Ketika kau tak tahu lagi kemana harus melangkah, aku ingin menjadi mata bagimu. Tangan dan seluruh tubuhku kuberikan padamu. Karena sejak awal, kau sudah memiliki hatiku

Declaimer © Masashi Kishimoto

Blind

What Happened to You?

Surprise! Kita akan bertemu bertemu kembali, Sasuke-kun.

Orang pertama yang ingin kulihat adalah Tou-san dan dirimu.

Rias aku Sasuke-kun.

Apa kau baik-baik saja?

Seharusnya kau katakan kalau ingin memasak, aku bisa membantumu.

Di sana, tepat di depan matanya, sosok tampan dan tinggi tengah berbalik menatapnya. Memori-memori yang menemaninya selama masa sulitnya tiga tahun lalu muncul di benaknya.

Kita akan bertemu kembali Sasuke-kun.

Dengan sedikit kaku, kakinya melangkah keluar dari mejanya. Tak sedikitpun ia melepas pandangan dengan pemuda tampan itu.

"Sasuke...kun?" Ia terbata.

Kerinduan itu meluap yang ia tak mampu lagi menahannya. Aaahh, Ino rasa ia ingin menangis saat itu juga.

Tangannya bergerak tanpa bisa dikomando.

PLAK

Hening. Telapak tangannya sakit.

Itukah ungkapan kangenya?

Ino bisa merasakan tatapan terkejut orang-orang sekitarnya, termasuk Hanabi di belakangnya. Tapi, untuk sekarang ia tak peduli. Tangannya sakit dan ia yakin pipi Sasuke lebih sakit lagi. Karena yang lebih membuatnya terkejut adalah sosok itu tak lain tak bukan adalah sosok yang pernah ia tabrak tempo hari.

"HUWAAAA! Kenapa kau tak mengatakan apa-apa? Aku begitu merindukanmu tapi kenapa kau diam saja?" Rengeknya sambil menunduk. "Jahat! Kau jahat!"

Rasanya Ino ingin ambruk di tempat seketika.

"Aku tidak salah orang kan? Kau Sasuke kan? Kau juga Tuan yang kutabrak tempo hari kan?" rengeknya. Tangannya reflek terangkat untuk menyentuh wajah Sasuke, memastikan bentuk wajah itu adalah wajah yang dulu pernah ia sentuh.

"Yang kulihat ini benar, kan?"

Kemudian, ia menunduk untuk menghapus air mata yang entah sejak kapan membasahi pipinya. Dirasakannya tubuhnya yang perlahan dipeluk dari depan.

Aaah, pelukan ini, terasa begitu hangat dan familiar.

Ino tak berani mendongak, atau ia akan lebih menangis lagi. Bahkan ia tak mau repot-repot melihat mimik Sasuke. Gerakan tangan yang mengelus lembut punggungnya sudah cukup memenangkannya.

"Maafkan aku! Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana kemarin. Tapi aku senang bisa melihatmu lagi." Wajah itu tampan dan tersenyum kepadanya

Kali ini ia mendongak. Wajah itu tampan dan tersenyum kepadanya, senyum yang ia lihat persis ketika pemuda itu melambaikan tangannya kepadanya tempo hari lalu.

Ia akan menyimpan senyuman itu dalam memorinya sebagaimana dulu ia menyimpan bayangan Shikamaru supaya tak melupakannya.

Dirasakannya tangan maskulin itu menyentuh pipinya menghapus sisa-sisa air mata yang sempat mengalir bagaikan nostalgia.

"Aku juga merindukanmu Sasuke-kun."

Entah Kemana perginya rasa kesalnya kenyataan bahwa ia bisa melihat wajah yang dinanti-nantikan nya sudah membuatnya begitu bahagia. Sepertinya ia akan betah berlama-lama memandanginya. Kira-kira berapa banyak fans ceweknya dengan wajah tampan seperti itu?

"Kau tidak mengabariku ketika datang kemari," kata Sasuke.

"Hehehe, surprise! Kau terkejut?"

Dan tak ada yang lebih melegakan matanya selain tawa dan senyuman pemuda itu sekarang

"Hahaha, bukan surprise lagi kalau aku sudah melihatmu lebih dulu."

Ino berubah cemberut, "Makanya, kau curang kan. Harusnya kau memberitahuku, bukan surprise lagi kan jadinya."

