Maaf menunggu lama, ini dia chapter barunya. Selamat membaca~

Warning : Gaje, super duper OOC, typo(s), dan keanehan lainnya.

Fanfic ini cuma untuk hiburan semata, jadi tolong jangan dianggap terlalu serius.

Disclaimer : Boboiboy dkk milik Animonsta Studio, ide cerita terinspirasi dari drama Secret Garden.


"Tidak mungkin … Apa yang terjadi? Bagaimana bisa jadi seperti ini?"

"Kenapa kalian bertukar tubuh?"

"Kau benar-benar tidak tahu? Karena aku menyukaimu, Yaya. Aku mencintaimu."

"Dan aku juga tidak masalah jika harus mengorbankan diri untukmu."

"Aku pernah mendengar bahwa di dunia ini tidak ada yang namanya kebetulan. Semuanya sudah ditentukan oleh takdir masing-masing. Jadi mungkinkah dengan pertukaran tubuh ini, takdir sedang merencanakan sesuatu untuk kau dan aku?"

"Kau harus menyadarinya sebelum terlambat, anak muda. Hanya kaulah yang bisa menyelamatkan gadis itu."

"…tanpa kusadari selama ini aku telah jatuh cinta padamu. Aku menyukaimu, Boboiboy. Aku … mencintaimu."

"Berjanjilah kau tidak akan meninggalkanku."

"Aku akan merindukanmu. Sangat merindukanmu …"

"Aku mencintaimu …"

.

.

.

Yaya's POV

Suara langkah kaki yang menggesek dedaunan kering menjadi latar belakang yang memecah kesunyian malam. Angin dingin yang berhembus masuk melalui pori-pori kulitku terasa nyaman, membuatku memejamkan mata selama beberapa detik.

Kubuka kembali kedua kelopak mataku, dan kedua irisku tertuju pada punggung pemuda yang tengah berjalan di depanku. Bulan purnama yang tersebunyi di balik kanopi dedaunan sesekali menyinari puncak kepalanya yang tertutup topi berwarna jingga. Malam yang gelap dan dingin —walau sedikit disinari cahaya bulan— membuatku sedikit takut, tapi kehangatan tangannya yang menggenggam tanganku membuatku tenang, karena aku tau dia ada bersamaku.

Pohon-pohon mulai semakin jarang, hingga akhirnya kami tiba di sebuah tanah lapang, di mana sebuah batu besar berdiri tegak di bagian tengahnya. Cahaya dari bulan purnama terpantul di batu itu, menjadikannya ikut bercahaya keperakan.

Aku dan Boboiboy melangkah perlahan mendekati batu itu, hingga akhirnya kami sama-sama berdiri di hadapannya. Setelah itu kami hanya diam menunggu, entah apa —atau siapa— yang kami tunggu.

Samar-samar kudengar seseorang melangkah mendekat. Aku menoleh dan melihat sosok yang agak sedikit bungkuk melangkah ke arahku dan Boboiboy. Saat sosok itu semakin dekat, aku akhirnya bisa melihat wajahnya yang diterangi cahaya bulan. Wajah seorang kakek tua yang tengah tersenyum lebar ke arah kami.

Boboiboy membungkuk pelan ke arah kakek itu, dan aku mengikutinya.

"Lama tak berjumpa, kakek," ucap Boboiboy.

"Ya. Selamat datang kembali, anak muda," balas sang kakek.

Aku hanya memandangi mereka berdua tak mengerti. Bagaimana Boboiboy bisa mengenal kakek ini?

"Kenapa … aku dan Yaya ada di sini?" tanya Boboiboy pelan. Ia menatap sang kakek, seolah takut untuk mendengar jawabannya. "Apa karena … kami berdua sudah mati?"

Kakek tua itu menggeleng pelan. "Tidak. Bukan kalian berdua, tapi kau yang seharusnya sudah mati, anak muda," ujarnya sambil menunjuk Boboiboy.

"Apa? Tidak, kau tidak boleh mati! Kau tidak boleh mati, Boboiboy!" seruku sambil mengguncang-guncang tangannya kasar. Tapi Boboiboy hanya memandangiku dengan bingung.

"Kalau begitu kenapa kami ada di sini? Tidak …" Boboiboy menggelengkan kepala dan mengganti pertanyaannya. "Kenapa Yaya ada di sini, bersamaku?"

"Karena kau sudah mengorbankan diri untuknya," jawab sang kakek, dengan suara tenang dan lambat. "Kau sudah membuktikan cintamu, dengan bersedia mati untuk gadis ini. Itu berarti kau sudah melaksanakan apa yang tertulis di bait terakhir dalam sajak yang tertulis di batu ini. Itu berarti, sekarang semuanya sudah berakhir."

Aku mengernyitkan kening, bingung setengah mati. Mungkin di kelas aku terkenal sebagai murid yang pintar, tapi aku sama sekali tidak mengerti apa maksud kakek ini, atau apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini.

"Apanya … yang berakhir?" tanyaku takut-takut.

"Mantra—atau kutukan kalau kalian menganggapnya begitu," kata kakek itu sambil tersenyum ke arahku. "Sekarang mantra kuno yang mengikat kalian sudah terlepas, karena pemuda ini sudah bersedia mengorbankan dirinya untukmu."

"Man … tra?"

"Yang membuat kalian bertukar tubuh."

"Oh!" Aku akhirnya mengangguk paham. Mataku melirik ke arah batu itu, membaca huruf-huruf rune yang terukir di sana.

'Kutukan ataupun anugerah, cinta sejati dan pengorbananlah yang akan membuktikan…'

Itu bunyi bait terkahir dari sajaknya. Jadi maksudnya ini? Salah satu dari kami harus berkorban untuk membuktikan cinta sejati, supaya bisa terlepas dari mantra ini? Kejam sekali, kenapa harus ada pengorbanan segala sih?

"Jadi, errr, kami tidak akanbertukar tubuh lagi mulai sekarang?" tanya Boboiboy.

"Ya, begitulah. Kalian sudah bebas."

Aku dan Boboiboy saling pandang dan saling melemparkan senyum senang.

Akhirnya … semuanya kan berakhir sekarang. Tapi tunggu dulu, kelihatannya masih ada satu masalah lagi yang belum terjawab.

"Tapi … bukankah aku seharusnya sudah mati? Berarti aku tidak bisa kembali?" tanya Boboiboy.

Tidak! pikirku panik. Apa gunanya mantra yang mengikat kami terlepas kalau pada akhirnya Boboiboy pergi meninggalkanku?

Aku memandang sang kakek, menanti jawabannya.

Kakek itu tersenyum. "Memang seharusnya begitu. Tapi seperti yang kakek katakan tadi, kau sudah membuktikan bahwa cinta kalian memang sejati. Dan cinta sejati selalu membawa keajaiaban. Kau bisa terus hidup, anak muda. Hidup dan menjalani harimu bersama orang yang kau cintai."

Tanpa kusadari, airmataku tumpah. Boboiboy hidup. Dia akan tetap hidup. Ia akan terus bersamaku. Ia tidak akan pergi meninggalakanku. Tanpa bisa kucegah, kedua lenganku memeluk Boboiboy, merasakan kehangatan tubuhnya. Dan ia balas memelukku erat.

Tidak apa-apa kan kalau kami seperti ini, sebentar saja? Lagipula aku juga tidak yakin apa semua ini nyata.

"Sekarang kalian bisa kembali," ujar sang kakek. Aku melepaskan pelukanku dan menoleh ke arah kakek tua itu.

"Terima kasih banyak, kakek," ujarku dan Boboiboy bersamaan. Kami membungkuk dalam penuh terima kasih.

Kakek itu mengangguk. "Tapi ingatlah, tidak ada hal yang benar-benar pasti di dunia ini. Kalian mungkin akan menghadapi banyak penderitaan di hari-hari mendatang. Tapi selama kalian bisa membuktikan bahwa cinta kalian sejati, takkan ada yang bisa menghalangi cinta kalian."

Aku dan Boboiboy mengangguk, walau sebenarnya kami tidak benar-benar mengerti apa maksud kata-kata itu.

Sebuah cahaya keemasan tiba-tiba memancar dari batu itu. Sinarnya menyelubungi tubuhku dan Boboiboy, mengelilingi kami seperti tengah membentuk sebuah jarring perak keemasan. Aku memejamkan mataku untuk menghalangi silaunya cahaya. Sampa aku merasa tubuhku ditarik mundur, dan hutan, batu, juga Boboiboy, menghilang dalam pusaran penuh warna.

.

.

.

Normal POV

Sepasang kelopak mata itu tiba-tiba terbuka. Dua netra sewarna karamel memandang sekelilingnya dengan bingung, menyadari bahwa dirinya berada di tempat yang tidak asing. Dinding bercat biru tua, dengan miniatur planet tergantung di atas kepalanya. Ini adalah kamarnya.

Setelah kesadarannya sepenuhnya kembali, pemuda berambut hitam berantakan itu bangkit dari tempat tidurnya. Ia memandang ke sekelilingnya dengan panik. Bagaimana ia bisa berada di sini? Bukankah seharusnya ia ada di …

Suara pintu yang terbuka membuat Boboiboy terlonjak kaget. Ia melompat dari tempat tidur dan berdiri kaku memandangi robot kuning yang melayang masuk ke kamarnya.

"Oh, kau sudah sadar!" seru Ochobot gembira. Ia melayang menghampiri Boboiboy dan memeriksa pemuda itu. "Kau tidak apa-apa? Apa ada yang sakit? Perlu kuambilkan sesuatu?"

