hal', saya juga nyadar pas ngetik kalo itu ambigu abisss. Ahhh, saya jadi pingin ngetik yang ambigu2 lagi. Seperti biasa, makasih sudah review.

Kalau begitu, segini saja curcol dari saya. Sampai jumpa di chapter depan!