Senyuman Sasuke melembut, "Aku sudah cukup terkejut waktu itu. Terima kasih telah kembali."

Tidak ada balasan yang lebih baik selain membalasnya dengan senyuman. Mungkin bila ia mau mengingat lebih dalam lagi kejadian tempo hari lalu pasti akan menemukan raut kaget Sasuke tepat ketika ia menabraknya.

"Kalian sudah saling kenal?"

Dan mungkin tak seharusnya Ino terbawa suasana, ia yakin bisa merasakan tatapan penasaran teman se-jurusannya yang terlupakan. Dibalasnya raut penasaran Hanabi dengan sebuah cengiran.

"Hehehe, ceritanya panjang aku bisa menceritakannya padamu nanti."

Sasuke tiba-tiba menyela.,"Aku harus pergi." Ia melepas pelukannya dari Ino, membuat gadis pirang itu menatapnya tiba-tiba. Siapapun yang melihatnya pasti juga akan melihat sedikit raut kecewa di matanya

"Kemana? Kenapa buru-buru? Aku masih ingin berbicara banyak dengan Sasuke-kun," bujuk Ino.

Pemuda itu sedikit mengalihkan pandangannya, "Ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan."

"Tugas kuliah kan?"

"Ya semacam itu." Sasuke memberikan senyuman menenangkannya. "Aku senang bisa bertemu lagi denganmu. Aku harus pergi, kita akan bertemu lagi."

Ya Ino paham mereka bukan anak-anak. Mereka sudah di jenjang yang berbeda dan kalau dipikir lagi Sasuke memang sudah menjadi seniornya di Universitas ini pasti tugasnya pun jauh berbeda dengannya. Maka, lebih baik Ino tak menuntutnya.

"Baiklah kita akan―"

"Sasuke-kun! Kau di sini rupanya, kita mencari mau kemana-mana."

Sebuah suara feminim tiba-tiba menyeru dari belakang Sasuke dan Ino yakin ia telah melihat ekspresi Sasuke berubah serius, lalu seorang perempuan berambut merah menghampiri mereka diikuti dua orang laki-laki berambut abu-abu dan orens.

"Ada yang harus kita bahas Sasuke-kun. Kau hanya membuang waktumu di sini," lanjutnya lagi begitu tiba di samping Sasuke.

Di depannya, gadis berambut merah menatapnya, rambutnya panjang dan dia berkacamata. Perasaannya mengatakan cewek itu tampak familiar.

Siapakah wanita ini?

Dan tatapan itu...

Ino yakin dan apa yang ditujukan kepadanya itu bukan tatapan yang bersahabat.

Apa yang pernah ia lakukan yang membuat wanita itu tampak tak suka padanya?

"Sasuke-kun, siapa perempuan ini?" tanya gadis berambut merah itu sambil merangkul sebelah tangan Sasuke, membuatnya sedikit terkesiap.

Hubungan mereka apa? Kenapa dia bersikap seperti itu kepada Sasuke? pikir Ino dalam hati.

Sasuke tempak menghela nafas. "Bukan urusanmu, Karin. Kita sebaiknya pergi sekarang."

Dilihatnya Sasuke yang melepas pagutan tangan Karin darinya. Tepat sebelum pemuda itu berbalik memunggunginya, sekilas, Ino yakin telah melihat senyum Sasuke ditujukan kepadanya

Sasuke pergi.

Aah, pertemuan pertama mereka kenapa begitu singkat? Ino merasa sedikit kecewa.

Seharusnya kita bisa saling berbicara lebih lama lagi Sasuke-kun. Mungkinkah kau tak merasakan hal yang sama denganku selama ini? tanya Ino dalam hati. Aku begitu merindukanmu, tahu. Kesal.

Digelengkannya kepalanya. Ia tak boleh berpikiran negatif. Sasuke sendiri bilang, mereka akan bertemu lagi, kan?

"Kau baik-baik saja, Ino? Wajahmu seperti anak-anak yang kehilangan permennya."

Berterimakasihlah pada Hanabi yang membuatnya kembali ke alam nyata. Ia hanya nyengir.

"Aku baik-baik saja, kok."

"Kau berhutang cerita padaku, Ino-chan."