Namun Boboiboy hanya memandang Ochobot dengan tatapan kosong, seolah ia tengah berusaha mencerna apa yang sebenarnya terjadi.

"Ochobot … kenapa aku ada di sini?" gumam Boboiboy.

"Eh?" Ochobot hanya menatap pemuda di hadapannya bingung.

"Kenapa aku ada di kamarku? Bukannya aku seharusnya ada di rumah sakit?" tanya Boboiboy lagi.

"Oh, itu. Semalam kau pingsan di rumah sakit, jadi Fang dan Gopal membawamu pulang. Katanya kau kecapekan," terang Ochobot.

"Apa … apa maksudnya?" ujar Boboiboy. "Ke-kenapa aku pingsan di rumah sakit?"

Ochobot memandangi Boboiboy yang terlihat bingung luar biasa, ia juga bisa membaca sedikit kekalutan di wajah pemuda itu. Dan sang bola kuasa ikut merasa bingung.

"Fang dan Gopal bilang kau tiba-tiba saja pingsan setelah …"

"Aku seharusnya tidak di sini!" seru Boboiboy tiba-tiba, mengacak rambutnya frustasi. "Kenapa aku ada di tubuhku sendiri? Bukankah aku seharusnya bertukar dengan Yaya? Aku sudah sengaja hujan-hujanan supaya bisa bertukar tempat dengan Yaya! Kenapa aku malah ada di kamarku sendiri, dan sama sekali tidak bertukar? Apa yang terjadi, Ochobot?"

Bola mata biru elektirk Ochobot membelalak. Ia memandang pemuda yang berdiri di hadapannya dari atas sampai bawah.

Tadi dia bilang apa? Tubuhnya sendiri? Itu berarti …

"Tunggu dulu, kau … Boboiboy?" ucap Ochobot ragu.

"Tentu saja aku Boboiboy! Siapa lagi?" balas Boboiboy kasar. Ia masih terlihat frustasi, namun sepasang mata cokelatnya membelalak begitu Ochobot tiba-tiba memeluknya.

"Bo-Boboiboy … kau akhirnya kembali … Aku benar-bena rmencemaskanmu … Kupikir aku tidak akan pernah bertemu denganmu lagi …"

Boboiboy hanya berdiri diam, semakin tak mengerti dengan situasi yang dihadapinya. Ia melepaskan pelukan Ochobot dari tubuhnya dan menggengam erat tubuh bulat sang robot.

"Apa maksudmu? Aku benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi di sini. Jelaskan padaku semuanya, Ochobot."

Sang bola kuasa mengangguk pelan, dan mulai menjelaksan semuanya kepada sang penguasa lima elemen.

.

.

.

Boboiboy's POV

Aku berjalan dengan tergesa-gesa menyusuri koridor rumah sakit. Sesekali aku menbarak orang yang tengah berlalu lalang, tapi aku hanya meminta maaf singkat dan langsung berlalu.

Aku sudah mendengar semuanya dari Ochobot. Ternyata aku berhasil menukar tubuhku dengan Yaya di hari itu. Aku berhasil membuat Yaya hidup kembali, di dalam tubuhku, dan sebaliknya akulah yang terbaring koma di rumah sakit. Tapi tadi malam kondisiku —kondisi tubuh Yaya yang kutempati, maksudnya— tiba-tiba kritis. Dan Yaya yang panik melihat kondisiku tiba-tiba jatuh pingsan dan diantar pulang oleh Fang dan Gopal. Setelah itu entah apa yang terjadi, tau-tau saja aku sudah kembali ke tubuhku sendiri.

Kakiku berhenti melangkah tepat di depan ruangan bernomor 203. Aku sedikit membungkuk, berusaha mengatur nafas yang terngah-engah. Mataku menatap nanar pintu bercat abu-abu di hadapanku. Jantungku berdetak cepat, panik sekaligus ketakutan setengah mati dengan apa yang mungkin akan kutemui di dalam.

Ochobot bilang ia tidak tau apa yang terjadi pada Yaya, karena ia belum mendengar berita apa pun. Kenapa aku tiba-tiba saja kembali ke tubuhku, padahal menurut Ochobot, hujan sama sekali tidak turun? Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang buruk pada Yaya? Bagaimana kalau akhirnya tetap Yaya yang … Kalau begini sia-sia saja usahaku untuk menggantikan tempatku dengan Yaya. Kalau terjadi sesuatu dengannya, aku tidak akan pernah bis amemaafkan diriku sendiri.

Aku menarik nafas panjang dan menyiapkan hati. Tuhan… semoga Yaya baik-baik saja …

Pintu menggeser terbuka dan aku melongokkan kepala ke dalam. Yang pertama kali kulihat adalah punggung seorang pria berjas putih, mungkin itu dokter yang menangani Yaya, dan juga kedua orang tua Yaya yang berdiri di seberangnya, menghadap ke arahku.

Ketiga orang dewasa itu menyadari kehadiranku dan menoleh. Aku hanya tersenyum gugup, tak tau harus berkata apa. Mataku kemudian beralih ke arah sosok di tempat tidur, dan aku membelalak begitu menyadari sosok itu tengah duduk dengan bantal mengganjal punggungnya. Dan ia tengah menatapku, dengan sepasang mata cokelat lembut yang selalu membuatku jatuh cinta.

"Yaya, kau sudah sadar!" pekikku tanpa sadar.

Tanpa mempedulikan kehadiran dokter dan juga kedua orang tua Yaya, aku berlari menghampiri gadis itu. Aku berdiri di hadapan ranjangnya, menatap wajahnya dengan sedikit tak percaya.

Yaya baik-baik saja … Dia masih hidup … Kami berdua masih hidup …

"Syu-syukurlah … Akhirnya kau sadar …" ucapku dengan suara tercekat, hampir tak bisa menahan air mata bahagia.

Yaya tidak berkata apa-apa. Ia hanya memandangiku dengan sorot mata sedikit bingung. Dokter dan orang tua Yaya juga tidak mengatakan apa-apa.

Seharusnya saat itu aku sadar, ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi.

Gadis berkerudung itu akhirnya membuka mulutnya, dan aku dengan gembira menanti apa yang akan diucapkannya. Tapi kata-katanya langsung menghancurkan semua perasaan bahagiaku.

Dengan wajah luar biasa bingung, Yaya berucap pelan, "Kau … siapa?"

.

.

.

Normal POV

"Pendarahan akibat aneurisma di otaknya membuat sebagian memori masa lalu yang dimiliki Yaya rusak. Untuk saat ini, Yaya hanya memiliki ingatan sampai ia berusia sembilan tahun, semua memori yang dimilkinya stelah berumur sembilan tahun tidak akan bisa diingatnya."

Boboiboy menatap lantai keramik putih di bawahnya, merenungi kembali penjelasan dokter yang tadi didengarnya.

Amnesia ya? Bukan kata yang asing di telinganya. Ia sudah sering mendengarnya di film-film yang ditontonnya. Tapi sekali lagi, hidupnya berubah jadi sedramatis adegan-adegan di film.

Boboiboy bisa mengingatnya dengan jelas, ia pertama kali bertemu Yaya saat umur mereka sama-sama sepuluh tahun. Dan mengingat saat ini Yaya hanya memiliki ingatan sampai ia berusia sembilan tahun, itu berarti gadis itu sama sekali tidak memiliki memori tentang dirinya.

Desahan pelan lolos dari bibir Boboiboy. Ia mendongak menatap langit-langit, menertawakan nasibnya yang menyedihkan. Mungkin memang ada 'sesuatu' yang menginginkan kisahnya dengan Yaya tidak berjalan bahagia. 'Takdir', mungkin?

Seseorang menyerukan namanya dan Boboiboy menoleh. Ia melihat Gopal tengah berlari ke arahnya, diikuti oleh Fang dan Ying. Sahabatnya yang bertubuh gempal itu segera memeluknya erat begitu ia tiba di hadapan Boboiboy.

"Kau membuatku ketakutan setengah mati! Kupikir kau tidak kan pernah kembali lagi," ujar Gopal, sedikit terisak.

"Kami sudah mendengar ceritanya dari Ochobot. Ia bilang kau sudah kembali ke tubuhmu sendiri," jelas Ying, menjawab pertanyaan yang tersirat di wajah Boboiboy.

Pemuda itu mengangguk paham. Ia menepuk pelan punggung Gopal, menenangkan sahabatnya itu.

"Maaf karena sudah membuat kalian khawatir," ucap Boboiboy pelan.

Gopal akhirnya melepaskan Boboiboy. Ia memandang sahabatnya itu dengan mata berkaca-kaca, tapi bibirnya mlengkungkan senyuman, senang karena sang sahabat telah kembali.

"Kau sudah bertemu dengan Yaya?" tanya Fang hati-hati.

Boboiboy mengangguk pelan. Ia kembali menundukkan kepala dan menatap sepatunya.

"Jangan cemas, Boboiboy. Aku yakin kita bisa membuat Yaya ingat kembali tentang semuanya," hibur Ying.

"Tapi walaupun ia bisa mengingatku hari ini, Yaya tetap akan melupakanku keesokan harinya," gumam Boboiboy hampa.

"Apa maksudmu?" tanya Ying tak mengerti.

Boboiboy mengangkat kepalanya, memandang ketiga sahabatnya yang memasang ekspresi bingung.

"Kalian belum tau?" tanyanya.

"Tau apa?" Gopal balik bertanya.

"Yaya tidak hanya kehilangan ingatan masa lalunya. Tapi dia juga kehilangan kemampuan untuk mengingat kejadian apa pun yang terjadi setelah dia terbangun," jelas Boboiboy dengan suara datar yang terdengar kosong.