"Wakatta, aku mngerti. Ne ne! Kau kenal siapa perempuan tadi, Hanabi?" tanya Ino yang tak bisa lepas dari rasa penasarannya terhadap gadis berambut merah itu. Habisnya, tatapannya itu, sama sekali tak enak dipandang. Dan sepanjang ingatannya, ia tak pernah sekali pun bertemu denga perempuan itu, apalagi berbuat buruk padanya.

Mana dia bersikap manja sama Sasuke-kun lagi. Huft!

"Aku tak begitu mengenalnya. Tapi, dia terkenal sekali di kampus ini."

Hanabi kembali duduk diikuti Ino, malanjutkan makan siang mereka yang belum selesai.

"Namanya Uzumaki Karin. Tampaknya mereka satu geng, aku sering melihat mereka kemana-mana bersama," lanjutnya.

Uzumaki?

Nama itu, ia tak asing lagi dengannya.

"Uzumaki?" gumam Ino lirih. Benaknya berusaha menghubungkan benang merah di kepalanya. Kali ini, ia tak bisa bersikap acuh dengan nama itu. Nama itu terlalu sering ia dengar, sangat aneh untuk disebut sebuah kebetulan. "Uzumaki Karin? Uzumaki Naruto? Apa mereka bersaudara, Hanabi-chan?"

Yang ditanya hanya mengulum senyumannya. "Iya, tampaknya begitu, maksudku aku tak pernah melihat mereka bersama, tapi sifat mereka hampir sama. Dan bagaimana kau mengenal Naruto?"

"Aku tak sengaja mengenalnya di hari pertamaku di kampus ini. Apa yang bisa kau ceritakan lagi tentang mereka, Hanabi-chan?"

Hanabi terkekeh. "Kenapa kau penasaran sekali? Yaah, melihatmu bersama Sasuke tadi, aku yakin kau tak sepolos mahasiswa baru lainnya."

"Oh, ayolah! Kita masih harus bertemu dengan kakakmu, kan? Katakan, jangan bertele-tele."

Tampak Hanabi menghela nafas. Ada beban tersendiri membicarakan salah satu nama yang disebutkan Ino tadi. "Sejujurnya, aku tak tahu lebih tentang Uzumaki. Tapi, berhubung kau tampaknya sudah mengenal mereka…" Hanabi ragu untuk melanjutkan, tapi melihat raut wajah Ino yang seakan tersiksa ―begitu penasarannya― itu, membuatnya kembali berucap, "Aku tidak tahu apa aku bisa mempercayaimu. Kau tampak sudah punya hubungan ―sengaja atau tidak sengaja―, teman atau bukan teman dengan orang-orang ini…"

"Kau terlalu berbelit-belit, Hanabi-chan."

Hanabi menghela nafas untuk ke sekian kalinya. "Maafkan aku. Maksudku yang sebenarnya adalah…aku dan kau bukan siapa-siapa dan tidak dalam lingkaran permasalahan mereka. Jadi, aku tak tahu harus menceritakannya atau tidak. Aku tidak suka mengumbar permasalah orang lain."

"Hei-hei! Aku kan hanya ingin tahu tentang Uzumaki. Kalau memang aku tak berhak tahu, tidak apa-apa, kok." Ino berusaha menenangkan.

"Kau membuatku semakin tidak enak padamu, Ino-chan."

Ino membeo, "Maksudnya?"

Hanabi menatapnya lekat. "Baiklah, karena aku yang memulai, akan kuselesaikan. Tapi, aku minta kau jangan ikut campur urusan mereka."

Ino semakin penasaran, apa yang sebenarnya dibicarakan Hanabi? Masalah apa yang menyangkut para Uzumaki itu? Apa hal itu ada sangkut pautnya dengan Sasuke?

"Uzumaki Naruto, adalah cowok yang disukai kakakku yang kuceritakan padamu tadi. Aku tidak tahu pasti hubungan dua Uzumaki itu, tapi kabarnya kerabat jauh mereka tengah bersiteru dengan keluarga Uchiha."

Hening.

Ino mengusap kepalanya yang tiba-tiba berdenyut. Memori lain berkeliaran di kepalanya. Ada beberapa hal yang tak ia mengerti, tapi ia seperti sudah mampu menebak teka-teki ini.

Uzumaki! Uzumaki! Uzumaki!

Uzumaki Karin dan Uzumaki Naruto.

Ingatannya kembali ke beberapa waktu lalu. "Kakakku menyukai salah satu sahabat pria Uchiha itu, tapi dia menyukai gadis lain, dan lucunya lagi gadis lain itu memutuskan pacarnya dan malah menyukai Uchiha ini setelah dulunya ―katanya― sudah move on dari Uchiha," kata Hanabi.

Lalu, ingatan lain saat Sasuke memperkenalkan teman-temannya yang pernah berkunjung ke rumahnya.

"Ino, mereka teman-temanku, mereka ada di depanmu," kata Sasuke. Lalu Ino membungkuk memperkenalkan diri.

Benar. Di salah satu nama itu ia mendengar nama Naruto disebut. Uzumaki Naruto. Jadi, sebenarnya, ia sudah mengenal pemuda itu? Dan itu menjelaskan bagaimana sikap Naruto di hari pertama Ino bertemu pemuda itu di kampus ini.

"A-apa aku pernah bertemu denganmu?" tanya Naruto yang masih belum melepas genggamannya dari Ino.

Wajah Ino tampak geram. Ia yakin dengan sangat pasti bahwa Naruto pernah bertemu dengannya. Kesal kah Ino? Ia tak tahu.

Aah, satu teka-teki berhasil dipecahkan.

Lalu, permasalahan keluarga Uzumaki dan Uchiha. Ia tak begitu mengeri. Tapi, setidaknya ia sekarang tahu mengapa Uzumaki Karin tampak familiar di matanya. Ayahnya sering menyebutnya, menyebut nama marga itu.

Selaku nama marga orang yang mendonorkan matanya untuk Ino.

"Ino, ini adalah Uzumaki Mito. Berterimakasihlah padanya," kata ayahnya tak lama setelah perban matanya dibuka. Di depannya, seorang paruh baya duduk di kasur rumah sakit tempat ia melakukan opreasi mata. Rambutnya merah dan matanya tak lagi bercahaya.

Dan betapa ia membenci pemandangan itu. Ingin sekali ia tak mengingatnya.

Tanpa sadar, kedua tangannya terangkat untuk menutup wajahnya. Ia berasa ingin tenggelam saja di air. Kenyataan-kenyataan itu seolah membanjiri benaknya. Berbagai asumsi tentang sikap-sikap aneh orang-orang yang ditemuinya tak berapa lama setelah ia menginjakkan diri ke Jepang, membuatnya tak tahu harus bereaksi bagaimana.

Menutup sebelah mata saat di depanmu berdiri salah satu anggota keluarga orang yang kau ambil penglihatannya? Pun ia tak memintanya? Bersikap seolah tak terjadi apa-apa di antara mereka?

Atau menutup mata karena orang-orang yang kau temui tak manunjukkan jati diri yang sebenarnya? Di masa sulitnya dulu, Ino paling tak suka orang berbohong kepadanya hanya karena keterbatasan penglihatannya, sekarang bahkan saat ia bisa melihat, mereka tak berniat benar-benar melakukannya, bukan?

Dan jangan katakan, kalau sesungguhnya ia juga mengenal kakak-kakak Hanabi. Kheh! Kejutan apa lagi setelah ini?

Belum lagi tentang sikap Sasuke yang ia rasa aneh.

"Kau tahu? Kabarnya setelah kejadian yang tak mengenakkan di keluarganya, sikapnya jadi dingin."

Lagi-lagi informasi yang diberikan sepotong-potong oleh Hanabi itu cukup membuatnya mau tak mau harus berfikir.

Terimakasih, Hanabi-chan, rutuknya dalam hati.

Tentang Uchiha dan Uzumaki, mungkin Tou-sannya mengetahui sesuatu.

Ia hanya ingin melepas kerinduannya pada pemuda itu dengan sewajarnya. Kemudian bermain bersama Sasuke sebagaimana dulu ia sangat menikmati berbagai permainan yang mereka lakukan bersama. Kalau dulu, ia ―dengan mata yang tak bisa melihat―, bisa begitu bahagia, bagaimana dengan sekarang?

Ia mulai menyesali penglihatan ini. Tapi, ia juga tak ingin menjadi wanita buta yang tak tahu apa-apa, yang bersikap acuh seolah tak terjadi apa-apa di sekitarnya.

Ino benci saat ia tak tahu.

Berhubung wajahnya tertutup tangannya, suaranya teredam. Ia frustasi, "Aaaaahhhh!" jeritnya.