"Errr—maksudnya?" Gopal menggaruk-garuk kepalanya binung.

"Maksudnya, Yaya tidak akan bisa mengingat apa pun mulai sekarang. Ingatannya cuma kan bertahan sehari. Dan saat ia terbangun di pagi hari, semua ingatan ituakan kembali menghilang," jelas Boboiboy, berusaha menyingkirkan perasaan sesak di dadanya. "Itu berarti … Yaya tidak akan bisa mengingatku … lagi."

.

.

.

Normal POV

Yaya duduk di pinggir tempat tidurnya, menatap keranjang buah-buahan dan juga buket bunga yang tergeletak di nakas di dekatnya, hadiah dari orang-orang yang datang menjenguknya yang —sebagian besar— tidak bisa dikenalinya.

Semuanya terasa begitu asing begitu Yaya membuka matanya pagi hari tadi. Ruangan berbau obat yang langsung disadarinya adalah ruangan rumah sakit, walau ia tidak ingat alasan kenapa dirinya bisa berada di rumah sakit. Kedua orang tuanya berada di sampingnya saat ia terbangun, tersenyum hangat padanya dan mengucapkan selamat pagi.

Semuanya terasa normal —kecuali fakta bahwa ia tengah terbaring di rumah sakit, sampai Yaya menyadari bahwa ada yang aneh dengan tubuhnya. dirinya bukan lagi seorang gadis kecil seperti yang terakhir kali diingatnya. Ia telah tumbuh beberapa puluh sentimeter sejak terakhir kali ia menatap dirinya sendiri di cermin. Yaya Yah, kini bukan lagi gadis kecil berumur sembilan tahun, tapi seorang remaja berumur tujuh belas tahun.

Keadaan semakin membingungkan saat satu persatu orang-orang mulai bermunculan untuk menjenguknya. Ia mengenali Ying dan Gopal tentu saja, mereka sahabatnya sejak masuk sekolah dasar. Tapi ia tidak mengenal dua pemuda yang datang bersamaan dengan kedua sahabatnya itu. Ying memperkenalkan mereka sebagai Boboiboy dan Fang, dan gadis berkacamata itu juga memberitahu Yaya bahwa mereka juga sahabat-sahabatnya. Tapi Yaya sama sekali tidak memiliki ingatan tentang mereka.

Teman-teman sekolahnya selanjutnya ikut berdatangan. Tidak ada satu pun yang bisa dikenalinya. Mereka bukan lagi teman sekelasnya di sekolah dasar, tapi teman-temannya di sekolah menengah. Dan Yaya merasa sangat berdosa karena tidak bisa mengingat mereka, mengingat mereka semua bersikap sangat baik padanya.

Dokter berkata ia terkena amnesia, gabungan antara retrograde amnesia —ketidakmampuan untuk mengingat memori masa lalu— dan juga anterograde amnesia —tidak mampu mengingat apa pun yang terjadi setelah munculnya amnesia ini [1]. Hal ini disebabkan oleh rusaknya beberapa jaringan di otaknya, terutama hipokampusnya, karena pendarahan yang terjadi akibat aneurisma yang dideritanya. Dokter juga berkata, bahwa ini benar-benar sebuah keajaiban karena dirinya masih bisa hidup dan membuka mata.

Yaya adalah gadis yang pintar. Walau ia belum pernah mendengar istilah-istilah yang dijelaskan dokter padanya, tapi otaknya mampu mencerna semua itu dengan cepat. Singkatnya, yang bisa dipahami Yaya sejauh ini adalah dirinya tidak bisa mengingat sebagian memori masa lalunya, dan juga kehilangan kemampuan untuk mengingat apa pun yang akan terjadi dalam hidupnya nanti.

Dari apa yang diceritakan ibu dan ayahnya, Yaya mengetahui bahwa ia sudah mengalami hal ini selama kurang lebih seminggu. Ia akan mengingat semua penjelasan dokter, mengingat semua nama teman yang datang mengunjunginya hari ini, tapi ia akan melupakan semua itu keesokan paginya.

Bingung, tentu saja itu yang dirasakan oleh gadis yang selalu mengenakan kerudung itu. Rasanya seolah seseorang telah menekan tombol untuk mempercepat waktu dalam kehidupannya. Ia tidak bisa mengingat apa pun, tapi dirinya sudah tumbuh dewasa. Gadis kecil yang kemarin dilihatnya saat menatap cermin, kini berubah menjadi gadis remaja berumur tujuh belas tahun. Semuanya terasa begitu membingungkan, sehingga Yaya tidak tahu harus memulai menata pikirannya dari mana.

Kegelisahan yang terus menggerogoti dadanya, dikarenakan kekosongan di dalam kepalanya yang seharusnya terisi oleh kenangan selama lima tahun terakhir, membuat Yaya terkadang kesulitan bernafas. Bagaimana caranya ia bisa hidup dengan keadaannya yang seperti ini? Ia tidak akan bisa mengingat apa pun mulai sekarang. Setiap kali ia bangun di pagi hari, ingatannya akan kembali terulang saat dirinya berumur sembilan tahun.

Dan pada akhirnya yang bisa Yaya lakukan hanya menangis. Menangisi segala ketidakberdayaan yang dimilikinya mulai sekarang, dan juga selama sisa hidupnya.

.

.

.

Yaya's POV

Seseorang mengetuk pintu pelan, membuatku berpaling dari pemandangan di luar jendela yang sedari tadd kuamati. Aku melihat pintu menggeser terbuka, dan sesosok pemuda bertopi aneh melangkah masuk ke dalam. Ia memegang sebuket bunga mawar merah muda dan wajahnya menyunggingkan senyum lebar ke arahku.

"Maaf, anda siapa? Sepertinya anda salah masuk ruangan," ujarku.

Pemuda itu tetap tersenyum dan melangkah mendekat ke arahku.

"Tidak, aku tidak salah masuk ruangan. Aku ingin menjenguk seorang gadis cantik bernama Yaya Yah. Dan kurasa ini ruangan yang benar," katanya sambil tertawa kecil.

Aku menatapnya curiga. Sepertinya aku tidak ingat punya kenalan seperti orang ini. Mungkin saja dia orang jahat kan? Haruskah aku memanggil perawat?

Saat tanganku bergerak hendak menekan tombol untuk memanggil perawat, pemuda itu buru-buru mencegahku.

"Jangan! Tidka perlu memanggil siapa-siapa. Tenanglah, aku bukan orang jahat," katanya. Ia mengambil vas bunga di samping tempat tidurku dan mengganti bunganya yang layu dengan bunga yang baru saja dibawanya.

"Namaku Boboiboy," katanya sambil sibuk menata bunga-bunga di dalam vas.

"Boboiboy?" ucapku sedikit bingung. Nama yang aneh, pikirku.

"Yap. Nama yang aneh, kan? Aku juga tidak tau kenapa aku diberi nama seperti itu," ujarnya sambil tertawa. Setelah selesai mengatur bunganya, ia kembali memandang ke arahku. "Aku cucu Tok Aba, pemilik kedai kokotiam. Kau kenal Tok Aba, kan?"

"Oh, cucu Tok Aba? Tentu saja aku kenal Tok Aba. Aku bertetangga dengannya," jawabku. Aku kini jadi lebih rileks. Sepertinya dia memang bukan orang jahat. Lagipula wajahnya memang terkesan familiar, walau aku tidak ingat pernah bertemu dengannya.

"Aku pindah ke Pulau Rintis sejak kelas 5 SD. Dan sejak itu aku tinggal bersama Tok Aba di rumahnya."

"Kelas 5 SD?" Aku mengernyitkan dahi bingung. Menurut penjelasan dari dokter dan orang tuaku, aku sekarang berumur 17 tahun. Kalau Boboiboy pindah ke rumah Tok Aba sejak umur 11 tahun, itu berarti aku sudah pernah mengenalnya?

"Kalau begitu, kita sudah saling kenal?" tanyaku penasaran.

"Tentu saja. Kita bahkan sudah berteman baik sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di Pulau Rintis ini," jawabnya.

"Oh, begitu," ujarku sambil mengangguk. "Maaf aku tidak bisa mengingatmu. Kata dokter aku menderita amnesia. Aku tidak bisa mengingat apa pun kecuali kenangan sampai aku berumur 9 tahun."

"Ya, aku tau."

Boboiboy mengalihkan pandangannya dariku dan memandang ke luar jendela. Ekspresi wajahnya terlihat sedih. Apa karena aku tidak bisa mengingatnya? Aku jadi merasa bersalah. Kalau kami memang berteman baik, seharusnya aku bisa mengingatnya, kan?

"Maafkan aku karena tidak bisa mengingat tentang dirimu," ucapku pelan.

Boboiboy kembali menoleh ke arahku. Ia menyunggingkan senyum, tapi wajahnya tetap menyiratkan perasaan terluka, membuatku seolah bisa ikut merasakan sakitnya.

"Tidak apa. Kau bisa mulai mengingatku dari sekarang," ujarnya.

Aku mengangguk bersemangat. "Tenang saja. Aku tidak akan melupakan tentangmu lagi," janjiku.

.

.

.

"Jadi, kau cucu Tok Aba?" Aku menatap pemuda yang duduk di sebelah tempat tidurku. Ia mengenakan topi aneh berwarna jingga dan hoodie tanpa lengan dengan warna senada. Wajahnya terlihat ceria, walau aku merasa ia sedang menyembunyikan perasaan sedih dan terluka di dalam hatinya.

"Yap. Aku cucu satu-satunya yang paling disayang atok," katanya sambil tersenyum lebar.

"Kau datang ke Pulau Rintis untuk mengunjungi Tok Aba?" tanyaku.

"Tidak. Aku sudah tinggal di sini sejak umurku 11 tahun."

"Oh, benarkah? Kenapa aku tidak pernah melihatmu?"

"Kau selalu melihatku. Kita bahkan sekelas di sekolah."

Aku kembali dikagetkan dengan fakta baru ini. Jadi aku sudah mengenal pemuda ini? Dan kami sudah lama berteman? Tapi kenapa aku tidak bisa mengingatnya?

Ah, benar. Aku 'kan amnesia.

"Apa hubungan kita dekat?" tanyaku penasaran.

Boboiboy, nama pemuda itu, terdiam cukup lama. Ia memainkan jari-jarinya di kelopak bunga lily putih yang tadi dibawanya. Aku bisa mendengarnya mendesah pelan, sebelum akhirnya kembali menatap ke arahku.

"Ya, tentu saja kita dekat," ujarnya. "Hubungan kita bahkan lebih dekat dari yang bisa kau bayangkan."

Aku hanya bisa menatap senyum sedihnya dengan sorot mata penuh tanya.

.

.

.

Boboiboy's POV

Aku menghembuskan nafas panjang. Kedua netra cokelatku menatap langit biru cerah tanpa awan di atas sana. Angin yang berhembus pelan menerbangkan beberapa helai rambutku yang tidak tertutup topi. Tapi angin itu tidak mampu mengusir segala kepenatan dan juga rasa putus asa yang bersarang di dalam diriku.

Ini sudah hari ke sepuluh sejak Yaya terbangun dari komanya. Tapi aku seolah selalu kembali ke hari yang sama saat aku melihatnya sadar. Saat aku menyadari bahwa ia tidak bisa mengenaliku, atau bahkan mengingat apa pun tentang diriku.

Setiap hari aku datang menjenguk Yaya. Membawakannya bunga yang berbeda, kemudian memperkenalkan diri. Aku menceritakan banyak hal tentang kenangan yang pernah kami lalui bersama, berharap ia akan bisa mengingat semuanya kembali. Tapi tetap saja, saat aku melangkah masuk ke ruangannya keesokan harinya, ia tetap tidak mengenalku. Dan aku harus mengulang hal itu lagi dan lagi. Seolah, aku tengah berjalan berputar-putar di lingkaran yang tiada berujung. Salahkah kalau aku merasa sangat frustasi?

Sejujurnya, setelah sepuluh hari berlalu, aku mulai merasa jenuh dengan semua ini. Aku lelah harus selalu memperkenalkan diri setiap hari pada Yaya, berusaha membuatnya mengingat sesuatu tentang diriku. Dan tak peduli sebanyak apa pun aku menceritakan tentang diriku padanya, ia tetap akan melupakanku saat esok hari tiba. Kenyataan pahit yang harus kuterima bahwa aku tidak kan pernah berada di memori Yaya lagi. Hanya satu hari Yaya bisa mengingatku, setelah itu semua tentangku akan menghilang dari benaknya.

Aku mendesah frustasi. Ingin rasanya melampiaskan semua rasa sakit hati yang bersarang di dadaku. Tapi pada siapa aku harus melampiaskannya? Siapa yang harus kusalahakn atas semua yang terjadi saat ini?

.

.

.

Normla POV

Fang melangkah santai menyusuri koridor yang dipenuhi orang-orang berjas putih, dan juga beberapa perawat berseragam ungu. Sebelah tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, sementara tangan satunya lagi menggenggam seplastik buah-buahan. Menjenguk orang sakit sudah sepantasnya membawa buah, kan?

Saat kedua kakinya menapaki koridor lantai dua, mata Fang menangkap sesosok pemuda yang tengah duduk seorang diri di kursi tunggu tak jauh darinya. Wajah yang ditekuk ke bawah tidak membuat Fang lantas tidak mengenali orang itu. Jaket dan topi yang dipakainya membuatnya langsung bisa dikenali oleh siapa pun, terutama orang-orang terdekatnya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Fang. Ia berdiri di hadapan pemuda bertopi itu, menunduk menatap sang rival yang terus menyembunyikan wajahnya.

Tidak ada jawaban. Fang mendesah pelan dan ikut mendudukkan dirinya di sebelah Boboiboy.

"Sudah bertemu Yaya hari ini?" tanya Fang lagi. Kepala yang tertutup topi itu menggeleng pelan. "Kenapa?" lanjut sang pemuda berkamata lagi.

"Aku tidak sanggup … lagi," bisik Boboiboy lirih.

Fang menghela nafas panjang. Memang berat saat orang terdekatmu tidak bisa mengenali atau bahkan mrngingat apa-apa tentangmu. Fang juga merasakan hal yang sama dengan Boboiboy. Bagaimana pun, mereka berdua adalah orang yang ditemui Yaya saat gadis itu telah menginjak umur lebih dari 9 tahun. Itu berarti mereka sama-sama tidak ada dalam memori Yaya saat ini.

"Aku mengerti perasaanmu," gumam Fang. "Yaah, sebagai orang yang sama-sama dilupakan, kita berbagi perasaan yang sama."

Fang mendengar Boboiboy mendnegaus pelan. "'Berbagi perasaan yang sama' kedengarannya menjijikkan, terutama denganmu," ujar pemuda itu.

"Memangnya kau pikir aku sudi berbagai perasaan denganmu?" dengus Fang.

Boboiboy tertawa pelan, walau dengan kepala yang masih tertunduk. "Tapi kau benar. Kita sama-sama jadi orang yang terlupakan."

"Tentu saja aku benar," balas Fang sedikit angkuh. "Tapi sepertinya kesedihanku tidak akan bisa disandingkan denganmu. Kalau aku, sedih karena dilupakan oleh sahabat baikku. Tapi kau, menderita karena dilupakan oleh orang yang kau sukai. Terlebih lagi, dia juga seharusnya membalas perasaanmu, tapi karena hilang ingatan, Yaya juga tidak bisa mengingat bahwa dia pernah mencintaimu."

"Fang! Jangan menabur garam di luka orang lain bisa tidak sih?" gerutu Boboiboy, kesal setangah mati. Baru saja ia merasa sedikit terhibur, rivalnya itu sudah kembali mengorek luka di hatinya.

"Aku cuma sedang menjelaskan fakta," balas Fang santai.

"Tidak perlu kau jelaskan pun aku sudah mengerti," kata Boboiboy.

Hening. Tak ada yang berbicara selama beberapa saat. Kedua pemuda itu hanya diam memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang di depan mereka.

"Tapi kurasa masih ada satu hal yang belum kau pahami. Mungkin kau sudah menyadarinya, hanya saja kau lupa karena terlalu sibuk menyesali nasibmu," kata Fang tiba-tiba.

"Apa?"

"Kau mungkin merasa kecewa karena Yaya tidak bisa mengingatmu. Tapi kau seharusnya merasa bersyukur, karena dia … masih hidup."

Boboiboy memandang Fang cukup lama, berusaha mencerna apa yang baru saja dikatakan pemuda tiu.

"Kau pasti masih ingat, betapa putus asanya dirimu saat berpikir bahwa Yaya tidak akan pernah terbangun lagi. Kau bahkan sampai mengorbankan dirimu —mengabaikan semua orang lain yang juga menyayangimu— untuk menyelamatkan hidup Yaya. Dan sekarang, Yaya ada di sini bersama kita. Dia hidup. Dia bernafas. Jadi, kenapa kau malah harus mengeluh hanya karena dia melupakanmu?"

Pernyataan Fang menohok Boboiboy. Benar, kenapa ia bisa sampai lupa tentang hal itu? Karena terlalu larut dalam rasa depresi akibat dilupakan oleh Yaya, Boboiboy sampai lupa, bahwa ia seharusnya bersyukur bahwa gadis itu masih hidup. Tidak peduli walau Yayaa tidak bisa mengingat dirinya, yang penting gadis itu tetap di sini bersamanya.

"Kau benar …" gumam Boboiboy. Ia menenggelamkan wajahnya di dalam kedua telapak tangannya, menyembunyikan air mata yang mengalir perlahan melalui kedua sudut matanya. "Aku terlalu sibuk meratapi nasib, sampai aku lupa untuk bersyukur bahwa dia masih hidup. Kami berdua … masih hidup …"

Dang Fang tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya duduk diam, mendengarkan Boboiboy yang menangis terisak-isak di sebelahnya.

.

.

.

Yaya's POV

Ibu mendorong kursi rodaku memasuki ruangan tempatku dirawat. Aku baru saja selesai menjalani terapi harian. Terbaring koma selama lebih dari tiga minggu membuat beberapa persendian di tubuhku menjadi kaku, sehingga aku harus melakukan terapi agar bisa kembali beegerak normal seperti biasa.

Setelah membantuku naik kembali ke tempat tidur, ibu berkata bahwa ia harus pergi sebentar, karena ada beberapa hal yang harus diurusnya. Aku hanya mengangguk dan membiarkan ibu meninggalkanku seorang diri di kamar. Tidak masalah, ibu bilang ibu akan segera kembali.

Tapi pintu yang baru saja tertutup kembali terbuka beberapa saat kemudian. Kupikir ibu mungkin kembali karena ketinggalan sesuatu, sampai aku melihat sosok pemuda bertopi jingga tengah tersenyum ke arahku.

"Oh, kau datang lagi, Boboiboy?" ujarku sambil membalas senyumnya. Aku bertemu dengannya tadi pagi, saat ia menjengukku. Ritual harian sebelum berangkat ke sekolah, katanya.