Meninggalkan Hanabi yang sedikit prihatin atas masalah apapun itu yang menimpa temannya.

%Blind%

Ia tak benar melihat apa yang ia lihat, bukan?

Beberapa hari setelah Hanabi menjanjikannya untuk mempertemukannya dengan kakaknya sekedar sharing tentang fashion, kini berujung pada Ino yang terjebak pada lingkaran drama yang sosok-sosok itu lakukan tepat di depan gerbang sekolah.

"Menjauh dari Sasuke-kun, Karin!" gertak seorang gadir berambut pink, Sakura.

"Kau yang minggir, Jidat! Jidat lebarmu benar-benar menyilaukan. Kau mencucinya pakai apa? **nlight?" balas seorang lagi yang Ino sudah tahu namanya.

"Kupikir justru rambutmu yang sengaja kau bakar, sehingga membuat siapapun yang melihatnya jadi kepanasan."

Tak sadarkah mereka kalau mereka tengah mempermalukan diri sendiri?

Mereka udah gede, bukan?

Ino dan Hanabi yang menonton drama itu hanya berlalu lalang di sisi mereka tanpa ada niatan untuk ikut campur. Kepala Ino menoleh ke sana-kemari untuk mencari sosok yang menjadi bensin dalam perdebatan panas itu.

Sasuke-kun sendiri ada dimana?

"Mencari biang keladinya?" tanya Hanabi seolah mampu membaca pikiran Ino. Yah, nggak salah juga tebakannya.

"Hm. Siapa lagi?"

Dan Ino pun kembali memutar kepalanya ke sana kemari mencari sosok rupawan tersebut.

Setelah Ino menceritakan kejadian masa lalunya kepada Hanabi, gadis berambut hitam itu kian lama kian mencurigakan. Tatapan itu loh, kadang terlihat menggoda dan kadang terlihat…yaaahh biasa.

Ditambah dengan seringaian setiap kali Ino membahas makhluk emo itu, apa maksudnya coba?

Mereka kembali berjalan. Samar-samar mereka masih bisa mendengar perdebatan di belakang mereka. Tak sekalipun Ino melepas fokusnya demi mencari Uchiha Sasuke di kampus sebesar Konoha University ini.

Setelah sekian lama, pencarian Ino hanya berujung pada…

Nihil.

Ia tak menemukan sosok Sasuke di ujung manapun.

Ino menghela nafas. Mungkinkah pemuda itu menghindarinya? Atau hanya perasaannya saja?

Ino kan hanya ingin bermain kembali dengan Sasuke seperti dulu.

"Onee-chan!" teriakan Habani lantas membuyarkan lamunan Ino. Ia kembali menatap ke depan dan menemukan seorang Hyuuga Hinata berjalan seorang diri dengan membawa beberapa buku.

Gadis yang dipanggil itu memutar badan dan tersenyum kepada mereka.

"O-Ohayou, Imouto-chan, Ino-chan!" sapanya dengan senyuman.

"Ohayou, Hinata-san!" balas Ino begitu mereka sampai di samping Hinata, lalu mereka kembali berjalan.

"Ba-bagaimana perasaan Ino setelah kembali ke Jepang?" tanya Hinata.

Ino membalasnya dengan tersenyum, setidaknya masih ada beberapa orang yang tak pura-pura tak mengenal Ino.

"Aku sangat senang. Jepang kini berubah. Teknologinya semakin canggih. Aku sempat melihat Tokyo tower di Tokyo dan aku ingin mengunjunginya."

"Yaah, Tokyo memang wajib kau jelajahi," sahut Hanabi.

Benar, itu memang menjadi salah satu tujuannya pertama kali menginjakkan kaki di Jepang. Kapan kira-kira dia punya waktu untuk bermain ya? Siapa juga yang mau diajak pergi? Sendirian kan nggak asik.

"Jaa! Bagaimana kalau kita bertiga pergi bersama ke sana? Minggu ini bagaimana?" tawar Ino sumringah. Bukan ide buruk juga kan?

"Hmmm… aku sih ok saja, Ino-chan. Tapi kakakku ini…hmmm…aku tak yakin ia bisa ikut," lirih Hanabi dengan melirik manja Hinata yang mulai menunjukkan pipi kemerahannya.

Tersipu, kah?