Boboiboy adalah salah satu orang yang tersimpan dalam memoriku yang hilang, itu berarti aku sama sekali tidak mengingat apa pun tentangnya, sampai hari ini.

"Tentu saja. Aku akan datang setiap hari, setiap waktu, kalau bisa," katanya. "Kenapa? Kau bosan melihat wajahku?"

"Tidak, mana mungkin aku bosan? Aku justru merasa senang karena ada yang menemani," kataku.

"Bibi Yah ke mana?" tanya Boboiboy. Ia menarik sebuah kursi dan duduk di sebelah tempat tidurku.

"Ibu sedang pergi sebentar, ada urusan katanya."

Boboiboy hanya ber-oh ria. Setelah itu kami tidak saling mengucapkan apa-apa lagi. Hanya saling diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.

"Ah, iya aku membawakan sesuatu untukmu," kata Boboiboy beberapa saat kemudian. Ia mengeluarkan sebuah buku bersampul merah muda dari dalam kantung kecil yang dibawanya dan menyerahkannya padaku.

"Apa ini?" tanyaku pensaran. Aku membukanya dan melihat lembaran-lembaran putih kosong yang terlihat menuntut untuk diisi.

"Buku catatan," kata Boboiboy. Ia mengetukkan jarinya di halaman kosong yang tengah kubuka. "Kau bisa menulis apa yang ingin kau ingat di sini. Kau bisa menceritakan semua kejadian yang kau alami hari ini, jadi besok pagi saat kau membacanya kau bisa mengingat semuanya kembali," lanjutnya sambil tersenyum lembut.

Aku menelusuri jariku di lembaran putih yang halus, membelainya lembut. Benar, aku bisa menuliskan semuanya di sini. Hal-hal yang ingin kuingat, semua kejadian yang tidak ingin kulupakan, aku bisa mengisinya di atas kertas-kertas ini.

Aku mengangkat wajahku dan menatap kedua iris karamel Boboiboy. "Terima kasih," hanya itu yang bsia kuucapkan untuk mewakili perasaan yang meluap-luap di dadaku. Walau aku tidak punya secuil ingatan pun mengenai Boboiboy, tapi kenapa kehadirannya bisa membuat hatiku merasa sehangat ini?

"Sama-sama," balasnya sambil tersenyum tulus. "Kalau kau mau, aku bisa membantumu mengisi lembaran-lembaran buku ini."

Aku mengangguk sambil mendekap erat buku bersampul merah jambu itu di dadaku. Dengan buku ini, aku mungkin bisa menta ulang semua puzzle ingatanku yang terserak, walau aku harus melakukannya berulang-ulang setiap hari.

.

.

.

Malam hari, setelah semua orang pulang, barulah aku membuka kembali buku yang diberikan Boboiboy. Aku memandangi halaman pertama yang masih kosong, mencoba memutuskan hal apa yang harus kutulis pertama kali.

Dan kemudian namanya muncul begitu saja di benakku. Nama orang yang akan kutulis pertama kali di buku ini. Nama orang yang aku yakini sebagai orang yang berarti untukku, walau aku sama sekali tidak mengingat tentang dirinya.

Nama Boboiboy.

.

.

.

Normal POV

"Apa?"

Kedua mata Yaya membelalak tak percaya mendengar apa yang baru saja disampaikan sahabat baiknya, Ying.

"Aku dan Boboiboy … pacaran?" Yaya mengulang ragu apa yang baru saja dikatakan Ying.

"Yah, kira-kira begitu. Tapi mungkin tidak juga," kata Ying sambil menggaruk kepalanya bingung.

"Jadi yang benar yang mana nih?" tanya Yaya bingung. Bagaimana tidak bingung, sahabatnya sejak kecil baru saja memberitahunya bahwa ia sedang menjalin hubungan dengan seorang pemuda bernama Boboiboy, yang jelas-jelas baru ia ingat namanya hari ini.

"Hubungan kalian rumit sekali. Aku sendiri tidak mengerti sebenarnya status kalian apa," kata Ying sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Yaya menggigit bibirnya, sedikit panik. Bagaimana bisa ternyata ia punya hubungan sedekat itu dengan orang yang bahkan tak bisa diingatnya? Kalau begini, Yaya jadi makin merasa bersalah karena tidak bisa mengingat Boboiboy.

"Tapi … apa kau yakin aku punya hubungan semacam itu dengan Boboiboy … yang itu?" tanya Yaya ragu.

"Maksudmu?" Ying balik bertanya bingung.

"Yah, kelihatannya Boboiboy yang tadi kutemui sedikit berbeda dari tipe idealku. Dia kelihatan konyol, punya selera aneh —terutama topinya itu, dan yah … sama sekali bukan tipeku," kata Yaya mengangkat bahu. "Mungkin ada orang lain yang juga bernama Boboiboy? Seseorang yang … jauh lebih keren?"

Ying tertawa geli mendengar pernyataan Yaya. Jadi sebenarnya Boboiboy bukan tipe laki-laki yang disukai Yaya?

Gadis itu kemudian menyunggingkan seulas senyum sedih. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Boboiboy saat ini, dilupakan oleh gadis yang sangat dicintainya.

"Aku tidak tau apa ada orang lain yang punya nama seaneh nama 'Boboiboy'," kata Ying. "Tapi kalau pun ada, hanya satu orang yang benar-benar mencintaimu dengan setulus hati. Dan dia adalah Boboiboy yang kau kenal selama ini."

Yaya tertegun, mencoba memikirkan arti perkataan Ying. Benarkah Boboiboy benar-benar sangat mencintainya? Apakah ia juga mencintai Boboiboy? Kenapa dirinya tidak bisa mengingat apa-apa tentang pemuda itu?

"Jadi seperti apa tipe laki-laki idamanmu?" tanya Ying, berusaha mengganti topik saat melihat ekspresi kusut di wajah Yaya.

"Entahlah … Yang seperti Fang … mungkin?" ujar Yaya, mengingat-ingat satu lagi pemuda yang tadi memperkenalkan diri sebagai sahabatnya.

Ying langsung memasang wajah cemberut. "Jangan. Kau tidak cocok dengan Fang," ujarnya.

"Oh, ya? tapi Fang memang cukup keren, kan?"

Gadis berkacamata itu semakin memanyunkan bibirnya. Sepertinya ia harus segera meyakinkan Yaya bahwa belahan jiwa gadis itu adalah Boboiboy, kalau tidak bisa-bisa Yaya benar-benar jatuh hati pada Fang.

"Yah, Fang memang keren. Tapi kau tidak boleh dekat-dekat dengannya," tegas Ying.

"Kenapa? Dia juga sahabatku, kan?"

"Memang benar, tapi …"

"Tunggu dulu Ying," Yaya akhrinya menyadari ekspresi Ying yang seolah tidak terima kalau ia menyatakan bahwa Fang adalah tipe laki-laki yang disukainya. "Jangan-jangan kau menyukai …"

"Stop!" Ying meletakkan tangannya di depan wajah Yaya, menahan sahabatnya itu agar tidak melanjutkan kata-katanya. "Jangan bahas tentang itu sekarang, oke?"

Yaya tertawa melihat rona merah di wajah ying. "Aku tidak menyangka gadis pemalu sepertimu bisa menyukai seseorang juga," ujarnya di sela-sela tawa.

"Hei, aku sudah bukan gadis pemalu seperti dulu!" protes Ying, masih dengan wajah merona merah.

"Benar juga. Banyak hal yang sudah berubah, ya. Tapi aku bahkan tidak bisa mengingat satu hal pun," ujar Yaya, kembali murung.

"Yaya …"

"Rasanya menyebalkan sekali, terbangun di pagi hari dan mengira aku masih seorang gadis kecil berumur sembilan tahun, padahal umurku sudah menginjak angka tujuh belas. Tidak bisa mengingat apa yang telah terjadi selama 8 tahun terakhir. Aku tidak bisa mengenali orang-orang di sekitarku, betapa pun dekatnya mereka denganku. Aku benci hidupku yang seperti ini."

"Jangan bilang begitu. Seharusnya kau merasa bersyukur karena masih diberikan kesempatan untuk hidup," tegur Ying halus.

"Aku tau. Hanya saja terkadang aku berpikir, hidup dengan kekosongan seperti ini, apa bedanya dengan mati?"

Dan Ying tidak tau bagaimana harus menanggapi pertanyaan retoris yang terus bergaung di benak gadis penyuka warna merah muda itu.

.

.

.

Normal POV

"Apa lagi yang harus kutuliskan tentangmu di sini?" tanya Yaya, menghentikan gerakan menulisnya sedari tadi dan mendongak untuk menatap Boboiboy.

"'Boboiboy adalah laki-laki paling tampan yang pernah kutemui selama hidupku'," jawab Boboiboy sambil tertawa.

Yaya menutar bola matanya. "Ayolah, jangan bercanda Boboiboy. Aku sedang serius, nih," keluhnya. Ia menatap halaman-halaman kosong yang mulai terisi dengan tulisannya, mengenai hal-hal yang harus diingatnya setiap hari. Yaya membaca kata-kata yang ia tulis tentang Boboiboy. Sudah cukup banyak tulisan mengenai pemuda itu, tapi Yaya tetap merasa ada yang kurang.

"Aku mencintaimu," ucap Boboiboy tiba-tiba. Yaya kembali mengalihkan pandangannya kepada pemuda itu, menatap kedua manik cokleat yang seolah tengah tersenyum, tapi juga sarat akan duka.

"Aku ingin kau menulis di buku itu, bahwa aku mencintaimu. Booiboy mencintai Yaya Yah. Dan hal itu tak akan berubah, walau berapa kali pun kau melupakannya," kata Boboiboy.

Yaya benar-benar berharap ia bisa mengingat semuanya. Ia ingin mengingat, bahwa pemuda ini mencintainya. Dan Yaya juga ingin ia bisa mencintai Boboiboy sama besarnya. Tapi tak peduli walau ia bisa mengingat itu semua hari ini, saat esok pagi tiba, semuanya akan kembali menghilang, menyisakan kekosongan yang tak akan pernah terisi di dalam memori-memorinya.

.

.

.

Boboiboy's POV

Aku mendorong pelan kursi roda yang diduduki Yaya melintasi halaman rumah sakit yang dipenuhi banyak orang. Karena tak ada bangku kosong yang bisa kami tempati, maka aku mendorong kursi roda Yaya ke arah petak rumput di dekat semak bunga. Di sana tidak ada terlalu banyak orang dan juga cukup teduh, jadi kami bisa menikmati udara segar tanpa terganggu kebisingan.

"Jadi, benarkah kita memiliki jam tangan dengan kekuatan super?" tanya Yaya begitu aku mendudukkan diri di rumput.

Aku tertawa kecil dan mengangguk. Kepalaku harus sedikit mendongak untuk bisa menatap kedua matanya yang berbinar seperti anak kecil. "Ya, ceritanya panjang dan melibatkan banyak pertarungan dengan alien berkepala kotak, tapi kau dan aku —juga Fang, Ying, dan Gopal— memang memiliki jam kuasa super," jelasku panjang lebar.

"Seperti apa kekuatan super kita?" tanya Yaya antusias. Aku jadi gemas melihat sikapnya yang benar-benar seperti seorang gadis kecil berumur sembilan tahun. Kalau saja aku tidak bisa menahan diri, mungkin aku sudah mencubit gemas kedua pipi yang bersemu merah itu.

"Kita berlima punya kekuatan yang berbeda-beda. Kau punya kekuatan untuk memanipulasi gravitasi …"

"Memanipulasi gravitasi seperti apa?"

"Jadi kau bisa … err— menaikkan atau menurunkan kekuatan gravitasi di sekitarmu. Kau bisa membuat dirimu atau benda-benda di sekitarmu melayang, dan juga bisa membuat mereka menempel di tanah karena gaya gravitasi yang terlalu kuat."

"Wow, hebat!"

Yaya menggerak-gerakkan tangannya, seolah tengah membayangkan dirinya bisa membuat benda-benda yang ada di sini melayang.

"Bagaimana denganmu? Kekuatan apa yang kau miliki?" tanya Yaya, kembali memandang ke arahku.

"Oh, aku bisa menguasai lima elemen yang ada di bumi. Petir, angin, tanah, api, dan air. Aku juga bisa membelah diriku menjadi lima." jawabku.

"Membelah diri? Seperti amuba?" tanya Yaya bingung.

"Bukan, bukan seperti itu," kataku sambil tertawa geli. "Aku bisa berpecah menjadi lima, dan masing-masing pecahanku bisa menguasai elemen yang berbeda. Semuanya memiliki wajah yang sama denganku, jadi ummm, semacam jadi kembar lima gitu deh," lanjutku sambil menggaruk pipi.

"Oh, begitu," ucap Yaya sambil mengangguk paham. "Keliahtannya asyik bisa berpecah seperti itu."

"Memang. Tapi kadang juga sedikit merepotkan," kataku sambil meringis.

"Bisa kau tunjukkan padaku?" pinta Yaya penuh harap.

"Sayangnya hari ini aku lupa membawa jam kuasaku," ujarku menyesal. Melihat kekecewaan di wajahnya, aku jadi semakin merasa bersalah. "Lain kali aku akan menunjukkannya padamu."

"Janji?" Yaya mengacungkan jari kelingkingnya. Dan Boboiboy menuatkan jarinya ke jari Yaya.

"Janji."

.

.

.

Normal POV

Hujan …

Tetes-tetes air yang turun tanpa henti dari langit membuka banyak kenangan yang tersimpan rapat di dalam pikiran Boboiboy. Kedua netranya menatap setiap butir air yang jatuh, mencoba untuk tidak terlalu bernostalgia ke masa lalu. Saat hujan menjadi sebentuk kutukan, dan di saat bersamaan juga anugerah bagi dirinya.

Sudah beberapa minggu keadaan kembali normal seperti sebelumnya. Tidak ada lagi yang namanya pertukaran tubuh saat hujan turun. Ia kini bisa membiarkan dirinya dibasahi tetes-tetes dingin itu tanpa perlu merasa cemas tubuhnya akan tertukar. Semuanya sudah berakhir, keajaiban yang pernah terjadi dalam hidupnya sudah berakhir.

Terkadang Boboiboy merindukan masa-masa itu. Saat ia dan Yaya panik luar biasa, mengetahui tubuh mereka tiba-tiba bertukar. Bagaimana mereka berusaha beradaptasi dengan kehidupan satu sama lain, berusaha menyembunyikan hal itu dari semua orang. Walau ada banyak masalah yang mereka hadapi karena pertukaran itu, tapi Boboiboy merasa bahwa kejadian itulah yang membuat dirinya dan Yaya semakin dekat. Mereka mulai saling mengenal satu sama lain luar dalam —secara harfiah— dan perasaan mereka juga mulai saling terikat. Terikat oleh benang takdir yang kusut.

Boboiboy kadang bertanya-tanya, apa yang akan terjadi kalau dirinya dan Yaya tidak pernah menemukan batu itu. Apa sekarang ia bisa berdiri tenang di sini, mengetahui bahwa gadis yang dicintainya tak bisa diselamatkan lagi? Ya, batu itu telah mengubah kehidupan mereka. Memberi setitik keajaiban dalam hidup mereka.

Kalau dipikir-pikir lagi, di dunia ini memang tidak ada yang namanya kebetulan. Semuanya sudah diatur oleh Yang Di Atas. Setiap langkah, setiap hembusan nafas, semuanya sudah memiliki jalannya masing-masing. Dan jalan itu dinamakan 'takdir'.

Seseorang menepuk bahu Boboiboy, membuatnya menoleh. Sesosok gadis berkerudung merah muda tersenyum ke arahnya, membuat pemuda itu mau tak mau ikut tersenyum.

"Sudah selesai?" tanya Boboiboy.

Yaya mengangguk. "Barang-barangku sudah dibereskan semua, tapi Ayah dan ibu masih harus membicarakan beberapa hal dengan dokter. Jadi mungkin aku baru bisa pulang sebentar lagi," jelasnya.

"Kalau begitu, bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar?" tawar Boboiboy.

"Eh? Tapi di luar hujan," kata Yaya, menatap ke jendela yang memperlihatkan tetes-tetes hujan di luar.

"Tidak apa. Sesekali hujan-hujanan seru juga, kan?" kata Boboiboy sambil mengedipkan sebelah mata. Yaya tertawa kecil, sebelum akhirnya mengangguk.

Keduanya kemudian melangkah ringan melintasi lobi rumah sakit yang ramai sambil sesekali mengobrol dan tertawa.

.

.

.

Five years later …

Yaya's POV

Aku celingukan memandang ke sekelilingku, ke arah kerumunan orang yang berdiri saling berkumpul, berbicara dan bergurau, mencari tanda-tanda kehadiran orang yang sedari tadi kutunggu. Tapi kelihatannya orang itu belum juga muncul. Aku melirik jam tangan merah muda di pergelangan tanganku. Sudah tiga puluh menit berlalu sejak upacara wisuda selesai, tapi kenapa dia belum juga datang?

Aku mendesah pelan, mendongak untuk menatap langit biru di atasku.

Sejujurnya, aku tidak mengenal orang yang sedari tadi terus kutunggu. Aku hanya mengetahui tentangnya dari foto-foto yang terselip di buku harianku, dan juga di beberapa pigura yang kuletakkan di kamarku. Namanya mengisi sebagian besar buku catatan pribadiku, catatan yang kata ibuku harus kubaca setiap hari saat aku bangun tidur. Ada banyak nama yang harus kuingat di sana, yang sebagian besar sama sekali tidak kukenal, tapi hanya satu nama yang kelihatannya benar-benar berarti, karena nama itu kutulis berulang kali di setiap halaman, seolah aku takut sekali akan melupakannya.

Beberapa orang yang melintas sesekali menyapaku, mengucapkan selamat atas gelar sarjana yang akhirnya dengan susah payah berhasil kuraih. Disebabkan oleh penyakit ingatan yang kuderita, aku harus berusaha lebih keras dari orang lain untuk bisa lulus. Karena aku tidak bisa mengingat apa pun setiap kali aku terbangun di pagi hari. Beruntung aku selalu mencatat semua hal-hal penting dalam buku catatan, yang kini sudah ada berpuluh-puluh buah di kamarku.

Sebuah tangan yang menepuk pelan pundakku membuatku menoleh kaget. Aku melihat sesosok pemuda dengan mata cokelat sewarna karamel tengah nyengir lebar ke arahku.

"Sedang mencari seseorang, nona cantik?" tanyanya menggoda.

Aku memandangi sosok di hadapanku dari atas sampai bawah. Ia mengenakan celana panjang berwarna hitam, dengan kemeja putih dan dasi yang terpasang rapi. Pemuda itu juga mengenakan hoodie tanpa lengan berwarna jingga, membuat penampilannya terlihat sedikit aneh. Seolah ia berusaha tampil formal, tapi gagal.