"Memang ada apa, Hanabi-chan?" tanya Ino penasaran.

"Setiap minggu, dia selalu datang menonton tim voli putra Konoha."

"Hinata-san suka voli?"

Pertanyaan polos Ino sontak mendapat pukulan ringan dari Hanabi. "Bukan, Ino-chan. Perempuan seperti dia mana suka dengan voli."

Ino memiringkan kepalanya heran, "Kalau bukan karena itu, lalu apalagi? Penelitian?"

"Kalau kau begitu penasaran, kenapa tidak ikut saja dengan Hinata? Siapa tahu…"

"Tuh kan, kau mulai lagi simpan-menyimpan rahasia." Ino sok-sokan ngambek.

"Su-sudahlah, kalian. Aku bisa kok menemani kalian sesekali untuk bermain."

Seolah tak mendengarkan Hinata, Ino membeo, "Hmmm…ada apa ya dengan tim voli itu? Mungkin sesekali menemani Hinata-san juga nggak masalah, iya kan, Hanabi?"

Dan Ino yakin kalau Hanabi tengah berada di pihaknya sekarang, terlihat dari seringaian gadis itu dan tatapan matanya yang seolah mengirimkan pesan tersembunyi.

"Ti-tidak a-ada apa-apa kok, Ino-chan."

Sepertinya, dengan melihat tingkah salah tingkah Hinata, Ino mulai berpikir kalau ia mengerti apa yang mungkin dibicarakan Hanabi. Sepemalunya Hinata, ia tak pernah melihat Hinata sebegitu merahnya hingga ke telinga hanya karena pembicaraan sepele seperti ini. Kecuali kalau pembicaraan itu menyangkut seseorang berambut kuning yang―

"Mereka akan bertanding loh," ucap Hanabi tiba-tiba. Matanya mengarah ke depan tepat pada dinding mading yang terpampang banyak sekali info-info perkuliahan. Yang mana salah satunya tertulis :

SAKSIKAN! TIM KONOHA VS TIM TAKA

Minggu, xx-xx-20xx

KERAHKAN SEMUA DUKUNGAN KALIAN UNTUK MEREKA!

"Mereka tak henti-hentinya bermain-main. Bagiku, apa yang mereka lakukan sebenarnya tak akan berguna di masa depan. Tapi, yah, dasar laki-laki."

Pertandingan voli ya?

Ino sedikit memiringkan kepalanya. Kali ini ia setuju dengan Hanabi. Bermain-main seperti itu hanya akan membuang-buang waktu aja. Tapi, kalau dipikir jauh-jauh, ya memang itulah cara untuk menikmati masa muda. Bahkan, ayahnya sendiri ―semenjak penglihatannya sembuh― mulai mengambil aktifitas fisik barang hanya bersama tetangga maupun rekan kerja.

Ino tersenyum kecil memikirkannya. Aah, betapa ia bersyukur bisa melihat. Setidaknya, ayahnya sudah bisa sedikit bebas daripada terus-menerus menjaga dirinya.

"Tak buruk juga, kan? Boleh deh, ayo kita nonton voli bareng."

Dengan mantap dan wajah Hinata yang semakin meliar, Ino memutuskan untuk menunda dulu penjelajahannya ke Tokyo tower. Tak ada salahnya juga kan menyenangkan teman?

%Blind%

Atau tidak.

Kini Ino mengerti mengapa Hanabi berseringai seperti itu kala mereka plus Hinata membicarakan tim voli putra.

Ternyata ada sang pujaan hati toh.

Di depan sana, di lapangan indoor Univerditas Konoha, kedua tim voli putra tengah berusaha sekuat tenaga untuk mencetak skor sebanyak-banyaknya. Di tribun atas, banyak penonton perempuan yang saling lempar dukungan, entah itu hanya dengan tulisan hingga dengan teriakan kepada idola voli mereka. Ino yakin, perempuan-perempuan itu sebenarnya tak begitu mengerti tentang voli. Sementara para penonton laki-laki tampak cenderung mengamati pertandingan dengan serius.

Hanya saja, yang Ino tak mengerti adalah…

"Mengapa kita harus bersembunyi di sini? Apa salahnya kita nonton di tribun juga?" tanya Ino tak habis pikir.