"Kau … Boboiboy?" tanyaku ragu. Dalam setiap lembaran foto di kamarku, Boboiboy selalu mengenakan topi aneh berwarna jingga. Tapi pemuda yang berdiri di hadapanku sama sekali tidak mengenakan topi. Rambut hitamnya disisir ke belakang dengan rapi, walau beberapa helai terlihat sedikit mencuat.

"Yap, aku Boboiboy, cowok paling ganteng se-Asia Tenggara," ujarnya sambil meletakkan jari telunjuk dan jempolnya di dagu, membentuk pose sekeren mungkin.

Aku memutar bola mataku. Ternyata orang yang sedari tadi kutunggu dengan gelisah cuma cowok narsis tidak jelas. Mungkin aku sudah menunggu orang yang salah.

"Kenapa kau baru datang sekarang? Acara wisudanya sudah selesai dari tadi," kataku sambil berkacak pinggang.

"Maaf, maaf. Aku ada sedikit urusan mendesak, jadi tidak bisa datang tepat waktu," kata Boboiboy sambil meringis. Ia kemudian mengeluarkan sebuket bunga mawar merah muda dari balik punggungnya dan memberikannya padaku. "Tapi setidaknya aku tetap datang kan, Nona Pintar?"

Aku menerima bunga itu sambil tersenyum kecil. Sepertinya dia tidak seburuk yang kuduga. "Terima kasih. Bunganya cantik sekali," ujarku.

"Tapi tetap tidak akan bisa mengalahkan kecantikanmu," ujar Boboiboy sambil nyengir. Aku menendang tulang keringnya, membuatnya mengaduh kesakitan.

"Jangan menggombal, Otak Jeruk. Aku tidak mempan dengan rayuan kuno seperti itu," kataku sambil menggembungkan pipi. "Lagipula aku masih marah padamu karena datang terlambat di hari wisudaku."

"Jangan marah, dong. Aku kan sudah minta maaf," kata Boboiboy dengan wajah memelas.

"Permintaan maaf ditolak," kataku datar sambil melangkah pergi.

"Hei, Yaya, tunggu!"

Aku hanya tersenyum kecil sambil memeluk buket bunga di tanganku. Boboiboy menyusulku tak lama kemudian, berdiri tepat di depanku dan menghalangiku untuk pergi lebih jauh.

"Oke, oke, sebagai permintaan maaf, bagaimana kalau aku mentraktirmu makan malam nanti? Sekaligus untuk merayakan wisudamu," kata Boboiboy.

"Err, berdua?" tanyaku ragu.

"Ya iyalah. Sama siapa lagi?" kata Boboiboy, memutar bola matanya.

"Tapi aku bahkan tidak mengenalmu," ujarku, keceplosan.

Aku menutup mulutku begitu melihat ekspresi terluka di wajah Boboiboy. Seharian ini aku sudah cukup banyak melihat ekspresi serupa. Saat orang-orang datang menghampiriku, memelukku dan mengucapkan selamat. Tapi aku bakan tidak bisa mengenali atau mengingat seorang pun di antara mereka.

Segalanya terasa begitu asing sejak aku terbangun tadi pagi. Yang terakhir kali kuingat adalah aku masih seorang gadis kecil berumur sembilan tahun, tapi tahu-tahu saja aku sudah berubah menjadi wanita berumur 23 tahun. Sulit sekali menerima keadaan seperti ini, karena aku benar-benar tidak bisa mengingat apa pun yang terjadi sejak 14 tahun belakangan. Walau dengan bantuan buku catatanku, dan juga penjelasan dari ibuku, semuanya tetap terasa salah.

Menyadari aku telah melukai perasaan Boboiboy, aku pun segera minta maaf sambil menundukkan wajahku. "Ma-maaf, aku tidak bermaksud …"

"Tidak apa-apa. Aku mengerti," balasnya.

Aku tau, Boboiboy bukan hanya sekedar kenalan, atau teman biasa bagiku. Dia punya arti lebih, dia jauh lebih berharga bagiku daripada yang aku tau. Mengingat sebagian besar lembaran bukuku terisi oleh namanya, aku tau dia orang yang sangat berarti untukku. Aku hanya berharap aku bisa mengingat lebih banyak tentangnya.

"Tapi … walaupun kau belum bisa mengingatku, setidaknya maukah kau ikut makan malam denganku? Kali ini saja," pinta Boboiboy dengan wajah memohon.

Aku tentu saja tidak mungkin menolaknya. Seharusnya aku memang sudah menerima permintaannya sejak awal. Aku akhirnya mengangguk mantap, menggenggam erat buket mawar di tangannya.

"Baiklah. Aku mau."

.

.

.

Normal POV

Lampu kota yang berkelip dari balik jendela membuat bibir gadis berkerudung itu melengkung membentuk senyum tipis. Yaya menyukai malam hari. Ini adalah saat di mana semuanya tidak lagi terasa asing dan membingungkan. Ia sudah bisa mengingat cukup banyak tentang berbagai hal, dengan bantuan dari orang-orang di sekitarnya, dan juga buku catatannya tentu saja.

Pelayan yang membawakan makan malam mereka akhirnya tiba. Boboiboy mengucapakan terima kasih pelan setelah sang pelayan meletakkan piring dan gelas mereka di atas meja.

Yaya memandangi makan malam mereka sambil sedikit meringis.

"Apa ini tidak berlebihan, Boboiboy? Kita seharusnya makan malam di tempat lain saja. Makanan di sini semuanya terlalu mahal," kata Yaya.

"Tidak masalah. Aku bisa menggunakan kartu kredit yang diberikan ayahku," kata Boboiboy, nyengir.

"Dasar anak boros," cibir Yaya.

"Sekali-kali kan nggak apa-apa. Lagian ini hari spesial. Perayaan kelulusanmu, kan?" kata Boboiboy. Ia mulai mengambil peralaan makan yang tersusun rapi di sebelah piringnya dan menyantap makan malamnya.

"Yah, tapi tetap saja, makan malam di hotel berbintang lima seperti ini terlalu berlebihan," balas Yaya, ikut menyantap makanannya.

"Jangan dipikirkan. Nikmati saja makan malamnya."

Setelah menghabiskan hidangan utama, Boboiboy memesan makanan penutup untuk dirinya dan Yaya, membuat gadis itu kembali berdecak sebal karena menganggap sang kekasih terlalu boros.

Sambil menikmati dessert mereka, Boboiboy dan Yaya sama-sama menatap ke luar jendela, ke arah pemandangan malam yang memanjakan mata.

"Hei, apa kau tidak bosan dengan aku yang seperti ini?" tanya Yaya tiba-tiba. Boboiboy menoleh dan melihat gadis berkerudung itu tengah menerawang ke luar jendela.

"Bosan kenapa?" ujar Boboiboy, mengernyit.

"Setiap kali aku terbangun di pagi hari, aku tidak bisa mengingat apa-apa. Aku bisa saja melakukan banyak hal dalam satu hari, bertemu dengan banyak orang, membuat banyak kenangan indah, tapi aku tidak akan bisa mengingat apa pun keesokan harinya. Dan aku tidak bisa mengingatmu, aku tidak bisa mengingat apa saja yang sudah kita lakukan selama ini, kenangan apa saja yang sudah kita buat, tempat apa saja yang pernah kita kunjungi. Aku bahkan tidak bisa mengingat wajah, maupun namamu. Apa kau tidak menyesal dengan aku yang seperti ini?"

Boboiboy menolehkan kepalanya ke arah jendela, menatap siluet samar dirinya yang terpantul di kaca yang gelap. Jarinya mengetuk pelan permukaan meja, merenung.

"Jujur saja, awalnya memang sangat berat. Setiap hari saat aku mengunjungimu, kau tidak akan ingat padaku. Tidak peduli berapa kalipun aku memberitahu namaku padamu, kau akan melupakannya saat terbangun di pagi hari. Kita punya banyak sekali kenangan, tapi hanya aku sendiri yang bisa mengingatnya. Terkadang aku bosan, harus mengulang hal yang sama setiap hari. Mengenalkan diri padamu, melakukan hal-hal bersama, tapi kau akan segera lupa tentang itu semua."

Pemuda itu kembali berpaling ke arah Yaya. Bibirnya mengukir sebuah senyuman seidh, menatap sepasang mata cokelat di balik bayangan kerudung merah muda.

"Tapi aku tidak menyesali apa pun. Aku tidak keberatan harus menghabiskan seluruh hidupku seperti ini. Mengulang hal yang sama setiap harinya. Karena aku benar-benar bersyukur kau ada di sini bersamaku. Tidak masalah walau kau harus melupakanku setiap kali kau terbangun, tidak masalah kau tidak bisa mengingat semua hal yang pernah kita lakukan. Aku tetap akan selalu bersyukur karena kau hidup, karena kau ada di sampingku."

Yaya membalas senyum Boboiboy dengan mata berkaca-kaca. Ia memang tidak bisa mengingat apa-apa tentang pemuda di hadapannya. Tapi menghabiskan banyak waktunya hari ini bersama orang ini, membuatnya yakin bahwa ia memang mencintai Boboiboy. Walau Yaya merasa ia baru mengenalnya hari ini, tapi hatinya berkata bahwa orang ini sangat berarti baginya. Walau besok ia akan kembali melupakan Boboiboy, tapi Yaya yakin, ia akan tetap mencintai Boboiboy, sampai kapan pun.

Boboiboy merogoh saku jas hitamnya, mengeluarkan sebuah kotak mungil yang diletakkannya di hadapan Yaya.