Hinata, satu-satunya yang paling semangat di antara ketiganya tampak begitu fokus hingga tak mempedulikan Ino dan Hanabi. Dan kali ini pun Ino yakin Hinata tak jauh bedanya dengan para perempuan di tribun atas sana yang hanya menonton untuk melihat para pemainnya berlaga.

Mereka, tengah berdiri ―sedikit mengendap-endap― di ambang pintu masuk lapangan.

"Yaah, biar nggak mencolok gitu." Hanabi menimpali.

Ino memutuskan untuk tidak bertanya lagi dan lebih fokus pada pertandingan di depan mereka. Tim Konoha yang dimaksud adalah tim asli bikinan Universitas ini sendiri. Sementara Tim Taka adalah tim yang dibuat di luar pihak Universitas, entah anggotanya dari mahasiswa itu sendiri atau mengambil dari orang luar.

Ino tak begitu mengerti tentang voli dan apapun itu yang membuat tim-tim itu kuat, tapi ia bisa melihat kedua tim sama-sama kuat. Lalu, satu hal yang membuatnya tak terkejut akan mengapa banyak sekali penonton perempuan yang dengan terang-terangan mendukung Tim Taka daripada Tim Konoha adalah karena salah satu anggotanya adalah pria paling tampan sepanjang penglihatan Ino kembali.

Uchiha Sasuke.

SMASH

Dan satu poin dicetak Tim Taka.

Mengundang teriakan tak tertahankan penonton perempuan di tribun, yang juga membuat Ino sempat terpaku.

Tatapan Sasuke begitu tajam, seolah bisa menerkam siapapun yang dilihatnya. Tatapan itu begitu fokus hingga suara teriakan penontonnya sama sekali tak berefek padanya. Ditambah dengan seriangaian itu. Ino seperti melihat sosok yang berbeda dari diri Sasuke.

Sementara di depannya, Naruto mengirimkan tatapan tak sukanya pada Sasuke. Giginya bergemeretak seolah menahan marah. Apa yang ada di pikirannya, tak ada yang mengerti dan mungkin tak ada yang tahu mengingat semua atensi diberikan kepada Uchiha Sasuke. Ino, dengan mata sehatnya sekarang, dapat melihat jelas ada yang tidak beres di antara keduanya.

"Hinata-chan, aku yakin kau menyadarinya, tapi apa yang terjadi pada Naruto-kun dan Sasuke-kun?" tanya Ino.

Apakah ini ada hubungannya dengan masalah Uzumaki dan Uchiha?

Di depan sana, pertandingan kembali dimulai.

Ino menoleh ke arah Hinata, mengamati tatapan simpati di kedua mata indigo itu. Hinata tahu apa yang terjadi di antara mereka ―Naruto dan Sasuke―.

Beberapa detik kemudian, perempuan itu menoleh padanya dan tersenyum meyakinkan. "Tak ada apa-apa kok. Mereka tampaknya terlalu asik bermain. Kau saja yang berlebihan, Ino-chan," katanya.

Benarkan yang didengarnya ini kalau Ino hanya menerk-nerka? Atau Hinata sengaja menyembunyikan sesuatu?

Kali ini ia menoleh kepada Hanabi untuk meminta penjelasan lebih. Namun, sayangnya adik Hinata itu hanya mengedikkan bahu tanda ia tak tahu atau ia hanya bersikap acuh.

Merasa tak akan mendapat jawaban dari keduanya, Ino mengembalikan atensinya pada pertandingan di depannya. Tim Taka lagi-lagi memperoleh skor dari smash-nya, kali ini bukan oleh Sasuke, namun hal itu cukup untuk membuat Tim Konoha semakin tertekan.

Ino tak suka melihatnya. Bukan karena Tim Taka yang lagi-lagi menambah skor, bukan pula karena sosok gadis berambut pink―yang ternyata juga pernah berkunjung ke rumahnya bersama Naruto dan Hinata dulu― selaku manajer Tim Konoha yang berteriak menyemangati Sasuke, pun tak sebegitu keras hingga menarik atensi.

Tapi, karena aura yang dikeluarkan penyandang keluarga Uchiha itu, tak seperti sosok yang pernah ia kenal dulu.

Uchiha Sasuke sekarang bukan lagi pelayannya, sifatnya pun berubah.

Apa yang terjadi padamu, Sasuke-kun? Aku tidak lagi buta untuk tidak menyadarinya.

$Blind$