"Aku sudah mengenalmu selama tiga belas tahun. Jatuh cinta padamu sejak umurku empat belas tahun. Dan aku telah menghabiskan lima tahun terakhir untuk meyakinkanmu setiap hari bahwa aku mencintaimu. Dan berapa kalipun kau melupakanku, kau tetap mempercayaiku, dan kau tetap mencintaiku sama besarnya setiap harinya. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku dengan terus menerima cinta itu darimu, tak peduli seberat apa pun rintangannya."

Yaya menutup mulutnya, memandang tak percaya saat Boboiboy membuka tutup kotak mungil itu. Sebentuk cincin dari emas putih, dengan permata kecil di bagian tengahnya, berkilau lebih terang dari benda apa pun yang pernah dilihat Yaya.

"Karena itu Yaya Yah, maukah kau menikah denganku?"

.

.

.

Fin


[1] Sumber : Wikipedia


A/N :

Whoa, akhirnya selesai juga fanfic yang satu ini /guling-gulingbahagia(?)

Akhirnya aku memutuskan untuk buat happy ending, sebenarnya bukan karena banyak yang minta happy ending, tapi memang sejak awal aku berniat bikin ending yang bahagia. Cuma yah, di tengah jalan ada banyak bisikan setan(?) yang bikin aku pengen jadiin ini sad ending, tapi akhirnya tetap happy yang kupilih~

Tapi mungkin nggak happy-happy banget ya? Aku sengaja nambahin sedikit angst, biar endingnya nggak terlalu membosankan. Salahkan jiwa sadomaso saya yang sampai akhir tetap tergoda untuk jadiin ini sad ending /digebuk

Sebenarnya ini chapter terakhir, jadi artinya cerita ini beneran udah tamat. Tapi aku kepikiran untuk bikin satu chapter tambahan, tentang, umm, masa depan(?) Boboiboy sama Yaya, mungkin?

Jadi aku mau nanya pendapat kalian, ini udah cukup sampai di sini aja, atau mau kubuatin tambahannya? Kalau cukup sih, ya udah, berarti ff ini beneran udah complete, kalau mau tambahan, berarti masih ada satu chapter lagi.

So guys, what do you think? /sok English lagi

Ah, aku bakalan kangen nulis ff ini, soalnya dari semua ff yang kutulis, aku paling menikmati nulis yang satu ini, *coret*terutama-karena-bisa-nistain-Boboiboy-sama-Yaya*coret* xD

Jadi aku bahagia banget kalau kalian juga bisa menikmati membaca fanfic ini. Makasih buat semua yang udah ngikutin cerita ini dari awal, yang udah ngasih review, dan juga yang udah follow dan fav ff ini. Aku cinta kalian semua! /peluk cium/

Sampai jumpa lagi semuanya~~


Balasan review :

siderz : Yess, aku berhasil bikin orang nangis! /ditabok/ Huhu, iya dong, cinta Boboiboy untuk Yaya kan sedalam samudra dan setinggi langit di angkasa(?) /plak/ Wa, mmaf, maaf, aku juga awalnya nggak berniat bikin tbc di bagian itu kok, tapi karna takut nanti kepanjangan, jadi yah di cut dulu x'D Nggak kok, nggak mati, udah baca di chapter ini kan? Iyep, ini happy ending kok, walau mungkin ada sadnya juga(?) Makasih review dan semangatnya~

blackcorrals : Sedih, ya? Bagus deh /plak/ Yap, akhirnya aku buat happy ending, padahal aku serius pengen banget bikin sad lho~ Salam kenal juga, makasih udah nitip jejak~

Hanna Yoora : Aduuh, maaf udah bikin nangis, sini aku ilapin air matanya /ditendang/ Wuoh, dengerin lagu Vietnam, aku seumur hidup belum pernah lho /nggak ada yang nanya/ Nggak kok, nggak sad ending, ini udah cukup happy kan? Makasih banyak atas semangatnyaa. Eh, kok aku jadi merasa bersalah ya? Sedihnya bukan karena baca ff ini kan? Semoga Hanna nggak sedih-sedih lagi, ya. Semangat terus buat Hanna~

Guest : Aku emang berniat bikin orang nangis di chapter ini kok /dibuang/ Nggak kok, nggak sad, di sini udah ketauan kan? Cinta memang butuh pengorbanan sih, kalau nggak itu bukan cinta sejati namanya /eleh/ Makasih reviewnya~

Sawsan : Soalnya aku nulisnya sambil galau, makanya chapternya jadi galau(?) Iya, iya, ini udah dibikin happy ending kok, walau nggak terlalu happy juga sih sebenarnya x'D Eh? Tapi aku suka death chara lho, kan lumayan bisa makin baper /ditabok/ Aduh aku jadi sedih karena ada yang sampe ngantuk baca ff ini x'D Makasih reviewnya! With Love, Kiss, and Warm Hug –Fanlady

Guest : Request accepted :) Makasih udah ninggalin jejak~

Mak imut : Tisu di Ind*maret banyak mak /plak/ Jangan kebanyak esmosi mak, nanti jadi baper (?) Aku juga puas banget nulis sepanjang itu x'D Eh serius mak imut minta updatenya sebulan? Ini baru dua minggu gimana dong mak? X'D Makasih reviewnya mak imut~~

Horan Cyclone : Yah, aku kayaknya lagi kesurupan sampe bikin chapter sepanjang itu /plak/ Kepanjangan ya? Sebenarnya itu mau dibikin lebih panjang lagi lho, tapi nggak jadi deh xD Boboiboy nggak mati kok, tenang aja~ Maaf ini nggak sepanjang yang kemarin, tapi udah cukup panjang, kan? Makasih reviewnya~

Nurul2001 : Ini udah next, makasih reviewnya~

Haruko1212 : Harapanmu terkabul, ini udah dibuat happy ending kok ;) Wkwkwk, iya, summary itu kan nggak kuubah dari awal, jadi sebenarnya dari situ udah ketauan kalau niat awal aku memang bikin happy ending. I-ini lanjutannya nggak terlalu lama kan ya? Cuma uda minggu kok /dilempar golok/ Makasih banyak reviewnya~

Febriansyah Scout Boboiboy : Aduh, aduh, sini aku ilapin air mata sama ingusnya /ngambil tissue/ Ini udah di update kok, makasih udah menunggu~

Anisa Aulia Apni : Waalaikumsalam. Err, kenapa ya? Yaya cuma berpikir kalau kisah cinta dia itu mirip sama si putri duyung, punya akhir yang tragis gitu, makanya Yaya certain tentang itu ke Boboiboy (yang lagi koma). Mudah ditebak … ya? Memang sih /pundung/ Makasih buat reviewnya~

Cansa403 : Belum tentu sad ending, soalnya aku masih galau mau milih sad atau happy /plak/ Yang pergi liburan mood nulis aku kok, aku mah boro-boro pergi liburan, keluar rumah juga jarang kecuali untuk pergi kuliah x'' Wah, semangat buat UAS dan TO-nya! Aku juga baper pas nulis bagian surat itu kok :'' ….. Maaf nggak update kilat, yang penting tetap update kan? /dilempar sabit/ Makasih reviewnya~

Mizuki Kanzaki : Eh, nggak apa-apa kok, dibaca aja aku udah seneng :') Sama dong kita, tapi sayangnya aku mutusin untuk bikin sad ending, mudah-mudahan nggak kecewa ya. Maaf, maaf, aku suka naro cliffhanger di akhir chapter sih, bikin orang lain greget itu asik xD /ditabok/ Iya, ini kemungkinan bakal jadi last chapter. Makasih udah mereview~

Lia syifa : Waalaikumsalam. Hai juga, makasih udah baca ff ini~ Ini udah dibuatin happy ending kok, mudah-mudahan puas ya. Di sini ada sedikit adegan romance, kan? Maaf nggak bisa update kilat, tapi ini udha update kok. Makasih Reviewnya!

mr gopalji : Ini udah lanjut kok, maaf menunggu lama.

VanillaALG02 : Karena saya suka ngancurin kokoro orang dan bikin orang sedih /dicincang/ Waah hiatus ya, selamat datang kembali kalau gitu, ayo ramaikan fandom ini lagi! /apa sih/ Eh? Kok takut sad ending sih? Justru summary itu hints buat happy ending lho x'D Makasiih, aku lega banget kalo feelsnya bisa dapet :') Makasih atas reviewnya~ Waalaikumsalam.

Riris liasari : Hai juga, kabarku baik kok ;) Boleh, boleh banget, sering-sering review ya /ditabok/ Iya, aku tau happy ending itu udah mainstream banget, tapi gimana ya? Niat awalnya emang bikin ff ini happy ending kok, kalau aku maksain bikin sad mungkin nanti bakal jadi aneh. Walau ini happy ending, tapi aku tetap nambahin sedikit angst, jadi biar endingnya juga nggak terlalu mainstream. Dan percayalah, aku harus susah payah nahan diri untuk nggak bikin sad ending lho x'') Maaf kalau kecewa karna endingnya nggak sad. Makasih atas reviewnya~~

karli sweet : Omg, really? I love you more than you love this chapter /apaan sih/ /dibuang/ Woah, aku speechless lho kamu bilang gitu. Soalnya kau nganggap cerita ini gampang banget ketebak, apalagi aku udah semacam ngasih bocoran buat ending di dalam summarynya, jadi kupikir siapa pun pasti bisa nebak endingnya kayak gimana. Wah, makasih deh kalau gitu,aku senang kalau memang berhasil bikin cerita yang nggak bisa ditebak :') Makasih reviewnya~

Princess of The Heaven : Surat itu memang bikin baper ya :'' Makasih reviewnya~